Rabu, 11 Mei 2016

RabuRabuChallenge - Gondola Hampa


Dunia adalah tempat yang indah, gagasan itu membuatku ingin muntah. Walaupun, yah, mungkin dahulu aku pernah setuju dengan gagasan itu. Sebelum semua kesialan ini menggulungku seperti tsunami di Canal Grande. Oke, aku berlebihan. Mana mungkin itu terjadi, kan?

Tetapi mungkin itulah yang aku inginkan sekarang. Aku membayangkan air di sepanjang kanal ini bergulung-gulung menjadi gelombang ombak yang tinggi. Kemudian ombak itu akan menenggelamkanku bersama setumpuk kesedihanku yang seolah tidak berujung.

Aku menengadah pada langit biru yang memayungi kota Venesia siang ini. Berusaha menahan air mataku yang nyaris mengalir. Bukan karena aku malu pada penumpang lainnya. Walaupun hanya ada aku, seorang lelaki perlente, dan tentu saja gondolier yang sibuk dengan dayungnya. Cuma ada kami bertiga yang membuat gondola itu terasa hampa. Yang kutakutkan malah air mataku yang akan membanjiri kanal hingga meluap. Tentu itu akan merepotkan bagi penduduk yang menempati rumah di sepanjang kanal.

Ombak-ombak kecil yang mengguncang bagian bawah gondola. Perahu kayu itu bergoyang-goyang seperti ayunan rotan untuk menidurkan anak. Membuaiku hingga aku tenggelam dalam lamunan yang dikerubuti mimpi buruk.

Tiga bulan yang lalu, hidupku benar-benar sempurna. Aku merasa seperti seorang pelukis yang sudah berhasil menyelesaikan mahakaryanya di atas kanvas. Lalu kemudian, tanpa peringatan apa pun, lukisanku dicoret-coret dan kanvasnya dikoyak paksa. Dalam sekejap, segala keindahan itu hancur di depan mataku.

Aku diusir dari apartemen mewahku. Apartemen yang kusewa dengan seluruh kerja keras demi kenyamananku sendiri. Tentu saja aku tidak memiliki kuasa apa pun untuk mempertahankan hidupku di sana. Aku tidak punya uang sewa karena aku juga sudah kehilangan gajiku. Perusahaan impianku itu memecatku atas kesalahan yang sudah kulakukan. Memang aku pantas mendapatkan hal itu.

Tetapi mengapa mereka semua tidak mau mengerti? Aku kesulitan berkonsentrasi setelah dicampakkan begitu saja oleh mantan kekasih, ralat, mantan calon suami yang sudah menjalin hubungan selama lima tahun denganku. Dia pergi tanpa kabar di tengah-tengah persiapkan kami menuju pernikahan. Satu-satunya rumor yang sampai ke telingaku adalah bahwa lelaki itu pergi ke Venesia.

Aku juga tidak bisa kembali ke panti asuhan tempat aku dibesarkan. Mereka pasti tidak mau menerimaku. Karena dahulu ketika aku berusia sepuluh tahun, aku pernah mengacau seperti pemberontak lalu kabur begitu saja. Tetapi itu kulakukan tanpa alasan. Aku muak dengan segala perlindungan berlebihan yang mereka berikan hanya padaku.

Sejak saat itu, aku bekerja keras dengan seluruh kemampuanku. Aku pernah menjadi pengamen, pemulung, bahkan pencuri hanya demi sesuap nasi. Semua itu kujalani hingga aku mendapatkan kehidupan yang layak. Dan melupakan kedua orang tuaku yang meninggalkanku saat usiaku masih tujuh tahun. Mereka tewas dalam penelitian berbahaya, atau entah apalah itu. Yang jelas aku tidak peduli. Aku benci orang yang pergi begitu saja meninggalkanku tanpa kejelasan. Lepas dari tanggung jawab.

Seperti orang tuaku.

Seperti bajingan itu.

Dan setelah semua itu, organ dalam rongga kepalaku masih berani ikut berkhianat. Otakku yang biasanya cemerlang, malah memerintahkan aku untuk pergi ke Venesia dengan semua sisa hartaku. Setelah aku mendapat kiriman surel kaleng berisi foto mesranya dengan seorang gadis. Wajah gadis itu memang tidak terlihat jelas di foto, kecuali rambutnya yang berwarna kuning jagung persis orang-orangan sawah. Tanganku gatal ingin menjambaknya.

Duh, betapa bodohnya.

Tanpa sadar aku mengerang tertahan, sedikit memaki ke arah langit. Aku menelan kembali air mataku yang nyaris tumpah.

“Mengalami hari yang buruk, Cantik?”

Aku mendengar suara lelaki bertanya padaku. Tentu saja dia bertanya padaku. Siapa lagi di atas gondola ini yang pantas dipanggil ‘cantik’? Tetapi bukan itu yang membuatku tertarik. Aku sudah terbiasa mendengar pujian itu. Lain halnya jika itu diucapkan dengan bahasa Inggris yang aneh. Bukan kata-katanya. Melainkan aksennya.

“M-maaf, aku tidak... bisa berbahasa Inggris.”

Sial bagi lelaki bermata hijau itu. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapa pun. Maka aku menjadikan kendala bahasa sebagai tamengnya. Aku menjawabnya dengan bahasa Inggris yang sengaja kuucapkan patah-patah.

“Kalau begitu, bahasa Italia?”

Lelaki ini tidak mudah menyerah rupanya. Begitu juga denganku. Lapisan kedua tamengku sudah siap dengan tugasnya. Kali ini, aku harus menjawab tanpa sepatah kata pun. Aku menggelengkan kepala, sementara batinku berharap lelaki ini menyerah dengan usahanya mengajakku berkenalan.

Kali ini, lelaki itu terdiam. Tetapi matanya menatapku penuh penilaian. Keningnya berkerut seperti sedang berpikir keras. Sementara jemarinya mengusap-usap dagunya yang menggelap karena bakal janggut yang membayang ke arah rahangnya.

“Apa kau orang Indonesia?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang fasih walaupun aksen Italianya masih tertuang kental dalam ucapannya.

Sial. Aku mengumpat dalam hati. Mengapa lelaki ini bisa menebaknya secepat itu? Seolah kenyataan itu tertulis jelas di keningku. Aku hanya mampu tersenyum masam saat menatap tameng keduaku hancur berkeping-keping.

“Ya,” jawabku kemudian. Benar-benar kehabisan akal. “Aku tidak menyangka kau bisa berbahasa Indonesia.”

Lelaki itu tertawa renyah hingga matanya menyipit ramah. “Nenekku orang Indonesia.”

“Oh?” Bibirku yang dipulas lipstik oranye membulat seketika.

“Kau tahu, Venesia adalah tempat yang bagus untuk menyembuhkan patah hati.”

Aku hanya mengangkat alis. Memasang wajah sedatar mungkin menutupi ekspresiku yang sebenarnya. Apa sejelas itu yang sudah kutunjukkan di hadapan lelaki ini? Atau dia yang kelewat peka? Siapa, sih, lelaki ini? Memangnya dia detektif?

“Aku tidak sedang patah hati.” Aku menggelengkan kepala untuk mendukung pernyataanku. “Aku hanya sedang liburan. Seperti turis kebanyakan.”

“Oh, berarti aku salah menebak, ya,” ujarnya lantas melantunkan tawa. Kemudian dia mengulurkan tangannya. “Aku Louis Bourbon.”

Selama tiga detik aku hanya tertegun menatap tangan yang terulur padaku. Lalu aku menjabat tangan lelaki itu sambil memasang lapisan tameng berikutnya. “Aku Clara.”

Tameng ketiga berbunyi: jangan pernah menyebutkan nama aslimu pada orang yang baru saja kautemui.

“Clara.” Dia mengulang nama palsuku dengan bibirnya yang penuh. Matanya langsung menerawang jauh ke masa lalu. “Nama yang cantik. Mengingatkanku pada—”

Ibunya? Adik perempuannya? Atau mantan kekasihnya?

“—anjingku yang sudah meninggal tahun lalu. Seekor welsh-corgi yang ceria. Aku sangat menyayanginya sejak usiaku sepuluh tahun. Aku tidak percaya pada akhirnya dia harus pergi seperti itu.” Dia berhenti bicara lalu memandangku.

Aku balas menatapnya tanpa ekspresi. Yang benar saja! Dia menyamakanku dengan seekor anjing. Padahal anjing itu makhluk lucu dan menggemaskan. Sedangkan aku makhluk cantik nan anggun.

“Maaf kalau ceritaku membosankan.”

Aku mendengus jemu sambil sedikit tersenyum miring. Dan kami terus dalam suasana hening di antara suara riak air yang membentur dayung dalam genggaman sang gondolier. Lelaki dengan kaus lengan panjang bergaris putih dan merah itu mengarahkan gondola menepi.

Mimpi indahku di  Canal Grande berakhir begitu saja. Tanpa kecupan romantis di bawah Ponte di Rialto. Tanpa kekasih yang duduk di sampingku. Hanya ada dua lelaki asing yang bahkan tidak repot-repot membantuku turun dari gondola.

“Kau ingin kutemani berkeliling Venesia?” tawar Louis Bourbon begitu kedua kakiku berpindah keluar dari perahu kayu itu.

Dasar lelaki Italia seperempat Indonesia! Aku menggerutu dalam hati. Mataku berputar cepat dan melirik lelaki bertubuh tegap dalam balutan kaus hitam dan jeans biru gelap. Seulas senyum bertengger tegas di bibirnya, seakan yakin aku tidak akan menyatakan penolakan.

Tetapi sayangnya, lelaki itu salah besar!

“Tidak, terima kasih. Tapi aku bisa sendiri.”


Aku bisa mendengar lelaki itu menghela napas perlahan. Entah kecewa atau tidak menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Tetapi senyumnya masih tampak percaya diri menghias wajahnya. Seharusnya dia tahu, bahwa tidak cukup dengan wajah tampan dan tubuh atletis untuk mendapatkan hati seorang gadis. Pengalaman yang mengajarkan itu padaku.

“Kalau begitu, aku pergi dulu,” ucapnya lantas berbalik meninggalkanku.

Sepeninggal lelaki itu, aku memandang sekeliling. Dan menyadari bahwa suasana tampak sangat lengang. Tidak ada seorang pun selain aku. Bahkan Louis Bourbon sudah tidak terlihat lagi di ujung jalan.

Aku merapatkan coat panjang yang kukenakan, saat angin musim gugur menerpa wajahku. Mendinginkan hidung dan pipiku hingga berubah merah. Membekukan hatiku yang sudah tidak berbentuk. Membuat sekujur tubuhku merinding seketika.

Baru satu langkah kuambil saat tiba-tiba aku leherku seperti digigit semut. Atau lebih sakit dari itu. Karena sengatan itu membuatku memekik tertahan seperti seekor kucing yang ekornya terinjak. Dalam sekejap tubuhku terasa kelu dan mati rasa.

“Buonanotte, Nona Vivian,” bisik seorang lelaki menyebut nama asliku. Sementara kegelapan merenggut paksa kesadaranku.
***

Aku terbangun dengan kepala pening luar biasa. Seperti ada ribuan godam yang dihantamkan tanpa ampun ke kepalaku. Aku membuka mataku, tetapi aku tidak melihat perbedaan berati. Sekelilingku gelap gulita. Tanpa penerangan sama sekali.

Kali ini, aku meronta berusaha menggerakkan kedua lenganku. Tetapi kemudian aku menemukan kedua tanganku telah terikat. Begitu juga dengan kakiku. Tubuhku terikat kuat pada kursi yang kududuki. Tenggorokanku terasa sakit dan terbakar. Sehelai kain menutupi bibirku dan terkebat di belakang kepalaku.

Apa-apaan ini semua?! Apa belum cukup semua penderitaan yang kuterima selama ini? Aku merutuk nyaris berteriak sia-sia. Karena yang terdengar akhirnya hanyalah erangan tanpa makna.

Tiba-tiba cahaya kekuningan membentur penglihatanku. Membuatku buta sesaat. Begitu peningku tidak terasa, aku kembali membuka mata. Aku mendapati ada seseorang yang juga duduk terikat satu meter di hadapanku. Cahaya yang sama juga menyinarinya dari lampu yang tergantung dari langit-langit gelap di atas kepalanya. Persis lampu yang digunakan polisi saat menginterogasi tersangka.

Mataku menyipit. Rahangku mengetat. Saat aku mengenali sosok di hadapanku. Walaupun wajahnya tampak mengerikan. Sudut bibirnya bengkak. Pelipisnya sobek. Cipratan darah menghitam di kemejanya yang putih.

Dia lelaki itu.

Bajingan itu.

Mantan calon suamiku.

Mike Bolliero.

Siapa orang yang berani-beraninya menghajar lelaki ini? Keningku berkerut. Mataku memelotot padanya. Padahal sedikit pun aku belum meluapkan kemarahanku. Seharusnya wajah lelaki itu babak belur di tanganku.

Sebuah suara lantang muncul tiba-tiba dari balik kegelapan. Menghapus rasa kesalku dan menggantinya dengan ketakutan. Suara itu dalam bahasa Italia yang tidak kumengerti. Tetapi suaranya terdengar marah dan kasar. Hingga membuat tengkukku bergidik ngeri.

Tetapi Mike memilih bungkam. Hanya matanya yang memandang lurus padaku. Berbagai emosi berkelebat di sana. Penyesalan, ketakutan, dan sedikit rasa... kasihan? Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku yakin tidak ada cinta di sana.

Aksi tutup mulut Mike ternyata malah membuat keadaan semakin runyam. Sebuah bogem melayang telak ke rahangnya dari balik kegelapan yang mengelilingi kami. Spontan, aku menolehkan kepalaku ke kiri dan memejamkan mata. Saat itulah aku mendengar suara seorang gadis yang merintih seperti tersiksa.

Belum sempat aku menduga-duga, sebuah cahaya yang lebih besar dinyalakan. Aku kembali memejamkan mataku yang hampir kubuka. Beberapa detik aku menunggu sebelum akhirnya memberikan hak kepada mataku untuk melihat.

Seorang gadis dengan keadaan yang sama denganku menangis ke arah Mike. Air matanya tampak sangat pilu menyayat hati. Rambut kuning jagungnya berantakan. Sebagian lengket di wajahnya karena air mata.

Aku menoleh ke arah Mike dan mendapati lelaki itu tengah meronta paksa. Dia mengumpat kasar dan meludahkan darah dari bibirnya yang sobek. Suaranya sarat akan keputusasaan. Seolah ia akan membunuh siapa pun yang berani menyentuh gadis itu. Entah mengapa, hati seperti diiris-iris menggunakan pizza cutter saat melihatnya. Gadis itu adalah gadis yang dipeluknya mesra dalam foto.

Saat itulah aku baru sadar bahwa bukan hanya ada kami bertiga di sana. Puluhan lelaki tersebar memenuhi ruangan yang mirip gudang besar ini. Mereka berpakaian nyaris serupa. Setelan serba hitam yang menutupi kemeja putih. Topi fedora. Dan senjata api dalam genggaman masing-masing.

Mataku langsung mengenali salah seorang di antara mereka. Pandangan kami berserobok selama beberapa detik. Lelaki itu menyunggingkan senyum jahat di bawah bayang-bayang topi fedoranya.

Sial! Pasti dia yang sudah membiusku tadi. Dasar gondolier keparat!


Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dadaku. Aku marah, sedih, sekaligus ketakutan. Tetapi tidak ada air mata yang menetes untuk apa pun perasaan itu. Air mataku sudah mengiring sejak lama. Sekarang aku hanya bisa merasakan jantungku yang memacu secepat kuda berlari. Hingga membuat napasku terengah-engah.

“Vivian Carlevaro.” Seorang pria melangkah penuh wibawa ke arahku. Beberapa bekas luka tercetak di wajahnya. Sementara bibirnya yang mengapit cerutu, menyunggingkan senyum mencemooh. “Anak perempuan dari teman baikku, Fabio Carlevaro dan istrinya, Sachi.”

Punggungku sontak menegang mendengarnya menyebut nama kedua orang tuaku. Suara pria itu sangat dalam dan mengancam, membuat sekujur tubuhku gemetar. Dan aku yakin hubungannya dengan kedua orang tuaku tidak sebaik yang dikatakannya.

Pria itu semakin mendekat padaku. Mataku memandang tajam, mengawasi setiap gerak-geriknya. Aku beringsut jijik saat dia mengulurkan tangannya padaku. Sia-sia saja, mengingat tubuhku yang terikat kuat di kursi. Dia membelai pipiku seolah aku barang antik bernilai milyaran.

“Sejak lama kami mengawasimu.” Pria itu kembali melanjutkan kata-katanya dalam bahasa Inggris. Sengaja agar aku bisa memahaminya. Dia berbalik menjauh dan ganti mendekat pada Mike. “Tapi semua hancur ketika verme satu ini mendadak membatalkan pernikahannya denganmu—“

Aku melihat Mike menahan rasa sakit saat pria itu menjambak rambutnya, memaksanya mendongak pada langit-langit tinggi yang berbercak hitam.

“Hanya karena cinta-omong-kosong pada Donna puttana­-nya.”

Pria itu sudah berpindah cepat untuk menjambak rambut kuning jagung milik gadis bernama Donna Puta—siapa tadi itu. Lagi-lagi Mike berteriak frustrasi melihat gadis itu diperlakukan kasar. Segala macam sumpah serapah meluncur dari mulutnya. Dia terlihat jauh lebih kesakitan daripada ketika dia disiksa secara langsung.

Diam-diam, jauh di dalam hatiku, entah mengapa aku merasa... cemburu. Ternyata memang tidak semudah itu aku mendapatkan semua yang kuingin—

Lamunanku terputus paksa saat terdengar suara teriakan keras. Puluhan lelaki berseragam memasuki area tanpa peringatan. Membuat semua yang ada di dalam ruangan itu kelabakan. Mereka semua saling menodongkan senjata masing-masing.

Tampaknya kali ini, keindahan dunia yang terhidang di hadapanku benar-benar akan membuatku muntah. Aroma karat yang tercampur di udara yang kuhirup. Bersamaan dengan suara teriakan yang bercampur bunyi desingan peluru, kegelapan kembali menyelimutiku hari ini.
***

Hitam. Warna itu yang kulihat pertama kali ketika membuka mataku. Kemudian aku menyadari ada titik-titik putih yang berkilau di atas warna itu. Persis seperti langit malam.

Aku terduduk tiba-tiba saat mendengar suara gemercik yang sangat dekat denganku. Setelah menyesuaikan diri dengan pening yang menyergapku, aku akhirnya aku berada di atas gondola yang terapung di permukaan sungai.

Keningku mengernyit. Apa aku sudah mati? Atau semua kejadian ini hanyalah mimpi?

“Sudah bangun, Cantik?”

Sebuah suara membelai punggungku dengan hangat. Aku langsung berbalik dan mendapati seorang lelaki berdiri di belakangku. Tangannya menggenggam dayung untuk menggerakkan gondola yang kami tumpangi.

Aku bergerak mundur dengan defensif. Mataku menatap awas. Setelah semua yang kualami hari ini, rasanya sulit untuk mempercayai orang lain.

“Tenang saja. Tidak apa-apa.” Lelaki itu berkata penuh kelembutan. Seperti sedang mencoba menenangkan harimau yang akan mengamuk. “Kau sudah aman sekarang, Vivian Calrevaro.”

Aku memilih untuk tidak menjawab. Tubuhku terus mundur hingga berada di ujung lain gondola. Jika dia berbuat macam-macam, lebih baik aku melompat ke sungai dan mati beku daripada harus berurusan lagi dengan para bajingan itu.

“Tidak apa-apa.” Dia berujar penuh kelembutan. Sambil menyimpan dayungnya lantas duduk di ujung gondola, berseberangan denganku. Dia membiarkan gondola ini teratung-katung di tas permukaan air yang tenang.”Aku akan menjelaskan semuanya.”

Lelaki itu menjelaskan bahwa leluhurku secara turun temurun sudah melakukan penelitian mengenai senjata mematikan. Kematian yang dirasakan memang sangat menyiksa tetapi tidak berbekas sama sekali. Tanpa jejak. Seperti kematian yang wajar.

Saat tiba di generasi sebelumku, ayah dan ibuku menolak untuk melanjutkan penciptaan senjata itu. Karena dianggap berkhianat, mereka dibunuh ketika usiaku masih tujuh tahun. Dan mereka menganggap bahwa aku memiliki ingatan atau ilmu mengenai hal itu. Padahal aku sama sekali tidak memahaminya.

Mike Bolliero sebenarnya adalah intel rahasia seperti dirinya. Tetapi lelaki itu ditugaskan menyusup menjadi anggota resmi di antara lelaki bertopi fedora itu. Dia berhasil menjadi orang kepercayaan capo dan ditugaskan untuk mendekatiku dan kemudian menikah denganku.

Tetapi ternyata cintanya pada Donna jauh lebih besar daripada cintanya pada pekerjaan. Maka dia pergi begitu saja, meninggalkanku dan kembali pada Donna. Dia juga menyatakan ingin berhenti dari kedua tempatnya bekerja. Tetapi yang terjadi malah dia disekap dan disiksa habis-habisan.

“Bagaimana bisa aku percaya semua itu?” tanyaku sambil melipat tangan di depan dada. Daguku mendongak angkuh. Kewasapadaanku terpasang dalam sinyal tinggi. “Kau bahkan tega membiarkan gondolier itu membiusku.”

“Itu memang bagian dari rencana.” Lelaki itu masih membela diri. “Setelah itu aku dan rekan-rekanku mengikutimu ke markas mereka. Dan kita berhasil meringkus mereka semua. Bagaimanapun kau juga ikut berjasa.”

Aku mendengus sangsi. “Kau pikir aku semudah itu kautipu lagi, huh? Setelah nama Louis ‘Palsu’ Bourbon-mu?”

Lelaki itu tersenyum simpul. Nyaris tertawa kecil. Dia melangkah mendekat padaku, membuat gondola hampa itu terombang-ambing ke kanan dan ke kiri. Tanganku mencengkeram erat tepian perahu kayu itu.

Begitu cahaya bulan tertutupi bayangan Ponte di Rialto, aku merasakan kehangatan napas lelaki itu di telingaku. Dia membisikkan sebaris nama, meniru agen 007.

“Namaku Dante. Dante Zenetti.”


TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D