Suara wanita itu menggema diikuti alunan
musik dari piano di sudut ruangan. Ruangan itu memiliki dinding dipenuhi cermin
besar yang dilengkapi barre. Langit-langitnya
berwarna biru dengan gambar awan yang tampak nyata.
Seorang gadis dengan leotard hitam dan stocking
merah mudanya sedang bersiap di tengah ruangan. Bagai mendengar mantra sihir,
gadis itu mengangkat kepalanya dan melihat lurus ke depan. Musik terus mengalun
dan ia mulai meluncur di atas lantai. Gadis itu melompat dan berputar, membuat
rok chiffon-nya melambai-lambai.
Kakinya bergerak dengan lincah dalam balutan sepatu balet yang dikenakannya.
Gadis itu memperlambat gerekannya lalu
berhenti seiring dengan berhentinya alunan musik. Suara tepuk tangan memenuhi
udara dan sampai ke telinganya. Seulas senyuman bangga tersungging di bibir
gadis itu.
“Bagus sekali, Mademoiselle Alysa.”
Gadis yang dipanggil Alysa itu menundukkan
kepalanya sejenak sebagai bentuk rasa hormat. Sejak tadi dua orang pelatih
baletnya dan juga pemilik sanggar Princess Dance Academy menonton caranya
menari. Saat ini mereka bertiga tengah memuji penampilan Alysa dan membuat
gadis itu tersenyum sekali lagi. Tapi salah seorang pelatihnya memperingatkan
Alysa untuk terus melatih gerakan arabesque
on pointe-nya. Ia sendiri mengakui itu. Gerakan itu memang cukup sulit. Ia
harus mengatur keseimbangan agar bisa berdiri dengan satu kaki yang bertumpu
pada ujung jemarinya.
Alysa berjalan keluar ruangan lalu menyapa
beberapa temannya yang sedang menunggu giliran untuk dipanggil. Saat ini memang
sedang diadakan pemilihan untuk pemeran utama dalam pagelaran balet di bulan
Juni. Teman-temannya menyambut Alysa dengan menanyakan perasaannya setelah
mengikuti audisi. Alysa hanya tersenyum dan memberi semangat kepada
teman-temannya, lalu pergi ke ruang ganti.
Di ruang ganti, Alysa mengganti pakaian
baletnya dengan baju terusan berwarna cokelat muda dengan pita satin berwarna
merah muda di bagian pinggangnya. Sepatu balet yang tadi dikenakannya sudah dilepas
dan diganti dengan flat shoes merah muda.
Alysa tersenyum ke arah cermin, dan
bayangannya ikut tersenyum karena sama-sama merasakan kebahagiaan yang tengah
ia rasakan. Perlahan ia melepas gelungan rambutnya lalu merapikannya dengan
sisir. Pujian tadi masih terngiang di telinganya. Tapi sedetik kemudian Alysa sadar bahwa ia
tidak seharusnya merasa tinggi hati. Hasil pemilihan baru akan diumumkan lima
hari dari sekarang. Belum lagi teman-temannya merupakan saingan yang berat.
Begitu selesai membereskan
barang-barangnya, Alysa berjalan keluar dari ruang ganti. Sekali lagi ia
menyapa teman-temannya dan memberi semangat
sebelum akhirnya ia keluar dari gedung sanggar balet itu. Melangkah
dengan rasa bahagia di hatinya.
Sudah delapan tahun berlalu sejak pertama
kali Alysa mengenal balet. Saat itu usianya baru delapan tahun tapi ia merasa
sangat bahagia setiap melakukan gerakan balet. Walaupun begitu, tapi gerakan arabesque on pointe-nya masih
kurang sempurna. Bahkan gerakan itu juga yang menghalanginya untuk terpilih menjadi
pemeran utama pertunjukan balet The
Nutcracker pada tahun lalu. Tapi kali ini ia sudah bertekad kuat untuk
mendapatkan peran utama tahun ini.
Alysa berjalan menyusuri jalan khusus
pejalan kaki yang dipenuhi deratan pepohonan. Sanggar balet tempat ia berlatih
memang berada di area komplek perumahannya. Suasana tampak lenggang hari ini.
Hanya ada Alysa dan daun-daun pepohonan yang tampak menari-nari karena ditiup angin.
Suasana ini membuat gadis itu jadi berkhayal dirinya terpilih menjadi pemeran
utama. Musik pengiring mengalun dalam benaknya. Jalanan berubah menjadi panggung
megah. Alysa mulai bergerak melakukan gerakan piroutte. Ia berputar, berputar, dan sekali lagi...
Tiba-tiba gerakan Alysa terhenti karena ia
mendengar suara seseorang bertepuk tangan. Sambil menahan rasa malu, gadis itu
menoleh dan mendapati sepasang mata lelaki yang tengah menatapnya.
“Hebat sekali, Mademoiselle Alysa.”
Lelaki
itu menyandarkan setengah bahu ke batang pohon sambil tersenyum ke arah Alysa.
Pipi gadis itu merona kemerahan. Bukan karena malu, tapi ia senyuman lelaki itu
membuatnya tersipu. Lelaki itu adalah kekasih yang dicintainya.
“Arman!”
seru Alysa sambil mendekat ke arah lelaki itu.
Arman
menyambut semangat Alysa yang meluap-luap dengan meraih tangannya ke dalam
genggamannya. Gadis ini tampak sedang merasa sangat bahagia.
“Sejak
kapan kau memperhatikanku dari sana, Mr.
Stalker?”
“Baru
saja,” jawab Arman lalu terkekeh karena Alysa menyebutnya Mr. Stalker. “Tadi aku berniat untuk menjemputmu di sanggar. Tapi
saat berbelok, aku melihatmu keluar dari sanggar. Jadi aku memarkirkan mobil dan
memutuskan untuk mengejarmu dan tiba-tiba saja kau... menari seperti tadi.”
Alysa
tertawa singkat lalu memukul ringan lengan Arman karena merasa malu. Lelaki itu
lantas menangkap tangan Alysa untuk menghentikan pukulannya. Sedetik kemudian
Arman sudah menautkan jemarinya di sela jemari Alysa lalu menuntun gadis itu
menuju mobilnya.
Mereka
berdua sudah duduk di dalam mobil Arman. Mesinnya sudah dihidupkan tapi Arman
tidak menjalankan mobilnya. Lelaki itu tampak gugup sambil sesekali melirik ke
arah laci dasbor mobilnya.
“Alysa,
tolong ambilkan... obeng di dalam laci,” ujar Arman cepat seakan menyembunyikan
kebohongan dalam kalimatnya.
Obeng? Dahi Arman
mengernyit karena menyesali pilihan katanya. Untuk apa ia minta diambilkan
obeng? Ia
ingin meralat tapi terlambat, Alysa sudah membuka laci dasbor dan menemukan
sebuah kotak yang dibungkus rapi dengan kertas kado merah muda. Mata gadis itu
terbelalak dan berbinar bahagia.
“Apa ini...
untukku?” tanya Alysa sambil meraih kotak itu dari laci.
Arman
menganggukkan kepalanya
lalu berkata, “Apa kau
melihat ada gadis cantik di sini selain dirimu?”
Alysa
tersenyum lalu mulai memperhatikan kotak dipangkuannya. Perlahan dan hati-hati
Alysa membuka bungkus kado itu. Ia berusaha untuk tidak merobek kertas kado
yang cantik itu. Alysa merasa berdebar
dan tidak sabar untuk melihat apa isi kotak ini, tapi ia menikmatinya.
Perlahan
Alysa melipat rapi kertas kado yang sudah ia lepaskan itu lalu meletakkannya di
atas dasbor. Sejenak ia menatap mata Arman sebelum membuka kotak karton untuk
melihat isinya. Alysa menahan napas saat membuka hadiah untuknya. Sebuah kotak
dari kayu terpampang di hadapannya sekarang. Alunan musik yang lembut terdengar
saat kotak itu dibuka. Sebuah patung ballerina
yang berada di tengah kotak berputar mengikuti irama musik. Alysa tersenyum
bahagia lalu meraih sepucuk kertas yang terlipat di dalam kotak, lalu membaca
isinya.
Alysa,
Happy 1st
anniversary...
Tidak
terasa sudah satu tahun kita bersama dan aku berharap kita bersama untuk
selamanya.
Hanya kau
gadis yang selalu menari di dalam hatiku.
I love
you.
Senyum
bahagia Alysa lenyap dan berganti dengan senyum canggung setelah membaca
tulisan di kertas itu. Ia lupa sama sekali bahwa hari ini merupakan hari
penting bagi dirinya dan Arman. Jadwal latihan balet yang padat memang cukup
menyita waktunya.
Arman
tampak terkejut dengan perubahan ekspresi Alysa. Apa kata-kata yang ditulisnya
terlalu berlebihan? Sepertinya rasa khawatrikannya terbukti. Arman memang
tipikal lelaki yang tidak pandai merangkai kata. Tapi kakaknya berkata bahwa
seorang gadis menyukai kata-kata yang indah. Dengan bodohnya, Arman percaya
begitu saja pada gadis usil seperti kakaknya.
“Arman,
maaf...” gumam Alysa sambil menggigit bibirnya. Gadis itu menundukkan kepala ke
arah kertas itu. Tidak berani menatap kekasihnya. “Maafkan aku.”
Seburuk
itukah kata-katanya? Bahkan Alysa sampai harus meminta maaf untuk itu. Arman
bersumpah ia akan mengajukan protes besar-besaran kepada kakaknya itu begitu ia
tiba di rumah.
“Arman,
maaf. Aku tidak menyiapkan hadiah apapun untukmu,” ujar Alysa kemudian. Tidak
mungkin ia berkata terus terang bahwa ia melupakan hari penting ini. Ia memilih
kata dengan hati-hati karena takut melukai perasaan Arman.
Udara di
sekeliling Arman jadi terasa lebih ringan sekarang. Ia mengembuskan napas pelan
dan tersenyum lega. Ternyata penyebab perubahan ekspresi Alysa bukan seperti
dugaannya. Kalau sekadar tidak menyiapkan hadiah balasan, ia bisa memaklumi
itu. Gadis ini tentu sangat sibuk dengan kegiatan baletnya.
“Tidak
apa-apa, Alysa.” Arman mengusap lembut pipi gadisnya dengan ibu jari. “Kau bisa
menghadiahkanku pengumuman terpilihnya kau menjadi tokoh utama dalam pertunjukkan balet.”
Alysa
menganggukkan kepalanya lalu tersenyum lembut kepada Arman. Sesaat kemudian
senyuman itu sudah berubah menjadi senyuman usil untuk menggoda Arman.
“Atau
aku bisa memberimu hadiah sebuah obeng, karena aku tidak menemukannya di laci
dasbormu,” gurau Alysa lantas tertawa.
Arman ikut
tertawa mendengar gurauan Alysa. Mereka berdua tampak sangat bahagia. Seakan
tidak ada satu pun kutukan yang mampu menghancurkan kebahagiaan itu.
***
Alysa
mengerjapkan matanya seakan tidak percaya. Orang-orang di sekelilingnya sibuk
mengucapkan selamat kepadanya. Tapi gadis itu seakan terbius dan tidak bisa
mendengar apapun selain ledakan kembang api bahagia di dalam hatinya.
Namanya
terpampang jelas di papan pengumuman yang ada di hadapan Alysa. Ia terpilih
sebagai pemeran utama pada pertunjukkan balet yang mengangkat sebuah cerita
rakyat berjudul Bawang Merah dan Bawang Putih.
Cerita
rakyat itu berkisah tentang adik-kakak yang hanya tinggal bersama ibu mereka
karena ayah mereka sudah meninggal. Bawang Merah —sang kakak
merupakan gadis yang malas, sombong, dan tamak. Sementara Bawang Putih —sang adik memiliki
perangai yang bertolak belakang dengan kakaknya, ia gadis yang sederhana,
jujur, dan rendah hati. Dalam pertunjukkan ini, Alysa dituntut untuk memerankan
kedua karakter itu. Dan ia bertekad untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.
“Ayo kita mulai latihan hari ini,” suara pelatih yang
memanggil dari depan pintu ruang latih membuyarkan lamunan Alysa. Ia dan
teman-temannya berbondong-bondong menjauhi papan pengumuman lalu masuk ke ruang
latihan.
Tuts-tuts piano
mulai ditekan dan mengalunkan melodi yang lembut. Sambil berpegangan pada barre, para pebalet di ruangan itu
melakukan gerakan-gerakan balet mengikuti irama musik sesuai instruksi pelatih
mereka.
Senyum terus terkembang di wajah Alysa. Ia merasa tidak
sabar untuk segera menyampaikan berita baik ini kepada Arman. Lelaki itu
mengajaknya makan malam di restoran pada Sabtu akhir pekan nanti. Mereka berdua
akan merayakan anniversary pertama
dan merayakan terpilihnya Alysa untuk pertunjukkan balet tahun ini.
Alysa yakin ia adalah gadis paling bahagia di dunia ini!
***
Ruang
kelas itu sudah sepi sejak tiga puluh menit yang lalu. Tapi Arman masih duduk
di tempatnya sambil membaca majalah olahraga. Ia sedang menunggu Alysa yang
masih menghadiri rapat pengurus kelas sebelas. Sebenarnya ia tidak sedang fokus
pada halaman jadwal pertandingan sepak bola yang terpampang di hadapannya.
Benak Arman dipenuhi dengan kencan Sabtu malamnya bersama Alysa.
Sejak
seminggu yang lalu, Arman sudah memesan tempat di salah satu restoran dengan
suasana yang menurutnya cukup romantis. Ia juga sudah menyiapkan hadiah untuk
diberikan kepada Alysa yang terpilih menjadi pemeran utama pertunjukkan balet
yang menjadi impian gadis itu. Beberapa pakaian juga sudah disiapkan Arman
untuk hari spesial itu.
“Kak
Arman.”
Arman
mengangkat kepala lalu menoleh ke arah pintu kelas saat mendengar suara seorang
gadis menyebut namanya. Sesaat ia mengira itu adalah Alysa, tapi ternyata
bukan. Gadis itu adalah murid kelas sepuluh yang akhir-akhir ini mendekati
Arman.
“Belum
pulang, Kak?” tanya gadis itu sambil memiringkan kepalanya sehingga rambutnya
yang diikat tinggi bergerak-gerak dengan cantiknya.
Arman
mendesah kesal. Gadis itu masih saja bersikap manis terhadap dirinya. Padahal
ia sudah menolak secara halus dan mengatakan bahwa ia sudah memiliki seorang
kekasih.
“Aku
baru saja selesai latihan, Kak. Dan ini pertama kalinya aku mengenakan seragam cheerleader sekolah ini,” ujar gadis itu
lalu berputar satu kali. “Bagaimana menurut Kak Arman? Apa aku cantik?”
Arman
mengalihkan pandangannya dan berusaha tidak peduli. Lalu ia bergumam, “Ya.
Cantik.”
Tapi tidak lebih cantik dari Alysa, tambah
Arman dalam hati.
“Terima
kasih,” ujar gadis itu tersipu mendengar jawaban Arman. “Kak Arman sedang
menunggu Kak Alysa?”
Arman
hanya menganggukkan kepalanya. Ia berharap gadis ini sudah pergi sebelum Alysa
datang.
“Pasti
Kak Alysa bahagia ditunggu oleh lelaki setampan Kak Arman.” Rambut gadis itu
kembali bergerak-gerak. “Pasti kalian akan kencan pada Sabtu malam. Benar?”
“Ya,”
jawab Arman menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Apa aku
boleh ikut?”
Jangan bercanda. Sebenarnya apa
yang diinginkan gadis ini? Arman mendengus kesal lalu berkata, “Tentu saja
tidak boleh ikut.”
Gadis
itu tampak hendak mengeluarkan kata-kata merajuk, tapi Arman tidak
menghiraukannya. Ia melihat Alysa sedang berdiri di pintu kelasnya dengan
ekspresi yang muram. Alysa bisa salah paham jika seperti ini. Secepat mungkin
Arman bangkit dan menyambut Alysa.
“Arman,
maafkan aku...” ujar Alysa lirih.
Lelaki
itu lantas tersenyum. “Tidak apa. Aku tidak keberatan menunggumu.”
“Bukan
itu.” Alysa menggigit bibirnya seakan sulit untuk mengeluarkan kata-kata yang
harus diucapkannya. “Aku tidak bisa pergi kencan denganmu besok malam.”
Semburat
kecewa tampak di mata Arman. Tidak ada sedetik pun waktu tersedia untuk ia
menyembunyikannya. Tapi ia yakin bahwa ada alasan kuat yang mebuat Alysa
membatalkan kencan di hari penting mereka.
“Latihan
balet untuk pertunjukkan dimulai pada hari Sabtu.” Alysa mengatakan alasannya.
“Maafkan aku.”
“Tidak
apa-apa,” ujar Arman sambil mengelus puncak kepala Alysa penuh kasih sayang.
“Kita bisa pergi lain kali.”
Alysa
hanya menganggukkan kepalanya mendengar suara Arman yang menenangkan.
“Aneh
sekali.”
Suara
gumaman itu membuat Arman kembali teringat bahwa masih ada orang selain mereka
berdua di ruang kelas ini.
“Kalau
aku berada di posisi Kak Alysa, aku pasti akan membolos latihan cheerleader dan lebih memilih janji
kencan yang sudah disepakati sebelumnya,” murid kelas sepuluh itu menyatakan
pendapatnya secara terang-terangan. “Aku merasa kasihan pada Kak Arman—”
“—Berisik!” Arman menggeram dengan gigi yang dirapatkan.
Tapi
gadis itu tidak merasa gentar. “—Menurutku,
tidak apa-apa sesekali membolos latihan. Yang terpenting adalah prestasi dan
kisah cinta berjalan seimbang dan tidak berat sebelah. Atau lebih baik pilih salah satu saja. Jangan memaksakan
untuk menjalani keduanya tapi tidak bisa berlaku adil—“
“Diam!
Behenti bicara!” Kali ini Arman membentak dengan suara yang lebih keras. “Kau
tidak tahu apa-apa tentang Alysa. Kau tidak tahu apa-apa tentang kami berdua!
Aku mencintai Alysa.”
Sontak gadis itu terdiam karena ia
tidak menduga bahwa Arman akan membentaknya begitu keras. Ia menghela napas
kecewa. Dahinya mengernyit saat menyadari sudah tidak ada celah di hati Arman
untuk dirinya ataupun gadis lain. Hati itu sudah dipenuhi oleh Alysa.
“Sepertinya sudah tidak ada lagi
harapan untukku,” gumam gadis itu sambil menatap ujung rok seragam cheerleader-nya. Ia melangkah maju lalu berhenti di sisi Arman. “Tapi
aku harus mengambil salam selamat tinggal
dari Kak Arman.”
Arman dan Alysa melongo karena
memikirkan apa maksud dari salam selamat
tinggal yang diucapkan adik kelas mereka itu. Tanpa menunggu
lebih lama, mereka segera mendapatkan jawabannya. Tiba-tiba gadis itu berjinjit dan
mendaratkan kecupan ringan di pipi kanan Arman.
“Selamat tinggal, Kak Arman,” ujar
gadis itu lantas cepat-cepat pergi.
Sontak Alysa menutup mulutnya dengan
kedua tangan. Ia merasa sangat terkejut dengan tindakan impulsif itu. Selama
satu tahun menjalin hubungan dengan Arman, tidak pernah sekalipun ia bertindak
seberani itu.
Begitu juga dengan Arman. Lelaki itu
merasa sangat terkejut dengan tindakan yang tak terduga itu. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh gadis
itu? Tiba-tiba Arman merasa bersalah kepada Alysa. Pasti hati gadis itu
sangat terluka saat ini.
Arman meraih tangan Alysa yang tampak
gemetar. Tapi Alysa menepiskan tangannya. Menolak untuk disentuh. Dahi Arman
mengernyit pahit. Ia tahu bahwa gadis ini terluka.
“Alysa… maaf… aku… tidak…” Arman
mencoba menyentuh Alysa tapi ia menarik kembali tangannya.
Alysa menggigit bibirnya karena
merasakan perih di hati. Ia tahu Arman tidak bermaksud seperti itu. Tapi air
matanya terasa mendesak di pelupuk matanya tanpa diminta. Alysa menggigit
bibirnya untuk mencegah air matanya keluar.
Tapi tidak berhasil.
Setiap tetes air mata yang mengalir
di pipi Alysa, memumpuk perasaan bersalah di hati Arman. Lelaki itu selalu
ingin melihat Alysa bahagia, bukan berlinang air mata. Arman merasa tidak tahan
dan merengkuh gadisnya dalam pelukan.
Tidak ada penolakan. Tapi tubuh Alysa
gemetar menahan perasaannya.
“Gadis itu benar…” Alysa berkata di
sela isakannya. “Aku memang tidak bisa berlaku adil.”
Arman mempererat pelukannya. “Aku
mohon, Alysa. Jangan dengarkan apapun yang dikatakan gadis itu…”
Alysa membebaskan diri dari dekapan
Arman dan mundur satu langkah. Jemarinya yang gemetar mencoba menghapus air
mata di pipi. “Aku yakin, kau bisa
memiliki kekasih yang jauh lebih baik dari aku.” Alysa memaksa tersenyum dalam
tangisnya.
Arman menggelengkan kepalanya. Tidak
setuju dengan perkataan Alysa. Pikirannya mendadak terasa kacau.
“Tidak akan ada yang lebih baik
darimu. Aku… aku mencintaimu, Alysa.”
“Aku rasa, hubungan kita cukup sampai
di sini, Arman,” ujar Alysa seperti tidak mendengarkan perkataan Arman. Wajah
Arman pucat pasi saat mendengar kata-kata Alysa selanjutnya. “Maafkan aku,
Arman. Tapi aku lebih memilih balet. Aku ingin fokus di sana. Kau juga harus
konsentrasi belajar untuk menghadapi Ujian Nasional, kan?”
Alysa kembali memaksakan senyum saat mengucapkan
kalimatnya yang terakhir. Sementara bahu Arman terasa lemas seakan tidak
memiliki tulang. Saat ini seolah terbentang jurang lebar di antara mereka
berdua.
Hubungan ini sudah berakhir.
***
Gedung pertunjukkan sudah mulai
dipadati penonton. Mereka tampak antusias untuk menyaksikan pertunjukan hari
ini. Spanduk besar bergambar seorang penari balet yang menjadi tokoh utama
terpampang di bagian depan gedung,
disertai tulisan PERTUNJUKAN BALET CERITA RAKYAT BAWANG MERAH BAWANG PUTIH.
Di dalam ruang rias, Alysa tengah merasa
berdebar-debar. Ada setitik perasaan cemas di sudut hatinya. Ia takut jika hari
ini ia tidak bisa menampilkan yang terbaik. Alysa memejamkan matanya lalu mulai
memohon dalam hati agar semua baik-baik saja.
“Kau pasti bisa, Alysa,” kata seorang
teman Alysa sambil menepuk bahunya.
“Jangan gugup. Santai saja,” sambung
temannya yang lain.
Alysa membuka matanya dan melihat
teman-temannya. Ia tersenyum untuk meyakinkan bahwa semua akan berjalan lancar.
Ini hari yang penting, jadi ia tidak boleh memikirkan hal selain pertunjukan.
Pada awalnya, semua berjalan lancar.
Tapi semua berubah ketika bayangan Arman kembali muncul dalam benaknya. Tangan
Alysa merasa tidak tahan untuk menelepon Arman atau sekedar mengirim pesan
singkat. Saat di sekolah pun mereka tidak pernah bertemu. Jika tidak sengaja
berpapasan di lorong sekolah atau di kantin, mereka memilih untuk pura-pura
tidak melihat.
Sebenarnya Alysa merasa tersiksa
dengan hal itu. Ia ingin tahu bagaimana kabar lelaki itu, apa Ujian Nasionalnya
berjalan lancar, bahkan Alysa sempat ingin menelepon dengan alasan mengundang
Arman untuk menonton pertunjukan hari ini. Dan untuk kesekian kalinya, Alysa
membatalkan niatnya.
Bukankah Alysa sendiri yang
mengakhiri hubungan mereka?
Perasaan rindu yang dirasakan Alysa
memuncak sekitar sebulan yang lalu. Saat itu ia tengah latihan di
sanggar, tapi sosok
Arman tiba-tiba muncul di benaknya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk menghapus
bayangan Arman, tapi tidak bisa. Hingga tiba pada suatu gerakan berputar, karena kurang
konsentrasi sepertinya Alysa salah menempatkan kakinya sehingga ia mengalami
cedera ringan.
Tidak ada yang menyadari cedera di
kaki Alysa. Ia menutupinya dengan sangat baik. Tapi tidak sebaik itu, gerakan
Alysa jadi sedikit melambat dan mulai tidak seragam dengan musik pengiring.
Pelatihnya menyadari hal itu dan menegur Alysa berkali-kali.
“Aku berjanji akan lebih baik, Madame.” Hanya itu yang bisa diucapkan
Alysa saat itu.
Tirai panggung terbuka, lampu temaram
menyorot ke arah panggung. Musik yang dimainkan orkestra mulai mengalun dan
menggema di ruang pertunjukkan. Itu tanda bahwa pertunjukan akan segera
dimulai. Semua bersiap untuk memasuki panggung. Dimulai dari para penari latar
yang membuka pertunjukan hari ini.
Tidak lama kemudian, Alysa masuk
sebagai Bawang Putih. Ia berhenti sejenak di tengah panggung dan mendengar
semua orang bertepuk tangan. Alysa menggerakkan tubuhnya dengan anggun
sekaligus sendu karena menggambarkan kesedihan Bawang Putih saat ayahnya
meninggal.
Alysa meninggalkan panggung sejenak, lalu
masuk lagi melalui sisi yang berbeda. Musik mengalun sedikit lebih cepat. Saat
ini Bawang Putih sedang berusaha mengejar pakaian ibunya yang hanyut. Perlahan
musik berubah ceria saat ia berhasil mendapatkan apa yang dicarinya. Ia juga
bertemu dengan seekor ikan yang memberinya sebuah hadiah.
Perlahan Alysa mundur dan menghilang
di balik panggung. Para penari latar memenuhi panggung sementara ia harus mengganti penampilan
serba putihnya menjadi penampilan serba merah ala Bawang Merah. Riasan di
wajahnya juga berbeda. Sekarang, tinggal bagaimana ia melakukan tarian di
panggung.
Alysa kembali memasuki panggung
diiringi musik yang tidak lagi sendu. Sebagai seorang putri yang tamak, Bawang Merah merasa iri dan dengan
hadiah yang diperoleh Bawang Putih. Ia menginginkannya juga. Tapi hadiah yang
diterimanya sangatlah buruk, seburuk perangainya. Bawang Merah menyesali
perbuatannya lalu menghilang dibalik panggung.
Semua adegan dilakukan Alysa dengan
sangat baik. Hingga tiba pada adegan terakhir dimana ia harus kembali menjadi
Bawang Putih yang kini hidup bahagia karena kebaikan hatinya. Alysa semakin
menunjukkan bakatnya. Ia melakukan gerakan tersulitnya, menjaga keseimbangan
dengan ujung jari kakinya. Pertunjukan
diakhiri dengan tarian keceriaan.
Riuh tepuk tangan menggema di ruang
pertunjukan, seiring dengan tirai yang mulai tertutup. Alysa menghela napas
lega. Pertunjukan hari ini sudah selesai.
Sekarang, Alysa hanya ingin
memikirkan bagaimana cara untuk menemui Arman.
***
“Terima kasih. Tapi semua ini
berjalan lancar karena kerja sama kita semua,” ujar Alysa penuh rasa syukur.
Tangis haru menitik di wajah cantik
Alysa. Semua rekan-rekannya menyebut namanya sambil mengucapkan selamat dan
menghujaninya dengan buket bunga. Perasaan haru sekaligus bangga terlihat di
wajah orang-orang yang mengelilingi Alysa. Ada keluarga, pelatih baletnya,
pemilik sanggar balet tempat ia belajar balet, dan teman-teman sanggarnya.
Tapi tidak ada Arman di sana.
Alysa merasa egois karena mengharapkan
kehadiran Arman. Lima bulan sudah berlalu. Mungkin saja saat ini Arman sudah
bahagia dengan gadis yang lain. Ia juga sadar bahwa kandasnya hubungan mereka
adalah akibat dari keegoisannya sendiri. Seolah hanya dirinya yang memiliki
kesibukan. Sementara Arman juga sibuk dengan kegiatan basketnya, persiapan
Ujian Nasionalnya, tapi lelaki itu masih sempat memberinya hadiah di hari jadi
mereka.
Andai saja, waktu bisa berputar
kembali. Alysa ingin memperbaiki semua kesalahannya. Ia ingin
memiliki kehidupan seimbang yang bertumpu pada satu hati. Tapi kini semua itu mustahil terjadi.
Sebuah ketukan di bahu Alysa, membuyarkan lamunannya. Ia kembali ke dalam gegap gempita
teman-temannya yang masih asyik membahas pertunjukan hari ini. Sementara ia
duduk di sofa yang ada di sudut ruangan.
“Alysa, ada yang ingin bertemu denganmu,”
kata seseorang yang mengetuk bahunya tadi.
Dahi Alysa mengernyit. “Siapa?”
“Kau temui saja langsung,” jawab
temannya sambil tersenyum simpul. “Dia menunggumu di sana.”
Alysa tidak bertanya lebih. Didorong
rasa penasaran, ia bangkit dari duduknya dan menuju tempat yang ditunjuk
temannya.
Lelaki itu… berdiri di sana menyandarkan
setengah bahu ke dinding sambil
tersenyum ke arah Alysa. Pipi gadis itu merona kemerahan. Senyuman lelaki
itu masih saja
membuatnya tersipu. Lelaki itu adalah Arman yang dirindukannya.
Alysa mengerjapkan matanya. Ia
berjalan perlahan untuk lebih mendekat ke arah lelaki itu. Tangannya terulur menyentuh bahu
yang gagah itu lalu menyentuh ujung hidung mancung Arman. Ia hanya ingin
memastikan bahwa ini bukan halusinasinya.
Dan sosok itu nyata.
“Selamat atas pertunjukan yang luar
biasa,” kata Arman sambil menyerahkan sebuket mawar merah yang sangat besar.
Hingga Alysa merasa kebingungan saat mencoba menggenggamnya.
“Terima kasih,” balas Alysa sambil
tersenyum. Tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. “Kenapa kau membawa buket
bunga sebesar ini? Akan sulit membawanya pulang.”
Arman terkekeh. “Kalau
begitu, aku akan
mengantarmu pulang.”
Mengantar pulang? Alysa berusaha sedikit menyembunyikan senyumannya. Apa itu berarti Arman masih tetap
sendiri?
“Buket mawar ini tidak akan bisa
menandingi besarnya rasa rindu dan rasa cintaku untukmu, Alysa.”
Sial. Arman
merasakan nada bicaranya sedikit bergetar. Sejak tadi malam ia menghafalkan
sederet kalimat itu atas saran kakaknya. Apapun caranya, ia akan melakukan itu
demi mendapatkan kembali Alysa yang ia cinta.
Gadis di hadapan Arman tidak mengatakan
apa-apa. Alysa hanya terdiam lalu─ astaga kenapa gadis ini malah
menangis? Sial. Perasaan panik menyergap hati Arman. Ini semua tanggung jawab
kakaknya.
“Kenapa kau menangis, Alysa? Apa aku salah
bicara?” tanya Arman sambil kedua tangannya menyentuh kedua bahu Alysa.
“Tidak.” Alysa menggelengkan
kepalanya. “Aku hanya tidak menyangka kau masih mencintaiku hingga saat ini.”
Arman tersenyum simpul lalu mengangkat
dagu Alysa. Sekarang mata mereka saling bertatapan. “Tentu saja. Aku selalu
mencintaimu, Alysa.”
Saat pulang nanti, Arman tahu kepada
siapa ia harus mengucapkan terima kasih.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D