Cahaya rembulan yang remang-remang menyentuh karpet biru di dekat jendela. Suasana temaram yang menyelimuti ruangan, membuat lelaki itu tampak mengerikan. Lelaki muda itu duduk dengan gelisah di atas karpet, memusatkan mata tajamnya yang indah pada pintu balkon kamarnya. Ia menghela nafas berat yang seolah begitu membebani hidupnya.
Sebuah kotak
beludru berbentuk hati masih berada dalam genggamannya. Kotak yang berisikan sebuah
cincin tersebut telah ia persiapkan sejak beberapa hari yang lalu. Sebuah restoran
bernuansa romantis pun telah ia pilih untuk memberikan sebuah kejutan pada Anastasia,
gadis yang akan dilamarnya besok malam. Namun semuanya gagal. Anastasia justru telah
terlebih dulu memberikan kejutan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Sesuatu di
atas nakas memancarkan cahaya berkedip-kedip. Suaranya terdengar nyaring
membuyarkan lamunan lelaki itu. Dengan malas, ia menyeret langkahnya mendekati
ponselnya yang tak henti-hentinya mengalunkan musik klasik sebagai nada
deringnya.
“Hm..” Ujar
lelaki itu malas setelah menempelkan ponsel di telinganya.
“Demi Tuhan,
Leo. Kau terlalu berlebihan. Sudahlah. Lupakan gadis itu. Kutunggu di tempat
biasa sekarang. Cepat.” Suara melengking dengan latar yang berisik. Leo tahu
betul kemana Chrystal —sang penelpon— menyuruhnya datang.
Ia menyeret
langkahnya menuju kamar mandi pribadi yang tersambung dengan kamarnya. Kemudian
berdiri di depan cermin untuk menatap pantulan wajahnya yang terpantul pada
cermin berbentuk pentagon. Apa yang salah denganku? Ujarnya dalam hati.
Dalam diam,
wajah itu kembali tergambar dalam benaknya. Cepat-cepat ia mencuci wajahnya
yang kusut masai kemudian mengganti pakaian kerjanya yang masih terpasang
sempurna pada tubuhnya dengan sesuatu yang lebih santai.
Leo meraih
jaketnya yang tergantung di balik pintu kamarnya, kemudian mengendarai motor kesayangannya
menuju tempat yang dimaksud oleh Chrystal. Syukurlah jalanan menuju Cozy’s Club
tampak sepi malam ini. Atau emosi Leo akan semakin meledak karena kemacetan seperti
yang biasa terjadi.
Cozy’s Club,
sebuah club malam di tengah ibukota yang letaknya tidak terlalu strategis. Tetapi
jalanan rindang di tengah ibukota membuat jalan menuju club tersebut mudah diingat.
Baris pepohonan di tepi jalan terlihat merunduk tak kuasa menahan embusan angin
yang bertiup cukup kencang malam ini. Setitik air menerpa kaca helm yang
digunakan Leo, membuat lelaki itu memacu motornya lebih kencang untuk segera
sampai ke tempat yang hanya tinggal beberapa puluh meter lagi.
Seperti biasa,
dentuman musik yang begitu keras memekakkan telinga. Asap rokok dan sinar lampu
berwarna warni, berkelap kelip memenuhi ruangan membuat suasana hati Leo
semakin buruk. Ditambah lagi dengan lautan manusia yang meliuk-liukkan tubuhnya
mengikuti alunan musik dan beberapa kali menyenggol tubuh Leo hingga membuat
darahnya semakin mendidih.
“Hey…
Sudahlah kawan.” Seseorang menepuk pundak Leo ketika ia tengah beradu mulut
dengan gadis yang tak sengaja menabraknya.
“Aku tak
sengaja.” Cetus gadis itu pada lelaki di samping Leo. Kemudian matanya memandang
ke arah Leo. “Kau tahu ini tempat apa! Kalau kau tak mau tubuhmu tersentuh
orang lain, sebaiknya kau pergi ke kuburan!” Bentak gadis itu pada Leo yang wajahnya
telah memerah karena amarahnya.
“Sialan kau!
Apa ibumu tak pernah mengajarimu sopan santun?” Leo balas membentak, membuat nyali
gadis itu menciut. Kemudian gadis itu berjalan meninggalkan Leo yang seolah hendak
memakannya hidup-hidup jika ia tetap di tempatnya.
“Apa sih
yang ada di otakmu? Sudahlah, dia hanya seorang gadis.” Lelaki itu mencoba
meredam amarah sahabatnya yang telah disakiti oleh seorang gadis tadi siang. Ia
sangat paham bagaimana perasaan sahabatnya yang pemarah itu. Dengan sigap ia mengajak
Leo untuk berkumpul bersama Chrystal.
Semua itu
bermula ketika Leo sering melihat gadis itu di sekitar perusahaannya. Leo yang
merasa tertarik pun melakukan berbagai cara agar dapat mengenalnya. Dan siang
itu, gadis itu duduk sendirian di lobby.
Beberapa kali Leo melewati lobby gadis
itu masih tetap berada pada tempatnya. Tak kurang akal, Leo pun membawa beberapa
berkas dan duduk di samping gadis itu. Dengan modal akting semampunya, Leo
berpura-pura memeriksa berkas yang ada di tangannya.
“Boleh aku
meminjam bolpoin?” Gadis itu mencoba berbicara pada Leo. Tanpa banyak bicara dan
tetap bersikap seprofesional mungkin Leo pun segera menyerahkan sebuah bolpoin
berwarna hitam pada gadis itu.
Dari situ
percakapan di antara keduanya pun berlanjut. Gadis yang mengaku bernama
Anastasia tersebut ternyata sedang menunggu seseorang yang bekerja di
perusahaan itu.
“Harry?
Harry Ferdian?” Tanya Leo meyakinkan.
“Kau
mengenalnya?”
“Bukan hanya
mengenalnya nona Anastasia, kebetulan sekali dia adalah kakakku.” Ya, kebetulan yang tak terduga, batin Leo.
“Ada urusan apa jika aku boleh tahu?”
“Hanya
tentang pekerjaan. Aku sudah mencoba menghubunginya, tetapi sepertinya dia
sedang sibuk.”
Pembicaraan di
antara mereka berlanjut. Hari demi hari telah berganti, minggu demi minggu pun terlewati.
Leo dan Anastasia semakin dekat. Banyaknya kesamaan diantara mereka membuat Leo
merasa begitu nyaman dengan Anastasia hingga mereka akhirnya menjalin sebuah hubungan.
Genap dua bulan
sepasang kekasih itu menjalin hubungan, Leo berniat hendak melamarnya dan menjadikan
Anastasia sebagai istrinya. Segala yang Anastasia inginkan telah Leo berikan. Namun
tampaknya, keroyalan Leo pada Anastasia justru membawa petaka untuk Leo. Gadis itu
kabur membawa sejumlah uang Leo dengan sebuah mobil pemberian Leo beberapa minggu
yang lalu.
“Sudah,
minumlah ini. Aku meraciknya khusus untukmu.” Ujar bartender yang berusia
sekitar empat puluhan yang berdiri di seberang meja yang sontak membuyarkan
lamunan Leo.
“Terima
kasih, Jim.” Leo menghargai niat baik Jim. Jim paling tahu minuman favorit Leo
ketika suasana hatinya sedang buruk. Ia meneguk minuman berwarna kecoklatan itu
kemudian mendesis karena rasanya.
“Kenalkan
ini temanku, Alexa. Alexa, ini Leo.” Chrystal memperkenalkan seorang gadis yang
sengaja ia bawa untuk dikenalkan pada lelaki keras kepala itu. Chrystal tahu
Alexa termasuk tipe Leo, jadi bukan tak mungkin Leo akan menaruh hatinya pada
Alexa dan melupakan si penipu itu. “Semoga kau suka.” Bisik Chrystal.
Gadis itu
tampak canggung. Sepertinya suatu kesalahan jika Chrystal membawanya ke tempat
seperti ini. Ia terlihat tak nyaman dengan pakaian maupun suasanyanya. Dalam
diam ia hanya memutar-mutar gelasnya dengan raut bosan.
Tak ada
keinginan lebih dari Leo untuk berkenalan lebih lanjut dengan Alexa. Suasana
hatinya amat sangat buruk malam ini. Ditambah lagi dengan kejadian singkat
barusan, membuat lelaki itu ingin memangsa seseorang untuk meringankan kekesalan
dalam hatinya.
Leo
mendongakkan kepala dan melirik ke arah Chrystal, alisnya menyatu di atas
matanya. “Apa-apaan kau ini? Kau tak perlu repot-repot membawa gadis yang
terlihat bosan dengan tempat ini.” Dengan cepat lirikannya kembali menuju gelas
yang kembali dipenuhi oleh Jim.
Sifat Leo
yang pemarah kembali muncul ke permukaan. Chrystal hanya mengangkat bahu . “Aku
hanya ingin menghiburmu.” Ujar Chrystal sebelum meninggalkan Leo untuk
bergabung dengan teman-temannya di lantai dansa.
“Jika kau
bosan kenapa masih disini?” Tukas Leo ketus menatap gadis bernama Alexa yang
duduk tak jauh darinya.
Gadis itu
melirik Leo yang berwajah sangat menyebalkan. “Aku hanya menemani Chrys. Apa
kau pikir aku suka dengan tempat ini?”
Hening. Leo tak berniat menanggapi. Gadis itu bukan lawannya. Jika ia
meneruskan perdebatan dengan perempuan-perempuan bermulut ringan seperti itu,
ia tahu betul perdebatan itu akan menambah garam pada luka menganga adalam
hatinya.
Leo berdiri,
meninggalkan minumannya yang masih setengah penuh menuju ke lantai dansa.
Menyatu dengan orang-orang yang tengah terlarut dalam kesenangan mereka
masing-masing.
Plak! Sebuah tamparan yang dilayangkan seorang gadis pada lelaki di
samping Leo mengejutkannya.
“Sialan
kau!” Gadis itu menendang kaki lelaki di hadapannya dengan tumit sepatunya yang
runcing. Kemudian ia berbalik untuk meninggalkannya. Lelaki itu kesakitan
kemudian menjambak rambut ikal gadis itu dan menyeretnya keluar dari kerumunan
yang ramai membicarakan mereka. Sama halnya dengan orang-orang di sekitarnya, Leo
pun terpaku menatap kejadian yang berlangsung sangat cepat itu.
“Tomi,
lepaskan. Sakit!” Teriakan gadis itu masih terdengar nyaring meski dengan jarak
beberapa meter dari telinga Leo. Leo yang sejak kemarin merasa butuh pelepasan
pun menghadang langkah lelaki yang tengah berjalan tergesa-gesa sambil menarik
rambut seorang gadis yang tengah merintih kesakitan.
“Mau apa
kau?” Tanya lelaki yang bertubuh tegap setinggi Leo. Rambutnya dicat kemerahan
dengan beberapa anting berjajar di salah satu sisi telinganya. Jaket kulitnya berwarna
hitam polos dibiarkan terbuka, menunjukkan kaos berwarna gelap yang dikenakannya.
Blue jeans belel dan sepasang boot
kusam melengkapi bagian bawahnya.
“Sebagai
seorang lelaki apa pantas kau lakukan hal seperti itu pada seorang gadis?”
“Itu bukan
urusanmu. Minggir.” Lelaki itu mendorong pundak Leo agar menjauh dari
hadapannya. Bukannya menyingkir, Leo justru melepaskan tinjunya tepat di wajah
lelaki itu.
“Sialan
kau!” Sebuah umpatan disertai tendangan, melayang sempurna untuk Leo hingga ia
tersungkur dan menabrak sebuah meja hingga terguling. Pertengkaran pun tak
terelakkan. Teriakan di sana sini membuat tempat itu semakin riuh.
“Tomi…
Hentikan.” Gadis itu mencoba melerai dengan menarik tangan lelaki berambut
merah yang ia panggil Tomi.
“Diam kau!”
Lelaki itu pun dengan kasar mendorong gadis itu hingga terjatuh dan memekik
kesakitan. Leo segera bangkit dan menghajar lelaki itu sekuat tenaganya. Dengan
membayangkan lelaki itu sebagai Anastasia, tenaga Leo seolah tak pernah habis.
Sampai penjaga club itu datang dan melerai perkelahian mereka.
Tomi —lelaki
berambut merah itu— menyeret langkahnya yang pincang, menarik gadis itu dengan
kasar untuk ikut dengannya. Leo yang merasa kasihan melihat gadis yang terus
menerus meronta itu pun menghentikan kembali langkah Tomi dengan menarik tangan
gadis itu.
“Mau apa
lagi kau ini? Jangan campuri urusanku!”
“Lepaskan
gadis itu.”
“Dia
kekasihku. Ini tak ada urusannya denganmu!” Ujar Tomi yang masih saja ingin
menghajar Leo, namun gadis itu menahannya. “Katakan itu pada si brengsek ini!”
Lelaki itu memerintah gadis di sampingnya yang masih tertunduk dan terisak. Tak
ada kalimat yang keluar dari mulutnya, hingga Tomi kembali menariknya keluar
dari club itu.
***
Langkahnya
terhuyung karena alkohol yang hampir menguasai dirinya. Malam ini Leo minum
cukup banyak, berharap segala masalahnya akan menguap bersama aroma alkohol
yang keluar dari mulutnya. Dilemparnya jaket tebal berwarna hitam miliknya
sembarangan. Kemudian ia membanting tubuhnya di atas ranjang.
Memorinya
memutar ingatan samar tentang gadis mungil berambut ikal yang ia temui di club
tadi. Entah siapa nama gadis itu. Gadis yang cukup menyita perhatiannya sejak
kepulangannya dari club itu. Mata hijaunya yang cantik terlihat sayu, kosong
dan penuh kepedihan. Leo menyeringai saat mengenang kembali pertemuan
terakhirnya dengan gadis itu. Ditatapnya Leo dengan tatapan tolong aku sebelum ia meninggalkan club
bersama kekasih sialannya itu.
Tak ada yang
ia ketahui dari gadis itu. Lalu bagaimana caranya agar ia dapat bertemu lagi
dengannya? Leo berusaha memutar otaknya. Tak ada cara lain kecuali sebuah
keajaiban. Keajaiban yang amat sangat jarang menghampiri dirinya.
Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D