Selasa, 19 Mei 2015

Red Lie - Chapter 1


Cahaya rembulan yang remang-remang menyentuh karpet biru di dekat jendela. Suasana temaram yang menyelimuti ruangan, membuat lelaki itu tampak mengerikan. Lelaki muda itu duduk dengan gelisah di atas karpet, memusatkan mata tajamnya yang indah pada pintu balkon kamarnya. Ia menghela nafas berat yang seolah begitu membebani hidupnya.

Sebuah kotak beludru berbentuk hati masih berada dalam genggamannya. Kotak yang berisikan sebuah cincin tersebut telah ia persiapkan sejak beberapa hari yang lalu. Sebuah restoran bernuansa romantis pun telah ia pilih untuk memberikan sebuah kejutan pada Anastasia, gadis yang akan dilamarnya besok malam. Namun semuanya gagal. Anastasia justru telah terlebih dulu memberikan kejutan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Sesuatu di atas nakas memancarkan cahaya berkedip-kedip. Suaranya terdengar nyaring membuyarkan lamunan lelaki itu. Dengan malas, ia menyeret langkahnya mendekati ponselnya yang tak henti-hentinya mengalunkan musik klasik sebagai nada deringnya.

“Hm..” Ujar lelaki itu malas setelah menempelkan ponsel di telinganya.

“Demi Tuhan, Leo. Kau terlalu berlebihan. Sudahlah. Lupakan gadis itu. Kutunggu di tempat biasa sekarang. Cepat.” Suara melengking dengan latar yang berisik. Leo tahu betul kemana Chrystal —sang penelpon— menyuruhnya datang.

Ia menyeret langkahnya menuju kamar mandi pribadi yang tersambung dengan kamarnya. Kemudian berdiri di depan cermin untuk menatap pantulan wajahnya yang terpantul pada cermin berbentuk pentagon. Apa yang salah denganku? Ujarnya dalam hati.

Dalam diam, wajah itu kembali tergambar dalam benaknya. Cepat-cepat ia mencuci wajahnya yang kusut masai kemudian mengganti pakaian kerjanya yang masih terpasang sempurna pada tubuhnya dengan sesuatu yang lebih santai.

Leo meraih jaketnya yang tergantung di balik pintu kamarnya, kemudian mengendarai motor kesayangannya menuju tempat yang dimaksud oleh Chrystal. Syukurlah jalanan menuju Cozy’s Club tampak sepi malam ini. Atau emosi Leo akan semakin meledak karena kemacetan seperti yang biasa terjadi.

Cozy’s Club, sebuah club malam di tengah ibukota yang letaknya tidak terlalu strategis. Tetapi jalanan rindang di tengah ibukota membuat jalan menuju club tersebut mudah diingat. Baris pepohonan di tepi jalan terlihat merunduk tak kuasa menahan embusan angin yang bertiup cukup kencang malam ini. Setitik air menerpa kaca helm yang digunakan Leo, membuat lelaki itu memacu motornya lebih kencang untuk segera sampai ke tempat yang hanya tinggal beberapa puluh meter lagi.

Seperti biasa, dentuman musik yang begitu keras memekakkan telinga. Asap rokok dan sinar lampu berwarna warni, berkelap kelip memenuhi ruangan membuat suasana hati Leo semakin buruk. Ditambah lagi dengan lautan manusia yang meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti alunan musik dan beberapa kali menyenggol tubuh Leo hingga membuat darahnya semakin mendidih.

“Hey… Sudahlah kawan.” Seseorang menepuk pundak Leo ketika ia tengah beradu mulut dengan gadis yang tak sengaja menabraknya.

“Aku tak sengaja.” Cetus gadis itu pada lelaki di samping Leo. Kemudian matanya memandang ke arah Leo. “Kau tahu ini tempat apa! Kalau kau tak mau tubuhmu tersentuh orang lain, sebaiknya kau pergi ke kuburan!” Bentak gadis itu pada Leo yang wajahnya telah memerah karena amarahnya.

“Sialan kau! Apa ibumu tak pernah mengajarimu sopan santun?” Leo balas membentak, membuat nyali gadis itu menciut. Kemudian gadis itu berjalan meninggalkan Leo yang seolah hendak memakannya hidup-hidup jika ia tetap di tempatnya.

“Apa sih yang ada di otakmu? Sudahlah, dia hanya seorang gadis.” Lelaki itu mencoba meredam amarah sahabatnya yang telah disakiti oleh seorang gadis tadi siang. Ia sangat paham bagaimana perasaan sahabatnya yang pemarah itu. Dengan sigap ia mengajak Leo untuk berkumpul bersama Chrystal.

Semua itu bermula ketika Leo sering melihat gadis itu di sekitar perusahaannya. Leo yang merasa tertarik pun melakukan berbagai cara agar dapat mengenalnya. Dan siang itu, gadis itu duduk sendirian di lobby. Beberapa kali Leo melewati lobby gadis itu masih tetap berada pada tempatnya. Tak kurang akal, Leo pun membawa beberapa berkas dan duduk di samping gadis itu. Dengan modal akting semampunya, Leo berpura-pura memeriksa berkas yang ada di tangannya.

“Boleh aku meminjam bolpoin?” Gadis itu mencoba berbicara pada Leo. Tanpa banyak bicara dan tetap bersikap seprofesional mungkin Leo pun segera menyerahkan sebuah bolpoin berwarna hitam pada gadis itu.

Dari situ percakapan di antara keduanya pun berlanjut. Gadis yang mengaku bernama Anastasia tersebut ternyata sedang menunggu seseorang yang bekerja di perusahaan itu.

“Harry? Harry Ferdian?” Tanya Leo meyakinkan.

“Kau mengenalnya?”

“Bukan hanya mengenalnya nona Anastasia, kebetulan sekali dia adalah kakakku.” Ya, kebetulan yang tak terduga, batin Leo. “Ada urusan apa jika aku boleh tahu?”

“Hanya tentang pekerjaan. Aku sudah mencoba menghubunginya, tetapi sepertinya dia sedang sibuk.”

Pembicaraan di antara mereka berlanjut. Hari demi hari telah berganti, minggu demi minggu pun terlewati. Leo dan Anastasia semakin dekat. Banyaknya kesamaan diantara mereka membuat Leo merasa begitu nyaman dengan Anastasia hingga mereka akhirnya menjalin sebuah hubungan.

Genap dua bulan sepasang kekasih itu menjalin hubungan, Leo berniat hendak melamarnya dan menjadikan Anastasia sebagai istrinya. Segala yang Anastasia inginkan telah Leo berikan. Namun tampaknya, keroyalan Leo pada Anastasia justru membawa petaka untuk Leo. Gadis itu kabur membawa sejumlah uang Leo dengan sebuah mobil pemberian Leo beberapa minggu yang lalu.

“Sudah, minumlah ini. Aku meraciknya khusus untukmu.” Ujar bartender yang berusia sekitar empat puluhan yang berdiri di seberang meja yang sontak membuyarkan lamunan Leo.

“Terima kasih, Jim.” Leo menghargai niat baik Jim. Jim paling tahu minuman favorit Leo ketika suasana hatinya sedang buruk. Ia meneguk minuman berwarna kecoklatan itu kemudian mendesis karena rasanya.

“Kenalkan ini temanku, Alexa. Alexa, ini Leo.” Chrystal memperkenalkan seorang gadis yang sengaja ia bawa untuk dikenalkan pada lelaki keras kepala itu. Chrystal tahu Alexa termasuk tipe Leo, jadi bukan tak mungkin Leo akan menaruh hatinya pada Alexa dan melupakan si penipu itu. “Semoga kau suka.” Bisik Chrystal.

Gadis itu tampak canggung. Sepertinya suatu kesalahan jika Chrystal membawanya ke tempat seperti ini. Ia terlihat tak nyaman dengan pakaian maupun suasanyanya. Dalam diam ia hanya memutar-mutar gelasnya dengan raut bosan.

Tak ada keinginan lebih dari Leo untuk berkenalan lebih lanjut dengan Alexa. Suasana hatinya amat sangat buruk malam ini. Ditambah lagi dengan kejadian singkat barusan, membuat lelaki itu ingin memangsa seseorang untuk meringankan kekesalan dalam hatinya.

Leo mendongakkan kepala dan melirik ke arah Chrystal, alisnya menyatu di atas matanya. “Apa-apaan kau ini? Kau tak perlu repot-repot membawa gadis yang terlihat bosan dengan tempat ini.” Dengan cepat lirikannya kembali menuju gelas yang kembali dipenuhi oleh Jim.

Sifat Leo yang pemarah kembali muncul ke permukaan. Chrystal hanya mengangkat bahu . “Aku hanya ingin menghiburmu.” Ujar Chrystal sebelum meninggalkan Leo untuk bergabung dengan teman-temannya di lantai dansa.

“Jika kau bosan kenapa masih disini?” Tukas Leo ketus menatap gadis bernama Alexa yang duduk tak jauh darinya.

Gadis itu melirik Leo yang berwajah sangat menyebalkan. “Aku hanya menemani Chrys. Apa kau pikir aku suka dengan tempat ini?”

Hening. Leo tak berniat menanggapi. Gadis itu bukan lawannya. Jika ia meneruskan perdebatan dengan perempuan-perempuan bermulut ringan seperti itu, ia tahu betul perdebatan itu akan menambah garam pada luka menganga adalam hatinya.

Leo berdiri, meninggalkan minumannya yang masih setengah penuh menuju ke lantai dansa. Menyatu dengan orang-orang yang tengah terlarut dalam kesenangan mereka masing-masing.

Plak! Sebuah tamparan yang dilayangkan seorang gadis pada lelaki di samping Leo mengejutkannya.

“Sialan kau!” Gadis itu menendang kaki lelaki di hadapannya dengan tumit sepatunya yang runcing. Kemudian ia berbalik untuk meninggalkannya. Lelaki itu kesakitan kemudian menjambak rambut ikal gadis itu dan menyeretnya keluar dari kerumunan yang ramai membicarakan mereka. Sama halnya dengan orang-orang di sekitarnya, Leo pun terpaku menatap kejadian yang berlangsung sangat cepat itu.

“Tomi, lepaskan. Sakit!” Teriakan gadis itu masih terdengar nyaring meski dengan jarak beberapa meter dari telinga Leo. Leo yang sejak kemarin merasa butuh pelepasan pun menghadang langkah lelaki yang tengah berjalan tergesa-gesa sambil menarik rambut seorang gadis yang tengah merintih kesakitan.

“Mau apa kau?” Tanya lelaki yang bertubuh tegap setinggi Leo. Rambutnya dicat kemerahan dengan beberapa anting berjajar di salah satu sisi telinganya. Jaket kulitnya berwarna hitam polos dibiarkan terbuka, menunjukkan kaos berwarna gelap yang dikenakannya. Blue jeans belel dan sepasang boot kusam melengkapi bagian bawahnya.

“Sebagai seorang lelaki apa pantas kau lakukan hal seperti itu pada seorang gadis?”

“Itu bukan urusanmu. Minggir.” Lelaki itu mendorong pundak Leo agar menjauh dari hadapannya. Bukannya menyingkir, Leo justru melepaskan tinjunya tepat di wajah lelaki itu.

“Sialan kau!” Sebuah umpatan disertai tendangan, melayang sempurna untuk Leo hingga ia tersungkur dan menabrak sebuah meja hingga terguling. Pertengkaran pun tak terelakkan. Teriakan di sana sini membuat tempat itu semakin riuh.

“Tomi… Hentikan.” Gadis itu mencoba melerai dengan menarik tangan lelaki berambut merah yang ia panggil Tomi.

“Diam kau!” Lelaki itu pun dengan kasar mendorong gadis itu hingga terjatuh dan memekik kesakitan. Leo segera bangkit dan menghajar lelaki itu sekuat tenaganya. Dengan membayangkan lelaki itu sebagai Anastasia, tenaga Leo seolah tak pernah habis. Sampai penjaga club itu datang dan melerai perkelahian mereka.

Tomi —lelaki berambut merah itu— menyeret langkahnya yang pincang, menarik gadis itu dengan kasar untuk ikut dengannya. Leo yang merasa kasihan melihat gadis yang terus menerus meronta itu pun menghentikan kembali langkah Tomi dengan menarik tangan gadis itu.

“Mau apa lagi kau ini? Jangan campuri urusanku!”

“Lepaskan gadis itu.”

“Dia kekasihku. Ini tak ada urusannya denganmu!” Ujar Tomi yang masih saja ingin menghajar Leo, namun gadis itu menahannya. “Katakan itu pada si brengsek ini!” Lelaki itu memerintah gadis di sampingnya yang masih tertunduk dan terisak. Tak ada kalimat yang keluar dari mulutnya, hingga Tomi kembali menariknya keluar dari club itu.

***

Langkahnya terhuyung karena alkohol yang hampir menguasai dirinya. Malam ini Leo minum cukup banyak, berharap segala masalahnya akan menguap bersama aroma alkohol yang keluar dari mulutnya. Dilemparnya jaket tebal berwarna hitam miliknya sembarangan. Kemudian ia membanting tubuhnya di atas ranjang.

Memorinya memutar ingatan samar tentang gadis mungil berambut ikal yang ia temui di club tadi. Entah siapa nama gadis itu. Gadis yang cukup menyita perhatiannya sejak kepulangannya dari club itu. Mata hijaunya yang cantik terlihat sayu, kosong dan penuh kepedihan. Leo menyeringai saat mengenang kembali pertemuan terakhirnya dengan gadis itu. Ditatapnya Leo dengan tatapan tolong aku sebelum ia meninggalkan club bersama kekasih sialannya itu.

Tak ada yang ia ketahui dari gadis itu. Lalu bagaimana caranya agar ia dapat bertemu lagi dengannya? Leo berusaha memutar otaknya. Tak ada cara lain kecuali sebuah keajaiban. Keajaiban yang amat sangat jarang menghampiri dirinya.


Bersambung

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D