Kamis, 08 Januari 2015

Arabesque


Un... deux... trois...!”

Suara wanita itu menggema diikuti alunan musik dari piano di sudut ruangan. Ruangan itu memiliki dinding dipenuhi cermin besar yang dilengkapi barre. Langit-langitnya berwarna biru dengan gambar awan yang tampak nyata.

Seorang gadis dengan leotard hitam dan stocking merah mudanya sedang bersiap di tengah ruangan. Bagai mendengar mantra sihir, gadis itu mengangkat kepalanya dan melihat lurus ke depan. Musik terus mengalun dan ia mulai meluncur di atas lantai. Gadis itu melompat dan berputar, membuat rok chiffon-nya melambai-lambai. Kakinya bergerak dengan lincah dalam balutan sepatu balet yang dikenakannya.

Gadis itu memperlambat gerekannya lalu berhenti seiring dengan berhentinya alunan musik. Suara tepuk tangan memenuhi udara dan sampai ke telinganya. Seulas senyuman bangga tersungging di bibir gadis itu.

“Bagus sekali, Mademoiselle Alysa.”

Gadis yang dipanggil Alysa itu menundukkan kepalanya sejenak sebagai bentuk rasa hormat. Sejak tadi dua orang pelatih baletnya dan juga pemilik sanggar Princess Dance Academy menonton caranya menari. Saat ini mereka bertiga tengah memuji penampilan Alysa dan membuat gadis itu tersenyum sekali lagi. Tapi salah seorang pelatihnya memperingatkan Alysa untuk terus melatih gerakan arabesque on pointe-nya. Ia sendiri mengakui itu. Gerakan itu memang cukup sulit. Ia harus mengatur keseimbangan agar bisa berdiri dengan satu kaki yang bertumpu pada ujung jemarinya.

Alysa berjalan keluar ruangan lalu menyapa beberapa temannya yang sedang menunggu giliran untuk dipanggil. Saat ini memang sedang diadakan pemilihan untuk pemeran utama dalam pagelaran balet di bulan Juni. Teman-temannya menyambut Alysa dengan menanyakan perasaannya setelah mengikuti audisi. Alysa hanya tersenyum dan memberi semangat kepada teman-temannya, lalu pergi ke ruang ganti.

Di ruang ganti, Alysa mengganti pakaian baletnya dengan baju terusan berwarna cokelat muda dengan pita satin berwarna merah muda di bagian pinggangnya. Sepatu balet yang tadi dikenakannya sudah dilepas dan diganti dengan flat shoes  merah muda.

Alysa tersenyum ke arah cermin, dan bayangannya ikut tersenyum karena sama-sama merasakan kebahagiaan yang tengah ia rasakan. Perlahan ia melepas gelungan rambutnya lalu merapikannya dengan sisir. Pujian tadi masih terngiang di telinganya.  Tapi sedetik kemudian Alysa sadar bahwa ia tidak seharusnya merasa tinggi hati. Hasil pemilihan baru akan diumumkan lima hari dari sekarang. Belum lagi teman-temannya merupakan saingan yang berat.

Begitu selesai membereskan barang-barangnya, Alysa berjalan keluar dari ruang ganti. Sekali lagi ia menyapa teman-temannya dan memberi semangat  sebelum akhirnya ia keluar dari gedung sanggar balet itu. Melangkah dengan rasa bahagia di hatinya.

Sudah delapan tahun berlalu sejak pertama kali Alysa mengenal balet. Saat itu usianya baru delapan tahun tapi ia merasa sangat bahagia setiap melakukan gerakan balet. Walaupun begitu, tapi gerakan arabesque on pointe-nya masih kurang sempurna. Bahkan gerakan itu juga yang menghalanginya untuk terpilih menjadi pemeran utama pertunjukan balet The Nutcracker pada tahun lalu. Tapi kali ini ia sudah bertekad kuat untuk mendapatkan peran utama tahun ini.

Alysa berjalan menyusuri jalan khusus pejalan kaki yang dipenuhi deratan pepohonan. Sanggar balet tempat ia berlatih memang berada di area komplek perumahannya. Suasana tampak lenggang hari ini. Hanya ada Alysa dan daun-daun pepohonan yang tampak menari-nari karena ditiup angin. Suasana ini membuat gadis itu jadi berkhayal dirinya terpilih menjadi pemeran utama. Musik pengiring mengalun dalam benaknya. Jalanan berubah menjadi panggung megah. Alysa mulai bergerak melakukan gerakan piroutte. Ia berputar, berputar, dan sekali lagi...

Tiba-tiba gerakan Alysa terhenti karena ia mendengar suara seseorang bertepuk tangan. Sambil menahan rasa malu, gadis itu menoleh dan mendapati sepasang mata lelaki yang tengah menatapnya.

“Hebat sekali, Mademoiselle Alysa.”

Lelaki itu menyandarkan setengah bahu ke batang pohon sambil tersenyum ke arah Alysa. Pipi gadis itu merona kemerahan. Bukan karena malu, tapi ia senyuman lelaki itu membuatnya tersipu. Lelaki itu adalah kekasih yang dicintainya.

“Arman!” seru Alysa sambil mendekat ke arah lelaki itu.

Arman menyambut semangat Alysa yang meluap-luap dengan meraih tangannya ke dalam genggamannya. Gadis ini tampak sedang merasa sangat bahagia.

“Sejak kapan kau memperhatikanku dari sana, Mr. Stalker?”

“Baru saja,” jawab Arman lalu terkekeh karena Alysa menyebutnya Mr. Stalker. “Tadi aku berniat untuk menjemputmu di sanggar. Tapi saat berbelok, aku melihatmu keluar dari sanggar. Jadi aku memarkirkan mobil dan memutuskan untuk mengejarmu dan tiba-tiba saja kau... menari seperti tadi.”

Alysa tertawa singkat lalu memukul ringan lengan Arman karena merasa malu. Lelaki itu lantas menangkap tangan Alysa untuk menghentikan pukulannya. Sedetik kemudian Arman sudah menautkan jemarinya di sela jemari Alysa lalu menuntun gadis itu menuju mobilnya.

Mereka berdua sudah duduk di dalam mobil Arman. Mesinnya sudah dihidupkan tapi Arman tidak menjalankan mobilnya. Lelaki itu tampak gugup sambil sesekali melirik ke arah laci dasbor mobilnya.

“Alysa, tolong ambilkan... obeng di dalam laci,” ujar Arman cepat seakan menyembunyikan kebohongan dalam kalimatnya.

Obeng? Dahi Arman mengernyit karena menyesali pilihan katanya. Untuk apa ia minta diambilkan obeng? Ia ingin meralat tapi terlambat, Alysa sudah membuka laci dasbor dan menemukan sebuah kotak yang dibungkus rapi dengan kertas kado merah muda. Mata gadis itu terbelalak dan berbinar bahagia.

“Apa ini... untukku?” tanya Alysa sambil meraih kotak itu dari laci.

Arman menganggukkan kepalanya lalu berkata,Apa kau melihat ada gadis cantik di sini selain dirimu?”

Alysa tersenyum lalu mulai memperhatikan kotak dipangkuannya. Perlahan dan hati-hati Alysa membuka bungkus kado itu. Ia berusaha untuk tidak merobek kertas kado yang cantik itu. Alysa  merasa berdebar dan tidak sabar untuk melihat apa isi kotak ini, tapi ia menikmatinya.

Perlahan Alysa melipat rapi kertas kado yang sudah ia lepaskan itu lalu meletakkannya di atas dasbor. Sejenak ia menatap mata Arman sebelum membuka kotak karton untuk melihat isinya. Alysa menahan napas saat membuka hadiah untuknya. Sebuah kotak dari kayu terpampang di hadapannya sekarang. Alunan musik yang lembut terdengar saat kotak itu dibuka. Sebuah patung ballerina yang berada di tengah kotak berputar mengikuti irama musik. Alysa tersenyum bahagia lalu meraih sepucuk kertas yang terlipat di dalam kotak, lalu membaca isinya.

Alysa,
Happy 1st anniversary...
Tidak terasa sudah satu tahun kita bersama dan aku berharap kita bersama untuk selamanya.
Hanya kau gadis yang selalu menari di dalam hatiku.
I love you.

Senyum bahagia Alysa lenyap dan berganti dengan senyum canggung setelah membaca tulisan di kertas itu. Ia lupa sama sekali bahwa hari ini merupakan hari penting bagi dirinya dan Arman. Jadwal latihan balet yang padat memang cukup menyita waktunya.

Arman tampak terkejut dengan perubahan ekspresi Alysa. Apa kata-kata yang ditulisnya terlalu berlebihan? Sepertinya rasa khawatrikannya terbukti. Arman memang tipikal lelaki yang tidak pandai merangkai kata. Tapi kakaknya berkata bahwa seorang gadis menyukai kata-kata yang indah. Dengan bodohnya, Arman percaya begitu saja pada gadis usil seperti kakaknya.

“Arman, maaf...” gumam Alysa sambil menggigit bibirnya. Gadis itu menundukkan kepala ke arah kertas itu. Tidak berani menatap kekasihnya. “Maafkan aku.”

Seburuk itukah kata-katanya? Bahkan Alysa sampai harus meminta maaf untuk itu. Arman bersumpah ia akan mengajukan protes besar-besaran kepada kakaknya itu begitu ia tiba di rumah.

“Arman, maaf. Aku tidak menyiapkan hadiah apapun untukmu,” ujar Alysa kemudian. Tidak mungkin ia berkata terus terang bahwa ia melupakan hari penting ini. Ia memilih kata dengan hati-hati karena takut melukai perasaan Arman.

Udara di sekeliling Arman jadi terasa lebih ringan sekarang. Ia mengembuskan napas pelan dan tersenyum lega. Ternyata penyebab perubahan ekspresi Alysa bukan seperti dugaannya. Kalau sekadar tidak menyiapkan hadiah balasan, ia bisa memaklumi itu. Gadis ini tentu sangat sibuk dengan kegiatan baletnya.

“Tidak apa-apa, Alysa.” Arman mengusap lembut pipi gadisnya dengan ibu jari. “Kau bisa menghadiahkanku pengumuman terpilihnya kau menjadi tokoh utama dalam pertunjukkan balet.”

Alysa menganggukkan kepalanya lalu tersenyum lembut kepada Arman. Sesaat kemudian senyuman itu sudah berubah menjadi senyuman usil untuk menggoda Arman.

“Atau aku bisa memberimu hadiah sebuah obeng, karena aku tidak menemukannya di laci dasbormu,” gurau Alysa lantas tertawa.

Arman ikut tertawa mendengar gurauan Alysa. Mereka berdua tampak sangat bahagia. Seakan tidak ada satu pun kutukan yang mampu menghancurkan kebahagiaan itu.

***

Alysa mengerjapkan matanya seakan tidak percaya. Orang-orang di sekelilingnya sibuk mengucapkan selamat kepadanya. Tapi gadis itu seakan terbius dan tidak bisa mendengar apapun selain ledakan kembang api bahagia di dalam hatinya.

Namanya terpampang jelas di papan pengumuman yang ada di hadapan Alysa. Ia terpilih sebagai pemeran utama pada pertunjukkan balet yang mengangkat sebuah cerita rakyat berjudul Bawang Merah dan Bawang Putih.

Cerita rakyat itu berkisah tentang adik-kakak yang hanya tinggal bersama ibu mereka karena ayah mereka sudah meninggal. Bawang Merah sang kakak merupakan gadis yang malas, sombong, dan tamak. Sementara Bawang Putih sang adik memiliki perangai yang bertolak belakang dengan kakaknya, ia gadis yang sederhana, jujur, dan rendah hati. Dalam pertunjukkan ini, Alysa dituntut untuk memerankan kedua karakter itu. Dan ia bertekad untuk menunjukkan kemampuan terbaiknya.

“Ayo kita mulai latihan hari ini,” suara pelatih yang memanggil dari depan pintu ruang latih membuyarkan lamunan Alysa. Ia dan teman-temannya berbondong-bondong menjauhi papan pengumuman lalu masuk ke ruang latihan.

 Tuts-tuts piano mulai ditekan dan mengalunkan melodi yang lembut. Sambil berpegangan pada barre, para pebalet di ruangan itu melakukan gerakan-gerakan balet mengikuti irama musik sesuai instruksi pelatih mereka.

Senyum terus terkembang di wajah Alysa. Ia merasa tidak sabar untuk segera menyampaikan berita baik ini kepada Arman. Lelaki itu mengajaknya makan malam di restoran pada Sabtu akhir pekan nanti. Mereka berdua akan merayakan anniversary pertama dan merayakan terpilihnya Alysa untuk pertunjukkan balet tahun ini.

Alysa yakin ia adalah gadis paling bahagia di dunia ini!

***

Ruang kelas itu sudah sepi sejak tiga puluh menit yang lalu. Tapi Arman masih duduk di tempatnya sambil membaca majalah olahraga. Ia sedang menunggu Alysa yang masih menghadiri rapat pengurus kelas sebelas. Sebenarnya ia tidak sedang fokus pada halaman jadwal pertandingan sepak bola yang terpampang di hadapannya. Benak Arman dipenuhi dengan kencan Sabtu malamnya bersama Alysa.

Sejak seminggu yang lalu, Arman sudah memesan tempat di salah satu restoran dengan suasana yang menurutnya cukup romantis. Ia juga sudah menyiapkan hadiah untuk diberikan kepada Alysa yang terpilih menjadi pemeran utama pertunjukkan balet yang menjadi impian gadis itu. Beberapa pakaian juga sudah disiapkan Arman untuk hari spesial itu.

“Kak Arman.”

Arman mengangkat kepala lalu menoleh ke arah pintu kelas saat mendengar suara seorang gadis menyebut namanya. Sesaat ia mengira itu adalah Alysa, tapi ternyata bukan. Gadis itu adalah murid kelas sepuluh yang akhir-akhir ini mendekati Arman.

“Belum pulang, Kak?” tanya gadis itu sambil memiringkan kepalanya sehingga rambutnya yang diikat tinggi bergerak-gerak dengan cantiknya.

Arman mendesah kesal. Gadis itu masih saja bersikap manis terhadap dirinya. Padahal ia sudah menolak secara halus dan mengatakan bahwa ia sudah memiliki seorang kekasih.

“Aku baru saja selesai latihan, Kak. Dan ini pertama kalinya aku mengenakan seragam cheerleader sekolah ini,” ujar gadis itu lalu berputar satu kali. “Bagaimana menurut Kak Arman? Apa aku cantik?”

Arman mengalihkan pandangannya dan berusaha tidak peduli. Lalu ia bergumam, “Ya. Cantik.”

Tapi tidak lebih cantik dari Alysa, tambah Arman dalam hati.

“Terima kasih,” ujar gadis itu tersipu mendengar jawaban Arman. “Kak Arman sedang menunggu Kak Alysa?”

Arman hanya menganggukkan kepalanya. Ia berharap gadis ini sudah pergi sebelum Alysa datang.

“Pasti Kak Alysa bahagia ditunggu oleh lelaki setampan Kak Arman.” Rambut gadis itu kembali bergerak-gerak. “Pasti kalian akan kencan pada Sabtu malam. Benar?”

“Ya,” jawab Arman menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

“Apa aku boleh ikut?”

Jangan bercanda. Sebenarnya apa yang diinginkan gadis ini? Arman mendengus kesal lalu berkata, “Tentu saja tidak boleh ikut.”

Gadis itu tampak hendak mengeluarkan kata-kata merajuk, tapi Arman tidak menghiraukannya. Ia melihat Alysa sedang berdiri di pintu kelasnya dengan ekspresi yang muram. Alysa bisa salah paham jika seperti ini. Secepat mungkin Arman bangkit dan menyambut Alysa.

“Arman, maafkan aku...” ujar Alysa lirih.

Lelaki itu lantas tersenyum. “Tidak apa. Aku tidak keberatan menunggumu.”

“Bukan itu.” Alysa menggigit bibirnya seakan sulit untuk mengeluarkan kata-kata yang harus diucapkannya. “Aku tidak bisa pergi kencan denganmu besok malam.”

Semburat kecewa tampak di mata Arman. Tidak ada sedetik pun waktu tersedia untuk ia menyembunyikannya. Tapi ia yakin bahwa ada alasan kuat yang mebuat Alysa membatalkan kencan di hari penting mereka.

“Latihan balet untuk pertunjukkan dimulai pada hari Sabtu.” Alysa mengatakan alasannya. “Maafkan aku.”

“Tidak apa-apa,” ujar Arman sambil mengelus puncak kepala Alysa penuh kasih sayang. “Kita bisa pergi lain kali.”

Alysa hanya menganggukkan kepalanya mendengar suara Arman yang menenangkan.

“Aneh sekali.”

Suara gumaman itu membuat Arman kembali teringat bahwa masih ada orang selain mereka berdua di ruang kelas ini.

“Kalau aku berada di posisi Kak Alysa, aku pasti akan membolos latihan cheerleader dan lebih memilih janji kencan yang sudah disepakati sebelumnya,” murid kelas sepuluh itu menyatakan pendapatnya secara terang-terangan. “Aku merasa kasihan pada Kak Arman

Berisik!” Arman menggeram dengan gigi yang dirapatkan.

Tapi gadis itu tidak merasa gentar. “Menurutku, tidak apa-apa sesekali membolos latihan. Yang terpenting adalah prestasi dan kisah cinta berjalan seimbang dan tidak berat sebelah. Atau lebih baik pilih salah satu saja. Jangan memaksakan untuk menjalani keduanya tapi tidak bisa berlaku adil

“Diam! Behenti bicara!” Kali ini Arman membentak dengan suara yang lebih keras. “Kau tidak tahu apa-apa tentang Alysa. Kau tidak tahu apa-apa tentang kami berdua! Aku mencintai Alysa.”

Sontak gadis itu terdiam karena ia tidak menduga bahwa Arman akan membentaknya begitu keras. Ia menghela napas kecewa. Dahinya mengernyit saat menyadari sudah tidak ada celah di hati Arman untuk dirinya ataupun gadis lain. Hati itu sudah dipenuhi oleh Alysa.

“Sepertinya sudah tidak ada lagi harapan untukku,” gumam gadis itu sambil menatap ujung rok seragam cheerleader-nya. Ia melangkah maju lalu berhenti di sisi Arman. “Tapi aku harus mengambil salam selamat tinggal dari Kak Arman.”

Arman dan Alysa melongo karena memikirkan apa maksud dari salam selamat tinggal yang diucapkan adik kelas mereka itu. Tanpa menunggu lebih lama, mereka segera mendapatkan jawabannya. Tiba-tiba gadis itu berjinjit dan mendaratkan kecupan ringan di pipi kanan Arman.

“Selamat tinggal, Kak Arman,” ujar gadis itu lantas cepat-cepat pergi.

Sontak Alysa menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia merasa sangat terkejut dengan tindakan impulsif itu. Selama satu tahun menjalin hubungan dengan Arman, tidak pernah sekalipun ia bertindak seberani itu.

Begitu juga dengan Arman. Lelaki itu merasa sangat terkejut dengan tindakan yang tak terduga itu. Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh gadis itu? Tiba-tiba Arman merasa bersalah kepada Alysa. Pasti hati gadis itu sangat terluka saat ini.

Arman meraih tangan Alysa yang tampak gemetar. Tapi Alysa menepiskan tangannya. Menolak untuk disentuh. Dahi Arman mengernyit pahit. Ia tahu bahwa gadis ini terluka.

“Alysa… maaf… aku… tidak…” Arman mencoba menyentuh Alysa tapi ia menarik kembali tangannya.

Alysa menggigit bibirnya karena merasakan perih di hati. Ia tahu Arman tidak bermaksud seperti itu. Tapi air matanya terasa mendesak di pelupuk matanya tanpa diminta. Alysa menggigit bibirnya untuk mencegah air matanya keluar.

Tapi tidak berhasil.

Setiap tetes air mata yang mengalir di pipi Alysa, memumpuk perasaan bersalah di hati Arman. Lelaki itu selalu ingin melihat Alysa bahagia, bukan berlinang air mata. Arman merasa tidak tahan dan merengkuh gadisnya dalam pelukan.

Tidak ada penolakan. Tapi tubuh Alysa gemetar menahan perasaannya.

“Gadis itu benar…” Alysa berkata di sela isakannya. “Aku memang tidak bisa berlaku adil.”

Arman mempererat pelukannya. “Aku mohon, Alysa. Jangan dengarkan apapun yang dikatakan gadis itu…”

Alysa membebaskan diri dari dekapan Arman dan mundur satu langkah. Jemarinya yang gemetar mencoba menghapus air mata  di pipi. “Aku yakin, kau bisa memiliki kekasih yang jauh lebih baik dari aku.” Alysa memaksa tersenyum dalam tangisnya.

Arman menggelengkan kepalanya. Tidak setuju dengan perkataan Alysa. Pikirannya mendadak terasa kacau.

“Tidak akan ada yang lebih baik darimu. Aku… aku mencintaimu, Alysa.”

“Aku rasa, hubungan kita cukup sampai di sini, Arman,” ujar Alysa seperti tidak mendengarkan perkataan Arman. Wajah Arman pucat pasi saat mendengar kata-kata Alysa selanjutnya. “Maafkan aku, Arman. Tapi aku lebih memilih balet. Aku ingin fokus di sana. Kau juga harus konsentrasi belajar untuk menghadapi Ujian Nasional, kan?”

Alysa kembali memaksakan senyum saat mengucapkan kalimatnya yang terakhir. Sementara bahu Arman terasa lemas seakan tidak memiliki tulang. Saat ini seolah terbentang jurang lebar di antara mereka berdua.

Hubungan ini sudah berakhir.

***

Gedung pertunjukkan sudah mulai dipadati penonton. Mereka tampak antusias untuk menyaksikan pertunjukan hari ini. Spanduk besar bergambar seorang penari balet yang menjadi tokoh utama terpampang di  bagian depan gedung, disertai tulisan PERTUNJUKAN BALET CERITA RAKYAT BAWANG MERAH BAWANG PUTIH.

 Di dalam ruang rias, Alysa tengah merasa berdebar-debar. Ada setitik perasaan cemas di sudut hatinya. Ia takut jika hari ini ia tidak bisa menampilkan yang terbaik. Alysa memejamkan matanya lalu mulai memohon dalam hati agar semua baik-baik saja.

“Kau pasti bisa, Alysa,” kata seorang teman Alysa sambil menepuk bahunya.

“Jangan gugup. Santai saja,” sambung temannya yang lain.

Alysa membuka matanya dan melihat teman-temannya. Ia tersenyum untuk meyakinkan bahwa semua akan berjalan lancar. Ini hari yang penting, jadi ia tidak boleh memikirkan hal selain pertunjukan.

Pada awalnya, semua berjalan lancar. Tapi semua berubah ketika bayangan Arman kembali muncul dalam benaknya. Tangan Alysa merasa tidak tahan untuk menelepon Arman atau sekedar mengirim pesan singkat. Saat di sekolah pun mereka tidak pernah bertemu. Jika tidak sengaja berpapasan di lorong sekolah atau di kantin, mereka memilih untuk pura-pura tidak melihat.

Sebenarnya Alysa merasa tersiksa dengan hal itu. Ia ingin tahu bagaimana kabar lelaki itu, apa Ujian Nasionalnya berjalan lancar, bahkan Alysa sempat ingin menelepon dengan alasan mengundang Arman untuk menonton pertunjukan hari ini. Dan untuk kesekian kalinya, Alysa membatalkan niatnya.

Bukankah Alysa sendiri yang mengakhiri hubungan mereka?

Perasaan rindu yang dirasakan Alysa memuncak sekitar sebulan yang lalu. Saat itu ia tengah latihan di sanggar, tapi sosok Arman tiba-tiba muncul di benaknya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk menghapus bayangan Arman, tapi tidak bisa. Hingga tiba pada suatu gerakan berputar, karena kurang konsentrasi sepertinya Alysa salah menempatkan kakinya sehingga ia mengalami cedera ringan.

Tidak ada yang menyadari cedera di kaki Alysa. Ia menutupinya dengan sangat baik. Tapi tidak sebaik itu, gerakan Alysa jadi sedikit melambat dan mulai tidak seragam dengan musik pengiring. Pelatihnya menyadari hal itu dan menegur Alysa berkali-kali.

“Aku berjanji akan lebih baik, Madame.” Hanya itu yang bisa diucapkan Alysa saat itu.

Tirai panggung terbuka, lampu temaram menyorot ke arah panggung. Musik yang dimainkan orkestra mulai mengalun dan menggema di ruang pertunjukkan. Itu tanda bahwa pertunjukan akan segera dimulai. Semua bersiap untuk memasuki panggung. Dimulai dari para penari latar yang membuka pertunjukan hari ini.

Tidak lama kemudian, Alysa masuk sebagai Bawang Putih. Ia berhenti sejenak di tengah panggung dan mendengar semua orang bertepuk tangan. Alysa menggerakkan tubuhnya dengan anggun sekaligus sendu karena menggambarkan kesedihan Bawang Putih saat ayahnya meninggal.
Alysa meninggalkan panggung sejenak, lalu masuk lagi melalui sisi yang berbeda. Musik mengalun sedikit lebih cepat. Saat ini Bawang Putih sedang berusaha mengejar pakaian ibunya yang hanyut. Perlahan musik berubah ceria saat ia berhasil mendapatkan apa yang dicarinya. Ia juga bertemu dengan seekor ikan yang memberinya sebuah hadiah.

Perlahan Alysa mundur dan menghilang di balik panggung. Para penari latar memenuhi panggung sementara ia harus mengganti penampilan serba putihnya menjadi penampilan serba merah ala Bawang Merah. Riasan di wajahnya juga berbeda. Sekarang, tinggal bagaimana ia melakukan tarian di panggung.

Alysa kembali memasuki panggung diiringi musik yang tidak lagi sendu. Sebagai seorang putri yang tamak, Bawang Merah merasa iri dan dengan hadiah yang diperoleh Bawang Putih. Ia menginginkannya juga. Tapi hadiah yang diterimanya sangatlah buruk, seburuk perangainya. Bawang Merah menyesali perbuatannya lalu menghilang dibalik panggung.

Semua adegan dilakukan Alysa dengan sangat baik. Hingga tiba pada adegan terakhir dimana ia harus kembali menjadi Bawang Putih yang kini hidup bahagia karena kebaikan hatinya. Alysa semakin menunjukkan bakatnya. Ia melakukan gerakan tersulitnya, menjaga keseimbangan dengan ujung jari kakinya.  Pertunjukan diakhiri dengan tarian keceriaan.

Riuh tepuk tangan menggema di ruang pertunjukan, seiring dengan tirai yang mulai tertutup. Alysa menghela napas lega. Pertunjukan hari ini sudah selesai.

Sekarang, Alysa hanya ingin memikirkan bagaimana cara untuk menemui Arman.

***

“Terima kasih. Tapi semua ini berjalan lancar karena kerja sama kita semua,” ujar Alysa penuh rasa syukur.

Tangis haru menitik di wajah cantik Alysa. Semua rekan-rekannya menyebut namanya sambil mengucapkan selamat dan menghujaninya dengan buket bunga. Perasaan haru sekaligus bangga terlihat di wajah orang-orang yang mengelilingi Alysa. Ada keluarga, pelatih baletnya, pemilik sanggar balet tempat ia belajar balet, dan teman-teman sanggarnya.

 Tapi tidak ada Arman di sana. 
 
Alysa merasa egois karena mengharapkan kehadiran Arman. Lima bulan sudah berlalu. Mungkin saja saat ini Arman sudah bahagia dengan gadis yang lain. Ia juga sadar bahwa kandasnya hubungan mereka adalah akibat dari keegoisannya sendiri. Seolah hanya dirinya yang memiliki kesibukan. Sementara Arman juga sibuk dengan kegiatan basketnya, persiapan Ujian Nasionalnya, tapi lelaki itu masih sempat memberinya hadiah di hari jadi mereka.

Andai saja, waktu bisa berputar kembali. Alysa ingin memperbaiki semua kesalahannya. Ia ingin memiliki kehidupan seimbang yang bertumpu pada satu hati. Tapi kini semua itu mustahil terjadi.

Sebuah ketukan di bahu Alysa, membuyarkan lamunannya. Ia kembali ke dalam gegap gempita teman-temannya yang masih asyik membahas pertunjukan hari ini. Sementara ia duduk di sofa yang ada di sudut ruangan.

“Alysa, ada yang ingin bertemu denganmu,” kata seseorang yang mengetuk bahunya tadi.

Dahi Alysa mengernyit. “Siapa?”

“Kau temui saja langsung,” jawab temannya sambil tersenyum simpul. “Dia menunggumu di sana.”

Alysa tidak bertanya lebih. Didorong rasa penasaran, ia bangkit dari duduknya dan menuju tempat yang ditunjuk temannya.

Lelaki itu… berdiri di sana menyandarkan setengah bahu ke dinding sambil tersenyum ke arah Alysa. Pipi gadis itu merona kemerahan. Senyuman lelaki itu masih saja membuatnya tersipu. Lelaki itu adalah Arman yang dirindukannya.

Alysa mengerjapkan matanya. Ia berjalan perlahan untuk lebih mendekat ke arah lelaki itu. Tangannya terulur menyentuh bahu yang gagah itu lalu menyentuh ujung hidung mancung Arman. Ia hanya ingin memastikan bahwa ini bukan halusinasinya.

Dan sosok itu nyata.

“Selamat atas pertunjukan yang luar biasa,” kata Arman sambil menyerahkan sebuket mawar merah yang sangat besar. Hingga Alysa merasa kebingungan saat mencoba menggenggamnya.

“Terima kasih,” balas Alysa sambil tersenyum. Tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. “Kenapa kau membawa buket bunga sebesar ini? Akan sulit membawanya pulang.”

Arman terkekeh. “Kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang.”

Mengantar pulang? Alysa berusaha sedikit menyembunyikan senyumannya. Apa itu berarti Arman masih tetap sendiri? 
 
“Buket mawar ini tidak akan bisa menandingi besarnya rasa rindu dan rasa cintaku untukmu, Alysa.”

Sial. Arman merasakan nada bicaranya sedikit bergetar. Sejak tadi malam ia menghafalkan sederet kalimat itu atas saran kakaknya. Apapun caranya, ia akan melakukan itu demi mendapatkan kembali Alysa yang ia cinta.

Gadis di hadapan Arman tidak mengatakan apa-apa. Alysa hanya terdiam lalu astaga kenapa gadis ini malah menangis? Sial. Perasaan panik menyergap hati Arman. Ini semua tanggung jawab kakaknya.

 “Kenapa kau menangis, Alysa? Apa aku salah bicara?” tanya Arman sambil kedua tangannya menyentuh kedua bahu Alysa.

“Tidak.” Alysa menggelengkan kepalanya. “Aku hanya tidak menyangka kau masih mencintaiku hingga saat ini.”

Arman tersenyum simpul lalu mengangkat dagu Alysa. Sekarang mata mereka saling bertatapan. “Tentu saja. Aku selalu mencintaimu, Alysa.”

Saat pulang nanti, Arman tahu kepada siapa ia harus mengucapkan terima kasih.


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D