Senin, 05 Januari 2015

Nightmare


Nino berdiri tegap di hadapan cermin segi empat yang memantulkan bayangannya. Setelan jas berwarna putih melekat pas di tubuh atletisnya. Senyuman bahagia tidak henti-hentinya menghiasi bibirnya. Sementara organ dalam dada kirinya terus berdetak dengan cepat.

Apa lagi yang bisa diharapkan Nino? Seluruh kebahagiaan dari penjuru dunia sedang berkumpul penuh dalam hati lelaki itu. Kurang dari satu jam lagi, ia akan resmi menjadi suami dari gadis pujaannya. Gadis yang melengkapi hidupnya dan menjadikannya sempurna. Bidadari yang dikirimkan Tuhan hanya untuknya. Gadis bernama Nadira yang selalu menghiasi mimpi-mimpi indahnya.

Dua setengah tahun yang lalu, ibu Nino meninggal dunia karena penyakit yang dideritanya. Hari yang terasa bagaikan mimpi buruk bagi Nino. Walaupun pemakaman sudah usai dan semua orang sudah meninggalkan area pemakaman, tapi Nino masih terdiam di samping makam ibunya. Berbisik dalam hatinya. Memohon maaf atas segala hal yang belum sempat ia lakukan untuk ibunya. Menyesali semua perlakuan yang mungkin menyakiti hati wanita yang sudah melahirkannya dua puluh enam tahun yang lalu itu.

Sebuah isakan terdengar di area pemakaman yang sunyi itu. Kepala Nino bergerak begitu saja mencari sumber suara. Ia bisa memastikan bahwa itu bukanlah suara isakannya. Nino memang sangat menjaga citranya sebagai lelaki jantan. Bagaimanapun rasa sedih yang hinggap di hatinya, ia tidak akan mungkin menangis di tempat umum.

Nino terkesiap saat akhirnya menemukan dari mana asal isakan itu.

Seorang gadis tampak berdiri membelakangi Nino. Gadis itu berdiri di samping pusara seseorang yang letaknya berdekatan dengan sebatang pohon yang rindang. Tentu saja itu bukanlah hal yang aneh. Tapi saat melihat penampilan gadis itu membuat benak Nino kembali bertanya-tanya.  

Rambut gadis itu berantakan seperti tidak pernah mengenal sisir selama bertahun-tahun. Pakaian yang ia kenakan berwarna putih dengan noda tanah di sana-sini. Tapi itu bukanlah pakaian putih biasa, itu adalah gaun pernikahan dengan pita satin hitam melingkar cantik di pinggang gadis itu.

Apa aku tidak salah lihat? Nino mengerjapkan matanya berkali-kali untuk memastikan bahwa yang dilihatnya ini bukanlah mimpi. Atau jangan-jangan...

Bodoh. Nino meneriaki dirinya sendiri. Mana mungkin ada hantu gentayangan di siang hari seperti ini. Lagi pula sejak kapan ia punya waktu untuk peduli pada urusan orang yang tidak ada hubungan dengan hidupnya. Nino kembali mengalihkan pandangannya ke nisan ibunya lalu membelainya dengan lembut seolah sedang membelai kepala ibunya.
“Maafkan Nino, Ma,” gumam Nino dengan air mata tertahan gengsi.

Satu minggu berlalu sejak meninggalnya ibu Nino. Selama itu, setiap hari ia datang ke pusara ibunya. Berdoa, menaburkan bunga, dan menyiramkan air ke tanah yang kini menjadi tempat ibunya bernaung. Selama satu minggu itu juga setiap hari Nino melihat gadis dengan gaun pengantin itu. Gadis itu tetap setia menunggu
entah apa yang ditunggunya di satu pusara yang sama. 

Nino selalu berusaha untuk tidak peduli. Walaupun jauh di dalam hati ia merasa penasaran pada apa yang dipikirkan gadis itu. Apa gadis itu tidak bosan? Setiap hari datang dengan mengenakan pakaian seperti itu dan membuatnya tampak begitu menyedihkan. Bagaimanapun, gaun pernikahan sama sekali tidak cocok dikenakan saat mengunjungi sebuah makam.

Hingga tiba hari di mana hujan turun sangat deras. Nino menatap nanar ke arah gadis itu dari bawah payung hitamnya. Saat ini gadis itu tengah duduk dan merebahkan kepalanya berbantalkan gundukan tanah makam yang ia datangi setiap hari. Gadis itu bergeming seolah tidak peduli pada hujan yang mengguyurnya. Air hujan turun membasahi rambut dan gaun yang dikenakannya.

Entah dirasuki setan mana yang membuat Nino melangkahkan kakinya mendekat. Tangannya bergerak untuk memayungi gadis itu dan membiarkan hujan mengguyur dirinya sendiri. Tapi gadis itu tetap diam seperti patung. Tidak menoleh sedikitpun walau untuk sekedar melihat orang yang memayunginya. Seakan di dunia ini hanya ada dirinya dan pusara ini.
 
Nino baru pergi setelah hujan berhenti. Sambil terus merutuk dalam hati atas keputusan paling bodoh yang pernah ia buat. Harusnya ia tidak perlu peduli pada gadis seperti itu. Menolehpun tidak, apalagi berucap terima kasih. Sialnya lagi, Nino harus terserang flu selama hampir dua minggu. Benar-benar tindakan sok gagah dan bodoh!

Tanpa terasa tiga bulan sudah berlalu sejak kematian ibunya. Nino sudah tidak lagi mengunjungi makam ibunya setiap hari. Hanya beberapa kali dalam seminggu tergantung dari kesibukan pekerjaannya. Dan tentu saja gadis itu masih di sana. Tampak seperti orang gila yang bodoh dan menyedihkan.

Nino mendengar gadis itu merintih pilu. Kaki lelaki itu melangkah mendekat lalu meletakkan sekotak tisu di samping gadis itu kemudian pergi. Tisu yang pada akhirnya dibeli Nino setelah perdebatan panjang antara alam bawah sadar dan akal sehatnya. Ia mengakui bahwa bayangan tentang gadis malang yang terus menangis di area pemakaman itu membuatnya sedikit melakukan tindakan bodoh.

Entah sudah berapa bulan gadis itu terus mendatangi makam yang sama. Pernahkah gadis itu berpikir bahwa orang yang sudah meninggal tidak mungkin hidup kembali? Nino mengernyitkan keningnya mencoba memahami cara berpikir gadis itu.

Hujan kembali turun hari ini. Sama seperti sebelumnya, gadis itu tetap tidak peduli pada hujan yang turun dan membasahi tanpa memilih. Perasaan iba yang bergayut di hati Nino membuatnya mendekat ke arah gadis itu. Tentu saja ia tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi untuk kedua kalinya. Lelaki itu lebih memilih untuk melakukan hal bodoh lainnya.

Nino duduk bersimpuh di sisi gadis itu dan memayungi gadis itu dan tentu saja dirinya sendiri. Perlahan ia mengetuk bahu gadis itu dengan telunjuknya. Gadis itu mengangkat kepalanya lalu menoleh. Matanya menatap Nino dengan tatapan yang kosong. Seolah jiwanya sudah direnggut paksa.

“Hujan turun sangat deras.” Nino mencoba memulai percakapan. “Kau tidak kedinginan?”

Nino sudah mempersiapkan diri untuk penolakan. Tapi ia salah. Gadis itu memberi tanggapan walaupun hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali merebahkannya ke atas tanah.

Nino melirik ke arah nisan makam ini untuk membaca nama yang tertera di sana. Ia menelan ludah sebelum berkata, “Nizar bisa sedih jika kau terus diam di bawah hujan deras.”

Gadis itu kembali menoleh kepada Nino. Kali ini ada sedikit -hanya sedikit- binar bahagia di matanya. Mungkin karena Nino menyebutkan nama seseorang yang terkubur di bawah sana.

“Kau benar.” Gadis itu berkata dengan suara serak. “Nizar pernah berkata bahwa aku bisa sakit jika diguyur hujan deras.”

Nino tersenyum menatap gadis itu. “Jadi, apa kau mau menerima tawaranku untuk berteduh? Aku rasa Nizar tidak akan marah jika kau pergi sebentar.”

Gadis itu diam. Ia menggigit bibirnya karena ragu pada tawaran dari lelaki asing di sampingnya.

“Setelah hujan reda, aku akan mengantarmu kembali ke sini,” Nino menambahkan saat melihat keraguan dari mata gadis itu. “Ayolah. Demi Nizar.”

Binar bahagia di mata gadis itu semakin jelas. Kemudian ia menganggukkan kepalanya dan menerima uluran tangan lelaki asing itu.

Nino menuntun gadis itu menuju mobilnya yang ia parkir di dekat area pemakaman. Sambil meyakinkan diri bahwa ia tidak akan pernah menyesali keputusannya kali ini, Nino menginjak pedal gas. Mobilnya melaju meninggalkan pemakaman menuju apartemennya.

Begitu tiba di lokasi apartemennya, mereka langsung disambut banyak pasang mata yang memandang heran. Tapi Nino berusaha untuk tidak peduli dan meyakinkan diri bahwa gadis ini juga tidak terganggu dengan hal itu. Mereka terus melangkah dan memasuki lift.

Nino membuka pintu apartemen dan menyalakan lampu. Ia mempersilakan gadis itu masuk ke dalam apartemennya yang didominasi warna abu-abu terang. Apartemennya memang cukup luas dan nyaman. Walaupun perabotnya hanya seperlunya saja, seperti apartemen lelaki pada umumnya.

“Ini kamarku,” kata Nino sambil menuntun gadis itu ke sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka. Sebuah tempat tidur besar dengan selimut warna abu-abu ada di kamar itu. 
“Kau bisa mengenakan ini.” Nino mengulurkan sebuah kaus dan celana panjang miliknya kepada gadis itu. “Sementara kau mandi, aku akan mengantarkan gaunmu ke penatu.”

Gadis itu mengerucutkan bibirnya sedikit seperti tidak rela. Tapi Nino sudah tahu apa yang harus dikatakannya agar gadis itu mau merelakan gaunnya dicuci.

“Nizar akan lebih suka dengan gadis yang berpenampilan bersih, kau tahu?” Sekali lagi Nino menyebut nama orang yang tidak ia kenal itu. Tapi mampu membuat gadis itu menganggukkan kepalanya menuruti saran Nino.

Nino mengantar gaun putih yang penuh noda tanah itu ke penatu yang terletak di lantai satu gedung apartemen ini. Begitu ia kembali, gadis itu belum selesai mandi. Nino tertawa kecil. Tentu saja gadis itu memerlukan waktu yang lama karena penampilannya benar-benar... berantakan. Noda tanah menempel di gaun dan wajahnya. Rambutnya awut-awutan. Kulitnya pucat. Matanya merah dengan jejak air mata di pipinya.

Sambil menunggu gadis itu selesai mandi, Nino duduk di meja makannya. Perlahan ia menyesap secangkir kopi yang baru diseduhnya. Dan hampir saja Nino tersedak kopi panasnya saat ia melihat gadis itu keluar dari kamarnya. Lelaki  itu melongo. Gerakan tangannya terhenti di udara.

Gadis itu jauh berbeda dengan yang Nino lihat sebelumnya. Wangi sabun menguar di udara saat gadis itu berjalan ke arahnya. Rambut panjangnya basah dan menyebarkan wangi sampo yang biasa digunakan Nino. Kulitnya yang putih sudah bersih dari noda tanah. Gadis itu menggerakkan matanya dengan gugup karena ditatap secara intens oleh lelaki yang masih asing baginya.

Nino tersadar dari lamunannya saat gadis itu duduk di sampingnya. Dengan cepat lelaki itu mengalihkan pandangannya ke arah lain lalu meletakkan cangkir kopi yang digenggamnya ke atas meja.

“Kau mau kopi atau teh?” tanya Nino datar sambil berusaha menutupi rasa malunya karena sudah bertindak bodoh.

“Teh,” jawab gadis itu sambil menyelipkan rambutnya yang menjuntai ke balik telinganya.

Suaranya bahkan terdengar lebih merdu dan tidak lagi serak seperti sebelumnya. Nino berpindah ke meja dapurnya dan menyeduh teh untuk tamunya. Begitu selesai, ia kembali duduk di samping gadis itu.

Gadis itu menyambut baik secangkir teh yang disodorkan Nino kepadanya lalu berujar, “Terima kasih.”

Tanpa berkedip, Nino memperhatikan saat bibir tipis gadis itu menyentuh pinggir cangkir dan menyesap teh secara perlahan. Nino menelan ludah. Bibir itu tampak begitu menggoda. Ia jadi membayangkan bagaimana rasanya berciuman dengan gadis secantik ini. Sebelum pikirannya melayang lebih jauh, lelaki itu menekan keningnya dengan jari telunjuk. Mana mungkin ia berciuman dengan gadis yang bahkan tidak ia ketahui namanya.

“Namaku Nadira,” kata gadis itu tiba-tiba seperti bisa membaca pikiran Nino. “Namamu siapa?”

Nino menahan napas saat mendengar gadis itu berbicara. Entah kenapa rasanya ia ingin selalu mendengar suara gadis bernama Nadira ini. “Namaku Nino.”

Nadira tersenyum lalu berkata, “Terima kasih, Nino.”

Nino memperhatikan setiap gerakan bibir Nadira saat mengucapkan namanya. Ia mengulangnya dalam gerakan lambat di benaknya. Membayangkan gadis ini menyebut namanya dengan penuh cinta.

“Kau yang memayungi aku dan meletakkan tisu di sampingku, kan?” Nadira memastikan ingatannya. Dan ia tersenyum saat melihat Nino menganggukkan kepalanya.

Nino ingin bertanya mengenai banyak hal kepada Nadira. Agar ia bisa terus mendengar suara gadis ini. Tapi ia mengurungkan niatnya dan malah menyesap kembali kopinya. Nadira juga mengikuti gerakannya dan menyesap tehnya.

Sejak saat itu, Nino dan Nadira mulai saling mengenal satu sama lain. Mereka mengunjungi makam bersama-sama. Walaupun Nadira sudah tidak mengenakan gaun itu lagi. Mereka mengantarkan bunga ke makam ibu Nino dan juga makam Nizar -yang ternyata merupakan calon suami Nadira. Lelaki itu meninggal di hari pernikahan mereka. Tertabrak mobil yang melintas di jalan utama gedung pernikahan. Setidaknya begitulah cerita yang didengar Nino dari Nadira.

Seiring berjalannya waktu, Nadira mulai membuka hatinya untuk Nino. Lelaki itu memang selalu mampu membuat Nadira tersenyum bahagia. Tidak pernah memaksa Nadira untuk melupakan Nizar dan memilih untuk berpaling mencintainya. Perlahan Nino mampu menghapus mimpi buruk Nadira akan ketakutan untuk ditinggalkan. Ternyata ketulusan hati Nino itu yang pada akhirnya membuat hati Nadira luluh. Mereka berdua berakhir sebagai sepasang kekasih.

Nino tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Satu bulan setelah mereka resmi menjadi sepsang kekasih, Nino melamar Nadira. Tidak ada keraguan sedikitpun di antara mereka saat itu. Baik Nino maupun Nadira, sama-sama merasa yakin dengan cinta mereka. Nino merasa bahwa Nadira adalah gadis yang akan menemaninya seumur hidupnya. Hingga hanya maut yang mampu memisahkan mereka. 
 
Sebuah ketukan di pintu menyadarkan Nino dari perjalanan ingatannya ke masa lalu. Pintu terbuka dan tampaklah tiga orang lelaki berpakaian resmi masuk ke ruangan itu. Mereka adalah sahabat baik Nino yang ikut berbahagia di hari bahagianya ini.

“Hei, calon pengantin baru,” salah seorang dari mereka menyapa penuh suka cita.

Nino menyambut mereka dengan baik. Lalu mulai mengucapkan selamat karena salah satu dari mereka akan segera melepas masa lajang. Kehidupan yang baru sudah menanti Nino di balik gerbang pernikahan.

***

Ini adalah hari bahagia bagi Nadira. Sebentar lagi ia akan resmi menjadi istri dari seorang lelaki bernama Nino. Tidak pernah sekali pun ia membayangkan bisa menerima lelaki selain Nizar di hatinya. Bahkan sampai saat ini sosok Nizar masih tersimpan di sudut hatinya. Tidak pernah bisa terhapus sempurna.

Nadira mematut cermin besar di ruangan itu yang menampilkan sosoknya secara utuh. Ia menatap penuh senyuman ketika melihat gaun putih yang melekat pas di tubuhnya. Gaun yang ia kenakan hari ini berbeda dengan gaun yang pernah dipilhkan Nizar untuknya. Gaun bermodel cathedral length train ini ia pilih bersama Nino. Potongannya sangat pas di tubuh semampai Nadira. Semua gadis yang datang ke pernikahannya pasti akan menatap dengan iri.

Sejenak Nadira memejamkan matanya untuk berdoa. Ia sangat berharap pernikahannya kali ini akan berjalan sebagaimana mestinya. Semoga kejadian nahas tidak terjadi kembali di hari pernikahannya. Hari di mana calon pengantin lelakinya harus meninggal dalam kecelakaan yang mengenaskan.

“Aku sangat mencintaimu, Nadira. Bahkan kematian pun tidak akan mampu memisahkan kita.”

Kalimat yang dulu selalu diucapkan Nizar tengiang di telinga Nadira. Ingatannya melayang ke hari di mana Nizar pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Masih segar dalam ingatan Nadira hari itu. Sejak pagi hujan turun dengan deras di hari bahagianya. Mungkin itu sebuah pertanda dari langit. Sebuah mobil yang melintas di jalan utama  menghantam keras tubuh lelaki itu. Sebuah kotak berisi sepasang cincin pernikahan berada dalam genggaman jenazah Nizar. Kotaknya yang berwarna putih keperakan terciprat darah Nizar dan tampak penyok akibat benturan. Seketika itu juga, kebahagiaan yang menghiasi hari-hari Nadira selama ini direnggut begitu saja. Tak bersisa sedikitpun.

Nizar langsung dimakamkan sore itu juga. Meninggalkan pelaminan hampa di gedung itu. Dan juga rasa hampa luar biasa di hati Nadira, calon istrinya. Persiapan pesta pernikahan seketika berubah menjadi upacara pemakaman yang kelabu. Senyuman di wajah Nadira sirna sudah, berganti dengan air matanya yang terus tumpah.

Apa Nizar kesepian di bawah sana? Dahi Nadira mengernyit saat pertanyaan itu muncul dalam benaknya. Gadis itu berdiri tegar di samping pusara Nizar dengan tanah merah yang masih basah. Hujan masih terus mengguyur seakan tidak ingin berhenti. Semua pelayat berpakaian serba hitam sudah meninggalkan area pemakaman, meninggalkan Nadira yang masih terpaku dengan gaun putih pernikahannya yang kuyup karena air hujan. Anggota keluarganya sudah memintanya untuk pulang dan istirahat, tapi mereka akhirnya menyerah karena Nadira bersikeras untuk tinggal lebih lama.

Nadira merasa tidak percaya dan tidak ingin percaya pada kenyataan yang membentang di hadapannya. ia menggigit bibirnya dan memeluk tubuhnya sendiri yang mulai gemetar. Matanya memandang kosong ke arah nisan di makam calon suaminya. Sepasang mata yang sudah lelah mengalirkan kesedihannya itu kini mulai menangis lagi. Kenapa Nizar begitu tega meninggalkannya seperti ini? Meninggalkan Nadira bersama kesedihan yang menghantam hatinya hingga hancur lebur. Sementara jasad Nizar terkubur dan tidak terjangkau oleh Nadira.

Sejak hari itu, Nadira benar-benar merasa hidupnya tidak berguna tanpa kehadiran Nizar. Setiap hari, gadis itu datang ke makam Nizar. Ia mengenakan gaun pernikahannya sambil berharap Nizar akan bangun atau ia yang akan menyusul lelaki itu menuju kematian secepatnya. Banyak orang menganggap ia gila. Tapi ia tidak gila. Ia hanya merasa patah hati dan kecewa.

Sampai suatu hari muncul lelaki bernama Nino. Lelaki itu tidak kalah tampan dengan Nizar. Hanya saja tatapan matanya sedikit terlihat angkuh. Tapi dengan penuh kesabaran, lelaki itu memayungi Nadira di samping makam Nizar. Nino juga yang memberinya tisu untuk menghapus air mata, bahkan mengantarkan gaun pernikahannya yang kotor ke penatu.

Semakin lama, kedekatan Nadira dengan Nino terasa semakin nyata. Mereka menghabiskan waktu bersama, bercanda, makan siang bersama, memilih bunga bersama lalu mengantarkannya ke makam ibu Nino dan ke makam Nizar. Lambat laun, hati Nadira mulai terbuka untuk Nino. Secercah kebahagiaan terbit dalam hatinya. Hingga tanpa sadar ia sudah tidak lagi mengunjungi makam Nizar setiap hari.

Benar juga. Kapan terakhir kali Nadira mengunjungi makam Nizar?

Dahi gadis itu tampak mengernyit karena berpikir keras. Bukankah sekitar satu bulan yang lalu? Setelah itu, ia sudah tidak lagi berkunjung karena sibuk dengan semua persiapan pernikahan. Astaga- perasaan bersalah menggayuti hati Nadira. Bagaimana mungkin ia setega itu terhadap Nizar yang dicintainya? Ia harus berkunjung ke makam Nizar sekarang. Sebelum pernikahan ini dimulai. Setidaknya, Nadira ingin mengucapkan salam perpisahan kepada kekasihnya itu.

Mata Nadira melirik penata rias yang tampak sibuk membereskan alat make-up yang tadi digunakan untuk merias wajahnya. Begitu wanita itu tidak memperhatikannya, Nadira bergegas menyelinap keluar kamar. Sambil mengangkat sedikit gaunnya yang panjang, gadis itu berlari keluar gedung pernikahannya melalui pintu belakang. Ia berencana pergi sebentar lalu kembali sebelum ada yang menyadarinya. Sehingga acara pernikahan ini akan berlangsung dengan lancar.

Tapi rencana tinggal rencana. Saat Nadira melangkahkan kaki menyeberangi jalan raya di depan gerbang utama, sebuah mobil melaju kencang dan menabrak tubuhnya dengan kuat. Tubuh semampai Nadira terjungkal dan kepalanya menghantam aspal dengan kuat. Darah segar mengalir dari pelipisnya, membanjiri jalanan bersama dengan air hujan yang mulai turun. Kegelapan yang nyata merenggut kesadaran Nadira.

“Nadira?”

Nadira mendengar suara lelaki menyebut namanya. Siapa itu? Ia tidak bisa melihat apa-apa dalam kegelapan seperti ini. Suara itu terdengar lagi. Nadira melangkah cepat dengan mengandalkan indra pendengarannya. Setelah melewati lorong yang sunyi dan gelap itu, Nadira akhirnya tiba di sebuah lorong serba putih dan penuh cahaya. Ia masih mengenakan gaun pernikahannya. Seorang lelaki tampan bersetelan serba putih telah menantinya di sana. Lelaki itu tersenyum lembut lalu mengulurkan tangannya menyambut kedatangan Nadira.

Mata Nadira terbelalak tidak percaya. Dengan penuh suka cita ia menghambur ke dalam pelukan lelaki yang dirindukannya itu. “Aku sangat merindukanmu, Nizar.”

“Aku juga sangat merindukanmu, Nadira.” Nizar mengecup dahi gadisnya. “Bukankah aku selalu mengatakannya? Bahwa kematian pun tidak akan bisa memisahkan kita.”
Sepasang kekasih yang akhirnya bertemu kembali itu berjalan bergandengan tangan menuju lorong cahaya yang tak berujung.

***

Nino terkesiap sangat mendengar bunyi benturan keras disusul bunyi klakson panjang. Bunyi decit ban yang dihentikan tiba-tiba itu terasa memekikkan telinga. Semua orang di dalam gedung bergegas keluar dari gedung untuk melihat apa yang telah terjadi di luar sana. Tidak terkecuali Nino. Lelaki itu berlari sekuat tenaga. Jantungnya berdebar kencang sambil terus berharap bahwa apa yang ia takutkan tidak terjadi.

Hujan turun di luar sana. Jantung Nino terasa diremas kuat dari dalam. Wajahnya pucat pasi seketika saat melihat pengantinnya tergeletak tak berdaya di atas aspal. Gaun pernikahan yang dikenakan Nadira kini berubah warna menjadi merah. Nino berlutut dengan hati yang remuk redam di samping jasad Nadira. Ia merengkuh gadis yang sudah tidak bernyawa itu ke dalam pelukannya lalu mulai menangis sejadi-jadinya.

Bukankah mereka berdua sudah berjanji untuk bersama selamanya? Kenapa Nadira harus meninggalkannya di hari pernikahan mereka? Nino ingin marah. Tapi kepada siapa ia berhak marah? Lelaki itu meraung pilu karena tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia tidak peduli pada hujan yang mengguyur tubuhnya hingga kuyup. Juga darah calon istrinya yang mengubah warna putih jas pernikahannya. Semua ini tidak berarti apa-apa tanpa Nadira di sisinya.

Hari ini, untuk pertama kalinya Nino menangis di hadapan banyak orang. Air matanya mengalir karena menangisi pengantinnya yang pergi menghancurkan hatinya, menenggelamkan lelaki itu dalam gelombang mimpi buruk yang nyata.

Nino sadar bahwa ini bukanlah mimpi buruk. ini adalah kenyataan pahit yang harus ia hadapi. Sekuat apapun ia berusaha, Nadira tidak akan pernah bisa kembali.


TAMAT


Cerita sebelum Nadira bertemu dengan Nino bisa dibaca di sini. Ditunggu kujungan dan komentarnya :D

2 komentar:

  1. Hidup ini sudah menyedihkan, kenapa mas Nino harus merasakannya juga :')

    BalasHapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D