Liza menuang kopi ke dalam cangkir dari mesin pembuat kopi yang disediakan pantri di kantor detektif tempat ia bekerja. Sontak aroma kopi yang khas menguar di udara. Sedikit bercampur dengan aroma roti bakar yang masih hangat. Begitu menggugah selera.
“Aku baru tahu kau suka minum kopi sepagi ini, Liza.”
Seseorang masuk ke pantri dan menyapa Liza begitu saja, membuat gadis itu
terkesiap. Tapi begitu ia menyadari siapa yang datang, wajahnya sedikit
menunduk dengan tersipu.
“Oh. Kau salah, Rick. Aku tidak seadiktif itu pada kopi.” Liza mencoba
mengalihkan perhatiannya dengan menatap tatakan cangkir yang ada di atas meja.
“Ini kopi untuk Anna.”
“Benar juga. Gadis itu.” Rick terkekeh pelan. Ia berjalan lalu berdiri di
sisi kanan Liza, kemudian menuangkan kopi untuk dirinya sendiri.
Diam-diam Liza memperhatikan penampilan Rick pagi ini. Tidak ada yang
berbeda dari biasanya. Lelaki itu selalu berpenampilan rapi dengan kemeja
lengan pendek yang menunjukkan lengan yang berotot. Celana kain yang formal
menggantung di pinggangnya. Dan sepatu pantofel hitam yang mengkilap menemani
langkahnya. Tatapan Liza kembali ke lengan Rick. Lama terpaku di sana.
“Hei, kau ingin mendengar kabar baik pagi ini?” tanya Rick membuyarkan
lamunan Liza. Lelaki itu tersenyum dengan menawan penuh teka-teki.
Liza mengernyitkan keningnya. “Apa itu?”
“Penyelidikan yang kulakukan bersama Hans sudah menunjukkan titik terang.”
Mata Liza melebar. “Benarkah itu?”
Rick terkekeh bangga. “Tentu saja benar. Dan malam ini kita akan beraksi
untuk meringkus pelakunya.”
“Siapa?”
“Tentu saja Max Dawson.” Rick sengaja berucap lambat-lambat. Ia merogoh dua
lembar kertas berwarna keemasan dari saku belakangnya, lalu menyodorkan kepada Liza.
“Ini undangan acara fashion show yang akan dihadiri banyak model
termasuk Max Dawson. Kita bisa membuntutinya untuk mendapatkan bukti autentik
yang kita perlukan.”
Liza menelan ludah. Selama beberapa detik ia menatap ragu pada undangan
itu. Ketika matanya beralih kepada Rick, gadis itu bertanya, “Kau juga ikut?”
Rick menatap bingung ke arah Liza. “Tentu saja aku akan ikut. Kau, aku,
Anna, dan juga Hans.”
“Tapi....” Liza bergumam dengan ekspresi bingung. Matanya secara
terang-terangan menatap ke arah lengan Rick yang terbuka. Ada bekas luka
memanjang yang tidak bisa hilang di sana. Hasil dari pergelutan antara Rick dan
pelaku pembunuhan dalam kasus yang mereka tangani tiga bulan yang lalu.
Pembunuh itu mencoba menyerang Liza dengan pisaunya karena merasa tidak terima
dengan bukti menyudutkan yang ditemukan Liza.
Saat itulah Rick langsung memeluk Liza dengan tangan kanannya, sementara
lengan kirinya menggantikan Liza untuk ditusuk oleh pembunuh pisau itu. Dengan
tangan yang sama, lelaki itu memukul rahang si pembunuh lalu menendangnya
hingga tidak sadarkan diri. Hingga polisi datang dan bisa meringkus si pembunuh
tanpa kesulitan.
Semua terjadi begitu cepat hingga Liza hanya bisa ternganga dengan tubuh
gemetar di atas tanah. tapi sejak saat itulah, ia memiliki perhatian lebih
kepada Rick. Hanya saja sepertinya lelaki itu... tidak merasakan hal yang sama
seperti yang dirasakan Liza.
Rick mengikuti arah pandang Liza, lalu tersenyum masam. Ia mengerti apa
yang dipikirkan gadis itu. “Jangan memikirkan ini, Liza. Ini sudah seperti
medali bagiku. Lagipula aku senang kau selamat waktu itu.”
“M, maafkan aku....” gumam Liza lirih. Ia hanya takut kejadian yang sama
terulang kepada Rick.
“Aku akan ikut datang ke acara itu. Bahkan mungkin aku perlu mengecat
rambutku menjadi pirang untuk menarik perhatian Max Dawson,” ujar Rick lantas
terkekeh sambil berlalu meninggalkan pantri.
Liza hanya bisa terpaku di samping mesin pembuat kopi, menatap punggung
Rick hingga hilang di balik pintu. Dan sepertinya ia harus mulai menghapus
perasaan ini dan melangkah maju.
***
Begitu tiba di kantor pagi ini, Anna bergegas duduk menghadap laptopnya. Ia
harus mengetik laporan perkembangan kasus yang ia tangani bulan ini. Berbeda
dengan Liza yang selalu mengerjakan laporan sesegera mungkin, jiwa procrastinator dalam diri Anna sepertinya mengakar
kuat. Ia selalu membiarkan pekerjaannya menumpuk setinggi gunung baru
mengerjakannya tergesa-gesa menjelang deadline.
Terutama menulis laporan tentang kasus pembunuhan gadis dengan rambut dicat
pirang itu. sebelum dua kasus yang menyerang Victoria dan Safira ini,
sebelumnya sudah jatuh korban dari ujung jemari pembunuh itu. Kasus ini
ditangani tim lain tapi tidak pernah menemukan petunjuk yang menuntun pada
kebenaran. Sehingga begitu terjadi lagi hal serupa, kasus ini dilemparkan pada
tim Anna dan Liza.
Saat tengah sibuk mengetik itulah, dua buah undangan di letakkan begitu
saja ke atas meja kerja Anna. Sontak ia menghentikan gerakan jemarinya lalu
mengangkat kepala kepada orang yang meletakkan undangan itu. Liza tersenyum
penuh arti sambil meletakkan kopi yang diminta Anna ke samping laptopnya.
“Apa ini?” tanya Anna. Tapi ia tidak begitu sabar hingga memutuskan untuk
membuka dan membaca sendiri isi undangan itu.
“Itu adalah undangan untuk menghadiri fashion show yang juga dihadiri Max Dawson. Kita
berempat —kau, aku, Rick, dan Hans akan menghadiri acara itu sebagai tamu.”
Mata Anna melebar dan seulas senyum
terkembang di bibirnya. Ia melompat dari duduknya dan langsung memeluk Liza. Kasus ini pasti akan
segera terungkap!
“Liza... perlukah kita mengunjungi
salon?”
***
Liza melangkah masuk ke kamar
mandinya. Bathtub-nya sudah
terisi air hangat yang mengepulkan uap yang begitu menggoda. Apalagi dengan
tubuhnya yang terasa kaku karena duduk menghadap berkas-berkas kasus seharian
ini. Berbeda dengan Anna yang lebih menyukai mandi di bawah pancuran air untuk
menghilangkan rasa lelah, Liza lebih menyukai berendam dalam balutan air
hangat. Bagi dirinya, itu adalah pengobatan yang paling mujarab.
Dengan hati-hati, Liza mencelupkan kakinya ke dalam bathtub. Dan
seketika saja, perasaan nyaman menjalar melalui pembuluh darahnya. Kehangatan
air ini terasa pas dan menyenangkan. Sehingga Liza memilih untuk segera
menenggelamkan kakinya semakin dalam dan pada akhirnya ia memutuskan untuk
duduk di sana.
Punggung Liza bersandar senyaman mungkin, membenamkan tubuhnya hingga sebatas
leher. Ia memejamkan mata, begitu menikmati bagaimana air hangat itu mulai
bekerja dan melemaskan otot-ototnya yang kaku.
Sudah hampir satu minggu kasus yang menyerang gadis dengan rambut dicat
pirang hadir di meja kerja Liza. Dan selama itu bukan berarti ia lantas berdiam
diri. Ia merasa tersiksa karena ini merupakan kasus yang memakan waktu paling
lama untuk dipecahkan.
Tapi selama ini sebenarnya, Liza sudah mempunyai banyak bukti yang tampak
seperti kepingan puzzle dalam benaknya. Sebenarnya lebih dari
itu. Ia bahkan sudah menemukan siapa dalang dari semua penyerangan terhadap
gadis-gadis itu selama ini.
Hanya saja...
Liza belum bisa menemukan bukti autentik yang tidak terelakkan lagi bagi
sang pelaku. Ia merasa perlu untuk melihat pelaku itu beraksi di depan matanya.
Dan hingga akhirnya mengakui semua perbuatannya. Semuanya hanya tinggal masalah
waktu.
Semoga kasus ini akan berakhir malam ini.
***
“Liza, apa-apaan ini?!” Anna memekik penuh rasa terkejut saat melihat
penampilan sahabatnya itu.
Saat ini mereka berdua baru saja selesai bersiap-siap di kamar
masing-masing untuk menghadiri acara fashion show pukul delapan malam ini. Anna memilih
untuk mengenakan sack dress berwarna hitam, dan mengikat rapi
rambutnya di atas kepala. Sementara Liza memilih penampilan yang sangat
berbeda. Gadis itu mengenakan tube dress berwarna merah gelap yang
memperlihatkan bahunya yang seksi. Dan yang paling penting adalah....
“Kenapa kau mengecat rambutmu menjadi pirang?!” Anna masih belum bisa
menurunkan volume suaranya. “Itu sama saja mengundang
pembunuh itu untuk menyerangmu!”
“Kecilkan suaramu, Anna,” ucap Liza sambil menutup telinga dengan telapak
tangannya. “Ini hanya cat temporer yang akan hilang begitu aku mencuci
rambutku.”
“Tapi... Liza....” gumam Anna penuh rasa khawatir.
Liza menyentuh gagang kacamatanya lalu berkata, “kau tahu semua akan
baik-baik saja. Lakukan saja rencana malam ini sesempurna mungkin.”
Anna menahan napas saat melihat tatapan mata Liza dibalik lensa kacamata
itu. “Baiklah, Liza. Kalau begitu ayo kita berangkat sekarang.”
Mereka berdua berjalan keluar dan mengunci pintu kamar. Tanpa menunggu
lama, kaki jenjang mereka yang dibalut sepatu hak tinggi melangkah ke pelataran
parkir mobil. Dengan kecepatan penuh Anna melajukan mobilnya.
Begitu tiba di lokasi acara, partner mereka —Rick dan Hans
sudah menunggu di depan pintu masuk hotel. Bangunan itu tampak menjulang
seperti ingin menggapai bintang di langit malam. Lantainya terbuat dari marmer
yang tampak mewah dan elegan. Warna cokleat dan emas tampak mendominasi
dekorasi di hotel ini. Dan acara yang akan mereka hadiri diadakan di ballroom yang ada di hotel ini. Dua lelaki itu
mengenakan setelan jas berwarna gelap yang tampak mewah. Sangat berbeda dengan
yang biasa mereka kenakan saat ke kantor.
Sama seperti Anna. Kedua lelaki itu juga tampak terkejut dengan penampilan Liza
yang memilih untuk mewarnai rambutnya dengan warna pirang seperti para korban
dari pembunuh yang sedang mereka incar. Tapi sedetik kemudian, Liza meminta
mereka bungkam dan memutuskan untuk tidak membahas hal ini. Sekarang yang harus
mereka lakukan adalah bersikap sebagai salah satu tamu undangan, bukan sebagai
tim detektif.
Saat itulah tiba-tiba Max Dawson berlalu begitu saja di hadapan mereka.
Lelaki itu memandang tanpa ekspresi ke arah empat orang yang sedang bersikap
menjadi dua pasangan yang akan menghadiri acara malam ini. Tanpa mencoba
beramah tamah, lelaki itu memasuki ballroom dan menghilang di antar kerumunan tamu
undangan.
“Kalau begitu, kita mulai sekarang saja,” usul Rick.
“Baiklah,” sahut yang lain.
Sesuai rencana, mereka akan menggiring Max Dawson ke dalam perangkap yang
akan membuat lelaki itu mengakui semua perbuatannya. Hans dan Anna akan
menghadiri acara sambil memperhatikan gerak-gerik lelaki itu. Sementara Rick
dan Liza akan menunggu di luar. Nanti mereka akan menyergap lelaki itu di
tempat yang diduga sebagai tempat menyembunyikan jati diri Max Dawson sebagai
pembunuh sekaligus tempat ia menyembunyikan Safira —pemilik
majalah fashion yang hilang secara mendadak.
“Liza, berhati-hatilah.” Anna berbisik kepada Liza sebelum mereka berpisah.
Entah mengapa ia merasakan firasat buruk pada misi kali ini.
“Kau juga berhati-hatilah, Anna.” Liza menatap Anna tajam dari balik lensa
kacamatanya. Lalu ia melangkah bersama Rick ke arah pintu keluar hotel,
sementara Anna dan Hans menuju pintu masuk ballroom.
***
Acara itu meriah tentu saja. Semua orang tampak duduk di tempat yang sudah
disediakan, mengelilingi panggung catwalk yang berada di tengah ruangan.
Anna dan Liza mendapat tempat di pojok yang seolah sudah dipilih sengaja agar
mereka tidak tampak mencolok. Tapi dari sudut ini mereka dengan bisa melihat ke
arah Max Dawson dengan leluasa.
Begitu acara dimulai, musik mengalun di udara memenuhi ruangan megah itu.
Pencahayaan di sekitar para undangan lenyap begitu saja. Sekarang lampu
menyorot ke arah panggung di mana para model mulai berlenggak-lenggok
memamerkan pakaian dari perancang busana ternama yang mereka kenakan.
“Aku harap kekasihmu tidak akan cemburu padaku karena menghadiri acara ini
bersamamu,” bisik Anna pada Hans yang duduk di sampingnya.
Lelaki itu terkekeh pelan. “Tenang saja. Dia gadis yang sangat mengerti
akan pekerjaanku.”
Saat itulah, mata Anna menangkap sosok Max Dawson yang tampak beranjak dari
tempat duduknya. Anna langsung memberi kode pada Hans untuk mengikut jejak
lelaki itu. Mereka mengikuti sosok Max yang seperti diam-diam meninggalkan
keramaian pesta. Ia melangkah penuh waspada sambil sesekali menolehkan
kepalanya seperti takut diikuti.
Tapi ketika Max Dawson berbelok, sosok itu menghilang begitu saja. Kening
Anna mengernyit. Ke mana lelaki itu?
Mungkin ia harus mendiskusikan rencana lain dengan Hans.
Anna menolehkan kepalanya tapi mendapatkan kekosongan di sana. Sekarang ke
mana partnernya itu? Kenapa lelaki malam
ini sepertinya suka sekali menghilang tanpa kabar? Kepala Anna celingukan mencari sosok
Hans yang hilang begitu saja.
“Apa kau mencariku... Anna?”
Anna membalikkan tubuhnya setengah melompat saat mendengar suara maskulin
itu di belakang tengkuknya. Seorang lelaki berdiri menjulang di hadannya dan
sedang menatapnya penuh penilaian.
“Sudah kuduga. Kau adalah gadis yang menanyakan tentang Safira padaku.”
Lelaki itu tersenyum sinis lalu berkata dengan nada mengejek. “Anna... si
detektif.”
Sial. Itu Max
Dawson.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D