Byuuur!
Segelas penuh air ditumpahkan begitu saja
ke atas kepala Aurel. Seorang gadis yang baru saja menyiramkan air itu
menatapnya dengan marah. Sangat marah. Bahkan api kemarahan seakan membakar kepala
gadis itu hingga membara.
“Dasar perempuan murahan! Berani-beraninya
kau menggoda kekasih orang!”
Tangan gadis itu terangkat hendak
melayangkan sebuah tamparan keras ke pipi Aurel. Sebagai luapan emosi akibat
perlakuan Aurel yang sudah merebut lelaki yang dicintainya. Aurel menghadapi
hal itu dengan tenang. Ia memahami bahwa seorang perempuan yang tersakiti pasti
akan menyakiti lawannya. Mungkin mereka ingin agar lawannya juga merasakan
sakit yang mereka rasakan.
Aurel memejamkan matanya bersiap menerima
tamparan itu.
Tapi tidak ada telapak tangan manapun yang
mendarat di pipi Aurel, membuat gadis itu sedikit bingung sekaligus lega.
Beberapa detik Aurel menunggu hingga ia memutuskan untuk membuka matanya
perlahan. Saat matanya terbuka, ia mendapati tangan lelaki yang beberapa saat
lalu menggenggam jemarinya dengan mesra kini sedang mencengkram tangan gadis
yang menyiramnya dengan segelas air. Lelaki itu tampak setengah mati
menenangkan perempuan yang sedang mengamuk itu.
“Diam kau, brengsek! Dasar tukang
selingkuh! Kau sama buruknya dengan perempuan murahan ini!” Gadis itu tampaknya
belum bisa meredam amarahnya. Ia masih terus mengumpat sambil meronta ingin
melepaskan tangannya dari cengkraman kekasihnya yang brengsek. “Lebih baik
kalian berdua pergi ke neraka!”
Aurel hanya mampu menerima umpatan yang
ditujukan untuknya itu. Tidak sedikitpun ia bermaksud membantah ataupun
membalas perkataan itu. Aurel tahu bahwa dirinya yang bersalah. Selama menjalin
hubungan dengan lelaki itu, Aurel memang tidak pernah menanyakan apakah lelaki
itu sudah mempunyai seorang kekasih. Lagi pula untuk apa? Aurel jatuh cinta dan
ia percaya kepada lelaki itu.
“Maaf, Aurel. Aku akan menghubungimu
secepatnya,” gumam lelaki itu sambil sedikit menyeret paksa gadis yang masih
terus meronta itu untuk meninggalkan tempat ini.
Aurel menatap ujung rambutnya yang
meneteskan air, menyadari banyak mata terarah kepadanya di pusat perbelanjaan
itu. Tentu saja orang-orang itu pasti tertarik dengan kejadian dramatis yang
lebih mirip adegan sinetron yang hadir di hadapan mereka. Aurel tidak menyangka
bahwa hal ini akan terjadi padanya. Selama ini lelaki itu memperlakukan Aurel
dengan manis seperti seorang kekasih alih-alih sebagai gadis selingkuhan.
Kaki Aurel melangkah hendak menuju toilet
terdekat. Ia akan mencoba untuk mengeringkan rambutnya menggunakan hand dryer di samping wastafel. Mungkin
akan terlihat memalukan karena banyak orang sudah melihat wajahnya. Tapi untuk
apa malu? Aurel sudah tidak bisa lebih malu lagi setelah apa yang baru saja
dialaminya. Lagipula ia tidak mungkin pulang dalam keadaan basah kuyup begini.
Saat itulah Aurel melihat seorang lelaki yang
dikenalnya berada dalam kerumunan orang yang menontonnya. Sontak ekspresi
canggung tercipta di wajah Aurel. Lelaki itu merupakan senior satu jurusannya
di universitas. Cukup populer karena wajah tampan dan prestasinya yang
gemilang.
“Selamat siang, Kak Alain,” sapa Aurel
dengan kaku sambil hendak langsung melarikan diri.
“Kau tidak bisa pulang dengan basah kuyup seperti
itu, kan?” kata lelaki itu menahan langkah Aurel. “Tempat tinggalku tidak jauh
dari sini. Kau bisa mengeringkan rambutmu di sana.”
***
Mobil yang dikendarai Alain memasuki latar
parkir sebuah flat sederhana. Lelaki itu keluar dari mobil lalu membukakan
pintu untuk Aurel. Mereka berdua menaiki tangga untuk menuju lantai tempat
tinggalnya.
Dalam perjalanan tadi Aurel sempat
membayangkan bahwa tempat tinggal Alain berupa apartemen atau rumah indekos khusus lelaki yang cukup
mewah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa lelaki ini tinggal di sebuah flat
sederhana bertingkat lima.
Klik. Terdengar suara Alain saat memutar kunci
flatnya yang berada di lantai dua. Saat itulah pintu flat tetangga Alain yang
berada tepat di sebelah flatnya terbuka. Seorang gadis cantik dengan rambut
digelung asal-asalan ke atas kepalanya muncul dari balik pintu. Gadis itu
tampak kesulitan mendorong pintunya karena kedua tangan yang penuh dengan
kantong sampah. Dengan sigap Alain mengulurkan tangannya menahan pintu itu agar
tetap terbuka sehingga gadis itu tidak lagi kesulitan.
“Oh— Terima kasih bantuannya, Alain.” Gadis itu
berujar dengan suaranya yang manis.
Alain membantu gadis itu mengangkut keluar
kantung-kantung sampah dan beberapa rim kertas bekas yang diikat tali rafia. Sementara
Aurel hanya memperhatikan tanpa berbuat apa-apa. Alain tampak begitu akrab
dengan gadis itu. Apa mungkin hubungan mereka berdua hanya sekedar tetangga?
Mungkin saja Alain jatuh cinta kepada gadis tetangga yang tampaknya berusia
sedikit lebih tua itu.
Mendadak Aurel jadi ingin mengetahui hal
yang bukan menjadi urusannya. Kejadian yang baru saja dialaminya membuat gadis
itu sedikit khawatir tentang status lelaki yang menolongnya ini. Bagaimana jika
Alain memiliki seorang kekasih atau gadis yang dicintainya?
“Maaf membuatmu menunggu.” Alain menoleh
pada Aurel. Tiba-tiba bersuara dan menyadarkan Aurel dari lamunannya.
“Sekali lagi aku ucapkan terima kasih,
Alain,” ujar gadis itu sambil tersenyum simpul. Entah kenapa sepertinya senyum
itu lebih ditujukan kepada Aurel.
Aurel hanya membalas dengan senyum
canggung sambil menganggukkan kepalanya sedikit. Gadis itu tersenyum sekali
lagi sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam flatnya. Dan sepertinya Aurel
pernah melihat gadis itu sebelumnya. Tapi di mana?
Alain membuka pintu flatnya lalu
menyalakan lampu. Ia mempersilakan Aurel masuk, kemudian menutup kembali pintu
flatnya. Lelaki itu melangkah masuk lalu menghilang ke dalam sebuah ruangan,
meninggalkan Aurel yang masih sibuk melepas sepatunya.
“Maaf. Flatku sedikit berantakan,” ujar
Alain saat menyambut Aurel.
Sebenarnya flat ini tidak berantakan
seperti yang dikatakan Alain. Bahkan kamar Aurel jauh lebih berantakan daripada
ini. Perabot dan barang di sini bisa dibilang sedikit. Hanya seperlunya saja.
“Kamar mandinya di sebelah sini.” Alain
menunjuk sebuah pintu dekat dapur dengan telunjuknya lalu menyodorkan sebuah
kaos, celana santai, dan handuk miliknya kepada Aurel. “Kau bisa mengenakan ini
selama pakaian basahmu dijemur.”
Aurel menerima semua itu dengan kepala
tertunduk. Entah mengapa ia merasa malu saat membayangkan bahwa ia akan
mengenakan pakaian yang biasanya dikenakan Alain. Tapi ternyata sikap canggung
Aurel membuat lelaki itu sedikit salah paham.
“Oh, tenang saja. Aku tidak akan
mengintip,” ujar Alain sambil tertawa.
Aurel mandi dengan cepat dan mengenakan
pakaian yang diberikan oleh Alain. Rambut hitam lurusnya yang basah dibungkus
handuk. Ia berjalan keluar kamar mandi dan mendapati Alain tengah sibuk di
hadapan laptopnya.
“Sedang mengerjakan apa?” tanya Aurel
sambil duduk di samping Alain.
“Skripsiku. Ada beberapa bagian yang harus
direvisi.”
“Apa itu sulit?”
Jemari Alain berhenti mengetik. Ia
menolehkan kepalanya ke arah Aurel, kemudian tertawa. “Tunggu saja sampai kau
merasakan sendiri pahit-manis menghadapi skripsi.”
Aurel memperhatikan cara lelaki itu
tertawa. Ia semakin tidak yakin jika Alain belum memiliki kekasih. Gadis bodoh
mana yang akan menolak seorang lelaki tampan seperti Alain?
“Ini ada hair dryer untukmu mengeringkan rambut. Aku meminjamnya dari gadis sebelah,”
ujar Alain sambil menyodorkannya ke arah Aurel. “Dia juga memberimu sebuah baju
terusan. Katanya, tidak baik gadis secantik dirimu harus terjebak dalam
baju-baju buluk milikku.”
Aurel memperhatikan baju itu. Sebuah
terusan yang cantik berwarna biru langit. Sesaat benak Aurel membayangkan saat
gadis itu mengenakan pakaian ini. Pasti akan sangat cantik.
“Sebenarnya, siapa gadis itu?”
Dahi Alain berkerut samar. “Maksudmu
Adelin? Apa kau tidak mengenalnya?”
Aurel menggelengkan kepalanya. “Apa dia
kekasihmu?”
“Bukan. Tentu saja bukan.” Tawa Alain
pecah saat mendengar pertanyaan Aurel. “Adelin sudah seperti kakak perempuan
untukku. Dia banyak membantu sejak aku pindah ke flat ini.”
Kepala Aurel tertunduk dalam saat
mendengarkan jawaban Alain. Ia merasa malu karena sudah menanyakan hal seperti
itu. Tapi tidak ada salahnya untuk bersikap waspda, kan? Aurel tidak mau
dilabrak dua kali dalam satu hari.
“Kau tidak perlu khawatir. Aku sedang
tidak memiliki kekasih. Pengerjaan skripsi ini cukup menyita waktuku,” lanjut
Alain. “Lagi pula Adelin itu seorang penulis, kau tahu?”
Aurel mengangkat wajahnya. Sepertinya ia ingat
di mana pernah melihat wajah gadis bernama Adelin itu. Mungkinkah di cover belakang sebuah novel yang tadi
malam baru selesai dibacanya?
“Apa dia seorang penulis novel cinta?”
tanya Aurel antusias kemudian menyebutkan beberapa judul novel karya Adelin.
“Ya. Benar. Rupanya kau tahu, ya?”
“Ah— pantas saja aku merasa pernah melihatnya entah di
mana. Ternyata Adelin yang itu. Aku
punya semua karyanya. Cerita yang ditulisnya selalu romantis dan sangat cocok
dibaca oleh gadis sepertiku,” ujar Aurel setengah tertawa sambil berusaha
menutupi wajahnya yang memerah karena malu. Malu karena sudah menduga yang
tidak-tidak.
“Ya. Dan akhirnya, dia menemukan kisah
romantis yang nyata dalam hidupnya.”
Alis Aurel terangkat menunggu Alain
melanjutkan kata-katanya.
“Adelin akan menikah bulan depan dengan
lelaki yang dicintainya.”
“Benarkah?” Mata Aurel terbelalak karena
senang. Ia seakan bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan Adelin. Gadis
manapun pasti akan merasa bahagia jika menikah dengan lelaki yang ditakdirkan
untuknya. “Syukurlah kalau begitu.”
“Apa kau mau ku antar untuk bertemu
dengannya?”
“Sepertinya jangan sekarang. Biarkan dia
melupakan dulu penampilanku yang tadi benar-benar memalukan,” jawab Aurel
sambil tertawa masam. “Aku juga ingin meminta maaf padamu karena sudah melihat
hal yang memalukan tentang diriku.”
“Tidak apa-apa,” balas Alain sambil
tersenyum. “Seharusnya kau lebih berhati-hati agar kejadian seperti tadi tidak
terjadi lagi.”
Aurel menganggukkan kepalanya. “Maka dari
itu aku perlu kepastiaan bahwa tidak memiliki seorang kekasih yang akan
melabrakku juga hari ini karena berada di tempat tinggal kekasihnya.”
Alain kembali tertawa mendengar penjelasan
Aurel. Dan sekali lagi Aurel tersenyum melihat tawa itu.
“Sebelumnya aku tidak pernah menanyakan
hal tersebut kepada seorang lelaki. Aku selalu beranggapan jika seorang lelaki
mendekatiku, itu berarti mereka sedang tidak memiliki seorang kekasih.” Aurel
kembali menundukkan kepalanya. Entah kenapa tiba-tiba lantai flat Alain menjadi
hal yang menarik untuk diamati. “Tapi kejadian tadi benar-benar membuatku mengubah
anggapan itu. Setelah ini aku akan selalu bertanya jika ada lelaki yang mendekatiku.”
Sekali lagi Alain tertawa. Kali ini lelaki
itu menertawakan cara berpikir Aurel yang menurutnya terlalu polos. “Sebaiknya
lain kali, berpacaranlah dengan lelaki yang memperlakukanmu dengan baik.”
Aurel mengangguk lalu menundukkan
kepalanya. Kata-kata yang baru saja diucapkan Alain seakan menyatakan bahwa
Aurel terlalu bodoh dalam memilih pasangan.
“Aku hanya berusaha mencintai sepenuh
hatiku. Dan benar-benar berharap bahwa aku akan bertemu dengan lelaki yang juga
mencintaiku dengan tulus.” Aurel menggaruk kepalanya dengan ujung telunjuknya.
“Tapi ternyata memiliki kisah romantis seperti dalam cerita tidak semudah yang
aku bayangkan.”
Alain terdiam menatap puncak kepala Aurel.
Gadis itu masih tampak begitu kecewa dengan kejadian yang mempermalukannya
tadi. Tapi hebatnya gadis itu sama sekali tidak menangis ataupun menunjukkan
kesedihannya.
“Lalu, apa kau mau mencoba mencintai
lelaki baik... seperti aku misalnya?”
Kepala Aurel terangkat dan matanya menatap
langsung ke dalam mata Alain. Apa maksudnya mencintai? Pikirannya masih terasa
kosong untuk memahami pertanyaan yang dilontarkan lelaki ini.
Detik berikutnya terdengar suara Alain
tertawa terbahak-bahak karena melihat ekspresi bingung Aurel yang tampak lucu
baginya. Apalagi sekarang kening gadis itu tampak semakin berkerut heran,
membuat Alain harus segera berhenti tertawa.
“Aku hanya bercanda. Jangan kau masukkan
ke dalam hati,” ujar Alain seraya mengacak rambut Aurel yang sudah setengah
kering. “Lebih baik sekarang kau keringkan rambutmu, ganti pakaianmu, dan aku
akan mengantarmu pulang.”
Apa?
Bercanda? Kening Aurel
berkerut dan satu alisnya terangkat. Tapi entah mengapa tiba-tiba ia berpikir
bahwa tidak ada salahnya jika dirinya
mencoba untuk mencintai lelaki seperti
Alain.
***
Sebuah mobil meluncur memasuki gerbang
sebuah universitas. Mobil itu berhenti dengan rapi di latar parkir gedung
fakultas hukum. Seorang lelaki turun
lebih dulu dari bangku kemudi diikuti seorang gadis yang turun dari bangku di
sebelahnya.
Lelaki itu tampak tampan dengan kemeja
biru dan celana jeans hitamnya. Ia
menekan tombol pada kunci yang dibukanya hingga terdengar suara bahwa mobilnya
telah terkunci. Lelaki itu jauh lebih tinggi dari gadis di sebelahnya walaupun
pada kenyataannya gadis itu dua tahun lebih tua dari dirinya.
“Kakak mau aku antar ke fakultas?” tanya
lelaki itu sambil tersenyum usil. Ia tahu kakak perempuannya ini tidak suka
diperlakukan manja seperti anak kecil.
Aurel menatap tajam ke arah lelaki di
sampingnya yang sedang tertawa kecil sedikit membuatnya tersinggung. Lelaki
itu bernama Arman yang merupakan adik
kandung Aurel. Dan Arman tampak senang saat berhasil membuat kakaknya kesal
karena diperlakukan seperti anak kecil.
Di usianya yang ke dua puluh tahun, Aurel
memang memiliki tubuh yang kecil. Tidak seperti anggota keluarganya yang
rata-rata bertubuh tinggi. Aurel merupakan gadis pendek dan kurus dengan
mata lebar yang dipayungi bulu mata
lentik. Penampilannya sehari-hari cukup sederhana sehingga membuat ia terlihat
lebih muda dari usianya. Pernah sekali Aurel mencoba berdandan seperti
teman-temannya , tapi hasilnya benar-benar... mengerikan. Ia tampak seperti
anak sekolah yang salah kostum dengan dandanan menor.
Tapi di balik penampilannya yang seperti
itu, Aurel selalu memiliki pemikiran dewasa dalam menghadapi masalah
percintaan. Sebagai bukti, ia berkali-kali memberikan saran yang membantu Arman
mendapatkan kembali cinta dari kekasihnya yang seorang ballerina. Tapi hal yang menyedihkan adalah Aurel belum menemukan
cinta seperti adiknya itu.
“Harusnya aku yang berbaik hati untuk
mengantarmu ke kelas, adik kecil,” balas Aurel tidak mau kalah. “Dasar
mahasiswa baru sok tahu!”
Arman tertawa sambil berkata, “Caramu
menghadapiku sama sekali tidak dewasa, Kak.”
Aurel membuka mulutnya hendak membalas
perkataan adiknya itu. Tapi ia mengurungkan niatnya itu saat belum bisa
menemukan kata-kata yang pas untuk membalas perkataan Arman. Lelaki itu benar.
Ia memang tidak cukup dewasa dalam hal ini.
Tapi tentu saja Aurel tidak mau kalah. Sedetik
kemudian Aurel sudah menemukan kata-kata yang akan membuat Arman tidak
berkutik. “Jika kau terus mengolok-olokku, aku tidak akan mau lagi untuk
mendengarkan curhatmu.”
“Oh— baiklah, Kakakku yang cantik. Aku akan berhenti
mengolok-olokmu,” ujar Arman sambil menggerakkan telunjuknya untuk menggambar
tanda silang di bibirnya. Ia tahu benar bahwa tidak ada orang selain Aurel yang
bersedia mendengarkan curahan hati tentang hubungannya dengan kekasihnya. Saran
dan nasihat yang diberikan kakaknya itu selalu terbukti ampuh menyelesaikan
konflik. Tapi satu hal yang tidak diketahui Arman adalah Aurel sendiri tidak
pernah berhasil menerapkan teori-teori yang dikatakannya dalam hubungan percintaannya
sendiri.
Aurel hanya diam tanpa ekspresi berarti di
wajahnya. Ia ingin terlihat lebih dewasa kali ini. Tapi jauh di balik hatinya,
gadis itu tertawa penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Arman.
“Jam berapa kau selesai kuliah, Kak?”
Aurel terdiam tidak langsung menjawab.
Sebenarnya, hari ini tidak ada jadwal kuliah yang harus ditempuh Aurel. Ia
datang untuk alasan yang berbeda.
“Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan
pulang sendiri nanti,” ujar Aurel sambil tersenyum meyakinkan.
Arman mengangkat sebelah alisnya dan
menatap skeptis ke arah Aurel. Sebenarnya, Arman ingin mengatakan bahwa mereka
harus pulang bersama. Tapi ia mengurungkan niat itu mengingat sifat keras
kepala yang dimiliki kakaknya itu. Lagi pula tidak jarang Aurel tiba-tiba
meneleponnya untuk minta dijemput di suatu tempat padahal beberapa jam
sebelumnya bersikeras menolak tawaran Arman untuk menjemputnya.
“Baiklah.” Arman menghela napasnya. “Lagi
pula nanti sore aku akan menemui Alysa.”
Aurel tersenyum karena Arman tidak
berusaha mendebatnya. “Sampaikan salamku untuk Alysa,” kata Aurel lantas
melangkahkan kakiknya menuju gedung fakultasnya yang tidak jauh dari sana.
***
Bunyi gemerisik angin yang mengembus
dedaunan mengiringi langkah Aurel memasuki gedung fakultasnya. Ia menghampiri
teman-temannya yang sepertinya sedang asyik membahas materi Ujian Tengah
Semester yang sebentar lagi akan mereka tempuh. Aurel ikut bergabung dan mulai
bersuara dalam forum infromal itu.
Lambat laun semakin banyak teman-teman Aurel
yang bergabung. Dan topik yang dibicarakan juga semakin meluas seputar berita
hangat di jurusan mereka. Mulai dari teman seangkatan yang sedang mendekati
mahasiswi baru, dosen killer yang
kabarnya akan menikah bulan depan, ataupun tentang penambahan koleksi buku di
perpustakaan.
Aurel menoleh ke arah perpustakaan
fakultasnya. Dan matanya langsung menemukan sosok lelaki itu dari balik kaca
jendela.
Alain.
Bergegas Aurel berpamitan kepada
teman-temannya dan ia melangkahkan kaki ke perpustakaan. Setelah melakukan
beberapa prosedur sebelum memasuki perpustakaan, Aurel berjalan perlahan
mendekati Alain.
Lelaki itu tampak serius menatap layar
laptop di hadapannya. Terkadang jemarinya akan sibuk mengetik beberapa kata
melalui papan ketik. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak hitam dan putih yang
tampak rapi. Dari samping, wajah Alain tampak tampan dengan hidung mancung dan
bibir tipisnya.
Sengaja Aurel berjalan mengendap-endap mendekati
Alain dengan maksud mengejutkan lelaki itu. Tapi malang, kakinya malah tersangkut
ujung karpet dan membuat tubuh gadis itu hilang keseimbangan. Dengan cepat
Aurel meraih rak buku terdekat untuk berpegangan sebelum ia jatuh berdebam ke
lantai. Perhatian beberapa orang pengunjug perpustakaan jadi terpusat ke arah
Aurel. Mereka menatap kesal karena gadis itu membuat suasana gaduh di
perpustakaan yang seharusnya tenang.
Begitu juga dengan Alain. Lelaki itu juga menatap
ke arah Aurel walaupun bukan dengan tatapan kesal. Aurel seakan bisa melihat
lelaki itu tertawa tanpa suara. Sepertinya usaha gadis itu untuk menahan
tubuhnya agar tidak jatuh tampak sangat lucu di hadapan Alain.
Alain menarik kursi kayu kosong di
sebelahnya lalu menepuknya perlahan sebagai isyarat agar Aurel duduk di sana.
Dengan wajah memerah seperti kepeting rebus, gadis itu melangkah hati-hati dan
duduk di kursi itu. Entah kenapa kejadian memalukan selalu terjadi saat Aurel
bertemu dengan lelaki ini.
“Mau mengerjakan tugas?”
Benar juga. Untuk tujuan apa Aurel ke
perpustakaan? Mulut Aurel ternganga sementara otaknya sibuk memikirkan jawaban
untuk pertanyaan itu.
“Eh— tidak juga. Hanya ingin membaca buku. Aku dengar
koleksi buku di sini semakin beragam,” kata Aurel lalu menelan ludah,
menyembunyikan kebohongannya. “Kau sendiri?”
“Tidak ada selain skripsi. Tapi sekarang
sudah selesai,” kata Alain sambil men-shut
down laptopnya. Kemudian lelaki itu tertawa menutupi kebohongannya.
Sebenarnya masih ada satu bab lagi yang harus direvisi. Tapi kehadiran gadis
ini entah kenapa seakan mampu menarik perhatiannya tanpa dipaksa.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan
sekarang?”
Alain diam dan berpura-pura berpikir
sebelum menjawab. “Sepertinya tidak ada. Mungkin aku akan pulang sekarang.”
“Wah, apa aku boleh ikut?” pinta Aurel
dengan pandangan memohon. “Kebetulan sekali aku membawa semua karya Adelin dan
aku ingin meminta tanda tangannya.”
Bukan kebetulan. Aurel memang sengaja
membawa novel-novel itu dalam tasnya. Dan dalam hati berkali-kali berharap semoga
ia mendapat kesempatan itu.
***
Rinai-rinai hujan turun membasahi tanah.
Bunyinya terdengar begitu merdu saat menghantam genting. Suasana seperti ini sebenarnya
sangat pas jika digunakan untuk meringkuk dalam selimut lalu pergi ke alam
mimpi. Tapi tidak bagi Aurel dan Alain. Mereka berdua duduk bersebelahan di
sofa empuk di flat Alain.
Kaki Aurel dinaikkan ke atas sofa dan
dilipat di depan dada. Tangan Aurel sejak tadi menggenggam novel karya Adelin.
Gadis itu berbaik hati menghadiahkan karya terbarunya yang akan rilis pekan
depan. Lengkap dengan tanda tangannya! Kata Adelin hadiah itu sebagai salam
perpisahan karena ia akan segera pindah ke rumah baru bersama suaminya setelah
menikah.
Aurel memang memegang novel itu dalam
genggamannya, tapi ia sama sekali tidak membacanya. Matanya lebih tertuju pada
sosok Alain yang sedang sibuk mengetik di layar laptopnya. Ingin rasanya Aurel
mengulurkan tangannya dan membelai rambut Alain. Atau mungkin memberi sebuah
kecupan semangat di pipi lelaki itu.
Tapi hal itu tidak mungkin. Bahkan Aurel
bukanlah kekasih Alain. Dan lelaki itu juga sepertinya sedang tidak ingin
menjalin hubungan serius dengan gadis manapun. Alain sendiri yang berkata bahwa
ia ingin fokus mengerjakan skripsinya.
“Apa kau benar sedang membaca novel itu,
Aurel?” Alain bertanya tanpa menoleh ke arah Aurel.
Aurel tergeragap karena mengira lelaki itu
menyadari bahwa sejak tadi Aurel menatapnya diam-diam. “Ya. Tentu saja aku
sedang membaca.”
Alain tertawa. Ia tahu gadis itu sedang
berbohong. “Bahkan dari ekor mata aku bisa melihat novel itu kau genggam terbalik.
Dan sejak tadi kau terus memandang ke arahku. Apa yang sebenarnya kau cari,
gadis kecil?”
Pipi Aurel seketika berubah merah. Kepalanya
bergerak dan melihat huruf-huruf pada novel yang digenggamnya itu tidak terbaca.
Alain benar. Sejak tadi ia menggengam novel itu dalam posisi terbalik. Sebenarnya
Aurel hampir mengatakan kebohongan lagi. Ia ingin beralasan bahwa ia sedang berlatih
membaca terbalik. Tapi ia mengurungkan niat itu saat Alain menoleh kepadanya.
Aurel sadar ia sudah tertangkap basah.
“Aku memang memandangmu sejak tadi. Kau
menyenangkan untuk dilihat.” Takut-takut Aurel mengatakan hal secara
terang-terangan seperti itu. “Lagi pula, lelaki memang terlihat lebih tampan
saat sedang fokus pada pekerjaannya.”
Bibir tipis Alain menyunggingkan senyum manis.
Lalu lelaki itu berkata penuh percaya diri, “Jangan menatapku lebih lama. Nanti
kau jatuh cinta.”
“Tidak apa. Aku tidak keberatan jatuh
cinta kepadamu,” jawab Aurel cepat seakan Alain sudah menantangnya.
“Benarkah?” Alain bertanya sambil menatap
skeptis ke arah Aurel. “Lalu apa kau keberatan jika aku mengecup bibirmu
sekarang?”
Sekali lagi Aurel tergeragap dan pipinya
semakin memerah. Ia tidak bisa langsung menjawab pertanyaan yang begitu
mendadak itu. Aurel mengangkat alisnya seakan menanyakan keseriusan dari Alain.
Tapi lelaki itu malah tergelak lalu
mencubit ujung hidung Aurel. “Jangan kau pikirkan. Aku hanya bercanda. Lagi
pula kau baru saja putus dengan kekasihmu. Mana mungkin aku menciummu begitu
saja. Bisa-bisa kau pikir semua lelaki brengsek dan hanya memanfaatkan
kesempatan untuk menyakiti perempuan.”
Aurel hanya terdiam dan memperhatikan Alain
yang bangkit dari duduknya.
“Hujan sudah berhenti. Aku akan
mengantarmu pulang.”
***
Terdengar suara tepuk tangan membahana
dari dalam aula. Lalu terdengar lagu kebangsaan dan himne universitas yang
tidak asing lagi di telinga Aurel. Para wisudawan menyanyikan lagu-lagu itu
dengan penuh suka cita.
Hari ini adalah acara wisuda Alain. Tadi
Aurel meminta Arman mengantarnya ke universitas sebelum adiknya itu pergi
kencan. Dan Aurel tiba tepat saat acara wisudanya berakhir. Ia ingin menjadi
orang pertama yang mengucapkan selamat kepada lelaki itu. Saat Aurel tengah
sibuk membayangkan ekspresi Alain saat melihatnya nanti, tiba-tiba saja pintu
aula terbuka lebar.
Suara riuh dan tepuk tangan terdengar
membahana. Para wisudawan berduyun-duyun keluar dari aula. Di sekeliling Aurel
tampak ramai para wisudawan dengan pakaian toga hitam mereka sedang berfoto
bersama teman, orang tua, dan keluarga.
Di
mana Alain? Kepala Aurel
celingukan mencari sosok yang dinantikannya. Dengan cepat mata Aurel menemukan
Alain di tengah keramaian. Seolah hanya lelaki itu yang bersinar di antara
orang-orang.
Aurel melangkahkan kakinya cepat untuk menghampiri
Alain. Tiba-tiba seorang lelaki berbadan lebih besar datang dari arah
berlawanan. Lengan lelaki itu menabrak bahu Aurel hingga membuat gadis itu
terhuyung-huyung. Aurel tidak takut merasakan sakit saat terjatuh. Tapi ia
takut menanggung rasa malu jika terjatuh di tengah keramaian seperti ini. Saat
itulah tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menangkap lengan Aurel dan mencegahnya
mempermalukan dirinya sendiri.
Aurel mendongakkan kepalanya dan mendapati
Alain sedang tersenyum manis ke arahnya.
“Perhatikan langkahmu, Aurel.”
Aurel membalas senyuman itu lalu memeluk
Alain. “Selamat atas wisudanya.”
“Terima kasih juga kau sudah datang,”
balas Alain sambil membalas pelukan Aurel.
“Tentu saja aku datang.” Aurel melepaskan
pelukannya. “Aku datang untuk menagih janjimu.”
Janji?
Alain mengernyitkan
keningnya. Janji apa yang dimaksud gadis ini?
Aurel mengerucutkan bibirnya dengan manja
saat melihat ekspresi Alain. “Kau lupa pada janjimu sendiri?”
“Sepertinya... begitu.”
“Kau bilang, kau akan mengabulkan
permintaanku jika aku datang ke acara wisudamu.” Aurel berkata dengan nada
kecewa. Ia menatap sebuah kotak yang dibungkus kertas kado dalam genggamannya.
“Sekarang aku sudah datang bahkan membawa hadiah. Tapi kau malah lupa.”
Seketika sebuah ingatan akan janji itu
muncul di benak Alain. Lelaki itu tertawa saat teringat tapi membuat Aurel jadi
menatapnya dengan heran. Gadis itu tampak tidak sabar menantikan keinginannya
terkabul.
“Kau tidak perlu menunggu hari ini untuk
mendengarnya. Bukankah aku sudah melakukannya berkali-kali setiap hari?” Alain
mendekatkan bibirnya ke telinga Aurel. “Aku mencintaimu, Aurel.”
Satu kalimat itu mampu membuat Aurel
bersemangat. Dalam hati mereka berdua, semakin kuat cinta yang tersemat.
Bisikan cinta itu terdengar menggema di bawah langit biru yang hangat.
TAMAT
Asiknyaaa sibuk skripsi tinggal kasih bintang 3 doang udah wisuda -_-
BalasHapusYa masa' mau diceritain waktu bimbingannya. nungguin dosen pembimbingnya yang akhirnya nggak dateng. pertanyaan dosen pengujinya apa aja. cover skripsinya hard cover apa soft cover :v
Hapus