Entah mengapa dari jutaan orang yang kutemui, aku harus meluapkan emosiku pada gadis itu. Elisa, mantan kekasihku yang akhir-akhir ini muncul kembali dalam hidupku dan tentu saja selalu merusak suasana hatiku.
Sejak kami
putus beberapa tahun silam, aku sudah tak pernah lagi melihat Elisa. Mungkin
saja ia tengah memperluas cakrawalanya di suatu sudut bumi untuk mengeksplorasi
sebuah nama yang selalu kusebut-sebut di hadapannya. Stella.
Stella
memang telah menjadi bagian hidupku sejak aku kecil dan tentunya keberadaan gadis
itu pun mempengaruhi hidupku. Aku mencoba melupakan perasaanku pada Stella
dengan menghadirkan Elisa untuk mengisi hari-hariku. Awalnya baik-baik saja.
Aku sering menceritakan pada Elisa tentang Stella, orang yang sudah kuanggap
sebagai “kakak”ku sendiri.
Lalu, siang
itu, tanpa menghiraukan intensitas panasnya sengatan bola api raksasa, aku
mati-matian mengejar Stella yang hendak meninggalkan kota ini. Tentu saja aku
meninggalkan Elisa di taman teduh yang seolah penuh dengan oksigen itu. Sejak
itu, rupanya Elisa menyadari sesuatu. Menyadari tentang perasaanku pada Stella
yang tak sekedar sebagai “kakak”.
Elisa
memutuskanku. Stella meninggalkanku. Saat itu duniaku benar-benar berubah.
Mabuk, narkoba dan judi, hingga aku keluar masuk penjara karena berkelahi sudah
menjadi kebiasaanku. Sampai-sampai ibuku mengeluarkan banyak uang untuk
menebusku. Dan malang, ayahku pun mengembuskan nafas terakhirnya karena serangan
jantung. Ya, itu karena aku menipu konglomerat dan membawa kabur uang mereka.
Lalu orang-orang suruhan mereka datang dan mengancam ayah.
Tapi itu
sudah lama. Lama sekali sampai aku meminta Stella kembali dengan sumpah bahwa
aku tak akan lagi menipu, memeras, berkelahi atau apapun yang bisa membawaku
menuju sel terkutuk ini. Dan siang ini, aku melanggar sumpahku karena seorang
gadis. Kejadiannya begitu cepat hingga aku akhirnya menyesali apa yang telah ku
perbuat.
***
“Bukankah
sudah kukatakan padamu, jangan membawa Stella lagi dalam percakapan kita?” Ujar
gadis itu geram.
“Kenapa? Aku
memang mencintainya Elisa.”
“Kenapa kau
mencintai pelacur itu? Dia itu pelacur John. Wanita murahan!” Elisa mengucapkan
kalimat terakhir dengan penuh penekanan. Aku mengepalkan tanganku, menahan
emosi yang hampir memecahkan kepalaku.
“Selama ini
aku sudah menyelidikinya, John. Dia sering pergi bersama dengan pria-pria
tampan dan kaya raya. Kau tahu untuk apa?” Tanya Elisa di sela tawanya. “Tentu
saja untuk mendapatkan uang—” Elisa menggantungkan kalimatnya, menunggu
reaksiku yang mungkin saja tiba-tiba akan berubah menjadi serigala. “—dengan
tubuhnya.”
“Jaga
bicaramu Elisa.”
“Sudahlah
John. Stella hanya akan memberikan cintanya pada pria yang memiliki uang. Kalau
kau punya uang, berikan dia dalam jumlah besar dan dia akan bersiap di
ranjangmu. Selamat tinggal John, sampaikan salamku untuk pelacurmu itu.” Gadis
itu memutar tubuhnya diatas tumit tingginya, kemudian melangkah untuk memasuki
sebuah sedan berwarna gelap miliknya.
“Sialan kau
Elisa.” Tanpa pikir panjang aku
menjambak rambutnya yang dikuncir kuda dan tiba-tiba saja aku membenturkan
kepalanya pada kaca mobilnya hingga darah segar mengalir melalui sela-sela jari
yang tengah memegangi kepalanya. Sial. Aku tak pernah melakukan kekerasan pada
seorang wanita sebelumnya.
***
Memiliki
ayah seorang jaksa rupanya berpengaruh baik pada Elisa. Secepat kilat ia mampu
mengirimku pada sel busuk yang sudah lama tak kusinggahi. Bahkan sebelum aku
melihat lagi wajah gadisku itu.
Sudah dua malam
aku mendekam di sel ini. Aku tak berharap banyak agar ibu membebaskanku. Aku
sadar aku hanya berlaku seperti sampah. Keberadaanku mungkin sangat mengganggu
untuk mereka.
Seandainya
aku diberikan kesempatan, aku ingin berubah. Merubah hidupku dan menatanya
kembali. Lalu aku akan menyatakan perasaanku pada Stella. Bahkan aku akan
menikahinya jika dia bersedia. Lalu kami akan membangun sebuah keluarga dan—
“Johnie.”
Seseorang membuyarkan lamunan panjangku. Aku menengadah, memandang penjaga yang
berdiri dengan wajah yang begitu masam. Aku mengenal lelaki ini. Tempat tinggalnya
tak jauh dari rumahku. Mungkin semalam dia bertengkar dengan istrinya hingga suasana
hatinya buruk siang ini.
“Kau
dibebaskan.” Ujarnya ketus. Aku memicingkan mataku pada penjaga itu. “Cepat!”
Apa ibuku
lagi yang menjaminnya? Aku benar-benar harus berbakti pada wanita itu. Perasaan
bersalah bergelayut dalam hatiku. Sejak kematian ayah, ibu selalu berusaha
sendirian. Dan aku? Aku hanya menjadi lelaki tak berguna yang menghabiskan uang
ibuku untuk hal-hal bodoh.
Aku
berjalan, menundukkan kepalaku dengan penuh penyesalan. Aku takut bertemu
pandang dengan ibuku yang aku yakini ia hanya akan menangis dan membuatku
semakin merasa bersalah. Langkahku dihadang oleh seseorang pemilik sepatu
berwarna navy yang aku tahu betul
siapa pemiliknya. Wajah yang begitu masam menyambutku dengan tatapan mata yang
begitu menusuk. Hening. Dan aku
sangat membenci situasi ini.
Tanpa kata,
sebuah tamparan keras melayang ke wajahku.
“Kenapa kau
selalu menyusahkanku Johnie?” Suaranya yang terdengar melengking membuat aku
bernafas lega. Aku bersyukur mendapatkan tamparan ini. Jika gadis itu hanya
diam, itu akan membuatku lebih merasa bersalah.
“Maafkan aku
Stel. Aku—” Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, gadis itu memelukku. Aku
pun menghirup aromanya dalam-dalam. Aku benar-benar merindukannya.
“Happy birthday, Johnie.” Bisiknya di
telingaku. Bahkan aku lupa hari ini adalah hari ulang tahunku. Aku memandangnya
sesaat, kemudian kusisihkan rambutnya yang menjuntai menutupi wajah cantiknya.
Tanganku menangkup wajahnya, kemudian perlahan kukecup bibir pinknya yang seksi.
Kami saling
memandang untuk sesaat, kemudian Stella mulai melepaskan diri dengan sikapnya
yang canggung. Semburat kemerahan menghiasi wajahnya.
“Ayo,
pulang. Ibumu sudah menunggu.” Ujar Stella tanpa memandangku, kemudian ia
melangkah terlebih dulu meninggalkanku. Aku mengejarnya, menyamakan langkah
dengannya, kemudian aku menautkan jemariku pada tangannya yang terasa dingin.
***
“Aku
melihatmu bersama Anastasiaku tadi siang.” Ujar seorang lelaki yang tiba-tiba
saja berada di sampingku saat aku membeli sekaleng minuman dingin di
minimarket. Aku mendengarnya, namun aku tak menggubrisnya karena aku tak merasa
mengenal nama itu sama sekali. Kemudian lelaki itu menepuk bahuku untuk
menghentikanku yang hendak berjalan menuju kasir.
“Apa
hubunganmu dengan Anastasia?” Lelaki itu kembali menyebut nama yang asing di
telingaku.
“Aku tak
mengerti apa yang kau maksudkan. Aku juga tak mengenal Anastasiamu itu.”
“Jangan
berpura-pura. Kuperingatkan kau, jangan coba-coba mendekati Ana atau aku akan
menghajarmu.” Anastasia? aku bahkan
tak memiliki teman bernama seperti itu. Aku tak mempedulikannya kemudian
berjalan keluar. Lelaki itu masih saja mengikutiku.
“Sudah
kubilang, aku tak pernah mengenal Anastasia. Kau salah orang.”
“Jadi kau
lupa? Aku lelaki yang kau pukul malam itu di gereja.” Sebuah pukulan mendarat
di pelipisku. “Dan itu balasan untukmu. Jangan dekati Ana karena kami akan
segera menikah.” Ujar lelaki itu meninggalkanku tersungkur di halaman mini
market. Meninggalkanku dengan sejuta pikiran yang berputar-putar dalam
kepalaku.
Anastasia? Menikah?
Tiba-tiba
sekelebat memori mengisi benakku. Stella.
Tapi apa maksudnya dengan menikah? Berbagai asumsi terlintas di kepalaku.
Hingga aku memutuskan untuk menemuinya dan menanyakan apa maksud lelaki itu.
“Stella”
Teriakku sambil membuka pintu rumahnya. Sang pemilik rumah berteriak terkejut.
Tubuhnya yang hanya dibalut selembar handuk begitu… Tidak! Apa yang kupikirkan.
“Kenapa kau
tidak mengetuk dulu Johnie!” Teriak Stella sambil berlari menuju ke kamarnya.
Kenapa harus mengetuk? Aku bahkan tak pernah bersuara ketika
memasuki rumah Stella. Mendadak gadis itu begitu sensitif padaku sejak tadi
siang. Aku menghela nafas berat dan menunggunya di sofa abu-abu kesayanganku.
Tak perlu
waktu lama gadis itu keluar kamarnya dengan handuk yang masih membungkus
rambutnya yang basah.
“Ada apa kau
berteriak seperti itu?” Gerutu Stella sambil mengusap rambutnya dengan handuk.
“Apa ada
yang ingin kau bicarakan denganku?” Aku bertanya dan mencoba memberinya sedikit
waktu untuk memberitahuku sesuatu yang disembunyikannya. Stella menghentikan
aktivitasnya sejenak.
“Apa
maksudmu?”
“Sesuatu
yang aku tidak tahu?” Aku masih mencoba memancingnya, tetapi wajahnya tak
menunjukkan sesuatu yang berarti. Ia menggeleng pelan, tampak ragu dengan
jawabannya hingga membuatku semakin tak sabar. “Mungkin tentang pernikahan?”
Bersambung
ke part 5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D