“Aku hanya ingin mencari udara segar karena di dalam penuh sesak.”
Sial. Sesaat Anna sempat tergeragap. Tapi kemudian
ia secepat mungkin menguasai diri dan menekan rasa gugupnya. Hanya saja...
alasan yang dibuatnya secara mendadak itu terdengar dibuat-buat.
“Benarkah?” tanya Max skeptis dengan alis terangkat. “Seharusnya kau pergi
keluar gedung ini bukan malah semakin ke dalam.”
“Ah— kau benar.
Sepertinya aku tersesat.” Anna mengusap tengkuknya sambil tertawa kikuk. “Kalau
begitu, aku permisi untuk mencari pintu keluar sekarang.”
Anna bergegas melangkahkan kakinya menjauh dari lelaki itu. Sial. Di mana
sebenarnya Hans berada?!
“Apa sebenarnya yang sedang kau cara, Nona Detektif?” tanya Max sambil
melemparkan tatapan tajam yang menghujam punggung Anna.
Anna menoleh dengan perasaan ngeri. “Apa maksudmu?”
Max menatap Anna penuh perhitungan. “Saat bertemu denganku di kantor majalah,
kau bertanya tentang Safira. Sekarang kau mengikuti sampai ke sini.” Lelaki itu
tersenyum merendahkan. “Dan setahuku, detektif biasanya tidak berurusan dengan fashion. Mereka
selalu mengenakan kemeja dan coat panjang sengan kaca pembesar di dalam
saku mereka. Bukan begitu?”
Kepala Anna mendongak seolah menantang. “Aku sedang mencari kebenaran dari
menghilangnya pemimpin majalah bernama Safira dan terbunuhnya gadis-gadis
dengan rambut dicat dengan warna pirang seperti rambut Safira. Dan gadis malang
itu terakhir kali terlihat sedang makan malam bersamamu.”
Mata Max melebar. “Jangan bilang... kau menuduhku?”
“Kami menemukan beberapa bukti yang mengarah kepadamu.”
“Tidak mungkin.” Max menggeram dengan rahang mengeras. “Kalian salah besar
jika menuduhku seperti itu.”
“Di mana kau menyembunyikan Safira?” tanya Anna tanpa rasa gentar. “Apakah
dia masih hidup sekarang? Atau dia sudah —oh, tidak— sudah... apa kau sudah membunuh—“
Kata-kata Anna terhenti begitu saja saat Max tiba-tiba saja mendorong
tubuhnya dengan keras. Punggungnya menghantam dinding dingin yang dilapisi
marmer. Max menatap Anna dengan mata membara karena amarah.
“Jaga mulutmu.” Max menggeram hingga Anna bisa mendengar suara gigi lelaki
itu bergemeletuk. “Atau aku akan melaporkanmu sebagai tindak pencemaran nama
baik.”
Sedikitpun Anna tidak merasa takut dengan gertakan Max. Ia malah dengan
tenang melontarkan tuduhannya. “Jadi benar... kau sudah membunuhnya?”
Max memajukan tubuhnya hingga membuat Anna semakin terhimpit ke dinding.
Ini pertama kali terjadi seumur hidupnya saat di mana ia benar-benar ingin
memukul perempuan.
Tiba-tiba saja Anna menyadari perubahan ekspresi lelaki di hadapannya.
Wajahnya pasi dengan mata yang melebar. Tubuhnya juga tiba-tiba menegang begitu
saja. Perlahan ia menjauhkan dirinya dari Anna.
“Cepat akui saja dosamu, Max Dawson.”
Hans sedang berdiri di belakang Max, menodongkan pistol ke kepala Max.
“Hei, jangan main-main dengan benda itu, Kawan.” Max mengangkat tangannya
di udara, berusaha menenangkan agar Hans menjauhkan pistol itu dari kepalanya.
“Aku tidak main-main.” Hans menggeram. “Apalagi aku baru saja melihat kau
hendak menyerang rekanku.”
Max terkekeh perlahan di bawah tekanan pistol di kepalanya. “Ini hanya
salah paham. Jangan melihatku seolah aku ini adalah penjahat.”
“Kau memang penjahat Max Dawson!” tuduh Anna tanpa ampun. “Kau yang
membunuh gadis dengan rambut dicat pirang itu. Kau bahkan menculik dan
mungkin... sudah membunuh Safira.”
Mata Max terbelalak. Ia menelan ludah dan tidak mengira bahwa akan seperti
ini jadinya. “T-tunggu dulu. Aku bisa menjelaskan semua ini.”
“Kalau begitu, katakan!” Hans semakin menekankan ujung pistolnya.
“Tapi jauhkan dulu benda itu dari kepalaku,” ujar Max mencoba bernegosiasi.
Sejenak Hans merasa ragu. Ia takut Max akan kabur ketika pistol ini menjauh
dari kepalanya. Apalagi bantuan dari markas —yang tadi dihubunginya saat meninggalkan Anna, juga belum
datang. Tapi ketika Anna
mengangguk seolah memberi persetujuan, Hans langsung menarik dan kemabli
menyarungkan pistolnya.
Max mendesah lega. Ia bergegas merapikan pakaiannya yang sebenarnya sama
sekali tidak kusut. Kemudian ia berdeham, membersihkan tenggorokannya. Benaknya
berputar memikirkan dari mana ia harus memulai ceritanya di hadapan dua
detektif yang menatap tajam kepadanya.
“Memang benar aku pergi makan malam dengan Safira. Tapi aku bersumpah bahwa
aku mengantarnya sampai ke rumah dengan selamat.” Mata Max menerawang pada
malam itu. “Selain ia akan pergi keluar kota keesokan harinya, ia juga berkata
bahwa ia memiliki janji dengan seseorang malam itu juga.”
Hans dan Anna saling melempar tatapan penuh analisis. Mungkin saja ini
hanya alibi palsu yang diciptakan oleh Max. Dan mungkin saja lelaki itu juga
berusaha melemparkan tanggung jawabnya pada ‘seseorang’ yang katanya ditemui Safira malam itu.
“Kau yakin sudah mengantar Safira ke rumahnya? Bukan ke sebuah gudang atau
bangunan yang kausewa untuk menyekapnya?” tanya Anna dengan tajam.
“Tentu saja tidak.” Max menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahu
penuh pembelaan diri. “Aku benar-benar mengantarnya sampai ke rumah. Tapi
begitu aku mencoba meneleponnya untuk mengucapkan selamat malam....” Max tampak
sedikit tersipu sambil menggaruk kepalanya. “Ya mungkin kalian sudah tahu bahwa
hubungan kami cukup dekat... dan nomornya tidak aktif. Saat itu aku pikir dia
sudah tidur, jadi aku tidak terlalu khawatir. Sampai keesokan harinya editor
majalah menghubungiku bahwa Safira menghilang, dan dia memintaku untuk
merahasiakannya.”
“Kenapa kalian harus menyembunyikan kenyataan itu?”
“Aku sendiri tidak tahu. Sehingga aku begtu terkejut saat kau menanyakan
Safira padaku waktu itu. Aku bingung harus menjawab apa... lagipula di ruang
pemotretan ada banyak staf majalah yang tidak tahu-menahu mengenai masalah
ini.”
Anna mengangkat satu alisnya sambil menatap Max. Ia mencoba untuk menelaah
setiap gerak-gerik dan ekspresi lelaki itu. Mungkin saja Max lengah sehingga kebohongannya akan
terbongkar. Tapi nihil. Lelaki itu tampak benar-benar jujur dengan kata-katanya
sendiri.
“Kenapa pula kalian menanyakan lagi hal itu padaku? Bukankah aku sudah
menjelaskan semuanya kepada salah satu rekan kalian yang bernama Rick?”
Punggung Anna mendadak menegak waspada. Ia menoleh kepada Hans, meminta
penjelasan yang mungkin saja ia ketahui. Tapi Hans malah menggeleng dengan alis
berkerut ingin tahu seperti Anna.
“Apa maksudmu?”
Max menatap Anna dan Hans bergantian dengan ekspresi bingung. “Detektif itu
yang memintaku menyelinap diam-diam di tengah acara untuk menemuinya. Ia
berkata bahwa tempat persembunyian penculik Safira sudah ditemukan.”
Itu sama sekali tidak ada dalam rencana mereka malam ini.
Tiba-tiba Anna mencengkram kerah baju Max yang lebih tinggi darinya. Max
begitu terkejut sehingga tidak sempat melakukan pertahanan apa-apa. Sementara
Anna memanfaatkan kesempatan itu untuk mendorong keras punggung Max ke dinding.
Seperti yang dilakukan lelaki itu kepadanya tadi.
“Apa kau berniat untuk memecah belah kami, huh?!”
“T-tentu saja tidak.” Max menjawab tergeragap. Ia tidak menyangka seorang
perempuan bisa begitu menyeramkan seperti ini. Secepatnya ia harus mencari
bukti yang menyatakan bahwa ia benar-benar berkata jujur. “Undangan... undangan
untuk acara ini. Itu aku yang memberikan atas permintaannya.”
Rupanya usaha Max berhasil. Ia merasakan cengkraman pada lehernya
melonggar. Mata gadis itu tampak menatap kosong sambil melangkah mundur.
“Sebenarnya di mana detektif itu? Dia berkata bahwa akan menemuiku di sini.
Tapi yang kudapati malah kalian yang menyergapku seperti penjahat.”
Benarkah itu
semua? Anna merasakan tubuhnya lemas seperti terbuat dari agar-agar setelah
mendengar penjelasan Max. Apa maksud Rick melakukan semua ini? Kenapa ia
bertindak sendiri tanpa pemberitahuan sebelumnya? Bukankah mereka partner dalam
kasus ini?
“Anna, bertahanlah!” Hans dengan sigap menopang tubuh Anna yang mulai
terhuyung.
Segala macam pertanyaan berkecamuk di dalam benak Anna. Kepalanya terasa
pening karena dipenuh kabut yang menggumpal. Tapi semua itu sirna dalam sekejap
karena satu kemungkinan. Jangan-jangan....
Anna mengangkat wajahnya dan menatap Hans. Dan sepertinya Hans juga
memikirkan apa yang dipikirkan Anna. Sementara Max menatap mereka bergantian
dengan ekspresi bingung.
Liza. Penampilan Liza malam ini... riasannya... dan rambutnya dicat
sementara... demi Tuhan! Anna bahkan tidak sanggup membayangkan hal mengerikan
itu dalam benaknya. Hanya satu hal yang memenuhi kepalanya sekarang ini.
Liza dalam
bahaya!
***
“Kau yakin di sini tempatnya, Rick?” tanya Liza skeptis. Gadis itu
menolehkan kepalanya untuk memperhatikan suasana yang begitu lengang malam ini.
“Menurut penyelidikanku, rumah kecil itulah tempatnya. Sepertinya kita
harus bersembunyi.” Rick menarik Liza untuk bersembunyi di sebuah gang kecil
dan sempit. Pencahayaan di situ sangat minim sehingga tidak ada orang yang bisa
melihat mereka berdua.
Mata Anna menatap awas dari balik lensa kacamatanya. Pandangannya mengarah
langsung ke arah rumah itu melalui bahu Rick. Tubuh lelaki itu menjulang di
hadapannya dan sedikit menyudutkannya ke dinding.
“Anna, bolehkah aku menciummu?” bisik Rick begitu dekat di telinga Liza.
Sementara tangan kanannya kini mulai membelai lembut pipi kiri gadis itu.
“A, apa-apaan kau ini, Rick?! Kenapa harus di saat seperti ini?!” Liza
berseru gugup.
“Ini adalah bagian dari pengintaian, Liza. Apa kau tidak melihat ada
seseorang yang baru saja membuka gorden itu sebentar lalu memperhatikan ke arah
kita? Kita harus berpura-pura menjadi sepasang kekasih yang tengah dibakar
asmara sekarang,” ucap Rick sambil mendekatkan bibirnya ke bibir Liza.
“Tidak!” Liza berteriak menolak. Telapak tangannya mendorong dada Rick
sekuat tenaga.
Sesaat Rick tampak terkejut dengan penolakan yang tiba-tiba itu. Matanya
berkilat marah, tapi dengan cepat sorot matanya berubah lembut. “Maafkan aku, Liza.
Apa aku membuatmu terkejut?”
Liza sedikit membungkukkan badannya dengan sikap defensif. Matanya menatap
tajam ke arah Rick. Sementara napasnya tersengal karena tenaga yang
dikeluarkannya untuk mendorong jauh lelaki itu.
“Apa ini ciuman pertamamu?” tanya Rick perlahan sambil mengambil langkah
mendekati Liza.
“Jangan mendekat!” Liza berseru dengan marah, membuat Rick tersentak dan
berhenti melangkah.
Bingung. Rick mengernyitkan keningnya menatap Liza. “Apa yang terjadi
padamu, Liza? Aku berjanji tidak akan melakukan hal itu lagi. Tadi aku tidak
mengira kau akan menolak seperti ini. Kupikir kau benar-benar menyukaiku.” Rick
mulai kembali melangkah.
“Jadi tolong biarkan aku mendekat, ya? Seseorang mungkin saja melukaimu di
sana. Dan aku tidak bisa melindungimu—”
“Satu-satunya orang yang akan melukaiku adalah kau!” sergah Liza dengan
suara bergetar menahan emosi.
“A-apa maksudmu, Liza?” tanya Rick tidak mengerti.
Liza mendengus lalu tersenyum sinis. “Jangan berpura-pura, Rick! Kita
sama-sama tahu bahwa kau adalah pelaku penyerangan terhadap gadis-gadis dengan
rambut dicat pirang itu!”
“Jangan mengatakan hal tidak masuk akal, Liza.” Rick berkata dengan suara
rendah, berusaha meredam emosi Liza yang tampak meluap-luap. Tidak pernah
sekalipun ia melihat Liza seperti ini. Biasanya gadis ini selalu tampak tenang
dan menghadapi sesuatu dengan kepala dingin. “Apa selalu begini sikapmu pada
lelaki yang akan menciummu?”
Perlahan, Liza menegakkan punggungnya dan berdiri dengan anggun di bibir
gang yang temaram. Ia
membetulkan posisi kacamatanya lalu mulai bicara. “Kau membunuh para gadis itu
saat kalian berciuman. Seperti yang baru saja akan kaulakukan padaku.”
Rick terdiam mendengarkan. Ia tidak mengatakan apa-apa hingga Liza kembali
berbicara.
“Lipstik gadis-gadis itu selalu tampak berantakan. Aku mencurigai itu
setelah melihat foto para korbanmu. Dan begitu melihat keadaan TKP secara
langsung dalam kasus Victoria, aku langsung yakin bahwa hal itu benar.” Liza
memberi jeda untuk mengatur napasnya yang mulai memburu. “Kau datang ke rumah Victoria,
lalu mencium dan langsung menusuk dadanya. Gadis itu ketakutan dan dia
mendorongmu keluar lalu mengunci pintu rumahnya dengan sisa tenaganya.
Sayangnya, ia tersungkur dan meninggal sebelum sempat meminta bantuan.”
“Analisis yang bagus, Liza,” puji Rick sambil tersenyum. “Tapi saat itu aku
sedang pergi berlibur keluar kota, kau ingat?”
“Itu tidak bisa lagi kau jadikan alibi, Rick.” Liza mengalihkan
pandangannya, lalu melirik dengan ekspresi jijik. Ia merasa mual dengan
kata-kata yang akan ia ucapkan. “Selama ini aku menyukaimu dan aku begitu
memperhatikanmu. Aku membaca catatan perjalanan yang kautulis di blog-mu. Kau
menyertakan foto untuk memperkuat alibimu bahwa saat itu kau sedang berada jauh
dari kota ini. Tapi melalui foto-fotomu itulah aku menemukan bukti
kebohonganmu.”
“Aku tidak berbohong,” sanggah Rick. “Foto itu benar-benar diambil di
tempat aku berlibur. Sama sekali bukan hasil rekayasa perangkat lunak
komputer.”
“Foto-foto itu memang diambil di tempat yang asli. Tapi kau merekayasa
waktunya.” Liza menatap garang ke arah Rick, tapi entah mengapa malah terlihat
sedih. “Di foto perjalananmu itu kau mengenakan kaus tanpa lengan yang terkesan
santai. Tapi tidak ada satupun foto yang menunjukkan bekas lukamu. Jadi aku
yakin foto itu diambil sebelum insiden itu terjadi.”
Rick terdiam dengan mata terpejam. Lelaki itu seolah-olah sedang meresapi
setiap deduksi yang diucapkan gadis di hadapannya. Sementara Liza menunggu
dengan napas tercekat. Ternyata cukup sulit memunculkan keberanian di atas
lututnya yang gemetar. Dan Liza terkesiap saat tiba-tiba Rick tertawa terbahak-bahak
seakan sedang menonton acara komedi.
Mata lelaki itu terbuka. Tapi tatapannya berbeda dengan yang biasa dilihat Liza.
Detektif Rick sudah tidak lagi berdiri di hadapan Liza. Sepertinya ini
adalah... Rick si pembunuh!
“Ternyata perempuan yang tengah jatuh cinta memang mengerikan. Dalam
menjalankan rencana ini, aku sama sekali tidak memperhitungkan kemungkinan ada
seseorang yang akan jatuh cinta padaku. Sepertinya menolongmu saat itu adalah
kesalahan terbesarku,” ujar Rick sambil mengangkat bahunya.
“T-tapi kenapa?” tanya Liza dengan suara serak.
“Jangan tanyakan hal itu padaku.” Rick tersenyum satiris. “Tanyakan saja
pada jalang bernama Safira itu. Kenapa dia mencampakkanku demi lelaki yang
lebih kaya. Dan sejak saat itu setiap kali aku melihat gadis dengan rambut
dicat pirang seperti itu, membuatku ingin
mengoyak jantungnya.”
“J-jadi... Safira sudah.... oh, tidak!” Liza mengepalkan rambutnya dengan
perasaan frustasi. Ternyata kita
terlambat, Anna!
“Tentu saja.” Rick menyeringai. Ia tampak begitu mengerikan sekalipun di
bawah temaram cahaya malam. “Perempuan itulah yang menjadi akar dari semua
perbuatanku. Jadi dia pantas mati!”
“Lalu b-bagaimana dengan korbanmu yang lainnya? Bukankah mereka tidak
bersalah?”
“Kau begitu naif, Liza.” Rick menggedikkan bahunya penuh intimidasi.
“Mereka semua sama saja. Gadis pesolek yang mengincar harta lelaki kaya. Sama
sepertimu, Liza! Kau sengaja mengecat rambutmu menjadi pirang untuk menarik
perhatianku, kan?”
Mendadak Liza merasa kesulitan bernapas. Ia melihat Rick menarik sesuatu
yang berkilat keluar dari saku celananya. Itu adalah... sebilah pisau! Tapi
saat Liza tengah menatap waspada ke arah pisau itu, tiba-tiba Rick memukulnya
hingga tersungkur. Kacamatanya jatuh dan terlempar jauh darinya. Menghilang di
dalam sudut gelap gang sempit itu.
“Ini adalah malam terakhirmu, Detektif Liza.”
Sekuat tenaga Liza menahan isakannya yang nyaris melompat. Rasanya semua
kenyataan ini begitu sulit dipercaya. Padahal ia sengaja mengecat rambutnya
malam ini untuk membuktikan bahwa Rick bukanlah pembunuh yang mereka cari.
Bahwa Rick pasti akan melindunginya seperti saat itu.
Tapi kini semua itu terasa bagaikan mimpi....
Benarkah ini Rick yang dikenal Liza? Rick yang membuatnya jatuh cinta. Rick
yang menyelamatkannya dari serangan penjahat. Rick yang selalu bersikap hangat
kepadanya.
Liza menengadahkan kepalanya untuk menatap langsung ke dalam mata Rick. Ia
ingin seseorang mengatakan bahwa ini semua hanyalah kebohongan setan dalam mimpi
buruknya. Ia ingin seseorang membangunkannya sekarang juga. Tapi sayang,
penglihatan Liza mengabur. Walaupun bukan karena genangan air mata.
Tanpa kacamatanya, dunia yang dilihat Liza tidak pernah sama lagi.
***
“Apa maksudmu dengan kepribadian Liza tanpa kacamata?”
“Kau tahu, aku dan Liza sudah bersahabat sejak kami masih kecil. Saat kami
duduk di kelas tujuh, kami pernah sama-sama mempelajari ilmu bela diri atas
permintaan orang tua kami. Berbeda denganku yang memang menyukai kegiatan olah
tubuh, Liza yang terbiasa mendekam di kamar bersama buku-bukunya merasa
tubuhnya terlalu kaku untuk digerakan.” Anna memulai ceritanya sambeli sesekali
tersenyum geli. Sepertinya ada beberapa kejadian lucu di masa lalu. “Walaupun
dia selalu berlari kabur setiap menghadapi latih tanding, tapi dia tidak pernah
menyerah. Dia tetap membaca buku tentang bela diri dan menghafalkan gerakan
yang diajarkan pelatih kami... .”
Hans menoleh singkat ke arah Anna yang menggantung kalimatnya. Lalu ia
sadar bahwa harus kembali fokus pada jalanan di depannya. Saat ini, mereka
sedang dalam perjalanan menuju tempat Liza dan Rick berada. Tempat itu
sebelumnya diberitahukan Rick sebagai tempat yang akan dituju oleh Max Dawson.
Tapi ternyata tempat lelaki itu bersembunyi.
“Hingga suatu hari Liza harus berhadapan dengan seorang teman kami yang
sombong. Dia menyerang Liza tanpa ampun. Dengan mudah Liza dijatuhkan hingga
kacamatanya lepas. Dan saat Liza kembali bangkit, ia membalas serangan itu secara
telak. Saat itu Liza benar-benar tampak... mengerikan,” ujar Anna sambil
meringis masam.
“Aku baru mendengar hal yang seperti itu.”
“Begitu juga aku dan Liza kala itu. Liza merasa tidak percaya bahwa dia
bisa melakukan hal seperti itu. Dia mencoba meminta maaf pada teman yang
menjadi lawannya. Tapi orang itu selalu berlari ketakutan setiap kali melihat Liza.”
Anna merasa bingung harus berekspresi seperti apa. Tapi terlihat jelas gadis
itu menahan tawanya. “Sejak saat itu Liza tidak mau melepas kacamatanya
sembarangan. Dia takut orang-orang akan membencinya.”
“Sekarang kita hanya bisa berharap agar Liza... dan juga Rick baik-baik
saja.”
“Benar,” gumam Anna sambil meremas telepon genggamnya yang terus melaporkan
bahwa nomor Liza dalam keadaan tidak aktif.
“Anna! Lihat itu!” Hans memekik sambil tiba-tiba menghentikan mobilnya.
Lampu mobilnya sengaja diarahkan pada seseorang yang terduduk di pinggir jalan.
Diikuti mobil-mobil bantuan yang tadi dipanggilnya. “Bukankah itu Liza?”
Mata Anna terbelalak dengan bibir yang terbuka. Benar itu adalah Liza.
Penampilan gadis itu tampak berantakan. Rambut dan gaunnya tampak kusut. Tangan
kirinya tampak memegang tangan kanannya yang berlumuran darah. Astaga! Liza terluka!
Anna bergegas turun dari mobil dan berlari mendekat. Tapi Liza malah tampak
terkejut dan mencoba menjauh. Sepertinya matanya masih silau akan cahaya yang
tiba-tiba disorotkan padanya.
“Ini aku,” gumam Anna cepat saat melihat Liza seperti hendak melompat
berdiri dan menjauhinya. Anna melihat tangan Liza yang terluka tampak mengepal
dan gemetar. “Liza! Ini aku. Anna!”
Saat mendengar suara yang dikenalnya itu, Liza mengerjapkan matanya beberapa
kali. Lalu sinar ketegangan di matanya perlahan meredup. Seulas senyum
tersungging di bibirnya yang masih mencoba bernapas walaupun tersengal. Ia
berbisik lirih, “Anna... .”
“Terima kasih, Tuhan,” gumam Anna sambil merengkuh Liza ke dalam pelukannya.
Ia menempelkan pipinya di pipi Liza dan merasakan kehangatan menjalari
tubuhnya. “Astaga kau terluka!”
“Aku tidak apa-apa. Tapi dia... .” Liza mengalihkan pandangannya ke arah
Rick yang terbaring tidak sadarkan diri dengan tubuh luka-luka. “Aku melakukannya
lagi, Anna.”
Anna mengikuti arah pandang Liza. Sebilah pisau tergeletak tidak jauh dari
tubuh Rick. Saat ini Hans dan teman-temannya sedang menangani lelaki itu. Anna
kembali memberi perhatiannya kepada Liza saat gadis itu mulai terisak.
“Hei, jangan menangis. Kau tidak melakukan sesuatu yang salah, Liza.” Anna
menangkup kedua pipi Liza menggunakan tangannya.
“Tapi tanpa kacamata... aku melukai orang lain,” ucap Liza sambil terisak.
“Itu pembelaan diri dari orang jahat, Liza. Jika kau memang berniat melukai
orang lain tanpa kacamatamu, seharusnya sekarang kau memukulku sampai babak
belur,” ujar Anna lalu terkekeh.
Liza mendesah lega. Benar juga. Kehangatan sahabat seperti ini tidak akan
pernah ia temukan di sembarang tempat. Ia bersyukur dalam hati. Walaupun lelaki
yang dicintainya baru saja mencoba melukainya, tapi ada sahabatnya yang masih
memeluknya dengan senang hati.
Dengan sisa tenaganya, Liza mengangkat sebelah tangannya yang tidak terluka
ke udara. Anna menatap tangan sahabatnya lalu tersenyum. Ia menyambut tangan
itu dengan menepukkan telapak tangannya. Kemudian mereka berdua saling berbisik
dengan suara serak, “Case closed.”
Dua sahabat itu berpelukan di bawah langit malam. Mereka tidak peduli gaun
mereka akan kotor karena debu ataupun darah. Semoga dunia selalu berada dalam
kedamaian.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D