Keringat menetes dari pelipis lelaki itu. Ia berjalan menuju kelasnya dengan nafas tersengal karena hukuman yang ia dapatkan dari guru olah raganya. Segala emosinya terkumpul membuat alisnya menyatu dan tanduk seolah keluar dari kepalanya. Seorang gadis yang tengah berjalan dari arah sebaliknya mulai menarik perhatiannya. Rambutnya panjang tergerai indah dengan langkah anggun bak seorang model. Lelaki itu tak dapat mengalihkan perhatiannya, hingga gadis itu berhenti tepat di depannya.
“Permisi,
kantor kepala sekolah dimana?” Tanya gadis itu ramah.
“Aku
akan mengantarmu.” Kata lelaki itu dengan senyum di wajahnya, melupakan
kekesalan di hatinya. “Siswa baru?” Tanya lelaki itu setelah menyamakan
langkah.
“Iya,
aku Arin.” Gadis itu memperkenalkan diri.
“Aku
Adnan” Kata lelaki itu mengeluarkan
segala pesonanya. Aku harus pacaran
dengan gadis ini, pikirnya dalam hati. Adnan yang memang berwajah tampan
dikenal sering mendekati gadis-gadis di sekolahnya, sifatnya yang supel, ramah
dan baik hati membuat gadis-gadis di sekolahnya tak dapat menolak pesonanya.
“Kelas
berapa?” Tanya Arin memastikan apakah ada kemungkinan lelaki tampan ini sekelas
dengannya.
“Kelas
enam. Kau?”
“Sama.”
Kelegaan menjalar di hati Arin. Ia harus bisa mendapatkan Adnan untuk
dipamerkan pada teman-teman di sekolah lamanya, batinnya dalam hati. Akhirnya
mereka sampai di kantor kepala sekolah dan Adnan berpamitan pada Arin untuk
segera kembali ke kelas.
“Senang
berkenalan dengan gadis cantik sepertimu.” Kata Adnan sambil mengedipkan
sebelah matanya dan berbalik menuju kelasnya.
Sejak
saat itu Adnan semakin dekat dengan Arin. Bangku yang sengaja diatur oleh Adnan
agar bisa bersebelahan dengan Arin rupanya semakin mendekatkan mereka. Kantin,
perpustakaan maupun di kelas, mereka selalu terlihat berdua hingga teman-teman
mereka iri dengan kedekatan mereka.
Siang
itu sepulang sekolah mendung tampak menyelimuti langit. Air menetes dengan
kecepatan konstan mengguyur permukaan bumi. Lebih dari setengah siswa harus
menunggu hujan reda agar bisa pulang ke rumah masing-masing. Adnan mulai
menjalankan rencana yang telah disusunnya beberapa hari yang lalu. Ia berjalan
mendekati Arin.
“Mau
pulang bersamaku?” Tanya Adnan sambil menggoyangkan payung yang di angkatnya. Arin
tersenyum, mengangguk dan mereka mulai menyamakan langkah berjalan seirama di
bawah lindungan payung hijau milik Adnan.
“Arin..”
Gumam Adnan pelan.
“Kau
memanggilku?” Arin memastikan karena suara hujan nyaris menulikan telinganya.
“Aku
menyukaimu sejak pertama kita bertemu. Maukah kau jadi pacarku?” Arin
menghentikan langkahnya. Adnan yang menyadari Arin tertinggal beberapa langkah
dibelakangnya segera mundur untuk melindungi Arin dari guyuran hujan.
“Maaf,
kalau aku lancang.” Kata Adnan meraih tangan Arin. Arin menggeleng pelan.
“Bagaimana
aku bisa menolak lelaki sepertimu Adnan.” Kata Arin dengan senyumnya. Adnan pun
kegirangan dan menggenggam tangan Arin sepanjang jalan. Seorang lelaki dengan
seragam biru putih yang basah kuyup menghentikan kayuhan sepedanya di depan
Adnan dan Arin.
“Arin,
masih kecil udah pegangan tangan!” Bentak lelaki itu membuat Arin ketakutan dan
segera melepaskan genggaman tangan Adnan. “Ayo pulang. Kecil-kecil udah
macem-macem aja kalian ini.” Imbuhnya membuat mata Arin berkaca-kaca. Dan
berlari meninggalkan Adnan dan lelaki itu. Lelaki itu segera mengayuh sepedanya
mengejar Arin dan meninggalkan Adnan begitu saja.
Keesokan
harinya Adnan menunggu gadis itu di depan gerbang sambil melipat tangannya. Tak
lama ia melihat Arin datang.
“Arin
siapa laki-laki kemarin?” Tanya Adnan dengan nadanya yang seoktaf lebih tinggi.
“Dia
kakakku.” Arin terus melangkah dengan cepat menuju kelasnya. Adnan terus
mengejarnya hingga mereka duduk di bangku kelas. Arin melipat tangannya di atas
meja, kemudian menempelkan dahinya diatas lipatan tangannya.
“Arin..”
Panggil Adnan pelan.
“Aku
tidak mau pacaran denganmu. Aku takut dengan kakakku.” Ujar Arin berlinang air
mata. Otomatis Adnan yang pemarah pun tak bisa menerima keputusan Arin.
“Kamu
tuh gara-gara gini aja nggak mau pacaran. Yang dewasa dikit dong!” Bentak Adnan
meninggalkan Arin yang masih menangis. Sejak itu mereka tak pernah bertegur
sapa. Bahkan Adnan pun pindah ke kursi paling belakang.
“Nan,
ada cewek cantik. Pindahan. Kelas empat.” Kata Alif yang sedang menikmati
onde-onde yang dibelinya di kantin.
“Ah,
masih bocah Lif. Aku sukanya yang udah gede. Itu tuh kaya dia nah cantik.”
Ditunjuknya seorang gadis yang tengah menulis di kursi depan ruang kelas lima.
Adnan mulai melangkah mendekati gadis itu.
“Hai
Afika..” Sapa Adnan tak lupa dengan menebarkan segala pesona yang dimilikinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D