Selasa, 13 Januari 2015

Love After Love


“Jadi, ceritakan tentang dirimu.” Pria berkacamata itu menatap gadis yang tengah berjuang mati-matian menutupi rasa gugupnya di hadapan beberapa orang berdasi yang duduk setengah melingkar mengelilinginya.

“Nama saya Abelina Maharani. Sa-saya mandiri. Em.. Saya menyukai t-tantangan. Lalu saya, saya juga pekerja keras. Lalu.. Lalu…” Bruk. Suara yang cukup keras menghantam lantai keramik berwarna putih bersih, membuat jajaran orang-orang berdasi itu berdiri serempak menatap gadis yang tergeletak lemas di lantai ruang interview dengan wajah yang pucat pasi.

***

Matanya terbuka sedikit demi sedikit, mencoba menyesuaikan cahaya yang menerobos begitu ia membuka matanya. Langit-langit putih polos bersih tanpa cacat dan tirai berwarna biru muda mengelilinginya, bau obat terasa begitu menyengat hidungnya. Rumah Sakit. Satu tempat yang sangat dibencinya langsung tergambar di otaknya. Secara reflek ia segera terbangun, namun sayang ranjang yang begitu sempit membuatnya terjungkal ke lantai.

“Aduh.. sial!” Celetuk Abel kesal. Suara tirai yang digeser membuat gadis itu buru-buru membetulkan posisinya. Krak. “Ouh..” Kekesalannya memuncak. Pinggulnya tergores besi ranjang dan membuat roknya robek.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya seorang lelaki dalam balutan kemeja biru dengan nametag bertuliskan ‘dr.Benny’ yang tergantung di sakunya. Dengan cepat gadis itu berdiri menutupi celana dalamnya yang mengintip jelas di sela robekan roknya yang cukup besar dengan kedua tangannya yang mungil.

“Oh.. Tentu saja. Sangat baik. Terima kasih.” Senyum kaku gadis itu tak mampu menyembunyikan kepanikannya. Pandangan lelaki itu menyelisik mengikuti tangan mungil yang mencoba menyembunyikan sesuatu di belakangnya.

“Merah.” Seringaian usil keluar dari mulut lelaki tersebut. Abel terperangah mendengar ucapan lelaki di hadapannya. Dengan wajah memerah menahan malu, segera diraihnya bantal di ranjang dan dilemparnya ke wajah lelaki itu.

“Apa-apaan kau ini? Dasar cabul!” Teriak Gadis itu kesal. “Keluaaaar!!”

Gelak tawa muncul dari mulut lelaki itu. Ia memutar langkahnya meninggalkan Abel yang tengah merona menahan malu karena kecerobohannya. Interview gagal, pingsan, jatuh dari ranjang, roknya robek, dokter cabul. Ah, baru beberapa jam saja ia menghirup udara Senin yang begitu sejuk, ia sudah merasa menjadi orang paling sial sedunia.

Untuk beberapa menit Abel terdiam, memikirkan cara terbaik untuk meninggalkan Rumah Sakit ini dengan roknya yang tak layak pakai. Seharusnya ia mendengar ibunya untuk menggunakan blazer, namun ia menolak dan kini ia menyesal. Abel menghela nafas besar, berharap ada Tinkerbell yang bisa memperbaiki roknya.

“Kau mau mengenakan jaketku?” Suara lelaki yang menyelipkan kepalanya di antara tirai lagi-lagi mengagetkan Abel yang tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“Tidak perlu. Aku bisa sendiri.” Jawab Abel sombong. “Rumah sakit mana ini?” Tanyanya ketus.

“Ini klinik perusahaan, bukan rumah sakit. Tadi kau pingsan. Ah.. aku benar-benar tak menyangka gadis yang tadinya begitu lemah, sekarang berubah menjadi singa betina yang galak.” Raut sedih yang dibuat-buat oleh lelaki itu membuat Abel semakin muak.

“Kau menyebalkan!” Kekesalan Abel seolah membeludak. Segera diraihnya tas jinjingnya untuk menutupi roknya dan segera mengayun langkahnya untuk segera keluar dari tempat terkutuk itu.

“Hei, tunggu. Mau kemana kau?”

“Aku mau pulang! Jangan halangi aku. Aku tak akan sudi berlama-lama di tempat terkutuk ini!” Teriak Abel kesal sambil terus mempercepat langkahnya. Sebuah mobil mewah dengan kecepatan tinggi melintas di hadapannya.

“Abel, berhenti!”

“Kyaa!!” Teriak Abel melindungi kepalanya dengan kedua tangannya. Mobil itu telah membuat genangan air di depan Abel naik ke udara dan mendarat tepat di wajah dan pakaian Abel. Beberapa detik kemudian suara gaduh dan tawa terdengar hingga ke telinga Abel. Mereka saling berbisik, tertawa memandang Abel, hingga ia menyadari sesuatu. Roknya. Segera Abel menarik kedua tangannya untuk kembali menutupi bagian belakang roknya. Sayangnya kemeja putih yang basah membuat pakaian dalam dibalik kemejanya tercetak jelas. Brengsek! Gumamnya dalam hati.

Matanya mulai berkaca-kaca, tidak tahan atas rasa malu yang dihadapinya. Tiba-tiba selembar kain putik melingkari tubuh Abel.

“Masuklah, sebentar lagi jam istirahat, aku akan mengantarmu pulang.” Kata lelaki itu ramah. Abel pun menurut dan mengayun langkah gontainya ke klinik terkutuk itu. Abel mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat yang belum sempat ia perhatikan sebelumnya. Segala macam benda tertata rapi di tempatnya, tempat yang bersih dengan aroma khas obat-obatan.

“Aku Benny.” Kata lelaki itu. “Aku dokter klinik ini.” tambahnya.

“Abel.” ucap gadis itu lirih.

“Abel?” Benny tertawa mendengar nama Abel seolah itu adalah sebuah lelucon. Abel mengerutkan keningnya menatap kesal pada Benny yang masih tidak menyadari kekesalan Abel.  “Lihatlah namamu seperti boneka hantu yg seram dan jahat itu. Persis sepertimu.”

“Apa?  Anabelle maksudmu?” Abel menghela nafas besar untuk membuang rasa kesal didalam dada  yang  terasa  begitu  berat. Siapa sih kau ini? Kita tidak saling mengenal kenapa kau bersikap begitu kurang ajar padaku!” Bentak Abel yang semakin geram pada Benny. Air mata yang sejak tadi telah ditahan oleh Abel, tak mampu lagi terbendung. Tawa Benny pun berhenti seketika.

“Kau tidak mengingatku sama sekali?” Matanya memandang begitu tajam, membuat Abel merinding saat menatapnya. Abel menggigit bibirnya merasakan suasana yang mulai berubah. Dengan ragu Abel menggeleng pelan. Benny menghela nafas berat. Jantungnya berdebar kencang mendengar jawaban Abel meski akhirnya ia harus menelan kekecewan.

“Baiklah. Mungkin belum saatnya. Bersiaplah, aku akan mengantarmu pulang.” Benny mencoba mengurai senyum di hadapan Abel.

Abel duduk di bangku penumpang depan dengan selimut tipis berwarna putih yang masih melingkar di tubuhnya. Benny melajukan mobil sedannya dengan kecepatan normal menuju tempat tinggal Abel. Abel masih terdiam, pikirannya mencoba untuk menggali ingatannya tentang Benny, pria tampan yang kini ada di sampingnya.

“Anabelle, kenapa kau diam saja? Apa kau tak ingin memberitahuku dimana tempat tinggalmu?” Benny membuyarkan lamunan gadis itu. Abel menatap lelaki itu lekat-lekat. Menajamkan pandangannya, mencoba mengingat kembali apakah ia bertemu dengan Benny sebelumnya.

“Annabelle, kenapa kau menatapku seperti itu?” Tatapannya yang tajam membuat Benny sedikit gugup.

“Namaku Abel. Kau harus ingat itu. Dan em… Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya Abel menyelidik.

“Dimana tempat tinggalmu? Kurasa kita sudah cukup lama berkendara Anabelle.” Benny mencoba mengalihkan pembicaraan. Abel memutar kepalanya untuk mengamati sekitar, memastikan dimana mereka berada. Abel mengerutkan keningnya, sesaat kemudian ia mulai menyadari posisi mereka.

“Ups, sorry Ben. Kurasa kita memang sudah berjalan terlalu jauh.” Suara manja dikeluarkan Abel untuk mengambil hati Benny. Benny hanya menggeleng dan segera memutar kemudinya ke arah sebaliknya.

Mobil Benny berhenti di depan sebuah gedung tinggi. Gedung bercat putih kusam yang dinding-dindingnya mulai mengelupas. Pakaian berwarna-warni tergantung berantakan di balkon sempit hampir di setiap lantai.

“Kau tinggal disini?” Benny menunjuk gedung yang kira-kira memiliki lima belas lantai itu. Abel mengangguk.

“Kamarku di lantai enam belas, Ben. Kau mau mampir sebentar? Mungkin kita bisa menemukan sesuatu untuk mengisi perutmu.” Kata Abel sambil membuka pintu mobil. Benny mengangguk kemudian mengikuti Abel untuk menaiki gedung yang ternyata berjumlah tujuh belas lantai itu. Beberapa pasang mata tertuju pada penampilan Abel yang tidak wajar. Namun Abel tak peduli dan terus melangkah ke dalam lift.

“Kenapa hanya sampai lantai sepuluh?” Tanya Benny heran setelah melihat Abel menekan tombol  sepuluh sebagai lantai tertinggi.

“Sisanya em.. kita naik tangga.” Abel memberikan senyum terlebarnya untuk menutupi rasa malunya pada Benny. Benny terbelalak tak percaya mendengar jawaban Abel.

“Kau gila.” Benny bergumam. “Jadi kita harus naik tangga enam lantai lagi?” Banny masih tak percaya. Abel mengangguk. Membuat Benny menepuk dahinya putus asa. Enam lantai telah dilalui Benny dengan nafas tersengal, hingga mereka sampai di depan pintu kamar Abel. Abel mengaduk-aduk isi tasnya.

“Apa yang kau cari?” Tanya Benny tak sabar karena firasat buruk di hatinya. Abel menghentikan aksinya. Menatap lelaki itu lekat-lekat. Belum pernah ia menganggap dirinya kecil hingga ia berdiri di dekat Benny. Lelaki itu menjulang dengan tubuh atletis yang sempurna.

“Anabelle, kau mendengarku?” Benny mencoba menyadarkan gadis itu dari lamunan singkatnya. Mata Abel berkedip beberapa kali seolah baru saja terbebas dari mantra hipnotis.

“Kurasa, kau kurang beruntung hari ini.” Abel meringis, mengangkat bahunya. “Aku tak bisa menemukan kunciku.” Abel menggigit bibirnya begitu menyelesaikan kalimatnya. Benny lunglai seketika begitu tahu firasatnya terbukti.

“Tidak mungkin.” Seru Benny meraih tas Abel, mengais isinya namun ia pun tak dapat menemukan sebuah kunci. Akhirnya Benny menumpahkan isi tas Abel ke lantai. Abel menutup mulutnya yang menganga dengan kedua tangannya. Bedak, lipstik, eyeliner, maskara, sisir, parfum, pembalut dan segala macam isi tasnya berserakan di lantai. Benny melihat sesuatu yang berkilau memantulkan cahaya matahari dari jendela. Sesuatu yang terjepit di gulungan kain kecil berenda. Benny mengambil gulungan hijau tersebut kemudian membuka kain tersebut untuk melepaskan sesuatu yang tersangkut di dalamnya.

“Berikan padaku.” Abel segera merampas gulungan kain tersebut dari tangan Benny. Kemudian menarik sesuatu yang ternyata adalah sebuah kunci kamar Abel. Benny terkikik pelan, menahan tawanya agar tak terdengar kencang.

“Celana dalammu begitu bagus.” Ucap Benny geli dengan nada puitis seolah sedang merayu seorang gadis. Semburat kemerahan terlihat jelas di wajah Abel. Penghinaan tambahan untuk hari yang cukup hina ini. Benny akhirnya tertawa terbahak-bahak. Tawanya dalam, kencang serta menular. Mungkin Abel pun akan ikut tertawa jika ia tidak dalam keadaan terguncang. Abel menggeleng, segera membereskan isi tasnya yang berserakan dan menancapkan kuncinya pada lubang pintu.

“Masuklah.” Kata Abel begitu ia melangkah ke kamarnya.

“Kurasa aku harus kembali.” Kata Benny sambil melihat jam yang melingkar di tangannya. “Kau membuang waktuku terlalu lama. Ini bahkan sudah lewat jam istirahatku, nona manis.” Benny memberi jeda untuk menyaksikan wajah bersalah Abel. “Setelah kau cuci selimutnya, bawa ke klinik. Sampai jumpa, Anabelle.” Benny melambaikan tangannya sebelum memutar langkahnya. Abel menyaksikan punggung Benny yang semakin menjauh dari hadapannya.

“Ben” panggil Abel. Benny memutar tubuhnya untuk melihat Abel. “Terima kasih dan… A-bel.” Abel melafalkan namanya dengan jelas. Benny terpingkal mendengar gadis itu mengejah namanya. Gadis yang bersemangat. Tak pernah berubah sejak terakhir mereka bertemu.

***

Sudah dekat tengah hari. Selimut telah terbungkus rapi di dalam tas kertas pink bermotif hati dengan tulisan I love you. Abel menyiapkan penampilan terbaiknya siang ini. Dengan tumit yang tinggi dan setelan denim yang rapi, mencoba tampak terhormat agar orang lain percaya bahwa ia bukan pengangguran yang nyaris kehabisan hartanya.

Kini ia telah tiba di depan klinik. Ia menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan, mencoba mengabaikan jantungnya yang berdegup ganda.

“Ben, terima kasih atas selimutnya.” Ucap Abel pada salah satu pilar di depan klinik. Abel menggeleng kencang. “Aku sudah mencucinya, terima kasih.” Ia diam sejenak meresapi kata-katanya. “Ben, aku sudah mencucinya. Terima kasih banyak atas bantuanmu kemarin.” Kata Abel lancar dengan satu tarikan nafas.

“Sama-sama Anabelle. Tapi, aku disini sekarang.” Kata Benny yang tengah berdiri di belakang Abel sambil menikmati es krim coklatnya yang mulai meleleh. Abel membelalakkan matanya, jantungnya seolah berhenti. Perlahan ia memutar tubuhnya.

“B-Benny. Sejak kapan kau disitu?” Tanya Abel terbata-bata.

“Baru saja. Mau es krim?” Benny menyodorkan es krimnya di depan wajah Abel. Sekelebat ingatan muncul di benak Abel. Ia merasa pernah berada dalam posisi seperti ini. Abel memicingkan matanya, mencari sesuatu dari dalam diri Benny yang mungkin dapat memberikannya ingatan. Namun nihil. “Masuklah.” Benny mengambil langkah terlebih dahulu menuju ke dalam klinik.

Abel beringsut duduk di sofa abu-abu yang begitu empuk di sudut klinik. Dengan permen berwarna-warni di dalam stoples serta air mineral yang berjajar rapi di atas meja.

“Wow.. Bukti cinta? Kuharap di dalamnya ada coklat berbentuk hati.” Canda Benny begitu Abel menyerahkan tas bertulisakn I love you yang berisi selimut itu. Abel mengejapkan matanya. Tak percaya dengan apa yang dikatakan Benny. Entah mengapa candaan Benny membuatnya kehilangan kata-kata dan memunculkan semburat kemerahan di wajahnya.

“Anabelle, apa aku begitu mempesona untukmu?” Celetuk Benny percaya diri menyadari perubahan dalam diri Abel.

“Ah tidak. Tentu saja tidak. Kau ini terlalu percaya diri.” Sanggah Abel sombong. “Em… Terima kasih untuk bantuanmu kemarin. Ya sudah, aku mau pulang. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan.”

“Untuk seorang pengangguran?” Tawa keluar dari mulut Benny membuat hati Abel seolah dihujam sebuah tombak.

“Urus dirimu sendiri Ben! Permisi.” Benny ternyata cukup mampu membuat amarah Abel tersulut. Namun sayangnya ia memang mengatakan sebuah kenyataan yang cukup pahit.

“Nanti malam jam tujuh, aku akan menjemputmu untuk makan malam. Aku tak ingin lagi mendapatkan penolakan darimu.” Ucap Benny sambil melambaikan tangannya.

***

Muka gedung apartemen Abel berhimpitan dengan trotoar dengan pemandangan yang sangat minim. Bentangan aspal persegi panjang yang terbagi dalam petak-petak parkir, dikelilingi pagar kawat dihiasi semak belukar yang tumbuh liar menjalar melilit pagar. Cukup bagus dari pada kosong. Jam tujuh lebih dua puluh menit, Abel tak kunjung mengganti kaos dan celana pendek murahannya dengan pakaian yang lebih terhormat. Ia tak yakin Benny serius mengajaknya makan malam hingga pintu pun digedor.

“Anabelle, apa yang kau lakukan. Bukannya aku sudah bilang padamu jam tujuh?” Benny mengoceh di balik pintu sambil tangannya menggedor-gedor pintu. Abel khawatir tetangganya akan terganggu hingga ia bergegas membuka pintunya.

“Maafkan aku. Aku tak yakin kau benar-benar mau mengajakku.” Sesal Abel. Benny membelalakkan matanya melihat penampilan Abel. Wajah cantiknya polos tanpa make up, rambutnya dinaikkan ke atas dengan kondisi yang berantakan, pakaian minimnya yang memperlihatkan lekuk tubuhnya membuat penampilan Abel tampak begitu… seksi. Benny berdehem salah tingkah melihat gadis dihadapannya.

“Pakaian macam apa itu? Cepat ganti pakaianmu.” Bentak Benny dengan wajah memerah.

“Masuklah. Tunggu, aku akan siap dalam lima menit.” Abel mempersilahkan Benny masuk ke ruangan sempitnya yang berantakan. “Singkirkan saja buku-buku di kursi itu, carilah tempat senyaman mungkin untuk menungguku.” Benny menggeleng menyaksikan keadaan kamar Abel yang tidak rapi sama sekali. Lima belas menit telah berlalu, namun Abel tak juga menunjukkan batang hidungnya.

“Anabelle, cepatlah. Ini sudah lebih dari lima menit.” Teriak Benny tak sabaran. Tak berapa lama muncullah Abel mengenakan dress putihnya yang anggun. Senyuman terpancar di wajah Benny, terpesona pada gadis di hadapannya.

***

Sebuah restoran Eropa dipercaya Benny untuk mengenyangkan perut mereka. Benny selalu ingat Lasagna adalah makanan favorit Abel sejak dulu. Tanpa menanyakan apa yang diinginkan Abel, Benny memesan Lasagna dengan beberapa makanan Eropa lainnya. Cukup menunggu beberapa menit, pesanan mereka datang.

“Wow, ini Lasagnya. Makanan kesukaanku.” Kata Abel dengan mata berbinar kegirangan. “Dulu aku sering memakan makanan ini. Buatan ibu teman kecilku. Tapi sudah sangat lama aku tidak bertemu mereka. Bahkan aku sudah lupa dengan wajah mereka.” Abel tersenyum mengingat kenangan enam belas tahun yang lalu. Bahkan wajah mereka pun samar dalam ingatannya. Abel memandang Benny yang tengah diam menatapnya dengan mimik yang serius.

“Em, Ben.. Sudah berapa lama kau menjadi dokter?” Tanya Abel untuk mencairkan suasana yang mulai terasa kaku.

“Baru sekitar lima tahun. Kau tahu, aku berjuang matI-matian untuk menjadi dokter demi seorang gadis.” Benny terkikik geli ketika menceritakan alasannya. “Dia menolakku ketika aku menyatakan cinta padanya. Dia bilang, dia hanya mau berpacaran dengan seorang dokter.” Deg. Tiba-tiba jantung Abel berdetak ganda, ia teringat kembali kenangan masa kecilnya ketika ia menolak seorang lelaki. Ibunya mengatakan bahwa kelak Abel harus menjadi istri seorang dokter. Ini jelas hanya kebetulan, meskipun tak mengingat wajahnya, tapi ia tahu Benny bukanlah Andre, teman masa kecilnya.

Obrolan ringan akhirnya tercipta diantara mereka, mulai hal-hal remeh seputar hobi hingga masalah kehidupan. Suasana canggung mulai menghilang digantikan keakraban antara Abel dan Benny yang semakin terjalin.

***

Sudah hampir sebulan sejak pertemuan pertama mereka di klinik. Benih-benih cinta mulai tumbuh menghangatkan hati mereka berdua. Malam ini, Benny berniat mengajak Abel untuk ke rumahnya, menikmati masakan ibunya yang selalu ia bangga-banggakan.

Abel melirik jam tangannya, jam tujuh lebih tiga puluh tujuh menit. Demi kepentingan roknya, ia mengorbankan map berisi berkas-berkas pekerjaannya di atas kursi besi kotor di halte dekat tempat kerja barunya. Menunggu bukanlah kegiatan favoritnya. Dia kelaparan dan bosan menunggu Benny yang terlambat lebih dari setengah jam.

Segelintir tetesan air mulai membandel, membuat Abel menaikkan kakinya agar tak terjangkau oleh mereka. Perlahan temponya meningkat, rintik-rintik kecil dan makin konsisten. Seharusnya ini malam yang pas untuk naik ke tempat tidur bersama sebuah novel, mendengarkan rintik hujan dibalik jendela kamar, menikmati secangkir kopi panas, sambil memainkan musik bertempo lambat. Dan ini jelas malam yang sangat salah untuk menggigil dan kelaparan di halte sempit dan kotor tersebut. Air menggenangi aspal hitam, memantulkan berkas-berkas cahaya dan tetes-tetes hujan menerpa cat hitam sebuah mobil yang berhenti di depan halte.

“Ayo masuk. Maaf, aku terlambat.” Teriak Benny dari dalam mobil, melawan suara hujan. Dengan dua tanduk yang tumbuh di kepala Abel, Abel segera berhambur mengambil tempat di sebelah Benny. Omelan-omelan Abel meluncur begitu panjang dalam satu tarikan nafas. Hal itu justru membuat Benny terbahak-bahak dan melemparkan jaketnya untuk menghangatkan tubuh Abel yang menggigil.

Mereka melaju lambat di jalur masuk sebuah kawasan elit. Rumah-rumah berjajar mewah di jalan utama. Benny membelokkan mobilnya ke sebuah gang kemudian berhenti di depan rumah minimalis yang tak kalah mewah. Benny memarkirkan mobilnya dan menggandeng tangan dingin Abel menuju ke dalam rumahnya. Jantung Abel berdegup kencang merasakan kehangatan tangan Benny yang menjalar hingga ke hatinya.

“Lihat nak temanmu basah kuyup begitu. Cepat suruh ia mengganti bajunya. Ibu rasa adikmu masih meninggalkan beberapa bajunya di lemari.” Sambut seorang wanita paruh baya yang bertubuh besar.

“Iya ma, kenalkan, ini Abel.” Benny mengenalkan gadis disampingnya.

“Abel? Astaga, Abel yang dulu itu?” Tanya sang ibu pada Benny. Benny mengangguk, membuat Abel menyimpan sebuah tanda tanya besar dalam hatinya. “Abel anaknya bu Rahmad itu kan?” Sekali lagi Benny mengangguk membuat mulut sang ibu terbuka karena terkejut. Begitu juga dengan Abel.

“Ya ampun Andre, ini sudah lima belas tahun lebih. Kau bisa bertemu lagi dengannya?” Sang ibu bagai menemukan sesuatu yang telah lama hilang. Beliau segera menggandeng tangan Abel menariknya menuju meja makan. “Sayang, tante ingat sekali kau dulu sangat menyukai Lasagna buatan tante kan? Ayo dicoba dulu.”

“Tentu saja tante. Lasagna buatan tante pasti masih seenak dulu.” Perutnya yang sudah terlalu kelaparan membuat Abel menyantap makanan dihadapannya dengan lahap, melupakan pakaiannya yang basah dan tanda tanya besar tentang siapa wanita di sampingnya itu. Mereka berbincang, menceritakan kejadian-kejadian lampau yang membuat Abel, Benny dan ibunya tertawa terbahak-bahak hingga sedikit demi sedikit membuat pertanyaan Abel terjawab.

***

Hari sudah larut malam, Benny melajukan mobilnya kemudian menikung dan menemukan jalur tunggal yang tak pernah Abel ketahui sebelumnya.

“Ben, katakan padaku ada apa ini sebenarnya?” Tanya Abel yang masih penasaran.

“Apa yang ingin kau ketahui?” Benny balik bertanya dengan seringai jahil di bibirnya.

“Oh ayolah Ben, apa hubungannya kau dengan Andre?” Abel berusaha membuat nadanya halus, namun tetap saja terdengar satu oktaf di atas normal. Tanpa menjawab, Benny berbelok di sebuah taman yang sudah mulai sepi pengunjung. Kemudian mengajak Abel keluar untuk menghirup udara segar sehabis hujan.

“Abel” Suara Benny terdengar begitu serius. Apalagi untuk pertama kalinya Benny memanggil nama Abel dengan benar membuat Abel tak mampu menahan tawanya.

“Oh.. malaikat mana yang merasukimu hingga kau berwajah seperti itu? Kau tidak cocok berwajah seserius itu, Ben.” Benny tetap bergeming. Membuat Abel segan dan segera menutup mulutnya. Benny menarik nafasnya dalam-dalam dan melontarkan pertanyaan yang paling menyita pikirannya sejak bertahun-tahun.

“Abel, tidakkah kau mengingat wajahku sedikitpun?” Abel menatap lelaki itu lekat-lekat, kemudian menggelengkan kepalanya. “Aah, kau sungguh tak berperasaan, Anabelle. Ini aku, Andre. Benny Andreansyah. Orang yang pernah kau tolak karena bukan seorang dokter!” Abel mencoba menyembunyikan keterkejutannya dengan seulas senyum simpul.

“Maafkan dia Andre, dia hanya seorang gadis bodoh yang melewatkan lelaki tampan hanya karena ia bukan seorang dokter.” Senyum lebar menghiasi bibir mereka.

“Sekarang aku sudah menjadi seorang dokter. Lalu, maukah kau menikah denganku, Anabelle?” Tanya Benny yang memang tak begitu pandai menyatakan cinta.

“Bodoh. Itu hanya impianku saat kecil. Meski kau bukan dokter aku akan tetap menerimamu. Tapi, kini kau adalah seorang dokter. Itu bonus untukku.” Abel berhambur ke pelukan Benny. Merasakan kelegaan yang menjalar dalam hatinya. Begitu juga dengan Benny, akhirnya ia dapat merengkuh gadis impiannya yang telah ia nantikan selama enam belas tahun.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D