Jumat, 20 Februari 2015

Cinta Putih Monyet Merah


Keringat menetes dari pelipis lelaki itu. Ia berjalan menuju kelasnya dengan nafas tersengal karena hukuman yang ia dapatkan dari guru olah raganya. Segala emosinya terkumpul membuat alisnya menyatu dan tanduk seolah keluar dari kepalanya. Seorang gadis yang tengah berjalan dari arah sebaliknya mulai menarik perhatiannya. Rambutnya panjang tergerai indah dengan langkah anggun bak seorang model. Lelaki itu tak dapat mengalihkan perhatiannya, hingga gadis itu berhenti tepat di depannya.

“Permisi, kantor kepala sekolah dimana?” Tanya gadis itu ramah.

“Aku akan mengantarmu.” Kata lelaki itu dengan senyum di wajahnya, melupakan kekesalan di hatinya. “Siswa baru?” Tanya lelaki itu setelah menyamakan langkah.

“Iya, aku Arin.” Gadis itu memperkenalkan diri.

“Aku Adnan”  Kata lelaki itu mengeluarkan segala pesonanya. Aku harus pacaran dengan gadis ini, pikirnya dalam hati. Adnan yang memang berwajah tampan dikenal sering mendekati gadis-gadis di sekolahnya, sifatnya yang supel, ramah dan baik hati membuat gadis-gadis di sekolahnya tak dapat menolak pesonanya.

“Kelas berapa?” Tanya Arin memastikan apakah ada kemungkinan lelaki tampan ini sekelas dengannya.

“Kelas enam. Kau?”

“Sama.” Kelegaan menjalar di hati Arin. Ia harus bisa mendapatkan Adnan untuk dipamerkan pada teman-teman di sekolah lamanya, batinnya dalam hati. Akhirnya mereka sampai di kantor kepala sekolah dan Adnan berpamitan pada Arin untuk segera kembali ke kelas.

“Senang berkenalan dengan gadis cantik sepertimu.” Kata Adnan sambil mengedipkan sebelah matanya dan berbalik menuju kelasnya.

Sejak saat itu Adnan semakin dekat dengan Arin. Bangku yang sengaja diatur oleh Adnan agar bisa bersebelahan dengan Arin rupanya semakin mendekatkan mereka. Kantin, perpustakaan maupun di kelas, mereka selalu terlihat berdua hingga teman-teman mereka iri dengan kedekatan mereka.

Siang itu sepulang sekolah mendung tampak menyelimuti langit. Air menetes dengan kecepatan konstan mengguyur permukaan bumi. Lebih dari setengah siswa harus menunggu hujan reda agar bisa pulang ke rumah masing-masing. Adnan mulai menjalankan rencana yang telah disusunnya beberapa hari yang lalu. Ia berjalan mendekati Arin.

“Mau pulang bersamaku?” Tanya Adnan sambil menggoyangkan payung yang di angkatnya. Arin tersenyum, mengangguk dan mereka mulai menyamakan langkah berjalan seirama di bawah lindungan payung hijau milik Adnan.

“Arin..” Gumam Adnan pelan.

“Kau memanggilku?” Arin memastikan karena suara hujan nyaris menulikan telinganya.

“Aku menyukaimu sejak pertama kita bertemu. Maukah kau jadi pacarku?” Arin menghentikan langkahnya. Adnan yang menyadari Arin tertinggal beberapa langkah dibelakangnya segera mundur untuk melindungi Arin dari guyuran hujan.

“Maaf, kalau aku lancang.” Kata Adnan meraih tangan Arin. Arin menggeleng pelan.

“Bagaimana aku bisa menolak lelaki sepertimu Adnan.” Kata Arin dengan senyumnya. Adnan pun kegirangan dan menggenggam tangan Arin sepanjang jalan. Seorang lelaki dengan seragam biru putih yang basah kuyup menghentikan kayuhan sepedanya di depan Adnan dan Arin.

“Arin, masih kecil udah pegangan tangan!” Bentak lelaki itu membuat Arin ketakutan dan segera melepaskan genggaman tangan Adnan. “Ayo pulang. Kecil-kecil udah macem-macem aja kalian ini.” Imbuhnya membuat mata Arin berkaca-kaca. Dan berlari meninggalkan Adnan dan lelaki itu. Lelaki itu segera mengayuh sepedanya mengejar Arin dan meninggalkan Adnan begitu saja.

Keesokan harinya Adnan menunggu gadis itu di depan gerbang sambil melipat tangannya. Tak lama ia melihat Arin datang.

“Arin siapa laki-laki kemarin?” Tanya Adnan dengan nadanya yang seoktaf lebih tinggi.

“Dia kakakku.” Arin terus melangkah dengan cepat menuju kelasnya. Adnan terus mengejarnya hingga mereka duduk di bangku kelas. Arin melipat tangannya di atas meja, kemudian menempelkan dahinya diatas lipatan tangannya.

“Arin..” Panggil Adnan pelan.

“Aku tidak mau pacaran denganmu. Aku takut dengan kakakku.” Ujar Arin berlinang air mata. Otomatis Adnan yang pemarah pun tak bisa menerima keputusan Arin.

“Kamu tuh gara-gara gini aja nggak mau pacaran. Yang dewasa dikit dong!” Bentak Adnan meninggalkan Arin yang masih menangis. Sejak itu mereka tak pernah bertegur sapa. Bahkan Adnan pun pindah ke kursi paling belakang.

“Nan, ada cewek cantik. Pindahan. Kelas empat.” Kata Alif yang sedang menikmati onde-onde yang dibelinya di kantin.

“Ah, masih bocah Lif. Aku sukanya yang udah gede. Itu tuh kaya dia nah cantik.” Ditunjuknya seorang gadis yang tengah menulis di kursi depan ruang kelas lima. Adnan mulai melangkah mendekati gadis itu.


“Hai Afika..” Sapa Adnan tak lupa dengan menebarkan segala pesona yang dimilikinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D