Senin, 26 Januari 2015

Ashamed




Byuuur!

Segelas penuh air ditumpahkan begitu saja ke atas kepala Aurel. Seorang gadis yang baru saja menyiramkan air itu menatapnya dengan marah. Sangat marah. Bahkan api kemarahan seakan membakar kepala gadis itu hingga membara.

“Dasar perempuan murahan! Berani-beraninya kau menggoda kekasih orang!”

Tangan gadis itu terangkat hendak melayangkan sebuah tamparan keras ke pipi Aurel. Sebagai luapan emosi akibat perlakuan Aurel yang sudah merebut lelaki yang dicintainya. Aurel menghadapi hal itu dengan tenang. Ia memahami bahwa seorang perempuan yang tersakiti pasti akan menyakiti lawannya. Mungkin mereka ingin agar lawannya juga merasakan sakit yang mereka rasakan.

Aurel memejamkan matanya bersiap menerima tamparan itu.

Tapi tidak ada telapak tangan manapun yang mendarat di pipi Aurel, membuat gadis itu sedikit bingung sekaligus lega. Beberapa detik Aurel menunggu hingga ia memutuskan untuk membuka matanya perlahan. Saat matanya terbuka, ia mendapati tangan lelaki yang beberapa saat lalu menggenggam jemarinya dengan mesra kini sedang mencengkram tangan gadis yang menyiramnya dengan segelas air. Lelaki itu tampak setengah mati menenangkan perempuan yang sedang mengamuk itu.

“Diam kau, brengsek! Dasar tukang selingkuh! Kau sama buruknya dengan perempuan murahan ini!” Gadis itu tampaknya belum bisa meredam amarahnya. Ia masih terus mengumpat sambil meronta ingin melepaskan tangannya dari cengkraman kekasihnya yang brengsek. “Lebih baik kalian berdua pergi ke neraka!”

Aurel hanya mampu menerima umpatan yang ditujukan untuknya itu. Tidak sedikitpun ia bermaksud membantah ataupun membalas perkataan itu. Aurel tahu bahwa dirinya yang bersalah. Selama menjalin hubungan dengan lelaki itu, Aurel memang tidak pernah menanyakan apakah lelaki itu sudah mempunyai seorang kekasih. Lagi pula untuk apa? Aurel jatuh cinta dan ia percaya kepada lelaki itu.

“Maaf, Aurel. Aku akan menghubungimu secepatnya,” gumam lelaki itu sambil sedikit menyeret paksa gadis yang masih terus meronta itu untuk meninggalkan tempat ini.

Aurel menatap ujung rambutnya yang meneteskan air, menyadari banyak mata terarah kepadanya di pusat perbelanjaan itu. Tentu saja orang-orang itu pasti tertarik dengan kejadian dramatis yang lebih mirip adegan sinetron yang hadir di hadapan mereka. Aurel tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi padanya. Selama ini lelaki itu memperlakukan Aurel dengan manis seperti seorang kekasih alih-alih sebagai gadis selingkuhan.

Kaki Aurel melangkah hendak menuju toilet terdekat. Ia akan mencoba untuk mengeringkan rambutnya menggunakan hand dryer di samping wastafel. Mungkin akan terlihat memalukan karena banyak orang sudah melihat wajahnya. Tapi untuk apa malu? Aurel sudah tidak bisa lebih malu lagi setelah apa yang baru saja dialaminya. Lagipula ia tidak mungkin pulang dalam keadaan basah kuyup begini.

Saat itulah Aurel melihat seorang lelaki yang dikenalnya berada dalam kerumunan orang yang menontonnya. Sontak ekspresi canggung tercipta di wajah Aurel. Lelaki itu merupakan senior satu jurusannya di universitas. Cukup populer karena wajah tampan dan prestasinya yang gemilang.

“Selamat siang, Kak Alain,” sapa Aurel dengan kaku sambil hendak langsung melarikan diri.

“Kau tidak bisa pulang dengan basah kuyup seperti itu, kan?” kata lelaki itu menahan langkah Aurel. “Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Kau bisa mengeringkan rambutmu di sana.”

***

Mobil yang dikendarai Alain memasuki latar parkir sebuah flat sederhana. Lelaki itu keluar dari mobil lalu membukakan pintu untuk Aurel. Mereka berdua menaiki tangga untuk menuju lantai tempat tinggalnya.

Dalam perjalanan tadi Aurel sempat membayangkan bahwa tempat tinggal Alain berupa apartemen  atau rumah indekos khusus lelaki yang cukup mewah. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa lelaki ini tinggal di sebuah flat sederhana bertingkat lima.

Klik. Terdengar suara Alain saat memutar kunci flatnya yang berada di lantai dua. Saat itulah pintu flat tetangga Alain yang berada tepat di sebelah flatnya terbuka. Seorang gadis cantik dengan rambut digelung asal-asalan ke atas kepalanya muncul dari balik pintu. Gadis itu tampak kesulitan mendorong pintunya karena kedua tangan yang penuh dengan kantong sampah. Dengan sigap Alain mengulurkan tangannya menahan pintu itu agar tetap terbuka sehingga gadis itu tidak lagi kesulitan.

“Oh Terima kasih bantuannya, Alain.” Gadis itu berujar dengan suaranya yang manis.

Alain membantu gadis itu mengangkut keluar kantung-kantung sampah dan beberapa rim kertas bekas yang diikat tali rafia. Sementara Aurel hanya memperhatikan tanpa berbuat apa-apa. Alain tampak begitu akrab dengan gadis itu. Apa mungkin hubungan mereka berdua hanya sekedar tetangga? Mungkin saja Alain jatuh cinta kepada gadis tetangga yang tampaknya berusia sedikit lebih tua itu.

Mendadak Aurel jadi ingin mengetahui hal yang bukan menjadi urusannya. Kejadian yang baru saja dialaminya membuat gadis itu sedikit khawatir tentang status lelaki yang menolongnya ini. Bagaimana jika Alain memiliki seorang kekasih atau gadis yang dicintainya?

“Maaf membuatmu menunggu.” Alain menoleh pada Aurel. Tiba-tiba bersuara dan menyadarkan Aurel dari lamunannya.

“Sekali lagi aku ucapkan terima kasih, Alain,” ujar gadis itu sambil tersenyum simpul. Entah kenapa sepertinya senyum itu lebih ditujukan kepada Aurel.

Aurel hanya membalas dengan senyum canggung sambil menganggukkan kepalanya sedikit. Gadis itu tersenyum sekali lagi sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam flatnya. Dan sepertinya Aurel pernah melihat gadis itu sebelumnya. Tapi di mana?

Alain membuka pintu flatnya lalu menyalakan lampu. Ia mempersilakan Aurel masuk, kemudian menutup kembali pintu flatnya. Lelaki itu melangkah masuk lalu menghilang ke dalam sebuah ruangan, meninggalkan Aurel yang masih sibuk melepas sepatunya.

“Maaf. Flatku sedikit berantakan,” ujar Alain saat menyambut Aurel.

Sebenarnya flat ini tidak berantakan seperti yang dikatakan Alain. Bahkan kamar Aurel jauh lebih berantakan daripada ini. Perabot dan barang di sini bisa dibilang sedikit. Hanya seperlunya saja.

“Kamar mandinya di sebelah sini.” Alain menunjuk sebuah pintu dekat dapur dengan telunjuknya lalu menyodorkan sebuah kaos, celana santai, dan handuk miliknya kepada Aurel. “Kau bisa mengenakan ini selama pakaian basahmu dijemur.”

Aurel menerima semua itu dengan kepala tertunduk. Entah mengapa ia merasa malu saat membayangkan bahwa ia akan mengenakan pakaian yang biasanya dikenakan Alain. Tapi ternyata sikap canggung Aurel membuat lelaki itu sedikit salah paham.

“Oh, tenang saja. Aku tidak akan mengintip,” ujar Alain sambil tertawa.

Aurel mandi dengan cepat dan mengenakan pakaian yang diberikan oleh Alain. Rambut hitam lurusnya yang basah dibungkus handuk. Ia berjalan keluar kamar mandi dan mendapati Alain tengah sibuk di hadapan laptopnya.

“Sedang mengerjakan apa?” tanya Aurel sambil duduk di samping Alain.

“Skripsiku. Ada beberapa bagian yang harus direvisi.”

“Apa itu sulit?”

Jemari Alain berhenti mengetik. Ia menolehkan kepalanya ke arah Aurel, kemudian tertawa. “Tunggu saja sampai kau merasakan sendiri pahit-manis menghadapi skripsi.”

Aurel memperhatikan cara lelaki itu tertawa. Ia semakin tidak yakin jika Alain belum memiliki kekasih. Gadis bodoh mana yang akan menolak seorang lelaki tampan seperti Alain?

“Ini ada hair dryer untukmu mengeringkan rambut. Aku meminjamnya dari gadis sebelah,” ujar Alain sambil menyodorkannya ke arah Aurel. “Dia juga memberimu sebuah baju terusan. Katanya, tidak baik gadis secantik dirimu harus terjebak dalam baju-baju buluk milikku.”

Aurel memperhatikan baju itu. Sebuah terusan yang cantik berwarna biru langit. Sesaat benak Aurel membayangkan saat gadis itu mengenakan pakaian ini. Pasti akan sangat cantik.

“Sebenarnya, siapa gadis itu?”

Dahi Alain berkerut samar. “Maksudmu Adelin? Apa kau tidak mengenalnya?”

Aurel menggelengkan kepalanya. “Apa dia kekasihmu?”

“Bukan. Tentu saja bukan.” Tawa Alain pecah saat mendengar pertanyaan Aurel. “Adelin sudah seperti kakak perempuan untukku. Dia banyak membantu sejak aku pindah ke flat ini.”

Kepala Aurel tertunduk dalam saat mendengarkan jawaban Alain. Ia merasa malu karena sudah menanyakan hal seperti itu. Tapi tidak ada salahnya untuk bersikap waspda, kan? Aurel tidak mau dilabrak dua kali dalam satu hari.

“Kau tidak perlu khawatir. Aku sedang tidak memiliki kekasih. Pengerjaan skripsi ini cukup menyita waktuku,” lanjut Alain. “Lagi pula Adelin itu seorang penulis, kau tahu?”

Aurel mengangkat wajahnya. Sepertinya ia ingat di mana pernah melihat wajah gadis bernama Adelin itu. Mungkinkah di cover belakang sebuah novel yang tadi malam baru selesai dibacanya?

“Apa dia seorang penulis novel cinta?” tanya Aurel antusias kemudian menyebutkan beberapa judul novel karya Adelin.

“Ya. Benar. Rupanya kau tahu, ya?”

“Ah pantas saja aku merasa pernah melihatnya entah di mana. Ternyata Adelin yang itu. Aku punya semua karyanya. Cerita yang ditulisnya selalu romantis dan sangat cocok dibaca oleh gadis sepertiku,” ujar Aurel setengah tertawa sambil berusaha menutupi wajahnya yang memerah karena malu. Malu karena sudah menduga yang tidak-tidak.

“Ya. Dan akhirnya, dia menemukan kisah romantis yang nyata dalam hidupnya.”

Alis Aurel terangkat menunggu Alain melanjutkan kata-katanya.

“Adelin akan menikah bulan depan dengan lelaki yang dicintainya.”

“Benarkah?” Mata Aurel terbelalak karena senang. Ia seakan bisa merasakan kebahagiaan yang dirasakan Adelin. Gadis manapun pasti akan merasa bahagia jika menikah dengan lelaki yang ditakdirkan untuknya. “Syukurlah kalau begitu.”

“Apa kau mau ku antar untuk bertemu dengannya?”

“Sepertinya jangan sekarang. Biarkan dia melupakan dulu penampilanku yang tadi benar-benar memalukan,” jawab Aurel sambil tertawa masam. “Aku juga ingin meminta maaf padamu karena sudah melihat hal yang memalukan tentang diriku.”

“Tidak apa-apa,” balas Alain sambil tersenyum. “Seharusnya kau lebih berhati-hati agar kejadian seperti tadi tidak terjadi lagi.”

Aurel menganggukkan kepalanya. “Maka dari itu aku perlu kepastiaan bahwa tidak memiliki seorang kekasih yang akan melabrakku juga hari ini karena berada di tempat tinggal kekasihnya.”

Alain kembali tertawa mendengar penjelasan Aurel. Dan sekali lagi Aurel tersenyum melihat tawa itu.

“Sebelumnya aku tidak pernah menanyakan hal tersebut kepada seorang lelaki. Aku selalu beranggapan jika seorang lelaki mendekatiku, itu berarti mereka sedang tidak memiliki seorang kekasih.” Aurel kembali menundukkan kepalanya. Entah kenapa tiba-tiba lantai flat Alain menjadi hal yang menarik untuk diamati. “Tapi kejadian tadi benar-benar membuatku mengubah anggapan itu. Setelah ini aku akan selalu bertanya jika ada lelaki yang mendekatiku.”

Sekali lagi Alain tertawa. Kali ini lelaki itu menertawakan cara berpikir Aurel yang menurutnya terlalu polos. “Sebaiknya lain kali, berpacaranlah dengan lelaki yang memperlakukanmu dengan baik.”

Aurel mengangguk lalu menundukkan kepalanya. Kata-kata yang baru saja diucapkan Alain seakan menyatakan bahwa Aurel terlalu bodoh dalam memilih pasangan.

“Aku hanya berusaha mencintai sepenuh hatiku. Dan benar-benar berharap bahwa aku akan bertemu dengan lelaki yang juga mencintaiku dengan tulus.” Aurel menggaruk kepalanya dengan ujung telunjuknya. “Tapi ternyata memiliki kisah romantis seperti dalam cerita tidak semudah yang aku bayangkan.”

Alain terdiam menatap puncak kepala Aurel. Gadis itu masih tampak begitu kecewa dengan kejadian yang mempermalukannya tadi. Tapi hebatnya gadis itu sama sekali tidak menangis ataupun menunjukkan kesedihannya.

“Lalu, apa kau mau mencoba mencintai lelaki baik... seperti aku misalnya?”

Kepala Aurel terangkat dan matanya menatap langsung ke dalam mata Alain. Apa maksudnya mencintai? Pikirannya masih terasa kosong untuk memahami pertanyaan yang dilontarkan lelaki ini.

Detik berikutnya terdengar suara Alain tertawa terbahak-bahak karena melihat ekspresi bingung Aurel yang tampak lucu baginya. Apalagi sekarang kening gadis itu tampak semakin berkerut heran, membuat Alain harus segera berhenti tertawa.

“Aku hanya bercanda. Jangan kau masukkan ke dalam hati,” ujar Alain seraya mengacak rambut Aurel yang sudah setengah kering. “Lebih baik sekarang kau keringkan rambutmu, ganti pakaianmu, dan aku akan mengantarmu pulang.”

Apa? Bercanda? Kening Aurel berkerut dan satu alisnya terangkat. Tapi entah mengapa tiba-tiba ia berpikir bahwa  tidak ada salahnya jika dirinya mencoba untuk mencintai  lelaki seperti Alain.

***

Sebuah mobil meluncur memasuki gerbang sebuah universitas. Mobil itu berhenti dengan rapi di latar parkir gedung fakultas hukum.  Seorang lelaki turun lebih dulu dari bangku kemudi diikuti seorang gadis yang turun dari bangku di sebelahnya.

Lelaki itu tampak tampan dengan kemeja biru dan celana jeans hitamnya. Ia menekan tombol pada kunci yang dibukanya hingga terdengar suara bahwa mobilnya telah terkunci. Lelaki itu jauh lebih tinggi dari gadis di sebelahnya walaupun pada kenyataannya gadis itu dua tahun lebih tua dari dirinya.

“Kakak mau aku antar ke fakultas?” tanya lelaki itu sambil tersenyum usil. Ia tahu kakak perempuannya ini tidak suka diperlakukan manja seperti anak kecil.

Aurel menatap tajam ke arah lelaki di sampingnya yang sedang tertawa kecil sedikit membuatnya tersinggung. Lelaki itu  bernama Arman yang merupakan adik kandung Aurel. Dan Arman tampak senang saat berhasil membuat kakaknya kesal karena diperlakukan seperti anak kecil.

Di usianya yang ke dua puluh tahun, Aurel memang memiliki tubuh yang kecil. Tidak seperti anggota keluarganya yang rata-rata bertubuh tinggi. Aurel merupakan gadis pendek dan kurus dengan mata  lebar yang dipayungi bulu mata lentik. Penampilannya sehari-hari cukup sederhana sehingga membuat ia terlihat lebih muda dari usianya. Pernah sekali Aurel mencoba berdandan seperti teman-temannya , tapi hasilnya benar-benar... mengerikan. Ia tampak seperti anak sekolah yang salah kostum dengan dandanan menor.

Tapi di balik penampilannya yang seperti itu, Aurel selalu memiliki pemikiran dewasa dalam menghadapi masalah percintaan. Sebagai bukti, ia berkali-kali memberikan saran yang membantu Arman mendapatkan kembali cinta dari kekasihnya yang seorang ballerina. Tapi hal yang menyedihkan adalah Aurel belum menemukan cinta seperti adiknya itu.

“Harusnya aku yang berbaik hati untuk mengantarmu ke kelas, adik kecil,” balas Aurel tidak mau kalah. “Dasar mahasiswa baru sok tahu!”

Arman tertawa sambil berkata, “Caramu menghadapiku sama sekali tidak dewasa, Kak.”

Aurel membuka mulutnya hendak membalas perkataan adiknya itu. Tapi ia mengurungkan niatnya itu saat belum bisa menemukan kata-kata yang pas untuk membalas perkataan Arman. Lelaki itu benar. Ia memang tidak cukup dewasa dalam hal ini.

Tapi tentu saja Aurel tidak mau kalah. Sedetik kemudian Aurel sudah menemukan kata-kata yang akan membuat Arman tidak berkutik. “Jika kau terus mengolok-olokku, aku tidak akan mau lagi untuk mendengarkan curhatmu.”

“Oh baiklah, Kakakku yang cantik. Aku akan berhenti mengolok-olokmu,” ujar Arman sambil menggerakkan telunjuknya untuk menggambar tanda silang di bibirnya. Ia tahu benar bahwa tidak ada orang selain Aurel yang bersedia mendengarkan curahan hati tentang hubungannya dengan kekasihnya. Saran dan nasihat yang diberikan kakaknya itu selalu terbukti ampuh menyelesaikan konflik. Tapi satu hal yang tidak diketahui Arman adalah Aurel sendiri tidak pernah berhasil menerapkan teori-teori yang dikatakannya dalam hubungan percintaannya sendiri.

Aurel hanya diam tanpa ekspresi berarti di wajahnya. Ia ingin terlihat lebih dewasa kali ini. Tapi jauh di balik hatinya, gadis itu tertawa penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Arman.

“Jam berapa kau selesai kuliah, Kak?”

Aurel terdiam tidak langsung menjawab. Sebenarnya, hari ini tidak ada jadwal kuliah yang harus ditempuh Aurel. Ia datang untuk alasan yang berbeda.

“Tidak perlu mengkhawatirkan aku. Aku akan pulang sendiri nanti,” ujar Aurel sambil tersenyum meyakinkan.

Arman mengangkat sebelah alisnya dan menatap skeptis ke arah Aurel. Sebenarnya, Arman ingin mengatakan bahwa mereka harus pulang bersama. Tapi ia mengurungkan niat itu mengingat sifat keras kepala yang dimiliki kakaknya itu. Lagi pula tidak jarang Aurel tiba-tiba meneleponnya untuk minta dijemput di suatu tempat padahal beberapa jam sebelumnya bersikeras menolak tawaran Arman untuk menjemputnya.

“Baiklah.” Arman menghela napasnya. “Lagi pula nanti sore aku akan menemui Alysa.”

Aurel tersenyum karena Arman tidak berusaha mendebatnya. “Sampaikan salamku untuk Alysa,” kata Aurel lantas melangkahkan kakiknya menuju gedung fakultasnya yang tidak jauh dari sana.

***

Bunyi gemerisik angin yang mengembus dedaunan mengiringi langkah Aurel memasuki gedung fakultasnya. Ia menghampiri teman-temannya yang sepertinya sedang asyik membahas materi Ujian Tengah Semester yang sebentar lagi akan mereka tempuh. Aurel ikut bergabung dan mulai bersuara dalam forum infromal itu.

Lambat laun semakin banyak teman-teman Aurel yang bergabung. Dan topik yang dibicarakan juga semakin meluas seputar berita hangat di jurusan mereka. Mulai dari teman seangkatan yang sedang mendekati mahasiswi baru, dosen killer yang kabarnya akan menikah bulan depan, ataupun tentang penambahan koleksi buku di perpustakaan.

Aurel menoleh ke arah perpustakaan fakultasnya. Dan matanya langsung menemukan sosok lelaki itu dari balik kaca jendela.

Alain.

Bergegas Aurel berpamitan kepada teman-temannya dan ia melangkahkan kaki ke perpustakaan. Setelah melakukan beberapa prosedur sebelum memasuki perpustakaan, Aurel berjalan perlahan mendekati Alain.

Lelaki itu tampak serius menatap layar laptop di hadapannya. Terkadang jemarinya akan sibuk mengetik beberapa kata melalui papan ketik. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak hitam dan putih yang tampak rapi. Dari samping, wajah Alain tampak tampan dengan hidung mancung dan bibir tipisnya.

Sengaja Aurel berjalan mengendap-endap mendekati Alain dengan maksud mengejutkan lelaki itu. Tapi malang, kakinya malah tersangkut ujung karpet dan membuat tubuh gadis itu hilang keseimbangan. Dengan cepat Aurel meraih rak buku terdekat untuk berpegangan sebelum ia jatuh berdebam ke lantai. Perhatian beberapa orang pengunjug perpustakaan jadi terpusat ke arah Aurel. Mereka menatap kesal karena gadis itu membuat suasana gaduh di perpustakaan yang seharusnya tenang.

Begitu juga dengan Alain. Lelaki itu juga menatap ke arah Aurel walaupun bukan dengan tatapan kesal. Aurel seakan bisa melihat lelaki itu tertawa tanpa suara. Sepertinya usaha gadis itu untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh tampak sangat lucu di hadapan Alain.

Alain menarik kursi kayu kosong di sebelahnya lalu menepuknya perlahan sebagai isyarat agar Aurel duduk di sana. Dengan wajah memerah seperti kepeting rebus, gadis itu melangkah hati-hati dan duduk di kursi itu. Entah kenapa kejadian memalukan selalu terjadi saat Aurel bertemu dengan lelaki ini.

“Mau mengerjakan tugas?”

Benar juga. Untuk tujuan apa Aurel ke perpustakaan? Mulut Aurel ternganga sementara otaknya sibuk memikirkan jawaban untuk pertanyaan itu.

“Eh tidak juga. Hanya ingin membaca buku. Aku dengar koleksi buku di sini semakin beragam,” kata Aurel lalu menelan ludah, menyembunyikan kebohongannya. “Kau sendiri?”

“Tidak ada selain skripsi. Tapi sekarang sudah selesai,” kata Alain sambil men-shut down laptopnya. Kemudian lelaki itu tertawa menutupi kebohongannya. Sebenarnya masih ada satu bab lagi yang harus direvisi. Tapi kehadiran gadis ini entah kenapa seakan mampu menarik perhatiannya tanpa dipaksa.

“Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang?”

Alain diam dan berpura-pura berpikir sebelum menjawab. “Sepertinya tidak ada. Mungkin aku akan pulang sekarang.”

“Wah, apa aku boleh ikut?” pinta Aurel dengan pandangan memohon. “Kebetulan sekali aku membawa semua karya Adelin dan aku ingin meminta tanda tangannya.”

Bukan kebetulan. Aurel memang sengaja membawa novel-novel itu dalam tasnya. Dan dalam hati berkali-kali berharap semoga ia mendapat kesempatan itu.

***

Rinai-rinai hujan turun membasahi tanah. Bunyinya terdengar begitu merdu saat menghantam genting. Suasana seperti ini sebenarnya sangat pas jika digunakan untuk meringkuk dalam selimut lalu pergi ke alam mimpi. Tapi tidak bagi Aurel dan Alain. Mereka berdua duduk bersebelahan di sofa empuk di flat Alain.

Kaki Aurel dinaikkan ke atas sofa dan dilipat di depan dada. Tangan Aurel sejak tadi menggenggam novel karya Adelin. Gadis itu berbaik hati menghadiahkan karya terbarunya yang akan rilis pekan depan. Lengkap dengan tanda tangannya! Kata Adelin hadiah itu sebagai salam perpisahan karena ia akan segera pindah ke rumah baru bersama suaminya setelah menikah.

Aurel memang memegang novel itu dalam genggamannya, tapi ia sama sekali tidak membacanya. Matanya lebih tertuju pada sosok Alain yang sedang sibuk mengetik di layar laptopnya. Ingin rasanya Aurel mengulurkan tangannya dan membelai rambut Alain. Atau mungkin memberi sebuah kecupan semangat di pipi lelaki itu.

Tapi hal itu tidak mungkin. Bahkan Aurel bukanlah kekasih Alain. Dan lelaki itu juga sepertinya sedang tidak ingin menjalin hubungan serius dengan gadis manapun. Alain sendiri yang berkata bahwa ia ingin fokus mengerjakan skripsinya.

“Apa kau benar sedang membaca novel itu, Aurel?” Alain bertanya tanpa menoleh ke arah Aurel.

Aurel tergeragap karena mengira lelaki itu menyadari bahwa sejak tadi Aurel menatapnya diam-diam. “Ya. Tentu saja aku sedang membaca.”

Alain tertawa. Ia tahu gadis itu sedang berbohong. “Bahkan dari ekor mata aku bisa melihat novel itu kau genggam terbalik. Dan sejak tadi kau terus memandang ke arahku. Apa yang sebenarnya kau cari, gadis kecil?”

Pipi Aurel seketika berubah merah. Kepalanya bergerak dan melihat huruf-huruf pada novel yang digenggamnya itu tidak terbaca. Alain benar. Sejak tadi ia menggengam novel itu dalam posisi terbalik. Sebenarnya Aurel hampir mengatakan kebohongan lagi. Ia ingin beralasan bahwa ia sedang berlatih membaca terbalik. Tapi ia mengurungkan niat itu saat Alain menoleh kepadanya. Aurel sadar ia sudah tertangkap basah.

“Aku memang memandangmu sejak tadi. Kau menyenangkan untuk dilihat.” Takut-takut Aurel mengatakan hal secara terang-terangan seperti itu. “Lagi pula, lelaki memang terlihat lebih tampan saat sedang fokus pada pekerjaannya.”

Bibir tipis Alain menyunggingkan senyum manis. Lalu lelaki itu berkata penuh percaya diri, “Jangan menatapku lebih lama. Nanti kau jatuh cinta.”

“Tidak apa. Aku tidak keberatan jatuh cinta kepadamu,” jawab Aurel cepat seakan Alain sudah menantangnya.

“Benarkah?” Alain bertanya sambil menatap skeptis ke arah Aurel. “Lalu apa kau keberatan jika aku mengecup bibirmu sekarang?”

Sekali lagi Aurel tergeragap dan pipinya semakin memerah. Ia tidak bisa langsung menjawab pertanyaan yang begitu mendadak itu. Aurel mengangkat alisnya seakan menanyakan keseriusan dari Alain.

Tapi lelaki itu malah tergelak lalu mencubit ujung hidung Aurel. “Jangan kau pikirkan. Aku hanya bercanda. Lagi pula kau baru saja putus dengan kekasihmu. Mana mungkin aku menciummu begitu saja. Bisa-bisa kau pikir semua lelaki brengsek dan hanya memanfaatkan kesempatan untuk menyakiti perempuan.”

Aurel hanya terdiam dan memperhatikan Alain yang bangkit dari duduknya.

“Hujan sudah berhenti. Aku akan mengantarmu pulang.”

***

Terdengar suara tepuk tangan membahana dari dalam aula. Lalu terdengar lagu kebangsaan dan himne universitas yang tidak asing lagi di telinga Aurel. Para wisudawan menyanyikan lagu-lagu itu dengan penuh suka cita.

Hari ini adalah acara wisuda Alain. Tadi Aurel meminta Arman mengantarnya ke universitas sebelum adiknya itu pergi kencan. Dan Aurel tiba tepat saat acara wisudanya berakhir. Ia ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat kepada lelaki itu. Saat Aurel tengah sibuk membayangkan ekspresi Alain saat melihatnya nanti, tiba-tiba saja pintu aula terbuka lebar.

Suara riuh dan tepuk tangan terdengar membahana. Para wisudawan berduyun-duyun keluar dari aula. Di sekeliling Aurel tampak ramai para wisudawan dengan pakaian toga hitam mereka sedang berfoto bersama teman, orang tua, dan keluarga.

Di mana Alain? Kepala Aurel celingukan mencari sosok yang dinantikannya. Dengan cepat mata Aurel menemukan Alain di tengah keramaian. Seolah hanya lelaki itu yang bersinar di antara orang-orang.

Aurel melangkahkan kakinya cepat untuk menghampiri Alain. Tiba-tiba seorang lelaki berbadan lebih besar datang dari arah berlawanan. Lengan lelaki itu menabrak bahu Aurel hingga membuat gadis itu terhuyung-huyung. Aurel tidak takut merasakan sakit saat terjatuh. Tapi ia takut menanggung rasa malu jika terjatuh di tengah keramaian seperti ini. Saat itulah tiba-tiba sebuah tangan yang kuat menangkap lengan Aurel dan mencegahnya mempermalukan dirinya sendiri.

Aurel mendongakkan kepalanya dan mendapati Alain sedang tersenyum manis ke arahnya.

“Perhatikan langkahmu, Aurel.”

Aurel membalas senyuman itu lalu memeluk Alain. “Selamat atas wisudanya.”

“Terima kasih juga kau sudah datang,” balas Alain sambil membalas pelukan Aurel.

“Tentu saja aku datang.” Aurel melepaskan pelukannya. “Aku datang untuk menagih janjimu.”

Janji? Alain mengernyitkan keningnya. Janji apa yang dimaksud gadis ini?

Aurel mengerucutkan bibirnya dengan manja saat melihat ekspresi Alain. “Kau lupa pada janjimu sendiri?”

“Sepertinya... begitu.”

“Kau bilang, kau akan mengabulkan permintaanku jika aku datang ke acara wisudamu.” Aurel berkata dengan nada kecewa. Ia menatap sebuah kotak yang dibungkus kertas kado dalam genggamannya. “Sekarang aku sudah datang bahkan membawa hadiah. Tapi kau malah lupa.”

Seketika sebuah ingatan akan janji itu muncul di benak Alain. Lelaki itu tertawa saat teringat tapi membuat Aurel jadi menatapnya dengan heran. Gadis itu tampak tidak sabar menantikan keinginannya terkabul.

“Kau tidak perlu menunggu hari ini untuk mendengarnya. Bukankah aku sudah melakukannya berkali-kali setiap hari?” Alain mendekatkan bibirnya ke telinga Aurel. “Aku mencintaimu, Aurel.”

Satu kalimat itu mampu membuat Aurel bersemangat. Dalam hati mereka berdua, semakin kuat cinta yang tersemat. Bisikan cinta itu terdengar menggema di bawah langit biru yang hangat.

TAMAT

2 komentar:

  1. Asiknyaaa sibuk skripsi tinggal kasih bintang 3 doang udah wisuda -_-

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya masa' mau diceritain waktu bimbingannya. nungguin dosen pembimbingnya yang akhirnya nggak dateng. pertanyaan dosen pengujinya apa aja. cover skripsinya hard cover apa soft cover :v

      Hapus

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D