Mahendra, seorang pengusaha garmen yang telah menjadi usaha
keluarga turun temurun akhirnya mengalami kebangkrutan. Penyakit stroke yang
dideritanya menjadi pemicu utama yang membuat bisnisnya berantakan. Keluarganya
terbelit hutang dimana-mana, sementara istrinya, Calista, tak bisa mengubah
gaya hidupnya yang glamor meski keadaan ekonomi mereka benar-benar hancur.
Mahendra akhirnya meninggal setelah dua tahun mengidap penyakit
tersebut. Perusahaannya telah dijual untuk menutup seluruh hutangnya. Begitu
pula rumah mewahnya. Tak ada sepeserpun warisan, untuk anak dan istrinya,
kecuali hutang-hutang yang bisa dibilang masih selangit.
"Aku sudah tak ingin lagi berdiam di tempat bobrok seperti
ini!" Ujar sang ibu sambil mengembuskan asap rokok di sela bibirya yang
bergincu merah menyala.
"Lalu apa yang akan kau lakukan dengan semua itu, bu?"
Rosa menunjuk tiga buah koper yang telah disiapkan ibunya di samping meja ruang
tamu.
"Aku tak bisa terus-terusan begini. Lalu apa kata
teman-temanku jika menemukan seorang Calista tinggal dalam rumah reyot seperti
ini?" Mata hijaunya berkilat penuh kemarahan.
"Lalu apa bagimu harta lebih penting dari pada kami?"
Rosa meradang mendengar jawaban ibunya.
Hening. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulut Calista. Tanpa
banyak bicara lagi Calista segera menyeret koper-kopernya keluar dari rumah
kecil yang mereka sewa beberapa bulan yang lalu. Tangisan sang adik, Trisia pun
tak mampu menghentikan langkah ibunya. Mereka berdua hanya mampu memandang
punggung ibunya yang semakin menjauh.
Mau tidak mau, Rosa yang masih berusia enam belas tahun itu
akhirnya menjadi tulang punggung untuk Trisia. Mencoba mencukupi kebutuhan
mereka berdua yang jauh dari kata cukup. Namun semua itu tak berlangsung lama.
Rosa yang masih terbiasa dengan gaya hidupnya yang lama akhirnya mengambil
jalan pintas dan membuat sebuah rencana.
"Ayo, sebaiknya kita pergi dari kota ini. Biaya hidup di
sini terlalu besar Tris, aku benar-benar tidak sanggup." Wajah pucat Rosa
membuat hati Trisia terenyuh. Bagi Trisia, Rosa adalah segalanya, Rosa yang
telah membanting tulang untuk menghidupi mereka berdua hingga Rosa harus putus
sekolah dan sebagai gantinya, Trisia akan selalu menuruti apapun yang akan
dikatakan oleh kakaknya.
"Kemana kak?" Tanya Trisia penasaran.
"Ikut saja denganku. Sebaiknya segera kemasi
barang-barangmu." Rosa mengusap kepala adiknya sayang. Trisia yang
dibekali jiwa penurut yang didapatkannya dari sang ayah membuat Rosa merasa
sangat beruntung memiliki adik seperti Trisia.
Tiga puluh menit mereka habiskan untuk berjalan kaki menuju
stasiun terdekat. Suara kereta yang terngiang di telinga Trisia membuatnya
bergitu senang meski ia tak dapat melihat wujud kereta yang berada di lantai
atas stasiun secara langsung.
"Kita mau kemana kak? Kita akan naik kereta?" Tanya
Trisia berbinar penuh harap.
"Tentu saja. Kita akan ke suatu tempat yang bagus, sayang.
Duduklah di situ. Kakak akan membeli tiket sebentar." Ujar Rosa menunjuk
tempat duduk yang berada beberapa meter di depan loket yang penuh sesak.
Trisia mengangguk, menarik tasnya menuju kursi yang ditunjuk
oleh kakaknya. Hatinya begitu senang membayangkan ia akan naik kereta untuk
pertama kalinya. Ia tak sabar menantikan kakaknya untuk kembali dengan membawa
selembar tiket agar ia bisa segera menaiki kereta seperti yang dulu sering
diceritakan oleh ayahnya.
Mata Trisia mengamati sekeliling ruangan tempatnya menunggu.
Ruangan yang didominasi warna hijau itu penuh dengan aktivitas sibuk
orang-orang dengan tas-tas yang cukup besar berjalan kesana kemari. Beberapa
orang berseragam, berdiri membawa daftar menu di depan masing-masing restoran
yang berderet di sepanjang koridor untuk menarik pengunjung menuju restoran
mereka. Makanan itu terlihat menggiurkan, membuat perut Trisia bergemuruh.
Dahi Trisia berkerut heran. Ini sudah sangat lama. Jarum jam
dinding yang terpampang besar di tengah-tengah ruangan itu telah berubah. Jarum
pendek yang semula menunjuk angka sepuluh kini telah berganti di angka sebelas.
Ia memutuskan untuk mencari kakaknya di sekitar loket. Namun ia tak melihat
sosok kakaknya yang mengenakan pakaian berwarna merah. Trisia mulai panik
hingga tanpa sengaja menabrak seorang lelaki paruh baya yang tengah mencetak
tiket di sebuah mesin yang telah disediakan stasiun.
"Hei, apa yang kau lakukan." Suara lelaki itu sedikit
meninggi begitu menyadari Trisia telah menabraknya hingga beberapa tasnya yang
telah ditumpuk terguling ke lantai.
"Maafkan saya." Ujar Trisia dengan suara gemetar. Mata
hijaunya berkaca-kaca ketakutan.
"Apa kau terluka?" Wanita di sampingnya membantu
Trisia berdiri. Trisia hanya menggeleng, membuat air matanya menetes membasahi
wajahnya.
"Namamu siapa sayang? Kau kehilangan orang tuamu?"
Tanya wanita itu sekali lagi.
"Kakakku hilang." Trisia mencoba menjelaskan di tengah
isakannya. Tampaknya wanita itu memahami situasi Trisia saat ini, hingga ia
membawa Trisia menuju ruang informasi. Petugas berusaha menginformasikan pada
siapapun yang bersama Trisia saat itu agar segera menjemputnya di ruang
informasi.
Di suatu sisi stasiun yang besar itu, Rosa masih mengawasi
adiknya dari kejauhan hingga seseorang menyelamatkan adik kecilnya itu. Air
mata mengalir membasahi wajah Rosa. Ia harus meninggalkan adiknya meski dari
lubuk hatinya ia sangat menyayangi Trisia. Namun wajah Trisia yang begitu mirip
dengan ibunya membuat emosi Rosa kembali tersulut.
Sudah hampir empat jam Trisia tak berhenti menangis. Rosa pun
tak kunjung menjemputnya. Sepotong roti cokelat yang diberikan oleh petugas
telah habis beberapa jam yang lalu dan perut Trisia kembali keroncongan.
***
Kakak perempuannya, Rosa, entah berada dimana. Tak ada kabar
sama sekali setelah Rosa meninggalkan Trisia di stasiun tanpa pesan setelah
orang tua mereka meninggalkan mereka. Hingga petugas stasiun menyerahkan Trisia
untuk dibesarkan di panti asuhan.
Tinggal di panti asuhan bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Terkadang membuat Trisia iri pada teman sebayanya yang tinggal di rumah besar
bersama dengan kedua orang tuanya. Tapi ini bukan saatnya untuk iri. Trisia
harus berjuang untuk hidupnya.
Trisia lebih banyak menghabiskan waktunya di lingkungan kampus.
Bukan untuk kuliah, melainkan pekerjaannya sebagai pegawai kantin telah menyita
lebih banyak waktunya. Sepulang dari kantin, ia akan beristirahat sebentar
sebelum melakukan pekerjaan paruh waktunya menjadi pelayan di Rainbow Cafe pada
malam hari.
Saat itu mendung bergelayut manja di langit abu-abu yang tak
seharusnya hadir sore ini—lebih tepatnya sebelum Trisia sampai di panti. Trisia
telah selesai membersihkan meja-meja kantin, mengepel lantai dan bersiap pulang
sebelum hujan turun. Tapi sayang, nasib baik tak berpihak padanya, hujan turun
dengan derasnya membuat gadis itu mendengus kesal.
Ia duduk di sebuah anak tangga. Mata hijaunya terfokus pada
titik-titik air yang berjatuhan membasahi halaman kampus. Kembali ia menghela
nafasnya seolah segala bebannya akan keluar bersama karbondioksida yang keluar
dari hidungnya.
"Sebentar lagi hujannya akan reda." Ujar seorang
lelaki yang tiba-tiba duduk di samping Trisia. Trisia mengerutkan dahinya,
sementara lelaki itu melemparkan senyuman mempesonanya.
"Tomi." Lelaki itu mengulurkan tangannya untuk
bersalaman.
"Trisia." Trisia ragu-ragu menyambut tangan lelaki
itu. Deg. Sesuatu dalam diri Trisia seolah tersengat listrik ketika bersentuhan
dengan lelaki bernama Tomi tersebut. Trisia menatap mata lelaki itu, rambutnya
hitamnya yang dipotong rapi senada dengan warna matanya.
"Ada yang salah denganku?" Tanya Tomi yang merasa
diperhatikan secara berlebihan oleh Trisia. Wajar. Bukan hal yang aneh jika
lelaki itu menjadi perhatian. Sosoknya yang begitu sempurna dan sifatnya yang
ramah pada semua orang menjadikan lelaki itu idaman bagi gadis-gadis di kampus
itu. "Trisia?" Ia mengulangi ketika tak ada jawaban dari Trisia.
"Ah— Maafkan aku." Ujar Trisia salah tingkah.
Jantungnya berdegup begitu kencang. Bahkan mungkin Tomi akan mendengarnya
dengan jelas. Tomi tertawa melihat wajah merona gadis di sampingnya.
Hujan masih saja turun dengan derasnya hingga langit abu-abu
menjadi gelap. Hari sudah malam dan ia masih harus terjebak di kampus. Ibu
Asti—pengasuh di panti— pasti akan mengkhawatirkannya. Lambat laun doa Trisia
pun didengar. Hujan mulai reda meski titik-titik air masih berjatuhan.
"Mau kuantar?" Tanya Tomi yang melihat Trisia mulai
berdiri dari tempatnya duduk.
"Tidak. Aku bisa jalan kaki. Terima kasih." Panti itu memiliki
jarak sekitar dua kilometer dari gerbang kampus. Itu berarti, untuk mencapai
gerbang masih sekitar empat ratus meter dari tempatnya berdiri sekarang.
"Ayo, aku akan mengantarmu." Tanpa banyak bicara, Tomi
menggandeng tangan Trisia menuju motor kesayangannya. Trisia yang kembali
disentuh oleh lelaki itu merasakan wajahnya memanas. Untung saja hari sudah
gelap hingga Tomi tak perlu melihat wajahnya yang semerah tomat.
***
Hari itu tak menjadi hari terakhir Trisia bertemu dengan Tomi.
Justru setelah itu Tomi lebih sering menemuinya. Menjemputnya untuk bekerja,
mengantarnya pulang, memberikan makanan untuk anak-anak panti dan mengajak
Trisia berlibur ketika Trisia tidak sedang bekerja.
Kedekatan mereka menimbulkan rasa iri bagi gadis-gadis yang
mengejar Tomi. Lelaki itu tak segan mendekati Trisia meski gadis itu hanya
seorang pekerja kantin.
"Aku ingin kau menjadi milikku, Trisia." Ujar Tomi
suatu ketika saat mereka sedang makan malam di sebuah restoran untuk merayakan
ulang tahun Tomi.
"Tapi aku hanya seorang anak panti dan pekerja kantin, Tom.
Berbeda denganmu. Aku tak akan bisa mengimbangimu."
"Aku tak peduli. Aku mencintaimu Trisia." Wajah Tomi
begitu tulus. Perasaan yang sama pun dimiliki Trisia untuk Tomi. Namun latar
belakang mereka yang bertolak belakang membuat Trisia ragu. Ia terus berpikir
berulang kali tentang kemungkinan yang terjadi ketika ia memutuskan untuk
berkata ya.
Awalnya semua berjalan dengan lancar. Mereka saling mencintai
dan disebut-sebut sebagai pasangan serasi yang membuat semua gadis iri terhadap
keberuntungan Trisia. Hingga malam itu, semua tak lagi berjalan sesuai dengan
yang mereka harapkan.
"Kau pikir apa yang kau lakukan, Tom? Membawa perempuan
rendahan ini untuk menjadi menantuku?" Tukas Ibu tomi ketika melihat gadis
yang tengah berdiri gemetar di samping Tomi.
"Aku mencintainya, ibu."
"Kau pikir cinta bisa membuatmu hidup tenang? Kau harus
mencari gadis yang mampu mengimbangimu."
"Apa gunanya harta melimpah jika aku tak bisa memiliki
Trisia di sisiku, bu?" Nada Tomi beberapa tingkat lebih tinggi.
"Kenapa ibu selalu menentangku! Aku bukan anak-anak lagi!" Bentak
Tomi pada ibunya yang selalu mengatur hidup Tomi. Suasana yang begitu tegang
menyelimuti ruangan yang didominasi warna abu-abu dengan barang-barang mewah yang
terlihat menyebar di setiap sudut ruangan itu.
"Baiklah. Jika itu maumu. Kau bukan anak-anak lagi.
Silahkan keluar dari rumah ini dan jangan harap aku akan menerimamu kembali di
rumah ini!" Itu kalimat terakhir yang diucapkan ibunya sebelum Tomi dan
Trisia diusir dari rumah megah bak sebuah istana.
Setelah semua penghinaan itu, Trisia dan Tomi mati-matian
membanting tulang untuk menghidupi diri mereka. Trisia keluar dari panti asuhan
kemudian bersama Tomi mereka menyewa dua kamar indekos sederhana yang berjarak
cukup jauh dari kampus.
Siang berganti malam, hari berganti minggu, minggu berganti
bulan. Dalam empat bulan, sikap Tomi pada Trisia mulai berubah. Mungkin karena
gaya hidupnya yang berubah drastis membuat lelaki itu mengalami tekanan. Trisia
masih mencoba untuk bertahan menghadapi lelaki yang dicintainya itu.
Suatu malam, Tomi pulang cukup larut dari biasanya. Ia berjalan
terhuyung kemudian tersungkur tepat setelah menutup pintu. Suara berisik di
kamar Tomi membangunkan Trisia dari tidurnya dan Trisia pun segera mendatangi
Tomi.
"Tom, apa yang terjadi?" Tanya Trisia khawatir. Dengan
sigap ia membantu lelaki yang telah mengecat rambutnya berwarna merah beberapa
hari yang lalu itu untuk berdiri. Namun Tomi justru mendorongnya dengan kasar.
"Jangan sentuh aku Trisia. Ini semua gara-gara kau!
Menyingkir dari hadapanku!" Perintah Tomi. Aroma khas alkohol menyeruak di
udara. Benar, andai saja Trisia tak mengatakan 'ya' saat itu, hal ini tak akan
pernah terjadi. Meski kadang kala sebuah penyesalan bergelayut dalam dirinya.
Namun itulah pilihan mereka. Tak akan ada gunanya meratapi penyesalan. Karena
penyesalan tak akan memperbaiki segalanya yang telah terjadi.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D