Sudah nyaris enam tahun berlalu. Hari-hari Trisia terasa begitu sulit setelah kepergian Leo. Namun Harry masih setia mendampinginya. Sepanjang hari kondisi Trisia semakin buruk, bahkan mungkin nyaris gila. Hari-hari setelah kepergian Leo, ia hanya menghabiskan waktunya untuk melamun, menatap makam Leo dengan pandangan kosong, kemudian beberapa kali gadis itu nyaris bunuh diri.
“Apa yang kau lakukan?” Teriak
Harry dengan sigap menarik tangan Trisia. Kaki kanan gadis itu sudah berada di
luar jendela kamarnya yang ada di lantai tujuh. Nyaris saja. Seandainya saat
itu Harry tak menerobos masuk ke flat Trisia, mungkin ia akan benar-benar
terlambat dan kehilangan segalanya.
Trisia masih saja terdiam,
wajahnya semakin tirus dan lingkaran hitam di bawah matanya terlihat begitu
nyata. Trisia kembali terisak dan Harry menuntunnya ke sofa yang ada di samping
jendela. Memeluk gadis itu dengan hati yang begitu hancur.
‘Mengapa
bukan aku saja?’ Pikiran Harry menyesalinya. Jika ia yang mengalami kecelakaan
hari itu, ia tak akan kehilangan adiknya dan tak akan melihat gadis yang
dicintainya tampak begitu frustasi.
“Harry,
ayo.” Ujar seorang gadis menepuk pundak Harry yang tengah melamun.
“Tentu
sayang, apa kau yakin?” Tanya Harry setelah mengecup kening gadisnya. Gadis itu
tersenyum menyandarkan kepalanya pada dada bidang Harry. Kemudian mengangguk
pelan.
***
Leo…
Lelaki yang akan selalu ada di hatinya. Bahkan setelah sekian lama
kepergiannya. Trisia duduk di samping nisan yang terukir nama Leo. Air matanya
kembali lolos dari pelupuk matanya. Lelaki yang dulu begitu dicintainya. Bahkan
setelah hari-harinya yang begitu sulit hingga mereka harus ke Belanda untuk
mencari kebenaran. Tetapi seharusnya setelah hari itu mereka akan berbahagia.
Menjalani hubungan yang normal hingga akhirnya menikah. Namun kenyataan sungguh
tak seindah bayangan.
“Kau
baik-baik saja?” Tanya lelaki yang masih berdiri di sampingnya.
“Maafkan
aku.”
Lelaki
itu mendekat, kemudian meraih jemari Trisia, menggenggamnya untuk memberi
kekuatan pada gadis itu. Trisia menyadari tak seharusnya ia menunjukkan
kesedihannya tepat di depan suaminya.
“Aku
memahami perasaanmu. Kurasa kita bisa menundanya.”
“Tidak,
aku akan mengatakannya. Leo harus tahu.” Trisia tersenyum pada lelaki di
sampingnya.
“Berhentilah menangisi
kepergianku sayang, pandanglah dia yang selalu ada untukmu, yang selalu
menjagamu hingga detik ini. Aku tak akan pernah bisa tenang jika kau menyiksa
dirimu seperti ini.”
“Leo, bawalah aku bersamamu.
Aku tak ingin hidup lagi.” Trisia menangis tersedu di pelukan lelaki yang
begitu ia rindukan itu.
“Pandanglah kedepan, lanjutkan
hidupmu. Buatlah sebuah keluarga. Aku akan hadir kembali dalam hidupmu suatu
saat nanti.”
“Sayang…
Apa kau benar-benar baik-baik saja? Jangan terlalu lelah.” Lelaki itu
menyadarkan lamunan singkat Trisia tentang mimpi yang selalu ia ingat. Dan Trisia kembali mengembangkan senyumnya. Mereka
menatap nisan tersebut dan sebuah senyuman menghiasi wajah mereka berdua.
“Leo,
kami akan sangat bahagia jika kau berada di tengah-tengah keluarga kami. Sesuai
keinginanmu, aku telah melanjutkan hidupku dan aku menambatkan hatiku pada
lelaki yang begitu mencintaiku. Pun denganku, aku begitu mencintainya. Harry
benar-benar telah menjagaku dan ia mampu merubah hidupku.”
“Kuharap
kau menepati janjimu, Leo. Akan segera kutunggu kehadiranmu.” Ujar Harry. Ia menarik bibirnya, tersenyum lebar hingga menyentuh matanya. Ia menyentuh perut Trisia yang masih rata, kemudian ingatannya kembali pada saat-saat yang membahagiakan untuknya.
“Menikahlah denganku Tris.” Ujar
Harry di sela makan malamnya bersama Trisia. Gadis itu tampak begitu cantik
dibalut gaun berwarna merah.
“Apa kau yakin? Apa kau tidak
takut jika aku akan terus memilirkan Leo?” Jantung Trisia terasa berdebar
dengan kencang. Bagaimanapun juga lelaki yang telah setia mendampinginya selama
lima tahun terakhir telah mampu meluluhkan hati Trisia.
“Aku tak peduli. Suatu hari
nanti aku yakin hatimu akan terbuka untukku, Tris.”
“Dan aku telah membuka pintu
hatiku untukmu, Harry.” Senyum itu mengembang sempurna di wajah Trisia. Senyum
yang tak pernah sekalipun Harry lihat semenjak kepergian Leo.
***
“Harry!!! Harry!!
Cepat kemari, kurasa ketubannya sudah pecah.”
“Oh
Tuhan.” Harry segera melompat dari ranjangnya untuk menuju asal suara teriakan Trisia
di kamar mandi. "Apa yang harus kulakukan?" Harry mondar-mandir tanpa melakukan sesuatu yang berarti.
"Harry!! perutku." Teriakan Trisia seolah menyadarkan kepanikan Harry.
"Harry!! perutku." Teriakan Trisia seolah menyadarkan kepanikan Harry.
“Trisia,
tahan sayang. Kita ke dokter sekarang.” Harry mengangkat tubuh istrinya yang terasa
semakin berat, kemudian bergegas menuju ke rumah sakit. Seharusnya prediksi
dokter minggu depan Trisia akan melahirkan, namun perkiraan tersebut meleset.
Trisia
menggenggam tangan Harry dengan erat, berteriak sekeras-kerasnya hingga Harry
merasa sebentar lagi telinganya akan tuli. Namun beberapa menit kemudian, suara
tangisan bayi pecah ditengah suasana tegang di ruang persalinan.
“Selamat
tuan, nyonya, bayi laki-laki yang sehat.” Ujar seorang suster yang menggendong
bayinya mendekat pada Trisia.
“Lihatlah,
dia begitu mirip denganmu, Harry. Akan kita namakan siapa jagoan kita ini?”
“Leo.
Leo Ferdinan.”
SELESAI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D