Nino berdiri tegap di hadapan cermin segi empat yang memantulkan bayangannya. Setelan jas berwarna putih melekat pas di tubuh atletisnya. Senyuman bahagia tidak henti-hentinya menghiasi bibirnya. Sementara organ dalam dada kirinya terus berdetak dengan cepat.
Apa lagi yang bisa diharapkan Nino?
Seluruh kebahagiaan dari penjuru dunia sedang berkumpul penuh dalam hati lelaki
itu. Kurang dari satu jam lagi, ia akan resmi menjadi suami dari gadis
pujaannya. Gadis yang melengkapi hidupnya dan menjadikannya sempurna. Bidadari
yang dikirimkan Tuhan hanya untuknya. Gadis bernama Nadira yang selalu
menghiasi mimpi-mimpi indahnya.
Dua setengah tahun yang lalu, ibu Nino
meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Hari yang terasa bagaikan
mimpi buruk bagi Nino. Walaupun pemakaman sudah usai dan semua orang sudah
meninggalkan area pemakaman, tapi Nino masih terdiam di samping makam ibunya.
Berbisik dalam hatinya. Memohon maaf atas segala hal yang belum sempat ia
lakukan untuk ibunya. Menyesali semua perlakuan yang mungkin menyakiti hati
wanita yang sudah melahirkannya dua puluh enam tahun yang lalu itu.
Sebuah isakan terdengar di area pemakaman
yang sunyi itu. Kepala Nino bergerak begitu saja mencari sumber suara. Ia bisa
memastikan bahwa itu bukanlah suara isakannya. Nino memang sangat menjaga
citranya sebagai lelaki jantan. Bagaimanapun rasa sedih yang hinggap di
hatinya, ia tidak akan mungkin menangis di tempat umum.
Nino terkesiap saat akhirnya menemukan
dari mana asal isakan itu.
Seorang gadis tampak berdiri membelakangi
Nino. Gadis itu berdiri di samping pusara seseorang yang letaknya berdekatan
dengan sebatang pohon yang rindang. Tentu saja itu bukanlah hal yang aneh. Tapi
saat melihat penampilan gadis itu membuat benak Nino kembali bertanya-tanya.
Rambut gadis itu berantakan seperti tidak
pernah mengenal sisir selama bertahun-tahun. Pakaian yang ia kenakan berwarna
putih dengan noda tanah di sana-sini. Tapi itu bukanlah pakaian putih biasa,
itu adalah gaun pernikahan dengan pita satin hitam melingkar cantik di pinggang
gadis itu.
Apa
aku tidak salah lihat?
Nino mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dilihatnya
ini bukanlah mimpi. Atau jangan-jangan...
Bodoh. Nino meneriaki dirinya sendiri. Mana mungkin ada hantu gentayangan di siang hari seperti ini. Lagi pula sejak kapan ia punya waktu untuk peduli pada urusan orang yang tidak ada hubungan dengan hidupnya. Nino kembali mengalihkan pandangannya ke nisan ibunya lalu membelainya dengan lembut seolah sedang membelai kepala ibunya.
“Maafkan Nino, Ma,” gumam Nino dengan air
mata tertahan gengsi.
Satu minggu berlalu sejak meninggalnya ibu
Nino. Selama itu, setiap hari ia datang ke pusara ibunya. Berdoa, menaburkan
bunga, dan menyiramkan air ke tanah yang kini menjadi tempat ibunya bernaung.
Selama satu minggu itu juga setiap hari Nino melihat gadis dengan gaun
pengantin itu. Gadis itu tetap setia menunggu
—entah apa yang ditunggunya— di satu pusara yang sama.
—entah apa yang ditunggunya— di satu pusara yang sama.
Nino selalu berusaha untuk tidak peduli. Walaupun jauh di dalam hati ia merasa penasaran pada apa yang dipikirkan gadis itu. Apa gadis itu tidak bosan? Setiap hari datang dengan mengenakan pakaian seperti itu dan membuatnya tampak begitu menyedihkan. Bagaimanapun, gaun pernikahan sama sekali tidak cocok dikenakan saat mengunjungi sebuah makam.
Hingga tiba hari di mana hujan turun
sangat deras. Nino menatap nanar ke arah gadis itu dari bawah payung hitamnya. Saat
ini gadis itu tengah duduk dan merebahkan kepalanya berbantalkan gundukan tanah
makam yang ia datangi setiap hari. Gadis itu bergeming seolah tidak peduli pada
hujan yang mengguyurnya. Air hujan turun membasahi rambut dan gaun yang
dikenakannya.
Entah dirasuki setan mana yang membuat
Nino melangkahkan kakinya mendekat. Tangannya bergerak untuk memayungi gadis
itu dan membiarkan hujan mengguyur dirinya sendiri. Tapi gadis itu tetap diam
seperti patung. Tidak menoleh sedikitpun walau untuk sekedar melihat orang yang
memayunginya. Seakan di dunia ini hanya ada dirinya dan pusara ini.
Nino baru pergi setelah hujan berhenti.
Sambil terus merutuk dalam hati atas keputusan paling bodoh yang pernah ia
buat. Harusnya ia tidak perlu peduli pada gadis seperti itu. Menolehpun tidak,
apalagi berucap terima kasih. Sialnya lagi, Nino harus terserang flu selama
hampir dua minggu. Benar-benar tindakan sok gagah dan bodoh!
Tanpa terasa tiga bulan sudah berlalu
sejak kematian ibunya. Nino sudah tidak lagi mengunjungi makam ibunya setiap
hari. Hanya beberapa kali dalam seminggu tergantung dari kesibukan
pekerjaannya. Dan tentu saja gadis itu masih di sana. Tampak seperti orang gila
yang bodoh dan menyedihkan.
Nino mendengar gadis itu merintih pilu.
Kaki lelaki itu melangkah mendekat lalu meletakkan sekotak tisu di samping
gadis itu kemudian pergi. Tisu yang pada akhirnya dibeli Nino setelah
perdebatan panjang antara alam bawah sadar dan akal sehatnya. Ia mengakui bahwa
bayangan tentang gadis malang yang terus menangis di area pemakaman itu
membuatnya sedikit melakukan tindakan bodoh.
Entah sudah berapa bulan gadis itu terus
mendatangi makam yang sama. Pernahkah
gadis itu berpikir bahwa orang yang sudah meninggal tidak mungkin hidup
kembali? Nino mengernyitkan keningnya mencoba memahami cara berpikir gadis
itu.
Hujan kembali turun hari ini. Sama seperti
sebelumnya, gadis itu tetap tidak peduli pada hujan yang turun dan membasahi
tanpa memilih. Perasaan iba yang bergayut di hati Nino membuatnya mendekat ke
arah gadis itu. Tentu saja ia tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi untuk
kedua kalinya. Lelaki itu lebih memilih untuk melakukan hal bodoh lainnya.
Nino duduk bersimpuh di sisi gadis itu dan
memayungi gadis itu dan tentu saja dirinya sendiri. Perlahan ia mengetuk bahu
gadis itu dengan telunjuknya. Gadis itu mengangkat kepalanya lalu menoleh.
Matanya menatap Nino dengan tatapan yang kosong. Seolah jiwanya sudah direnggut
paksa.
“Hujan
turun sangat deras.” Nino mencoba memulai percakapan. “Kau tidak kedinginan?”
Nino sudah mempersiapkan diri untuk
penolakan. Tapi ia salah. Gadis itu memberi tanggapan walaupun hanya
menggelengkan kepalanya lalu kembali merebahkannya ke atas tanah.
Nino melirik ke arah nisan makam ini untuk
membaca nama yang tertera di sana. Ia menelan ludah sebelum berkata, “Nizar
bisa sedih jika kau terus diam di bawah hujan deras.”
Gadis itu kembali menoleh kepada Nino.
Kali ini ada sedikit -hanya sedikit- binar bahagia di matanya. Mungkin karena
Nino menyebutkan nama seseorang yang terkubur di bawah sana.
“Kau benar.” Gadis itu berkata dengan
suara serak. “Nizar pernah berkata bahwa aku bisa sakit jika diguyur hujan
deras.”
Nino tersenyum menatap gadis itu. “Jadi,
apa kau mau menerima tawaranku untuk berteduh? Aku rasa Nizar tidak akan marah
jika kau pergi sebentar.”
Gadis itu diam. Ia menggigit bibirnya
karena ragu pada tawaran dari lelaki asing di sampingnya.
“Setelah hujan reda, aku akan mengantarmu
kembali ke sini,” Nino menambahkan saat melihat keraguan dari mata gadis itu.
“Ayolah. Demi Nizar.”
Binar bahagia di mata gadis itu semakin
jelas. Kemudian ia menganggukkan kepalanya dan menerima uluran tangan lelaki
asing itu.
Nino menuntun gadis itu menuju mobilnya
yang ia parkir di dekat area pemakaman. Sambil meyakinkan diri bahwa ia tidak
akan pernah menyesali keputusannya kali ini, Nino menginjak pedal gas. Mobilnya
melaju meninggalkan pemakaman menuju apartemennya.
Begitu tiba di lokasi apartemennya, mereka
langsung disambut banyak pasang mata yang memandang heran. Tapi Nino berusaha
untuk tidak peduli dan meyakinkan diri bahwa gadis ini juga tidak terganggu
dengan hal itu. Mereka terus melangkah dan memasuki lift.
Nino membuka pintu apartemen dan
menyalakan lampu. Ia mempersilakan gadis itu masuk ke dalam apartemennya yang
didominasi warna abu-abu terang. Apartemennya memang cukup luas dan nyaman.
Walaupun perabotnya hanya seperlunya saja, seperti apartemen lelaki pada
umumnya.
“Ini kamarku,” kata Nino sambil menuntun
gadis itu ke sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka. Sebuah tempat tidur
besar dengan selimut warna abu-abu ada di kamar itu.
“Kau bisa mengenakan ini.” Nino
mengulurkan sebuah kaus dan celana panjang miliknya kepada gadis itu.
“Sementara kau mandi, aku akan mengantarkan gaunmu ke penatu.”
Gadis itu mengerucutkan bibirnya sedikit
seperti tidak rela. Tapi Nino sudah tahu apa yang harus dikatakannya agar gadis
itu mau merelakan gaunnya dicuci.
“Nizar akan lebih suka dengan gadis yang
berpenampilan bersih, kau tahu?” Sekali lagi Nino menyebut nama orang yang
tidak ia kenal itu. Tapi mampu membuat gadis itu menganggukkan kepalanya
menuruti saran Nino.
Nino mengantar gaun putih yang penuh noda
tanah itu ke penatu yang terletak di lantai satu gedung apartemen ini. Begitu
ia kembali, gadis itu belum selesai mandi. Nino tertawa kecil. Tentu saja gadis
itu memerlukan waktu yang lama karena penampilannya benar-benar... berantakan. Noda
tanah menempel di gaun dan wajahnya. Rambutnya awut-awutan. Kulitnya pucat.
Matanya merah dengan jejak air mata di pipinya.
Sambil menunggu gadis itu selesai mandi,
Nino duduk di meja makannya. Perlahan ia menyesap secangkir kopi yang baru
diseduhnya. Dan hampir saja Nino tersedak kopi panasnya saat ia melihat gadis
itu keluar dari kamarnya. Lelaki itu
melongo. Gerakan tangannya terhenti di udara.
Gadis itu jauh berbeda dengan yang Nino
lihat sebelumnya. Wangi sabun menguar di udara saat gadis itu berjalan ke
arahnya. Rambut panjangnya basah dan menyebarkan wangi sampo yang biasa
digunakan Nino. Kulitnya yang putih sudah bersih dari noda tanah. Gadis itu
menggerakkan matanya dengan gugup karena ditatap secara intens oleh lelaki yang
masih asing baginya.
Nino tersadar dari lamunannya saat gadis
itu duduk di sampingnya. Dengan cepat lelaki itu mengalihkan pandangannya ke
arah lain lalu meletakkan cangkir kopi yang digenggamnya ke atas meja.
“Kau mau kopi atau teh?” tanya Nino datar
sambil berusaha menutupi rasa malunya karena sudah bertindak bodoh.
“Teh,” jawab gadis itu sambil menyelipkan
rambutnya yang menjuntai ke balik telinganya.
Suaranya bahkan terdengar lebih merdu dan
tidak lagi serak seperti sebelumnya. Nino berpindah ke meja dapurnya dan
menyeduh teh untuk tamunya. Begitu selesai, ia kembali duduk di samping gadis
itu.
Gadis itu menyambut baik secangkir teh
yang disodorkan Nino kepadanya lalu berujar, “Terima kasih.”
Tanpa berkedip, Nino memperhatikan saat
bibir tipis gadis itu menyentuh pinggir cangkir dan menyesap teh secara
perlahan. Nino menelan ludah. Bibir itu tampak begitu menggoda. Ia jadi
membayangkan bagaimana rasanya berciuman dengan gadis secantik ini. Sebelum
pikirannya melayang lebih jauh, lelaki itu menekan keningnya dengan jari
telunjuk. Mana mungkin ia berciuman dengan gadis yang bahkan tidak ia ketahui
namanya.
“Namaku Nadira,” kata gadis itu tiba-tiba
seperti bisa membaca pikiran Nino. “Namamu siapa?”
Nino menahan napas saat mendengar gadis
itu berbicara. Entah kenapa rasanya ia ingin selalu mendengar suara gadis
bernama Nadira ini. “Namaku Nino.”
Nadira tersenyum lalu berkata, “Terima
kasih, Nino.”
Nino memperhatikan setiap gerakan bibir
Nadira saat mengucapkan namanya. Ia mengulangnya dalam gerakan lambat di
benaknya. Membayangkan gadis ini menyebut namanya dengan penuh cinta.
“Kau yang memayungi aku dan meletakkan
tisu di sampingku, kan?” Nadira memastikan ingatannya. Dan ia tersenyum saat
melihat Nino menganggukkan kepalanya.
Nino ingin bertanya mengenai banyak hal
kepada Nadira. Agar ia bisa terus mendengar suara gadis ini. Tapi ia
mengurungkan niatnya dan malah menyesap kembali kopinya. Nadira juga mengikuti
gerakannya dan menyesap tehnya.
Sejak saat itu, Nino dan Nadira mulai
saling mengenal satu sama lain. Mereka mengunjungi makam bersama-sama. Walaupun
Nadira sudah tidak mengenakan gaun itu lagi. Mereka mengantarkan bunga ke makam
ibu Nino dan juga makam Nizar -yang ternyata merupakan calon suami Nadira. Lelaki itu meninggal di hari
pernikahan mereka. Tertabrak mobil yang melintas di jalan utama gedung
pernikahan. Setidaknya begitulah cerita yang didengar Nino dari Nadira.
Seiring berjalannya waktu, Nadira mulai
membuka hatinya untuk Nino. Lelaki itu memang selalu mampu membuat Nadira
tersenyum bahagia. Tidak pernah memaksa Nadira untuk melupakan Nizar dan
memilih untuk berpaling mencintainya. Perlahan Nino mampu menghapus mimpi buruk
Nadira akan ketakutan untuk ditinggalkan. Ternyata ketulusan hati Nino itu yang
pada akhirnya membuat hati Nadira luluh. Mereka berdua berakhir sebagai
sepasang kekasih.
Nino tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Satu
bulan setelah mereka resmi menjadi sepsang kekasih, Nino melamar Nadira. Tidak
ada keraguan sedikitpun di antara mereka saat itu. Baik Nino maupun Nadira,
sama-sama merasa yakin dengan cinta mereka. Nino merasa bahwa Nadira adalah
gadis yang akan menemaninya seumur hidupnya. Hingga hanya maut yang mampu
memisahkan mereka.
Sebuah ketukan di pintu menyadarkan Nino
dari perjalanan ingatannya ke masa lalu. Pintu terbuka dan tampaklah tiga orang
lelaki berpakaian resmi masuk ke ruangan itu. Mereka adalah sahabat baik Nino
yang ikut berbahagia di hari bahagianya ini.
“Hei, calon pengantin baru,” salah seorang
dari mereka menyapa penuh suka cita.
Nino menyambut mereka dengan baik. Lalu
mulai mengucapkan selamat karena salah satu dari mereka akan segera melepas
masa lajang. Kehidupan yang baru sudah menanti Nino di balik gerbang
pernikahan.
***
Ini adalah hari bahagia bagi Nadira. Sebentar
lagi ia akan resmi menjadi istri dari seorang lelaki bernama Nino. Tidak pernah
sekali pun ia membayangkan bisa menerima lelaki selain Nizar di hatinya. Bahkan
sampai saat ini sosok Nizar masih tersimpan di sudut hatinya. Tidak pernah bisa
terhapus sempurna.
Nadira mematut cermin besar di ruangan itu
yang menampilkan sosoknya secara utuh. Ia menatap penuh senyuman ketika melihat
gaun putih yang melekat pas di tubuhnya. Gaun yang ia kenakan hari ini berbeda
dengan gaun yang pernah dipilhkan Nizar untuknya. Gaun bermodel cathedral length train ini ia pilih
bersama Nino. Potongannya sangat pas di tubuh semampai Nadira. Semua gadis yang
datang ke pernikahannya pasti akan menatap dengan iri.
Sejenak Nadira memejamkan matanya untuk
berdoa. Ia sangat berharap pernikahannya kali ini akan berjalan sebagaimana
mestinya. Semoga kejadian nahas tidak terjadi kembali di hari pernikahannya. Hari
di mana calon pengantin lelakinya harus meninggal dalam kecelakaan yang
mengenaskan.
“Aku
sangat mencintaimu, Nadira. Bahkan kematian pun tidak akan mampu memisahkan
kita.”
Kalimat yang dulu selalu diucapkan Nizar
tengiang di telinga Nadira. Ingatannya melayang ke hari di mana Nizar pergi
meninggalkannya untuk selamanya.
Masih segar dalam ingatan Nadira hari itu.
Sejak pagi hujan turun dengan deras di hari bahagianya. Mungkin itu sebuah
pertanda dari langit. Sebuah mobil yang melintas di jalan utama menghantam keras tubuh lelaki itu. Sebuah
kotak berisi sepasang cincin pernikahan berada dalam genggaman jenazah Nizar.
Kotaknya yang berwarna putih keperakan terciprat darah Nizar dan tampak penyok
akibat benturan. Seketika itu juga, kebahagiaan yang menghiasi hari-hari Nadira
selama ini direnggut begitu saja. Tak bersisa sedikitpun.
Nizar langsung dimakamkan sore itu juga.
Meninggalkan pelaminan hampa di gedung itu. Dan juga rasa hampa luar biasa di
hati Nadira, calon istrinya. Persiapan pesta pernikahan seketika berubah
menjadi upacara pemakaman yang kelabu. Senyuman di wajah Nadira sirna sudah,
berganti dengan air matanya yang terus tumpah.
Apa
Nizar kesepian di bawah sana? Dahi Nadira mengernyit saat pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Gadis
itu berdiri tegar di samping pusara Nizar dengan tanah merah yang masih basah. Hujan
masih terus mengguyur seakan tidak ingin berhenti. Semua pelayat berpakaian
serba hitam sudah meninggalkan area pemakaman, meninggalkan Nadira yang masih
terpaku dengan gaun putih pernikahannya yang kuyup karena air hujan. Anggota
keluarganya sudah memintanya untuk pulang dan istirahat, tapi mereka akhirnya
menyerah karena Nadira bersikeras untuk tinggal lebih lama.
Nadira merasa tidak percaya dan tidak
ingin percaya pada kenyataan yang membentang di hadapannya. ia menggigit
bibirnya dan memeluk tubuhnya sendiri yang mulai gemetar. Matanya memandang
kosong ke arah nisan di makam calon suaminya. Sepasang mata yang sudah lelah
mengalirkan kesedihannya itu kini mulai menangis lagi. Kenapa Nizar begitu tega
meninggalkannya seperti ini? Meninggalkan Nadira bersama kesedihan yang
menghantam hatinya hingga hancur lebur. Sementara jasad Nizar terkubur dan
tidak terjangkau oleh Nadira.
Sejak hari itu, Nadira benar-benar merasa
hidupnya tidak berguna tanpa kehadiran Nizar. Setiap hari, gadis itu datang ke
makam Nizar. Ia mengenakan gaun pernikahannya sambil berharap Nizar akan bangun
atau ia yang akan menyusul lelaki itu menuju kematian secepatnya. Banyak orang
menganggap ia gila. Tapi ia tidak gila. Ia hanya merasa patah hati dan kecewa.
Sampai suatu hari muncul lelaki bernama
Nino. Lelaki itu tidak kalah tampan dengan Nizar. Hanya saja tatapan matanya
sedikit terlihat angkuh. Tapi dengan penuh kesabaran, lelaki itu memayungi
Nadira di samping makam Nizar. Nino juga yang memberinya tisu untuk menghapus
air mata, bahkan mengantarkan gaun pernikahannya yang kotor ke penatu.
Semakin lama, kedekatan Nadira dengan Nino
terasa semakin nyata. Mereka menghabiskan waktu bersama, bercanda, makan siang
bersama, memilih bunga bersama lalu mengantarkannya ke makam ibu Nino dan ke
makam Nizar. Lambat laun, hati Nadira mulai terbuka untuk Nino. Secercah
kebahagiaan terbit dalam hatinya. Hingga tanpa sadar ia sudah tidak lagi
mengunjungi makam Nizar setiap hari.
Benar juga. Kapan terakhir kali Nadira
mengunjungi makam Nizar?
Dahi gadis itu tampak mengernyit karena
berpikir keras. Bukankah sekitar satu bulan yang lalu? Setelah itu, ia sudah
tidak lagi berkunjung karena sibuk dengan semua persiapan pernikahan. Astaga- perasaan bersalah menggayuti hati Nadira.
Bagaimana mungkin ia setega itu terhadap Nizar yang dicintainya? Ia harus
berkunjung ke makam Nizar sekarang. Sebelum pernikahan ini dimulai. Setidaknya,
Nadira ingin mengucapkan salam perpisahan kepada kekasihnya itu.
Mata Nadira melirik penata rias yang
tampak sibuk membereskan alat make-up yang
tadi digunakan untuk merias wajahnya. Begitu wanita itu tidak memperhatikannya,
Nadira bergegas menyelinap keluar kamar. Sambil mengangkat sedikit gaunnya yang
panjang, gadis itu berlari keluar gedung pernikahannya melalui pintu belakang.
Ia berencana pergi sebentar lalu kembali sebelum ada yang menyadarinya.
Sehingga acara pernikahan ini akan berlangsung dengan lancar.
Tapi rencana tinggal rencana. Saat Nadira
melangkahkan kaki menyeberangi jalan raya di depan gerbang utama, sebuah mobil
melaju kencang dan menabrak tubuhnya dengan kuat. Tubuh semampai Nadira
terjungkal dan kepalanya menghantam aspal dengan kuat. Darah segar mengalir
dari pelipisnya, membanjiri jalanan bersama dengan air hujan yang mulai turun.
Kegelapan yang nyata merenggut kesadaran Nadira.
“Nadira?”
Nadira mendengar suara lelaki menyebut
namanya. Siapa itu? Ia tidak bisa
melihat apa-apa dalam kegelapan seperti ini. Suara itu terdengar lagi. Nadira
melangkah cepat dengan mengandalkan indra pendengarannya. Setelah melewati
lorong yang sunyi dan gelap itu, Nadira akhirnya tiba di sebuah lorong serba
putih dan penuh cahaya. Ia masih mengenakan gaun pernikahannya. Seorang lelaki
tampan bersetelan serba putih telah menantinya di sana. Lelaki itu tersenyum
lembut lalu mengulurkan tangannya menyambut kedatangan Nadira.
Mata Nadira terbelalak tidak percaya.
Dengan penuh suka cita ia menghambur ke dalam pelukan lelaki yang dirindukannya
itu. “Aku sangat merindukanmu, Nizar.”
“Aku juga sangat merindukanmu, Nadira.”
Nizar mengecup dahi gadisnya. “Bukankah aku selalu mengatakannya? Bahwa
kematian pun tidak akan bisa memisahkan kita.”
Sepasang kekasih yang akhirnya bertemu
kembali itu berjalan bergandengan tangan menuju lorong cahaya yang tak
berujung.
***
Nino terkesiap sangat mendengar bunyi
benturan keras disusul bunyi klakson panjang. Bunyi decit ban yang dihentikan
tiba-tiba itu terasa memekikkan telinga. Semua orang di dalam gedung bergegas
keluar dari gedung untuk melihat apa yang telah terjadi di luar sana. Tidak
terkecuali Nino. Lelaki itu berlari sekuat tenaga. Jantungnya berdebar kencang
sambil terus berharap bahwa apa yang ia takutkan tidak terjadi.
Hujan turun di luar sana. Jantung Nino
terasa diremas kuat dari dalam. Wajahnya pucat pasi seketika saat melihat
pengantinnya tergeletak tak berdaya di atas aspal. Gaun pernikahan yang
dikenakan Nadira kini berubah warna menjadi merah. Nino berlutut dengan hati
yang remuk redam di samping jasad Nadira. Ia merengkuh gadis yang sudah tidak
bernyawa itu ke dalam pelukannya lalu mulai menangis sejadi-jadinya.
Bukankah mereka berdua sudah berjanji
untuk bersama selamanya? Kenapa Nadira harus meninggalkannya di hari pernikahan
mereka? Nino ingin marah. Tapi kepada siapa ia berhak marah? Lelaki itu meraung
pilu karena tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia tidak peduli pada hujan yang
mengguyur tubuhnya hingga kuyup. Juga darah calon istrinya yang mengubah warna
putih jas pernikahannya. Semua ini tidak berarti apa-apa tanpa Nadira di
sisinya.
Hari ini, untuk pertama kalinya Nino
menangis di hadapan banyak orang. Air matanya mengalir karena menangisi
pengantinnya yang pergi menghancurkan hatinya, menenggelamkan lelaki itu dalam
gelombang mimpi buruk yang nyata.
Nino sadar bahwa ini bukanlah mimpi buruk. ini adalah kenyataan pahit yang harus ia hadapi. Sekuat apapun ia berusaha, Nadira tidak akan pernah bisa kembali.
TAMAT
Cerita sebelum Nadira bertemu dengan Nino bisa dibaca di sini. Ditunggu kujungan dan komentarnya :D
Hidup ini sudah menyedihkan, kenapa mas Nino harus merasakannya juga :')
BalasHapusKarena Mas Nino adalah lelaki yang kuat :')
Hapus