Nico
mengembuskan nafas besarnya. Mencoba mengatur strategi untuk menyampaikan kabar
tersebut pada Elena tanpa
membuat gadis itu berteriak histeris. Ia memang telah berjanji untuk melindungi
gadis itu. Tapi pada waktu itu ia berkata spontan hanya karena gadis itu tampak
sangat cantik di matanya. Ia berdecak kesal merutuki spontanitas konyol itu.
Bukan karena ia tak bisa melindunginya. Tetapi Nico sempat membelalakkan mata
tak percaya bahwa korban kecelakaan itu adalah adik dari pemilik Quarts Design, rekan bisnis perusahaan.
“Korbannya sempat mendapatkan
pertolongan di rumah sakit. Tetapi sayangnya dia tidak tertolong. Dia meninggal
semalam.” Ujar lelaki berkumis tipis sambil menyerahkan sebuah amplop coklat
berukuran besar.
“Lalu bagaimana dengan
keluarganya?”
“Keluarganya melayangkan
tuntutan pada tersangka penyebab kecelakaan.”
Pembicaraannya
dengan Dani—kaki tangan Nico—tadi pagi terus berputar dalam ingatannya. Nico
memejamkan matanya, membayangkan kembali bagaimana cantiknya wajah Elena. Sesaat
kemudian fakta bahwa keluarga korban melayangkan tuntutan untuk Elena
membuyarkan bayangannya.
“Sial!”
Nico memukul meja kerjanya dengan kesal, kemudian meraih ponselnya untuk
menghubungi seseorang.
***
Ia
masih saja mengurung diri di kamarnya hingga Evan harus mengantarkan sarapannya
ke kamar. Matahari telah meninggi, sinarnya menembus jendela kaca yang tirainya
telah dibuka oleh Evan saat ia mengantarkan makanannya tadi pagi sebelum ia bekerja. Elena masih terjaga, sama sekali
belum merasakan tidur sejak semalam. Ia hanya berguling ke kanan dan ke kiri
merasakan ketakutan yang luar biasa di dadanya. Air matanya kembali lolos, dan
pada saat yang sama ia mendengar pintu kamarnya diketuk.
“Kak, kau sudah pulang?” Elena
menghapus air matanya, kemudian berbalik menatap pintu kamarnya yang terbuka.
“Aku
pulang cepat karena aku akan ke luar kota sore ini, Len.”
Mata
Elena terbelalak lebar. Bagaimana bisa dalam saat-saat seperti ini kakaknya
justru tak bisa menemaninya. Ia butuh seseorang saat ini. Segala kecemasan
bergelayut dalam hatinya, membuatnya hatinya semakin gelisah.
“Ada
suatu hal yang harus kukatakan padamu Len. Ini tentang…” Evan menangkap
kecemasan yang ada dalam raut wajah adiknya itu sehingga ia menggantungkan
kalimatnya.
“Katakan
kak…”
“Keluarga
mereka… menuntutmu.” Evan
menunggu perubahan ekspresi adiknya saat mendengar itu. “Dan orang itu
meninggal semalam.” Tambahnya ragu.
Kenyataan
itu menggodam kepala Elena, memang inilah yang harus ia terima atas
kesalahannya. Ia tahu bahwa hari ini akan datang, tapi tak pernah ia sangka
akan datang secepat ini. Apa yang harus ia lakukan? Ia terduduk kaku, matanya
nyalang menatap Evan. Evan mendekat untuk memeluk adiknya, tetapi sama sekali
tak ada respon dari Elena.
“Adik
kecil, bersiaplah.” Seseorang yang tengah melipat tangannya, bersandar pada kosen
pintu kamar Elena. Elena menatapnya tanpa ekspresi, berkutat dalam pikirannya
yang sangat membebaninya.
“Apa
maksudmu?”
“Kau
harus pergi dari sini sebelum polisi menangkapmu, Len.” Evan menjelaskan
rencananya yang telah ia buat bersama Nico sejak pagi. Ia akan meminta Nico
membawanya pergi jauh dari kota ini. Meski tak sepenuhnya percaya, tetapi tak
ada pilihan lain. Evan harus memberikan keputusan untuk hidup adiknya.
“Kau
tidak ikut bersamaku?” Tanya Elena yang disambut gelengan oleh Evan. “Jangan
bercanda! Bagaimana bisa kau memberikanku pada lelaki asing yang aku bahkan tak
pernah mengenalnya sebelumnya?” Seru Elena tak
setuju.
“Aku
tak akan berbuat macam-macam kepadamu, adik kecil. Kau bisa percaya padaku. Aku
hanya menyukai gadis-gadis seksi dan kau tak termasuk dalam daftar. Cepatlah. Polisi
sedang dalam perjalanan kemari.” Ujar Nico berbohong yang kemudian diiyakan
oleh Evan.
***
Ia
duduk termenung dengan kacamata gelap yang membingkai pemandangan di
hadapannya. Kepalanya yang terasa berat disandarkan pada kaca mobil di
sampingnya. Perjalanan ini cukup hening meski telah lewat tiga jam perjalanan.
Dinginnya AC yang menerpa wajah gadis itu sama sekali tak terasa dingin di
kulitnya, karena tubuhnya terasa begitu terbakar oleh kecemasan.
“Kau
sudah lapar?” Tanya lelaki di sampingnya yang sejak tadi terus memerhatikan
gadis itu dalam diam. Gadis itu menjawab dengan gelengan pelan dan lagi-lagi
lelaki itu mendengus kesal.
“Adik
kecil, jangan diam begini. Kau bisa membuatku mengantuk.” Ujar lelaki itu yang
kemudian mengganti lagu yang dimainkan di tape
mobilnya.
“Kau
membawaku kemana?” Suara parau Elena mengurai sebuah senyum di bibir lelaki
itu.
“Aku
akan membawamu sejauh mungkin.”
“Lalu
pekerjaanmu?”
“Ayahku
besok akan kembali. Dan aku bisa meninggalkan kantor. Aku hanya menjabat
sementara.”
“Nick…
aku… apa aku akan masuk penjara?” Ini adalah poin penting bagi Elena. Ia tahu
hal ini akan selalu mengganggu pikirannya seumur hidup. Elena menautkan kedua
tangannya dengan erat, menggigit bibir bawahnya.
Nico
menatap gadis itu sambil sesekali menatap jalanan di depannya yang terbingkai
oleh kaca mobil yang sedikit gelap. Ingin rasanya lelaki itu memeluk Elena.
Namun Nico menelan keinginannya mentah-mentah. Kemudian Nico menyentuh tangan Elena
yang terasa dingin.
“Tenang
adik kecil, kau aman bersamaku.”
Elena
ingin sekali protes dengan panggilan lelaki itu, ia bukan adik kecil lagi.
Usianya sudah dua puluh tiga
tahun. Jika Nico mengatainya saat situasi baik-baik saja, mungkin ia akan
marah. Namun situasi ini bukanlah situasi yang tepat untuk membuat satu-satunya
orang yang bisa diandalkannya meninggalkannya di suatu tempat yang ia tak
pernah tahu.
Tautan
jemari Elena melonggar saat tangan hangat Nico menyentuhnya. Tiba-tiba sirine
sebuah mobil polisi terdengar memekakkan telinga. Lampu sirine tersebut
berkelap-kelip menyilaukan mata Nico. Elena menoleh ke belakang, memastikan apa
yang telah di dengarnya. Mobil tersebut berada beberapa meter di belakang mobil
Nico.
“Nick,
itu polisi.” Suara Elena terdengar gemetar. Elena beringsut untuk merendahkan
duduknya. Jantungnya seolah berhenti untuk beberapa detik. Pikirannya masih
bergelayut dengan rasa kalut.
“Mereka
tak akan kubiarkan menangkapmu, adik kecil.” Nico melepaskan genggaman
tangannya, kemudian memindahkan gigi dan menginjak gasnya lebih dalam. Ingatan Elena
seolah berputar kembali pada kejadian kemarin. Ia juga melakukan hal yang sama,
kemudian kecelakaan itu terjadi.
“Tidak…”
Elena berucap lirih sambil menggigit kukunya. Tiba-tiba kendaraan yang berada
tepat di depan Nico mengurangi kecepatannya secara mendadak.
“Nick,
awas!” Elena menutup matanya erat-erat. Ini akan berakhir. Ini adalah karmanya
dan dia akan mati mengenaskan dengan cara yang sama dengan korban yang telah ia tabrak.
“Hei
adik kecil. Buka matamu.” Nico tersenyum menatap gadis di sampingnya yang
memucat. Perlahan Elena membuka matanya dan melihat sekeliling. Nico memarkir
mobilnya di bahu jalan.
Untuk
saat ini Nico sangat bangga pada reflek dan kemampuan mengemudinya. Sesaat ia
merasa seperti Dominic Toretto di film The
Fast and The Furious. Ia berusaha mengurai senyum untuk gadis di sampingnya
meski jantungnya berdebar sangat kencang karena kejadian itu.
“Sudah,
tidak ada apa-apa. Polisi itu hanya lewat untuk mengawal mobil pejabat.” Nico
menenangkan gadis itu dan mengusap kepalanya.
•••
Elena POV
Hari
sudah larut malam, Nico beberapa kali menguap. Aku masih menatap jalanan di hadapanku yang mulai sepi. Jam digital yang
ada di dasbor mobil menunjukkan pukul sebelas lebih lima puluh tujuh menit. Sudah
hampir sebelas jam perjalanan yang kami
tempuh dengan beberapa kali berhenti untuk mengisi bahan bakar dan mengisi
perut.
“Apa
kau sangat mengantuk?” Aku
memecah keheningan. Kulihat
wajah lelaki itu tampak lelah. Aku tak yakin dia akan terus bertahan tanpa
tertidur sampai perjalanan kami selesai nanti.
Tanpa
sadar aku masih terus memandanginya yang masih berfokus pada jalanan di
hadapannya.
“Tubuhku
terasa lelah adik kecil, aku butuh berbaring sebentar.” Kata lelaki itu yang
lagi-lagi diakhiri dengan kuapannya yang menimbulkan suara keras sebagai tanda
betapa mengantuknya dia.
“Aku
bisa menggantikanmu sementara kau beristirahat di belakang.”
“Kau
pikir dengan kakiku yang panjang ini berbaring di belakang akan membuat lelahku
hilang?” Nico menyunggingkan senyum yang terlihat samar karena keadaan yang
cukup gelap. Tapi aku tahu,
dalam kegelapan pun wajahnya masih terlihat tampan. Aku kembali terhanyut dalam
diamku, tak ingin berdebat dengan lelaki di sampingku. Aku teringat kata-kata
Evan untuk menjaga emosiku agar Nick tidak berubah
pikiran untuk
menyelamatkanku.
Beberapa
saat kemudian, Nico berbelok ke sebuah bangunan tinggi bertuliskan Savannah Suite berwarna hijau menyala yang cukup besar.
“Mau
kemana?” Tanyaku
defensif. Firasatku memburuk mengingat Evan telah mengingatkanku untuk
berhati-hati pada Nico. Evan pun telah memberiku sebuah pisau lipat untuk berjaga-jaga
jika Nico melakukan sesuatu yang buruk padaku.
“Adik
kecil, aku mengantuk.” Ujar Nico diikuti suara pintu mobil yang sedikit
dibanting.
Tanpa
bertanya lagi, kuikuti langkah
Nico yang berjalan terlebih
dahulu.
Kutatap tubuh atletis lelaki di hadapanku. Ia mengenakan kemeja polos
berwarna biru tua dengan lengan yang dilipat asal-asalan. Celana bahan berwarna
hitam dengan sepatu pantofel yang masih terlihat licin. Bayangan tentang Nico yang meninggalkan
pekerjaannya untukku
membuatku tersenyum. Sungguh aku terharu. Ini semua pasti berkat Evan.
•••
Nico POV
“Mengapa
kau hanya memesan satu kamar?” Elena melipat tangannya di depan dadanya,
mengerucutkan bibirnya karena kesal. Aku ingat betul bagaimana tatapan mengancamnya saat aku memesan satu kamar
untuk kami.
“Satu kamar.” Kataku
sambil mengeluarkan tanda pengenal dan sebuah kartu kredit dari dompet.
“Nick, dua.” Bisik Elena di
telingaku penuh penekanan.
“Untuk apa pesan dua? Kita
bisa berbagi tempat tidur, sayang.” Aku melingkarkan lenganku pada
pundak Elena, menggodanya
dengan nada yang dibuat-buat. Seringaian licik tersungging di bibirku, membuat
gadis dibalik meja resepsionis tersenyum memerhatikan percakapan kami.
Entah apa yang dipikirkannya, tetapi melihat ekspresi
menggemaskan Elena sungguh membuatku ingin terus menggodanya.
“Aku
tidak akan berbuat macam-macam. Kalau kau tak percaya, kau bisa tidur di sofa.”
Aku tersenyum geli menatap wajah Elena
yang kesal. Aku
meletakkan ponsel dan dompetku di atas nakas sementara Elena masih berdiri di
dekat pintu kamar.
“Tidak,
aku tidur di ranjang. Kau kan laki-laki, kau tidur di sofa.” Nada suara Elena
terdengar meninggi.
Wah,
sungguh luar biasa nyali gadis itu. Ia bahkan tak merasa sungkan pada seseorang
yang telah berusaha menyelamatkannya. Bahkan di saat seperti ini, kepala
batunya itu semakin mengeras.
“Kalau
kau tidak mau di sofa, kita bisa berbagi ranjang.” Kutatap wajah gadis itu intens
sebelum aku melangkah
ke kamar mandi. Benar kata
Evan, gadis itu benar-benar pemarah dan keras
kepala—ralat, sangat keras kepala. Elena melempar pandangan jijik padaku dan mengumpat pelan tepat sebelum aku menutup pintu kamar mandi.
***
Elena POV
Aku bukan tipe orang yang akan
menyia-nyiakan kesempatan!
Aku segera melepas sepatu dan
tanpa mencuci kaki aku
merangkak naik ke ranjang yang berukuran besar itu, lalu tidur di tengah-tengah
dan merentangkan kedua tangan dan kakiku dibalik selimut. Betul kata Evan, dia memang lelaki egois dan kurang ajar.
Bahkan dia tak mau menyewa dua kamar dengan alasan identitasku akan diketahui. Begitu
suara pintu kamar mandi terdengar, aku
segera memejamkan mata,
berpura-pura tertidur.
“Wah…
adik kecil yang nakal rupanya. Cepat bangun.” Nico menarik selimutku, tetapi aku masih berusaha menahannya
dengan mata terpejam.
“Jangan
berpura-pura, adik kecil. Cepat minggir.” Nico kemudian menarik tangan dan kakiku ke samping hingga aku nyaris terjatuh ke lantai. Sesegera mungkin ia melompat dan menguasai ruang kosong
di sisi ranjang.
“Sialan kau! Nico! Minggir!” Kurasakan
darahku menggelegak.
Mungkin saja tanduk di atas kepalaku sudah mulai meninggi diiringi asap yang
mengepul dari hidung dan telingaku. Kemarahan sudah mulai menguasaiku. Aku mendorong tubuh lelaki sialan—yang
sayangnya sangat tampan itu agar menyingkir, namun kekuatanku tampaknya tak
begitu berpengaruh untuknya.
“Sudah
cepat tidur.” Nico menarik selimut untuk menutupi kepalaku. Kemudian melingkarkan
tangan dan kakinya pada tubuhku yang dibungkus oleh selembar selimut tebal,
membiarkanku mendidih di dalam selimut. Sebentar lagi aku akan meledak. Meledak
dalam artian sebenarnya. Mungkin seperti ketika kau merasakan jantungmu
berdegup terlalu kencang hingga memompa darah terlalu banyak dan pembuluh
darahmu seolah tak mampu lagi menampungnya, kemudian darah itu terus naik ke
kepalamu seolah hendak menenggelamkanmu di lautan darah, dan…
“Nico!”
Teriakku
sekuat tenaga diiringi dengan pemberontakan beringas. Aku menghirup udara untuk
memenuhi paru-paruku dengan oksigen seolah aku akan menghirup seluruh oksigen
di muka bumi ini dan membiarkan lelaki kurang ajar itu mati karena kehabisan
oksigen.
Kutatap
lelaki itu dengan kilatan kemarahan, seolah mataku akan mengeluarkan sihir bombarda untuk meledakkannya. Aku
menahan napas sejenak, lalu bersiap untuk menyemburkan rentetan kalimat makian,
namun semuanya kutelan kembali hingga aku berimajinasi melihat perutku semakin
membuncit menahan seluruh umpatanku.
“Baiklah,
aku akan tidur di sofa.” Aku mengalah, kemudian turun dari ranjang dan
melangkah menuju sofa dengan kesal. Sungguh aku harus menjaga mulutku kali ini.
Ini demi keselamatanmu Elena, gumamku
pada diriku sendiri.
Dalam
beberapa langkah aku berhenti sejenak. Sejujurnya aku sangat berharap dia
memanggilku dan mengatakan, “Elena,
tidurlah disini. Aku yang akan tidur di sofa.” Namun sayang sekali yang
kulihat adalah Nico justru melambaikan tangannya dengan senyum liciknya yang
sangat menyebalkan. Sesaat kemudian ia menarik selimutnya dan berbalik
memunggungiku.
Aku
terpaku, berusaha menahan sumpah serapahku agar tak terdengar oleh lelaki
sialan itu. Oh, Ya Tuhan, mungkin Evan sudah mulai gila dengan mempercayakanku
pada lelaki gila ini. Dengan membawa harga diriku yang telah dilukai oleh
lelaki itu, aku melangkah dengan memikul sejuta amarah dan menghempaskan
tubuhku pada sofa empuk berwarna hijau muda di sudut ruangan.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D