Dunia adalah tempat yang indah, gagasan itu membuatku ingin muntah. Walaupun, yah, mungkin dahulu aku pernah setuju dengan gagasan itu. Sebelum semua kesialan ini menggulungku seperti tsunami di Canal Grande. Oke, aku berlebihan. Mana mungkin itu terjadi, kan?
Tetapi mungkin itulah yang aku inginkan sekarang. Aku membayangkan air di
sepanjang kanal ini bergulung-gulung menjadi gelombang ombak yang tinggi. Kemudian
ombak itu akan menenggelamkanku bersama setumpuk kesedihanku yang seolah tidak berujung.
Aku menengadah pada langit biru yang memayungi kota Venesia siang ini. Berusaha
menahan air mataku yang nyaris mengalir. Bukan karena aku malu pada penumpang
lainnya. Walaupun hanya ada aku, seorang lelaki perlente, dan tentu saja gondolier
yang sibuk dengan dayungnya. Cuma ada kami bertiga yang membuat gondola itu
terasa hampa. Yang kutakutkan malah air mataku yang akan membanjiri kanal
hingga meluap. Tentu itu akan merepotkan bagi penduduk yang menempati rumah di
sepanjang kanal.
Ombak-ombak kecil yang mengguncang bagian bawah gondola. Perahu kayu itu
bergoyang-goyang seperti ayunan rotan untuk menidurkan anak. Membuaiku hingga
aku tenggelam dalam lamunan yang dikerubuti mimpi buruk.
Tiga bulan yang lalu, hidupku benar-benar sempurna. Aku merasa seperti
seorang pelukis yang sudah berhasil menyelesaikan mahakaryanya di atas kanvas. Lalu
kemudian, tanpa peringatan apa pun, lukisanku dicoret-coret dan kanvasnya
dikoyak paksa. Dalam sekejap, segala keindahan itu hancur di depan mataku.
Aku diusir dari apartemen mewahku. Apartemen yang kusewa dengan seluruh
kerja keras demi kenyamananku sendiri. Tentu saja aku tidak memiliki kuasa apa
pun untuk mempertahankan hidupku di sana. Aku tidak punya uang sewa karena aku juga
sudah kehilangan gajiku. Perusahaan impianku itu memecatku atas kesalahan yang
sudah kulakukan. Memang aku pantas mendapatkan hal itu.
Tetapi mengapa mereka semua tidak mau mengerti? Aku kesulitan
berkonsentrasi setelah dicampakkan begitu saja oleh mantan kekasih, ralat,
mantan calon suami yang sudah menjalin hubungan selama lima tahun denganku. Dia
pergi tanpa kabar di tengah-tengah persiapkan kami menuju pernikahan. Satu-satunya
rumor yang sampai ke telingaku adalah bahwa lelaki itu pergi ke Venesia.
Aku juga tidak bisa kembali ke panti asuhan tempat aku dibesarkan. Mereka
pasti tidak mau menerimaku. Karena dahulu ketika aku berusia sepuluh tahun, aku
pernah mengacau seperti pemberontak lalu kabur begitu saja. Tetapi itu
kulakukan tanpa alasan. Aku muak dengan segala perlindungan berlebihan yang
mereka berikan hanya padaku.
Sejak saat itu, aku bekerja keras dengan seluruh kemampuanku. Aku pernah
menjadi pengamen, pemulung, bahkan pencuri hanya demi sesuap nasi. Semua itu
kujalani hingga aku mendapatkan kehidupan yang layak. Dan melupakan kedua orang
tuaku yang meninggalkanku saat usiaku masih tujuh tahun. Mereka tewas dalam
penelitian berbahaya, atau entah apalah itu. Yang jelas aku tidak peduli. Aku
benci orang yang pergi begitu saja meninggalkanku tanpa kejelasan. Lepas dari
tanggung jawab.
Seperti orang tuaku.
Seperti bajingan itu.
Dan setelah semua itu, organ dalam rongga kepalaku masih berani ikut
berkhianat. Otakku yang biasanya cemerlang, malah memerintahkan aku untuk pergi
ke Venesia dengan semua sisa hartaku. Setelah aku mendapat kiriman surel kaleng
berisi foto mesranya dengan seorang gadis. Wajah gadis itu memang tidak
terlihat jelas di foto, kecuali rambutnya yang berwarna kuning jagung persis
orang-orangan sawah. Tanganku gatal ingin menjambaknya.
Duh, betapa bodohnya.
Tanpa sadar aku mengerang tertahan, sedikit memaki ke arah langit. Aku
menelan kembali air mataku yang nyaris tumpah.
“Mengalami hari yang buruk, Cantik?”
Aku mendengar suara lelaki bertanya padaku. Tentu saja dia bertanya padaku.
Siapa lagi di atas gondola ini yang pantas dipanggil ‘cantik’? Tetapi bukan itu
yang membuatku tertarik. Aku sudah terbiasa mendengar pujian itu. Lain halnya
jika itu diucapkan dengan bahasa Inggris yang aneh. Bukan kata-katanya.
Melainkan aksennya.
“M-maaf, aku tidak... bisa berbahasa Inggris.”
Sial bagi lelaki bermata hijau itu. Aku sedang tidak ingin berbicara dengan
siapa pun. Maka aku menjadikan kendala bahasa sebagai tamengnya. Aku
menjawabnya dengan bahasa Inggris yang sengaja kuucapkan patah-patah.
“Kalau begitu, bahasa Italia?”
Lelaki ini tidak mudah menyerah rupanya. Begitu juga denganku. Lapisan
kedua tamengku sudah siap dengan tugasnya. Kali ini, aku harus menjawab tanpa sepatah
kata pun. Aku menggelengkan kepala, sementara batinku berharap lelaki ini
menyerah dengan usahanya mengajakku berkenalan.
Kali ini, lelaki itu terdiam. Tetapi matanya menatapku penuh penilaian.
Keningnya berkerut seperti sedang berpikir keras. Sementara jemarinya
mengusap-usap dagunya yang menggelap karena bakal janggut yang membayang ke
arah rahangnya.
“Apa kau orang Indonesia?” tanyanya dengan bahasa Indonesia yang fasih
walaupun aksen Italianya masih tertuang kental dalam ucapannya.
Sial. Aku mengumpat dalam hati. Mengapa lelaki ini bisa menebaknya secepat itu?
Seolah kenyataan itu tertulis jelas di keningku. Aku hanya mampu tersenyum
masam saat menatap tameng keduaku hancur berkeping-keping.
“Ya,” jawabku kemudian. Benar-benar kehabisan akal. “Aku tidak menyangka
kau bisa berbahasa Indonesia.”
Lelaki itu tertawa renyah hingga matanya menyipit ramah. “Nenekku orang
Indonesia.”
“Oh?” Bibirku yang dipulas lipstik oranye membulat seketika.
“Kau tahu, Venesia adalah tempat yang bagus untuk menyembuhkan patah hati.”
Aku hanya mengangkat alis. Memasang wajah sedatar mungkin menutupi ekspresiku
yang sebenarnya. Apa sejelas itu yang sudah kutunjukkan di hadapan lelaki ini? Atau
dia yang kelewat peka? Siapa, sih, lelaki ini? Memangnya dia detektif?
“Aku tidak sedang patah hati.” Aku menggelengkan kepala untuk mendukung
pernyataanku. “Aku hanya sedang liburan. Seperti turis kebanyakan.”
“Oh, berarti aku salah menebak, ya,” ujarnya lantas melantunkan tawa. Kemudian
dia mengulurkan tangannya. “Aku Louis Bourbon.”
Selama tiga detik aku hanya tertegun menatap tangan yang terulur padaku. Lalu
aku menjabat tangan lelaki itu sambil memasang lapisan tameng berikutnya. “Aku
Clara.”
Tameng ketiga berbunyi: jangan pernah menyebutkan nama aslimu pada orang
yang baru saja kautemui.
“Clara.” Dia mengulang nama palsuku dengan bibirnya yang penuh. Matanya
langsung menerawang jauh ke masa lalu. “Nama yang cantik. Mengingatkanku pada—”
Ibunya? Adik perempuannya? Atau mantan kekasihnya?
“—anjingku yang sudah meninggal tahun lalu. Seekor welsh-corgi yang ceria. Aku
sangat menyayanginya sejak usiaku sepuluh tahun. Aku tidak percaya pada
akhirnya dia harus pergi seperti itu.” Dia berhenti bicara lalu memandangku.
Aku balas menatapnya tanpa ekspresi. Yang benar saja! Dia menyamakanku
dengan seekor anjing. Padahal anjing itu makhluk lucu dan menggemaskan.
Sedangkan aku makhluk cantik nan anggun.
“Maaf kalau ceritaku membosankan.”
Aku mendengus jemu sambil sedikit tersenyum miring. Dan kami terus dalam suasana
hening di antara suara riak air yang membentur dayung dalam genggaman sang gondolier.
Lelaki dengan kaus lengan panjang bergaris putih dan merah itu mengarahkan
gondola menepi.
Mimpi indahku di Canal Grande berakhir
begitu saja. Tanpa kecupan romantis di bawah Ponte di Rialto. Tanpa kekasih
yang duduk di sampingku. Hanya ada dua lelaki asing yang bahkan tidak
repot-repot membantuku turun dari gondola.
“Kau ingin kutemani berkeliling Venesia?” tawar Louis Bourbon begitu kedua
kakiku berpindah keluar dari perahu kayu itu.
Dasar lelaki Italia seperempat Indonesia! Aku menggerutu dalam hati. Mataku
berputar cepat dan melirik lelaki bertubuh tegap dalam balutan kaus hitam dan jeans biru gelap. Seulas senyum bertengger
tegas di bibirnya, seakan yakin aku tidak akan menyatakan penolakan.
Tetapi sayangnya, lelaki itu salah besar!
“Tidak, terima kasih. Tapi aku bisa sendiri.”
Aku bisa mendengar lelaki itu menghela napas perlahan. Entah kecewa atau tidak
menyangka akan mendapatkan jawaban seperti itu. Tetapi senyumnya masih tampak
percaya diri menghias wajahnya. Seharusnya dia tahu, bahwa tidak cukup dengan
wajah tampan dan tubuh atletis untuk mendapatkan hati seorang gadis. Pengalaman
yang mengajarkan itu padaku.
“Kalau begitu, aku pergi dulu,” ucapnya lantas berbalik meninggalkanku.
Sepeninggal lelaki itu, aku memandang sekeliling. Dan menyadari bahwa
suasana tampak sangat lengang. Tidak ada seorang pun selain aku. Bahkan Louis
Bourbon sudah tidak terlihat lagi di ujung jalan.
Aku merapatkan coat panjang yang
kukenakan, saat angin musim gugur menerpa wajahku. Mendinginkan hidung dan
pipiku hingga berubah merah. Membekukan hatiku yang sudah tidak berbentuk.
Membuat sekujur tubuhku merinding seketika.
Baru satu langkah kuambil saat tiba-tiba aku leherku seperti digigit semut.
Atau lebih sakit dari itu. Karena sengatan itu membuatku memekik tertahan
seperti seekor kucing yang ekornya terinjak. Dalam sekejap tubuhku terasa kelu
dan mati rasa.
“Buonanotte, Nona Vivian,” bisik seorang lelaki menyebut nama asliku.
Sementara kegelapan merenggut paksa kesadaranku.
***
Aku terbangun dengan kepala pening luar biasa. Seperti ada ribuan godam
yang dihantamkan tanpa ampun ke kepalaku. Aku membuka mataku, tetapi aku tidak
melihat perbedaan berati. Sekelilingku gelap gulita. Tanpa penerangan sama
sekali.
Kali ini, aku meronta berusaha menggerakkan kedua lenganku. Tetapi kemudian
aku menemukan kedua tanganku telah terikat. Begitu juga dengan kakiku. Tubuhku
terikat kuat pada kursi yang kududuki. Tenggorokanku terasa sakit dan terbakar.
Sehelai kain menutupi bibirku dan terkebat di belakang kepalaku.
Apa-apaan ini semua?! Apa belum cukup semua penderitaan yang kuterima
selama ini? Aku merutuk nyaris berteriak sia-sia. Karena yang terdengar
akhirnya hanyalah erangan tanpa makna.
Tiba-tiba cahaya kekuningan membentur penglihatanku. Membuatku buta sesaat.
Begitu peningku tidak terasa, aku kembali membuka mata. Aku mendapati ada seseorang
yang juga duduk terikat satu meter di hadapanku. Cahaya yang sama juga
menyinarinya dari lampu yang tergantung dari langit-langit gelap di atas
kepalanya. Persis lampu yang digunakan polisi saat menginterogasi tersangka.
Mataku menyipit. Rahangku mengetat. Saat aku mengenali sosok di hadapanku. Walaupun
wajahnya tampak mengerikan. Sudut bibirnya bengkak. Pelipisnya sobek. Cipratan
darah menghitam di kemejanya yang putih.
Dia lelaki itu.
Bajingan itu.
Mantan calon suamiku.
Mike Bolliero.
Siapa orang yang berani-beraninya menghajar lelaki ini? Keningku berkerut.
Mataku memelotot padanya. Padahal sedikit pun aku belum meluapkan kemarahanku. Seharusnya
wajah lelaki itu babak belur di tanganku.
Sebuah suara lantang muncul tiba-tiba dari balik kegelapan. Menghapus rasa
kesalku dan menggantinya dengan ketakutan. Suara itu dalam bahasa Italia yang
tidak kumengerti. Tetapi suaranya terdengar marah dan kasar. Hingga membuat
tengkukku bergidik ngeri.
Tetapi Mike memilih bungkam. Hanya matanya yang memandang lurus padaku. Berbagai
emosi berkelebat di sana. Penyesalan, ketakutan, dan sedikit rasa... kasihan?
Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, aku yakin tidak ada cinta di sana.
Aksi tutup mulut Mike ternyata malah membuat keadaan semakin runyam. Sebuah
bogem melayang telak ke rahangnya dari balik kegelapan yang mengelilingi kami. Spontan,
aku menolehkan kepalaku ke kiri dan memejamkan mata. Saat itulah aku mendengar
suara seorang gadis yang merintih seperti tersiksa.
Belum sempat aku menduga-duga, sebuah cahaya yang lebih besar dinyalakan. Aku
kembali memejamkan mataku yang hampir kubuka. Beberapa detik aku menunggu
sebelum akhirnya memberikan hak kepada mataku untuk melihat.
Seorang gadis dengan keadaan yang sama denganku menangis ke arah Mike. Air
matanya tampak sangat pilu menyayat hati. Rambut kuning jagungnya berantakan.
Sebagian lengket di wajahnya karena air mata.
Aku menoleh ke arah Mike dan mendapati lelaki itu tengah meronta paksa. Dia
mengumpat kasar dan meludahkan darah dari bibirnya yang sobek. Suaranya sarat
akan keputusasaan. Seolah ia akan membunuh siapa pun yang berani menyentuh
gadis itu. Entah mengapa, hati seperti diiris-iris menggunakan pizza cutter saat melihatnya. Gadis itu
adalah gadis yang dipeluknya mesra dalam foto.
Saat itulah aku baru sadar bahwa bukan hanya ada kami bertiga di sana. Puluhan
lelaki tersebar memenuhi ruangan yang mirip gudang besar ini. Mereka berpakaian
nyaris serupa. Setelan serba hitam yang menutupi kemeja putih. Topi fedora. Dan
senjata api dalam genggaman masing-masing.
Mataku langsung mengenali salah seorang di antara mereka. Pandangan kami berserobok
selama beberapa detik. Lelaki itu menyunggingkan senyum jahat di bawah
bayang-bayang topi fedoranya.
Sial! Pasti dia yang sudah membiusku tadi. Dasar gondolier keparat!
Berbagai macam perasaan berkecamuk dalam dadaku. Aku marah, sedih,
sekaligus ketakutan. Tetapi tidak ada air mata yang menetes untuk apa pun
perasaan itu. Air mataku sudah mengiring sejak lama. Sekarang aku hanya bisa
merasakan jantungku yang memacu secepat kuda berlari. Hingga membuat napasku
terengah-engah.
“Vivian Carlevaro.” Seorang pria melangkah penuh wibawa ke arahku. Beberapa
bekas luka tercetak di wajahnya. Sementara bibirnya yang mengapit cerutu, menyunggingkan
senyum mencemooh. “Anak perempuan dari teman baikku, Fabio Carlevaro dan
istrinya, Sachi.”
Punggungku sontak menegang mendengarnya menyebut nama kedua orang tuaku. Suara
pria itu sangat dalam dan mengancam, membuat sekujur tubuhku gemetar. Dan aku
yakin hubungannya dengan kedua orang tuaku tidak sebaik yang dikatakannya.
Pria itu semakin mendekat padaku. Mataku memandang tajam, mengawasi setiap
gerak-geriknya. Aku beringsut jijik saat dia mengulurkan tangannya padaku.
Sia-sia saja, mengingat tubuhku yang terikat kuat di kursi. Dia membelai pipiku
seolah aku barang antik bernilai milyaran.
“Sejak lama kami mengawasimu.” Pria itu kembali melanjutkan kata-katanya
dalam bahasa Inggris. Sengaja agar aku bisa memahaminya. Dia berbalik menjauh
dan ganti mendekat pada Mike. “Tapi semua hancur ketika verme satu ini mendadak membatalkan pernikahannya denganmu—“
Aku melihat Mike menahan rasa sakit saat pria itu menjambak rambutnya,
memaksanya mendongak pada langit-langit tinggi yang berbercak hitam.
“Hanya karena cinta-omong-kosong pada Donna puttana-nya.”
Pria itu sudah berpindah cepat untuk menjambak rambut kuning jagung milik
gadis bernama Donna Puta—siapa tadi itu. Lagi-lagi Mike berteriak frustrasi
melihat gadis itu diperlakukan kasar. Segala macam sumpah serapah meluncur dari
mulutnya. Dia terlihat jauh lebih kesakitan daripada ketika dia disiksa secara
langsung.
Diam-diam, jauh di dalam hatiku, entah mengapa aku merasa... cemburu. Ternyata
memang tidak semudah itu aku mendapatkan semua yang kuingin—
Lamunanku terputus paksa saat terdengar suara teriakan keras. Puluhan lelaki
berseragam memasuki area tanpa peringatan. Membuat semua yang ada di dalam
ruangan itu kelabakan. Mereka semua saling menodongkan senjata masing-masing.
Tampaknya kali ini, keindahan dunia yang terhidang di hadapanku benar-benar
akan membuatku muntah. Aroma karat yang tercampur di udara yang kuhirup. Bersamaan
dengan suara teriakan yang bercampur bunyi desingan peluru, kegelapan kembali
menyelimutiku hari ini.
***
Hitam. Warna itu yang kulihat pertama kali ketika membuka mataku. Kemudian aku
menyadari ada titik-titik putih yang berkilau di atas warna itu. Persis seperti
langit malam.
Aku terduduk tiba-tiba saat mendengar suara gemercik yang sangat dekat
denganku. Setelah menyesuaikan diri dengan pening yang menyergapku, aku akhirnya
aku berada di atas gondola yang terapung di permukaan sungai.
Keningku mengernyit. Apa aku sudah mati? Atau semua kejadian ini hanyalah
mimpi?
“Sudah bangun, Cantik?”
Sebuah suara membelai punggungku dengan hangat. Aku langsung berbalik dan
mendapati seorang lelaki berdiri di belakangku. Tangannya menggenggam dayung
untuk menggerakkan gondola yang kami tumpangi.
Aku bergerak mundur dengan defensif. Mataku menatap awas. Setelah semua
yang kualami hari ini, rasanya sulit untuk mempercayai orang lain.
“Tenang saja. Tidak apa-apa.” Lelaki itu berkata penuh kelembutan. Seperti sedang
mencoba menenangkan harimau yang akan mengamuk. “Kau sudah aman sekarang,
Vivian Calrevaro.”
Aku memilih untuk tidak menjawab. Tubuhku terus mundur hingga berada di ujung
lain gondola. Jika dia berbuat macam-macam, lebih baik aku melompat ke sungai
dan mati beku daripada harus berurusan lagi dengan para bajingan itu.
“Tidak apa-apa.” Dia berujar penuh kelembutan. Sambil menyimpan dayungnya
lantas duduk di ujung gondola, berseberangan denganku. Dia membiarkan gondola
ini teratung-katung di tas permukaan air yang tenang.”Aku akan menjelaskan
semuanya.”
Lelaki itu menjelaskan bahwa leluhurku secara turun temurun sudah melakukan
penelitian mengenai senjata mematikan. Kematian yang dirasakan memang sangat
menyiksa tetapi tidak berbekas sama sekali. Tanpa jejak. Seperti kematian yang
wajar.
Saat tiba di generasi sebelumku, ayah dan ibuku menolak untuk melanjutkan
penciptaan senjata itu. Karena dianggap berkhianat, mereka dibunuh ketika
usiaku masih tujuh tahun. Dan mereka menganggap bahwa aku memiliki ingatan atau
ilmu mengenai hal itu. Padahal aku sama sekali tidak memahaminya.
Mike Bolliero sebenarnya adalah intel rahasia seperti dirinya. Tetapi lelaki
itu ditugaskan menyusup menjadi anggota resmi di antara lelaki bertopi fedora
itu. Dia berhasil menjadi orang kepercayaan capo
dan ditugaskan untuk mendekatiku dan kemudian menikah denganku.
Tetapi ternyata cintanya pada Donna jauh lebih besar daripada cintanya pada
pekerjaan. Maka dia pergi begitu saja, meninggalkanku dan kembali pada Donna. Dia
juga menyatakan ingin berhenti dari kedua tempatnya bekerja. Tetapi yang
terjadi malah dia disekap dan disiksa habis-habisan.
“Bagaimana bisa aku percaya semua itu?” tanyaku sambil melipat tangan di
depan dada. Daguku mendongak angkuh. Kewasapadaanku terpasang dalam sinyal
tinggi. “Kau bahkan tega membiarkan gondolier itu membiusku.”
“Itu memang bagian dari rencana.” Lelaki itu masih membela diri. “Setelah itu
aku dan rekan-rekanku mengikutimu ke markas mereka. Dan kita berhasil meringkus
mereka semua. Bagaimanapun kau juga ikut berjasa.”
Aku mendengus sangsi. “Kau pikir aku semudah itu kautipu lagi, huh? Setelah
nama Louis ‘Palsu’ Bourbon-mu?”
Lelaki itu tersenyum simpul. Nyaris tertawa kecil. Dia melangkah mendekat
padaku, membuat gondola hampa itu terombang-ambing ke kanan dan ke kiri. Tanganku
mencengkeram erat tepian perahu kayu itu.
Begitu cahaya bulan tertutupi bayangan Ponte di Rialto, aku merasakan kehangatan
napas lelaki itu di telingaku. Dia membisikkan sebaris nama, meniru agen 007.
“Namaku Dante. Dante Zenetti.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D