“Jadi, ceritakan tentang dirimu.” Pria berkacamata itu menatap gadis yang tengah berjuang mati-matian menutupi rasa gugupnya di hadapan beberapa orang berdasi yang duduk setengah melingkar mengelilinginya.
“Nama saya Abelina
Maharani. Sa-saya
mandiri. Em.. Saya menyukai t-tantangan. Lalu saya, saya juga pekerja keras.
Lalu.. Lalu…” Bruk. Suara yang cukup
keras menghantam lantai keramik berwarna putih bersih, membuat jajaran
orang-orang berdasi itu berdiri serempak menatap gadis yang tergeletak
lemas di lantai ruang interview
dengan wajah yang pucat pasi.
***
Matanya terbuka sedikit demi sedikit,
mencoba menyesuaikan cahaya yang menerobos begitu ia membuka matanya. Langit-langit
putih polos bersih tanpa cacat dan tirai berwarna biru muda mengelilinginya,
bau obat terasa begitu menyengat hidungnya. Rumah
Sakit. Satu tempat yang sangat
dibencinya langsung tergambar di otaknya. Secara reflek ia segera
terbangun, namun sayang ranjang yang begitu sempit membuatnya terjungkal ke
lantai.
“Aduh.. sial!” Celetuk Abel kesal.
Suara tirai yang digeser membuat gadis itu buru-buru membetulkan posisinya. Krak. “Ouh..” Kekesalannya memuncak.
Pinggulnya tergores besi ranjang dan membuat roknya robek.
“Kau tidak apa-apa?” Tanya seorang
lelaki dalam balutan kemeja biru dengan nametag
bertuliskan ‘dr.Benny’ yang tergantung di sakunya. Dengan cepat gadis itu
berdiri menutupi celana dalamnya yang mengintip jelas di sela robekan roknya
yang cukup besar dengan kedua tangannya yang mungil.
“Oh.. Tentu saja. Sangat baik. Terima
kasih.” Senyum kaku gadis itu tak mampu menyembunyikan kepanikannya. Pandangan
lelaki itu menyelisik mengikuti tangan mungil yang mencoba menyembunyikan
sesuatu di belakangnya.
“Merah.” Seringaian usil keluar dari
mulut lelaki tersebut. Abel terperangah mendengar ucapan lelaki di hadapannya.
Dengan wajah memerah menahan malu, segera diraihnya bantal di ranjang dan
dilemparnya ke wajah lelaki itu.
“Apa-apaan kau ini? Dasar cabul!”
Teriak Gadis itu kesal. “Keluaaaar!!”
Gelak tawa muncul dari mulut lelaki
itu. Ia memutar langkahnya meninggalkan Abel yang tengah merona menahan malu
karena kecerobohannya. Interview
gagal, pingsan, jatuh dari ranjang, roknya robek, dokter cabul. Ah, baru
beberapa jam saja ia menghirup udara Senin yang begitu sejuk, ia sudah merasa
menjadi orang paling sial sedunia.
Untuk beberapa menit Abel terdiam,
memikirkan cara terbaik untuk meninggalkan Rumah Sakit ini dengan roknya yang
tak layak pakai. Seharusnya ia mendengar ibunya untuk menggunakan blazer, namun
ia menolak dan kini ia menyesal. Abel menghela nafas besar, berharap ada Tinkerbell yang bisa memperbaiki roknya.
“Kau mau mengenakan jaketku?” Suara
lelaki yang menyelipkan kepalanya di antara tirai lagi-lagi mengagetkan Abel
yang tengah tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri.”
Jawab Abel sombong. “Rumah sakit mana ini?” Tanyanya ketus.
“Ini klinik perusahaan, bukan rumah
sakit. Tadi kau pingsan. Ah.. aku benar-benar tak menyangka gadis yang tadinya
begitu lemah, sekarang berubah menjadi singa betina yang galak.” Raut sedih yang
dibuat-buat oleh lelaki itu membuat Abel semakin muak.
“Kau menyebalkan!” Kekesalan Abel
seolah membeludak. Segera diraihnya tas jinjingnya untuk menutupi roknya dan
segera mengayun langkahnya untuk segera keluar dari tempat terkutuk itu.
“Hei, tunggu. Mau kemana kau?”
“Aku mau pulang! Jangan halangi aku.
Aku tak akan sudi berlama-lama di tempat terkutuk ini!” Teriak Abel kesal
sambil terus mempercepat langkahnya. Sebuah mobil mewah dengan kecepatan tinggi
melintas di hadapannya.
“Abel, berhenti!”
“Kyaa!!” Teriak Abel melindungi
kepalanya dengan kedua tangannya. Mobil itu telah membuat genangan air di depan
Abel naik ke udara dan mendarat tepat di wajah dan pakaian Abel. Beberapa detik
kemudian suara gaduh dan tawa terdengar hingga ke telinga Abel. Mereka saling
berbisik, tertawa memandang Abel, hingga ia menyadari sesuatu. Roknya. Segera
Abel menarik kedua tangannya untuk kembali menutupi bagian belakang roknya.
Sayangnya kemeja putih yang basah membuat pakaian dalam dibalik
kemejanya tercetak jelas. Brengsek!
Gumamnya dalam hati.
Matanya mulai berkaca-kaca, tidak
tahan atas rasa malu yang dihadapinya. Tiba-tiba selembar kain putik melingkari
tubuh Abel.
“Masuklah, sebentar lagi jam
istirahat, aku akan mengantarmu pulang.” Kata lelaki itu ramah. Abel pun
menurut dan mengayun langkah gontainya ke klinik terkutuk itu. Abel
mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempat yang belum sempat ia
perhatikan sebelumnya. Segala macam benda tertata rapi di tempatnya, tempat
yang bersih dengan aroma khas obat-obatan.
“Aku Benny.” Kata lelaki itu. “Aku
dokter klinik ini.” tambahnya.
“Abel.” ucap gadis itu lirih.
“Abel?” Benny tertawa mendengar nama
Abel seolah itu adalah sebuah lelucon. Abel mengerutkan keningnya menatap kesal
pada Benny yang masih tidak menyadari kekesalan Abel. “Lihatlah namamu seperti
boneka hantu yg seram dan jahat itu. Persis sepertimu.”
“Apa? Anabelle maksudmu?” Abel menghela nafas besar untuk membuang rasa kesal didalam dada
yang terasa begitu berat. Siapa sih kau ini? Kita
tidak saling mengenal kenapa kau bersikap begitu kurang ajar padaku!” Bentak
Abel yang semakin geram pada Benny. Air mata yang sejak tadi telah ditahan oleh
Abel, tak mampu lagi terbendung. Tawa Benny pun berhenti seketika.
“Kau tidak mengingatku sama sekali?”
Matanya memandang begitu tajam, membuat Abel merinding saat menatapnya. Abel
menggigit bibirnya merasakan suasana yang mulai berubah. Dengan ragu Abel
menggeleng pelan. Benny menghela nafas berat. Jantungnya berdebar kencang
mendengar jawaban Abel meski akhirnya ia harus menelan kekecewan.
“Baiklah. Mungkin belum saatnya.
Bersiaplah, aku akan mengantarmu pulang.” Benny mencoba mengurai senyum di
hadapan Abel.
Abel duduk di bangku penumpang
depan dengan selimut
tipis berwarna putih yang masih melingkar di tubuhnya. Benny melajukan mobil
sedannya dengan kecepatan normal menuju tempat tinggal Abel. Abel masih
terdiam, pikirannya mencoba untuk menggali ingatannya tentang Benny, pria
tampan yang kini ada di sampingnya.
“Anabelle, kenapa kau diam saja? Apa
kau tak ingin memberitahuku dimana tempat tinggalmu?” Benny membuyarkan lamunan
gadis itu. Abel menatap lelaki itu lekat-lekat. Menajamkan pandangannya,
mencoba mengingat kembali apakah ia bertemu dengan Benny sebelumnya.
“Annabelle, kenapa kau menatapku
seperti itu?” Tatapannya yang tajam membuat Benny sedikit gugup.
“Namaku Abel. Kau harus ingat itu. Dan
em… Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Tanya Abel menyelidik.
“Dimana tempat tinggalmu? Kurasa kita
sudah cukup lama berkendara Anabelle.” Benny mencoba mengalihkan pembicaraan.
Abel memutar kepalanya untuk mengamati sekitar, memastikan dimana mereka
berada. Abel mengerutkan keningnya, sesaat kemudian ia mulai menyadari posisi
mereka.
“Ups, sorry Ben. Kurasa kita memang sudah berjalan terlalu jauh.” Suara
manja dikeluarkan Abel untuk mengambil hati Benny. Benny hanya menggeleng dan
segera memutar kemudinya ke arah sebaliknya.
Mobil Benny berhenti di depan sebuah
gedung tinggi. Gedung bercat putih kusam yang dinding-dindingnya mulai
mengelupas. Pakaian berwarna-warni tergantung berantakan di balkon sempit
hampir di setiap lantai.
“Kau tinggal disini?” Benny menunjuk
gedung yang kira-kira memiliki lima belas lantai itu. Abel mengangguk.
“Kamarku di lantai enam belas, Ben.
Kau mau mampir sebentar? Mungkin kita bisa menemukan sesuatu untuk mengisi
perutmu.” Kata Abel sambil membuka pintu mobil. Benny mengangguk kemudian mengikuti
Abel untuk menaiki gedung yang ternyata berjumlah tujuh belas lantai itu.
Beberapa pasang mata tertuju pada penampilan Abel yang tidak wajar. Namun Abel
tak peduli dan terus melangkah ke dalam lift.
“Kenapa hanya sampai lantai sepuluh?”
Tanya Benny heran setelah melihat Abel menekan tombol sepuluh sebagai lantai tertinggi.
“Sisanya em.. kita naik tangga.” Abel
memberikan senyum terlebarnya untuk menutupi rasa malunya pada Benny. Benny
terbelalak tak percaya mendengar jawaban Abel.
“Kau gila.” Benny bergumam. “Jadi
kita harus naik tangga enam lantai lagi?” Banny masih tak percaya. Abel
mengangguk. Membuat Benny menepuk dahinya putus asa. Enam lantai telah dilalui
Benny dengan nafas tersengal, hingga mereka sampai di depan pintu kamar Abel.
Abel mengaduk-aduk isi tasnya.
“Apa yang kau cari?” Tanya Benny tak
sabar karena firasat buruk di hatinya. Abel menghentikan aksinya. Menatap
lelaki itu lekat-lekat. Belum pernah ia menganggap dirinya kecil hingga ia
berdiri di dekat Benny. Lelaki itu menjulang dengan tubuh atletis yang sempurna.
“Anabelle, kau mendengarku?” Benny
mencoba menyadarkan gadis itu dari lamunan singkatnya. Mata Abel berkedip
beberapa kali seolah baru saja terbebas dari mantra hipnotis.
“Kurasa, kau kurang beruntung hari
ini.” Abel meringis, mengangkat bahunya. “Aku tak bisa menemukan kunciku.” Abel
menggigit bibirnya begitu menyelesaikan kalimatnya. Benny lunglai seketika
begitu tahu firasatnya terbukti.
“Tidak mungkin.” Seru Benny meraih
tas Abel, mengais isinya namun ia pun tak dapat menemukan sebuah kunci. Akhirnya
Benny menumpahkan isi tas Abel ke lantai. Abel menutup mulutnya yang menganga
dengan kedua tangannya. Bedak, lipstik, eyeliner, maskara, sisir, parfum,
pembalut dan segala macam isi tasnya berserakan di lantai. Benny melihat
sesuatu yang berkilau memantulkan cahaya matahari dari jendela. Sesuatu yang
terjepit di gulungan kain kecil berenda. Benny mengambil gulungan hijau
tersebut kemudian membuka kain tersebut untuk melepaskan sesuatu yang
tersangkut di dalamnya.
“Berikan padaku.” Abel segera
merampas gulungan kain tersebut dari tangan Benny. Kemudian menarik sesuatu
yang ternyata adalah sebuah kunci kamar Abel. Benny terkikik pelan, menahan
tawanya agar tak terdengar kencang.
“Celana dalammu begitu bagus.” Ucap
Benny geli dengan nada puitis seolah sedang merayu seorang gadis. Semburat
kemerahan terlihat jelas di wajah Abel. Penghinaan tambahan untuk hari yang
cukup hina ini. Benny akhirnya tertawa terbahak-bahak. Tawanya dalam, kencang
serta menular. Mungkin Abel pun akan ikut tertawa jika ia tidak dalam keadaan
terguncang. Abel menggeleng, segera membereskan isi tasnya yang berserakan dan
menancapkan kuncinya pada lubang pintu.
“Masuklah.” Kata Abel begitu ia
melangkah
ke kamarnya.
“Kurasa aku harus kembali.” Kata Benny
sambil melihat jam yang melingkar di tangannya. “Kau membuang waktuku terlalu
lama. Ini bahkan sudah lewat jam istirahatku, nona manis.” Benny memberi jeda
untuk menyaksikan wajah bersalah Abel. “Setelah kau cuci selimutnya, bawa ke
klinik. Sampai jumpa, Anabelle.” Benny melambaikan tangannya sebelum memutar
langkahnya. Abel menyaksikan punggung Benny yang semakin menjauh dari
hadapannya.
“Ben” panggil Abel. Benny
memutar tubuhnya untuk melihat Abel. “Terima kasih dan… A-bel.” Abel melafalkan
namanya dengan jelas. Benny terpingkal mendengar gadis itu mengejah namanya. Gadis
yang bersemangat. Tak pernah berubah sejak terakhir mereka bertemu.
***
Sudah dekat
tengah hari. Selimut telah terbungkus rapi di dalam tas kertas pink bermotif hati
dengan tulisan I love you. Abel menyiapkan
penampilan terbaiknya siang ini. Dengan tumit yang tinggi dan setelan denim yang
rapi, mencoba tampak terhormat agar orang lain percaya bahwa ia bukan pengangguran
yang nyaris kehabisan hartanya.
Kini
ia telah tiba di depan klinik. Ia menarik nafas kemudian menghembuskannya perlahan,
mencoba mengabaikan jantungnya yang berdegup ganda.
“Ben,
terima kasih atas selimutnya.” Ucap Abel pada salah satu pilar di depan klinik.
Abel menggeleng kencang. “Aku sudah mencucinya, terima kasih.” Ia diam sejenak meresapi
kata-katanya. “Ben, aku sudah mencucinya. Terima kasih banyak atas bantuanmu kemarin.”
Kata Abel lancar dengan satu tarikan nafas.
“Sama-sama
Anabelle. Tapi, aku disini sekarang.” Kata Benny yang tengah berdiri di belakang
Abel sambil menikmati es krim coklatnya yang mulai meleleh. Abel membelalakkan matanya,
jantungnya seolah berhenti. Perlahan ia memutar tubuhnya.
“B-Benny.
Sejak kapan kau disitu?” Tanya Abel terbata-bata.
“Baru
saja. Mau es krim?” Benny menyodorkan es krimnya di depan wajah Abel. Sekelebat
ingatan muncul di benak Abel. Ia merasa pernah berada dalam posisi seperti ini.
Abel memicingkan matanya, mencari sesuatu dari dalam diri Benny yang mungkin dapat
memberikannya ingatan. Namun nihil. “Masuklah.” Benny mengambil langkah terlebih
dahulu menuju ke dalam klinik.
Abel
beringsut duduk di sofa abu-abu yang begitu empuk di sudut klinik. Dengan permen
berwarna-warni di dalam stoples serta air mineral yang berjajar rapi di atas meja.
“Wow..
Bukti cinta? Kuharap di dalamnya ada coklat berbentuk hati.” Canda Benny begitu
Abel menyerahkan tas bertulisakn I love
you yang berisi selimut itu. Abel mengejapkan matanya. Tak percaya dengan apa
yang dikatakan Benny. Entah mengapa candaan Benny membuatnya kehilangan kata-kata
dan memunculkan semburat kemerahan di wajahnya.
“Anabelle,
apa aku begitu mempesona untukmu?” Celetuk Benny percaya diri menyadari
perubahan dalam diri Abel.
“Ah
tidak. Tentu saja tidak. Kau ini terlalu percaya diri.” Sanggah Abel sombong. “Em…
Terima kasih untuk bantuanmu kemarin. Ya sudah, aku mau pulang. Masih banyak pekerjaan
yang harus kuselesaikan.”
“Untuk
seorang pengangguran?” Tawa keluar dari mulut Benny membuat hati Abel seolah dihujam
sebuah tombak.
“Urus
dirimu sendiri Ben! Permisi.” Benny ternyata cukup mampu membuat amarah Abel tersulut.
Namun sayangnya ia memang mengatakan sebuah kenyataan yang cukup pahit.
“Nanti
malam jam tujuh, aku akan menjemputmu untuk makan malam. Aku tak ingin lagi mendapatkan
penolakan darimu.” Ucap Benny sambil melambaikan tangannya.
***
Muka gedung apartemen
Abel berhimpitan dengan trotoar dengan pemandangan yang sangat minim. Bentangan
aspal persegi panjang yang terbagi dalam petak-petak parkir, dikelilingi pagar kawat
dihiasi semak belukar yang tumbuh liar menjalar melilit pagar. Cukup bagus dari
pada kosong. Jam tujuh lebih dua puluh menit, Abel tak kunjung mengganti kaos dan
celana pendek murahannya dengan pakaian yang lebih terhormat. Ia tak yakin Benny
serius mengajaknya makan malam hingga pintu pun digedor.
“Anabelle,
apa yang kau lakukan. Bukannya aku sudah bilang padamu jam tujuh?” Benny mengoceh
di balik pintu sambil tangannya menggedor-gedor pintu. Abel khawatir tetangganya
akan terganggu hingga ia bergegas membuka pintunya.
“Maafkan
aku. Aku tak yakin kau benar-benar mau mengajakku.” Sesal Abel. Benny membelalakkan
matanya melihat penampilan Abel. Wajah cantiknya polos tanpa make up, rambutnya dinaikkan ke atas dengan
kondisi yang berantakan, pakaian minimnya yang memperlihatkan lekuk tubuhnya membuat
penampilan Abel tampak begitu… seksi. Benny berdehem salah tingkah melihat gadis
dihadapannya.
“Pakaian
macam apa itu? Cepat ganti pakaianmu.” Bentak Benny dengan wajah memerah.
“Masuklah.
Tunggu, aku akan siap dalam lima menit.” Abel mempersilahkan Benny masuk ke ruangan
sempitnya yang berantakan. “Singkirkan saja buku-buku di kursi itu, carilah tempat
senyaman mungkin untuk menungguku.” Benny menggeleng menyaksikan keadaan kamar Abel
yang tidak rapi sama sekali. Lima belas menit telah berlalu, namun Abel tak juga
menunjukkan batang hidungnya.
“Anabelle,
cepatlah. Ini sudah lebih dari lima menit.” Teriak Benny tak sabaran. Tak berapa
lama muncullah Abel mengenakan dress putihnya
yang anggun. Senyuman terpancar di wajah Benny, terpesona pada gadis di hadapannya.
***
Sebuah
restoran Eropa dipercaya Benny untuk mengenyangkan perut mereka. Benny selalu ingat
Lasagna adalah makanan favorit Abel sejak dulu. Tanpa menanyakan apa yang diinginkan
Abel, Benny memesan Lasagna dengan beberapa makanan Eropa lainnya. Cukup menunggu
beberapa menit, pesanan mereka datang.
“Wow,
ini Lasagnya. Makanan kesukaanku.” Kata Abel dengan mata berbinar kegirangan. “Dulu
aku sering memakan makanan ini. Buatan ibu teman kecilku. Tapi sudah sangat lama
aku tidak bertemu mereka. Bahkan aku sudah lupa dengan wajah mereka.” Abel tersenyum
mengingat kenangan enam belas tahun yang lalu. Bahkan wajah mereka pun samar dalam
ingatannya. Abel memandang Benny yang tengah diam menatapnya dengan mimik yang serius.
“Em,
Ben.. Sudah berapa lama kau menjadi dokter?” Tanya Abel untuk mencairkan suasana
yang mulai terasa kaku.
“Baru
sekitar lima tahun. Kau tahu, aku berjuang matI-matian untuk menjadi dokter demi
seorang gadis.” Benny terkikik geli ketika menceritakan alasannya. “Dia menolakku
ketika aku menyatakan cinta padanya. Dia bilang, dia hanya mau berpacaran dengan
seorang dokter.” Deg. Tiba-tiba jantung
Abel berdetak ganda, ia teringat kembali kenangan masa kecilnya ketika ia menolak
seorang lelaki. Ibunya mengatakan bahwa kelak Abel harus menjadi istri seorang dokter.
Ini jelas hanya kebetulan, meskipun tak mengingat wajahnya, tapi ia tahu Benny bukanlah
Andre, teman masa kecilnya.
Obrolan
ringan akhirnya tercipta diantara mereka, mulai hal-hal remeh seputar hobi hingga
masalah kehidupan. Suasana canggung mulai menghilang digantikan keakraban antara
Abel dan Benny yang semakin terjalin.
***
Sudah
hampir sebulan sejak pertemuan pertama mereka di klinik. Benih-benih cinta mulai
tumbuh menghangatkan hati mereka berdua. Malam ini, Benny berniat mengajak Abel
untuk ke rumahnya, menikmati masakan ibunya yang selalu ia bangga-banggakan.
Abel
melirik jam tangannya, jam tujuh lebih tiga puluh tujuh menit. Demi kepentingan
roknya, ia mengorbankan map berisi berkas-berkas pekerjaannya di atas kursi besi
kotor di halte dekat tempat kerja barunya. Menunggu bukanlah kegiatan favoritnya.
Dia kelaparan dan bosan menunggu Benny yang terlambat lebih dari setengah jam.
Segelintir
tetesan air mulai membandel, membuat Abel menaikkan kakinya agar tak terjangkau
oleh mereka. Perlahan temponya meningkat, rintik-rintik kecil dan makin konsisten.
Seharusnya ini malam yang pas untuk naik ke tempat tidur bersama sebuah novel, mendengarkan
rintik hujan dibalik jendela kamar, menikmati secangkir kopi panas, sambil
memainkan musik bertempo lambat. Dan ini jelas malam yang sangat salah untuk menggigil
dan kelaparan di halte sempit dan kotor tersebut. Air menggenangi aspal
hitam, memantulkan berkas-berkas cahaya dan tetes-tetes hujan menerpa cat hitam
sebuah mobil yang berhenti di depan halte.
“Ayo masuk. Maaf, aku
terlambat.” Teriak Benny dari dalam mobil, melawan suara hujan. Dengan dua tanduk
yang tumbuh di kepala Abel, Abel segera berhambur mengambil tempat di sebelah Benny.
Omelan-omelan Abel meluncur begitu panjang dalam satu tarikan nafas. Hal itu justru
membuat Benny terbahak-bahak dan melemparkan jaketnya untuk menghangatkan tubuh
Abel yang menggigil.
Mereka
melaju lambat di jalur masuk sebuah kawasan elit. Rumah-rumah berjajar mewah di
jalan utama. Benny membelokkan mobilnya ke sebuah gang kemudian berhenti di depan
rumah minimalis yang tak kalah mewah. Benny memarkirkan mobilnya dan menggandeng
tangan dingin Abel menuju ke dalam rumahnya. Jantung Abel berdegup kencang merasakan
kehangatan tangan Benny yang menjalar hingga ke hatinya.
“Lihat
nak temanmu basah kuyup begitu. Cepat suruh ia mengganti bajunya. Ibu rasa adikmu
masih meninggalkan beberapa bajunya di lemari.” Sambut seorang wanita paruh baya
yang bertubuh besar.
“Iya
ma, kenalkan, ini Abel.” Benny mengenalkan gadis disampingnya.
“Abel?
Astaga, Abel yang dulu itu?” Tanya sang ibu pada Benny. Benny mengangguk, membuat
Abel menyimpan sebuah tanda tanya besar dalam hatinya. “Abel anaknya bu Rahmad itu
kan?” Sekali lagi Benny mengangguk membuat mulut sang ibu terbuka karena terkejut.
Begitu juga dengan Abel.
“Ya
ampun Andre, ini sudah lima belas tahun lebih. Kau bisa bertemu lagi dengannya?”
Sang ibu bagai menemukan sesuatu yang telah lama hilang. Beliau segera menggandeng
tangan Abel menariknya menuju meja makan. “Sayang, tante ingat sekali kau dulu sangat
menyukai Lasagna buatan tante kan? Ayo dicoba dulu.”
“Tentu
saja tante. Lasagna buatan tante pasti masih seenak dulu.” Perutnya yang sudah terlalu
kelaparan membuat Abel menyantap makanan dihadapannya dengan lahap, melupakan pakaiannya
yang basah dan tanda tanya besar tentang siapa wanita di sampingnya itu. Mereka
berbincang, menceritakan kejadian-kejadian lampau yang membuat Abel, Benny dan ibunya
tertawa terbahak-bahak hingga sedikit demi sedikit membuat pertanyaan Abel
terjawab.
***
Hari
sudah larut malam, Benny melajukan mobilnya kemudian menikung dan menemukan jalur
tunggal yang tak pernah Abel ketahui sebelumnya.
“Ben,
katakan padaku ada apa ini sebenarnya?” Tanya Abel yang masih penasaran.
“Apa
yang ingin kau ketahui?” Benny balik bertanya dengan seringai jahil di bibirnya.
“Oh
ayolah Ben, apa hubungannya kau dengan Andre?” Abel berusaha membuat nadanya halus,
namun tetap saja terdengar satu oktaf di atas normal. Tanpa menjawab, Benny berbelok
di sebuah taman yang sudah mulai sepi pengunjung. Kemudian mengajak Abel keluar
untuk menghirup udara segar sehabis hujan.
“Abel”
Suara Benny terdengar begitu serius. Apalagi untuk pertama kalinya Benny memanggil
nama Abel dengan benar membuat Abel tak mampu menahan tawanya.
“Oh..
malaikat mana yang merasukimu hingga kau berwajah seperti itu? Kau tidak cocok berwajah
seserius itu, Ben.” Benny tetap bergeming. Membuat Abel segan dan segera menutup
mulutnya. Benny menarik nafasnya dalam-dalam dan melontarkan pertanyaan yang paling
menyita pikirannya sejak bertahun-tahun.
“Abel,
tidakkah kau mengingat wajahku sedikitpun?” Abel menatap lelaki itu lekat-lekat,
kemudian menggelengkan kepalanya. “Aah, kau sungguh tak berperasaan, Anabelle. Ini
aku, Andre. Benny Andreansyah. Orang yang pernah kau tolak karena bukan seorang
dokter!” Abel mencoba menyembunyikan keterkejutannya dengan seulas senyum simpul.
“Maafkan
dia Andre, dia hanya seorang gadis bodoh yang melewatkan lelaki tampan hanya karena
ia bukan seorang dokter.” Senyum lebar menghiasi bibir mereka.
“Sekarang
aku sudah menjadi seorang dokter. Lalu, maukah kau menikah denganku, Anabelle?”
Tanya Benny yang memang tak begitu pandai menyatakan cinta.
“Bodoh.
Itu hanya impianku saat kecil. Meski kau bukan dokter aku akan tetap menerimamu.
Tapi, kini kau adalah seorang dokter. Itu bonus untukku.” Abel berhambur ke pelukan
Benny. Merasakan kelegaan yang menjalar dalam hatinya. Begitu juga dengan Benny,
akhirnya ia dapat merengkuh gadis impiannya yang telah ia nantikan selama enam belas
tahun.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D