Selasa, 05 Mei 2015

Love For Money part 4


Entah mengapa dari jutaan orang yang kutemui, aku harus meluapkan emosiku pada gadis itu. Elisa, mantan kekasihku yang akhir-akhir ini muncul kembali dalam hidupku dan tentu saja selalu merusak suasana hatiku.

Sejak kami putus beberapa tahun silam, aku sudah tak pernah lagi melihat Elisa. Mungkin saja ia tengah memperluas cakrawalanya di suatu sudut bumi untuk mengeksplorasi sebuah nama yang selalu kusebut-sebut di hadapannya. Stella.

Stella memang telah menjadi bagian hidupku sejak aku kecil dan tentunya keberadaan gadis itu pun mempengaruhi hidupku. Aku mencoba melupakan perasaanku pada Stella dengan menghadirkan Elisa untuk mengisi hari-hariku. Awalnya baik-baik saja. Aku sering menceritakan pada Elisa tentang Stella, orang yang sudah kuanggap sebagai “kakak”ku sendiri.

Lalu, siang itu, tanpa menghiraukan intensitas panasnya sengatan bola api raksasa, aku mati-matian mengejar Stella yang hendak meninggalkan kota ini. Tentu saja aku meninggalkan Elisa di taman teduh yang seolah penuh dengan oksigen itu. Sejak itu, rupanya Elisa menyadari sesuatu. Menyadari tentang perasaanku pada Stella yang tak sekedar sebagai “kakak”.

Elisa memutuskanku. Stella meninggalkanku. Saat itu duniaku benar-benar berubah. Mabuk, narkoba dan judi, hingga aku keluar masuk penjara karena berkelahi sudah menjadi kebiasaanku. Sampai-sampai ibuku mengeluarkan banyak uang untuk menebusku. Dan malang, ayahku pun mengembuskan nafas terakhirnya karena serangan jantung. Ya, itu karena aku menipu konglomerat dan membawa kabur uang mereka. Lalu orang-orang suruhan mereka datang dan mengancam ayah.

Tapi itu sudah lama. Lama sekali sampai aku meminta Stella kembali dengan sumpah bahwa aku tak akan lagi menipu, memeras, berkelahi atau apapun yang bisa membawaku menuju sel terkutuk ini. Dan siang ini, aku melanggar sumpahku karena seorang gadis. Kejadiannya begitu cepat hingga aku akhirnya menyesali apa yang telah ku perbuat.
***
“Bukankah sudah kukatakan padamu, jangan membawa Stella lagi dalam percakapan kita?” Ujar gadis itu geram.

“Kenapa? Aku memang mencintainya Elisa.”

“Kenapa kau mencintai pelacur itu? Dia itu pelacur John. Wanita murahan!” Elisa mengucapkan kalimat terakhir dengan penuh penekanan. Aku mengepalkan tanganku, menahan emosi yang hampir memecahkan kepalaku.

“Selama ini aku sudah menyelidikinya, John. Dia sering pergi bersama dengan pria-pria tampan dan kaya raya. Kau tahu untuk apa?” Tanya Elisa di sela tawanya. “Tentu saja untuk mendapatkan uang—” Elisa menggantungkan kalimatnya, menunggu reaksiku yang mungkin saja tiba-tiba akan berubah menjadi serigala. “—dengan tubuhnya.”

“Jaga bicaramu Elisa.”

“Sudahlah John. Stella hanya akan memberikan cintanya pada pria yang memiliki uang. Kalau kau punya uang, berikan dia dalam jumlah besar dan dia akan bersiap di ranjangmu. Selamat tinggal John, sampaikan salamku untuk pelacurmu itu.” Gadis itu memutar tubuhnya diatas tumit tingginya, kemudian melangkah untuk memasuki sebuah sedan berwarna gelap miliknya.

“Sialan kau Elisa.”  Tanpa pikir panjang aku menjambak rambutnya yang dikuncir kuda dan tiba-tiba saja aku membenturkan kepalanya pada kaca mobilnya hingga darah segar mengalir melalui sela-sela jari yang tengah memegangi kepalanya. Sial. Aku tak pernah melakukan kekerasan pada seorang wanita sebelumnya.
***
Memiliki ayah seorang jaksa rupanya berpengaruh baik pada Elisa. Secepat kilat ia mampu mengirimku pada sel busuk yang sudah lama tak kusinggahi. Bahkan sebelum aku melihat lagi wajah gadisku itu.

Sudah dua malam aku mendekam di sel ini. Aku tak berharap banyak agar ibu membebaskanku. Aku sadar aku hanya berlaku seperti sampah. Keberadaanku mungkin sangat mengganggu untuk mereka.

Seandainya aku diberikan kesempatan, aku ingin berubah. Merubah hidupku dan menatanya kembali. Lalu aku akan menyatakan perasaanku pada Stella. Bahkan aku akan menikahinya jika dia bersedia. Lalu kami akan membangun sebuah keluarga dan—

“Johnie.” Seseorang membuyarkan lamunan panjangku. Aku menengadah, memandang penjaga yang berdiri dengan wajah yang begitu masam. Aku mengenal lelaki ini. Tempat tinggalnya tak jauh dari rumahku. Mungkin semalam dia bertengkar dengan istrinya hingga suasana hatinya buruk siang ini.

“Kau dibebaskan.” Ujarnya ketus. Aku memicingkan mataku pada penjaga itu. “Cepat!”

Apa ibuku lagi yang menjaminnya? Aku benar-benar harus berbakti pada wanita itu. Perasaan bersalah bergelayut dalam hatiku. Sejak kematian ayah, ibu selalu berusaha sendirian. Dan aku? Aku hanya menjadi lelaki tak berguna yang menghabiskan uang ibuku untuk hal-hal bodoh.

Aku berjalan, menundukkan kepalaku dengan penuh penyesalan. Aku takut bertemu pandang dengan ibuku yang aku yakini ia hanya akan menangis dan membuatku semakin merasa bersalah. Langkahku dihadang oleh seseorang pemilik sepatu berwarna navy yang aku tahu betul siapa pemiliknya. Wajah yang begitu masam menyambutku dengan tatapan mata yang begitu menusuk. Hening. Dan aku sangat membenci situasi ini.

Tanpa kata, sebuah tamparan keras melayang ke wajahku.

“Kenapa kau selalu menyusahkanku Johnie?” Suaranya yang terdengar melengking membuat aku bernafas lega. Aku bersyukur mendapatkan tamparan ini. Jika gadis itu hanya diam, itu akan membuatku lebih merasa bersalah.

“Maafkan aku Stel. Aku—” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, gadis itu memelukku. Aku pun menghirup aromanya dalam-dalam. Aku benar-benar merindukannya.

Happy birthday, Johnie.” Bisiknya di telingaku. Bahkan aku lupa hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku memandangnya sesaat, kemudian kusisihkan rambutnya yang menjuntai menutupi wajah cantiknya. Tanganku menangkup wajahnya, kemudian perlahan kukecup bibir pinknya yang seksi.

Kami saling memandang untuk sesaat, kemudian Stella mulai melepaskan diri dengan sikapnya yang canggung. Semburat kemerahan menghiasi wajahnya.

“Ayo, pulang. Ibumu sudah menunggu.” Ujar Stella tanpa memandangku, kemudian ia melangkah terlebih dulu meninggalkanku. Aku mengejarnya, menyamakan langkah dengannya, kemudian aku menautkan jemariku pada tangannya yang terasa dingin.
***
“Aku melihatmu bersama Anastasiaku tadi siang.” Ujar seorang lelaki yang tiba-tiba saja berada di sampingku saat aku membeli sekaleng minuman dingin di minimarket. Aku mendengarnya, namun aku tak menggubrisnya karena aku tak merasa mengenal nama itu sama sekali. Kemudian lelaki itu menepuk bahuku untuk menghentikanku yang hendak berjalan menuju kasir.

“Apa hubunganmu dengan Anastasia?” Lelaki itu kembali menyebut nama yang asing di telingaku.

“Aku tak mengerti apa yang kau maksudkan. Aku juga tak mengenal Anastasiamu itu.”

“Jangan berpura-pura. Kuperingatkan kau, jangan coba-coba mendekati Ana atau aku akan menghajarmu.” Anastasia? aku bahkan tak memiliki teman bernama seperti itu. Aku tak mempedulikannya kemudian berjalan keluar. Lelaki itu masih saja mengikutiku.

“Sudah kubilang, aku tak pernah mengenal Anastasia. Kau salah orang.”

“Jadi kau lupa? Aku lelaki yang kau pukul malam itu di gereja.” Sebuah pukulan mendarat di pelipisku. “Dan itu balasan untukmu. Jangan dekati Ana karena kami akan segera menikah.” Ujar lelaki itu meninggalkanku tersungkur di halaman mini market. Meninggalkanku dengan sejuta pikiran yang berputar-putar dalam kepalaku.

Anastasia? Menikah?

Tiba-tiba sekelebat memori mengisi benakku. Stella. Tapi apa maksudnya dengan menikah? Berbagai asumsi terlintas di kepalaku. Hingga aku memutuskan untuk menemuinya dan menanyakan apa maksud lelaki itu.

“Stella” Teriakku sambil membuka pintu rumahnya. Sang pemilik rumah berteriak terkejut. Tubuhnya yang hanya dibalut selembar handuk begitu… Tidak! Apa yang kupikirkan.

“Kenapa kau tidak mengetuk dulu Johnie!” Teriak Stella sambil berlari menuju ke kamarnya.

Kenapa harus mengetuk? Aku bahkan tak pernah bersuara ketika memasuki rumah Stella. Mendadak gadis itu begitu sensitif padaku sejak tadi siang. Aku menghela nafas berat dan menunggunya di sofa abu-abu kesayanganku.

Tak perlu waktu lama gadis itu keluar kamarnya dengan handuk yang masih membungkus rambutnya yang basah.

“Ada apa kau berteriak seperti itu?” Gerutu Stella sambil mengusap rambutnya dengan handuk.

“Apa ada yang ingin kau bicarakan denganku?” Aku bertanya dan mencoba memberinya sedikit waktu untuk memberitahuku sesuatu yang disembunyikannya. Stella menghentikan aktivitasnya sejenak.

“Apa maksudmu?”

“Sesuatu yang aku tidak tahu?” Aku masih mencoba memancingnya, tetapi wajahnya tak menunjukkan sesuatu yang berarti. Ia menggeleng pelan, tampak ragu dengan jawabannya hingga membuatku semakin tak sabar. “Mungkin tentang pernikahan?”


Bersambung ke part 5 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D