Pertama kali aku tergugah dalam setiap kata yang kauucap. Aku sama sekali tidak menyangka, kata-kata seindah itu bisa meluncur dari
bibirmu yang biasanya hanya dihiasi candaan yang mengundang tawa. Kau
mengucapkan itu dengan wajah yang tersenyum lembut padaku. Tanpa beban. Tanpa binar
jail seperti biasanya.
Entah mengapa, tiba-tiba kau seperti seseorang yang baru saja kukenal tujuh
menit yang lalu. Bukannya tujuh tahun yang lalu.
Senyuman di wajahmu dengan mudah menular padaku. Selalu saja begitu. Tidak
pernah kau bahagia untuk dirimu sendiri. Bagaimanapun kau selalu berbagi tawa dengan
orang sekitarmu.
Bagiku, kau seperti matahari bercahaya abadi. Kehangatan sinarmu tetap
memancar, sekali pun dari balik gumpalan tebal kumulonimbus.
***
Napasku terengah-engah di antara gemeletap langkah kakiku di atas aspal. Ujung
rok kotak-kotak yang kukenakan mengayun bersama angin. Keringat dingin mulai
bercucuran di keningku. Mataku melirik cepat pada jarum penunjuk waktu yang
melingkar di pergelangan tanganku.
Sial. Tinggal tujuh puluh lima detik lagi tersisa agar aku bisa tiba di
halte tepat waktu. Jika tidak, aku harus menunggu bus selanjutnya dan bisa
dipastikan aku akan terlambat datang ke sekolah.
‘Flo!’ teriak suaramu yang sudah sangat kukenal. Kau berdiri santai di
halte yang kutuju. Tanganmu terangkat dan melambai ke arahku. Senyum di wajahmu,
membuatku lebih semangat memacu gerak kakiku yang sudah terasa lemas.
‘Ini rekor baru. Kau datang sepuluh detik lebih cepat sebelum bus datang,’
ujarmu sambil menyimpan kedua tangan ke dalam saku celana kotak-kotakmu. Sementara
aku masih membungkuk terbatuk-batuk sambil berusaha mengatur napas yang
terputus-putus. Hingga tidak sanggup menentukan kata-katamu sebagai pujian atau
sindiran.
Kau menarik kuat tanganku, membawaku ke dalam bus yang akan mengantar kita
ke sekolah. Benar-benar tidak peduli denganku yang masih kesulitan bernapas
seperti ikan yang baru saja bertamasya ke daratan. Tetapi kuakui, berkatmu kita
bisa mendapat tempat duduk dan tidak perlu berdiri berdesak-desakan.
Aku menempelkan kepala dan punggungku ke sandaran kursi bus, sambil
bernapas lewat mulut. Seharusnya itu menjadi pemandangan yang mengerikan.
Tetapi saat itu kau malah terbahak melihat ekspresi pucatku.
‘Minggu ini saja kau sudah sepuluh kali nyaris ditinggalkan bus sekolah.’
Aku langsung mendelik dan menatapmu dari balik bulu mataku. ‘Satu minggu
itu hanya terdiri dari tujuh hari. Bagaimana bisa aku terlambat sepuluh kali?’
‘Itu sudah diakumulasikan dengan rekor-rekormu yang sebelumnya,’ sahutmu
lantas tertawa renyah. Suara tawamu selalu menjadi melodi yang kusukai. ‘Ada game baru lagi?’
Kepalaku mengangguk, membenarkan tebakanmu. Kau benar-benar mengenalku
dengan baik.
‘Tapi, kan, tidak perlu begadang menyelesaikan game dalam sekali duduk.’ Kau menambahkan sambil mencubit ujung
hidungku. Aku memang protes saat itu. Tapi sekarang aku rindu. ‘Aku bisa
menemanimu bermain setiap pulang sekolah.’
‘Itu sulit.’ Aku menggelengkan kepala. ‘Kau tahu, kan, aku mudah
penasaran.’
Lagi-lagi kau tertawa. Mengingat itu membuatku tersenyum. ‘Kau ini benar-benar
lucu, Flo. Pasti menyenangkan jika mempunyai pacar sepertimu.’
Aku tersenyum miring menanggapi candaanmu. ‘Kau juga pasti bisa menjadi
pacar yang perhatian.’
‘Jadi, mulai hari ini kita berpacaran?’ Kau bertanya bersamaan dengan deru
bus yang muali melaju meninggalkan halte.
‘Boleh. Aku juga sudah bosan tiga tahun bersahabat denganmu,’ sahutku sambil
meninju ringan lenganmu.
‘Aku juga berpikir begitu.’
‘Tapi... bagaimana jika nanti kita bosan berpacaran?’ tanyaku dengan kening
mengernyit dalam.
‘Itu mudah. Kita kembali lagi saja menjadi sahabat.’
Aku mengangguk-angguk mengerti. Perubahan tiga tahun status hubungan kita
benar-benar sederhana. Tanpa buket bunga, tanpa cokelat berpita. Bahkan jauh
lebih sederhana daripada rumus matematika. Ah, omong-omong tentang matematika....
‘Apa sebagai pacar kau akan dengan senang hati memberi contekan ujian
padaku?’ tanyaku sambil mengerjap-ngerjapkan mata. Berusaha memikatmu dengan kepakan
bulu mataku yang jauh dari kata lentik.
‘Tidak.’ Kepalamu menggeleng tegas, mengundang bibirku mengerucut tajam.
‘Kenapa?’ sahutku semanja mungkin. Berharap kau akan berubah pikiran.
‘Sebagai gantinya, aku akan berteriak menyemangati dari pinggir lapangan di
setiap pertandingan sepak bolamu.’
‘Tidak, tidak,’ timpalmu cepat sambil bergidik seolah merinding
membayangkan kata-kataku. ‘Jangan lakukan hal memalukan seperti itu, Flo.’
‘Kalau begitu, aku akan melakukan itu jika kau tidak memberiku contekan,’
ancamku tidak mau kalah.
‘Kita bisa belajar bersama. Itu jauh lebih mudah,’ balasmu lantas tersenyum
simpul. ‘Aku akan menjadi pacar yang baik untukmu.’
‘Kau membuatnya jadi sulit.’ Aku melipat tangan di depan dada, mengalihkan
pandangan ke luar jendela bus yang menampilkan deretan pohon yang bergerak
cepat.
‘Akan kubuat semenyenangkan saat kau menyelesaikan game.’
‘Benarkah?’ Aku kembali menoleh antusias. Mataku berkilat-kilat senang.
‘Serahkan padaku,’ jawabmu angkuh sambil menepuk dadamu penuh kebanggaan.
Seolah kau baru saja mencetak gol ke gawang lawan.
Aku tertawa melihat tingkahmu yang kemudian mengundangmu ikut tergelak. Gema
sahut-sahutan tawa itu perlahan memudar dalam benakku, seiring langkahku yang
terhenti di hadapan sebuah pintu. Mataku memandang nanar pada pintu bercat
putih itu. Sekuat tenaga, aku berusaha mengurai seulas senyum. Sambil mempererat
genggamanku pada buket bunga yang kubawa, tanganku terangkat dan mengetuk pintu
dengan buku jari.
***
“Ppoppo, kau datang lagi hari ini?” sapamu ceria begitu aku memasuki
ruangan bercat putih itu.
“Tentu saja. Aku akan datang terus hingga kau bosan,” sahutku lantas
terkekeh. Aku langsung berjalan menuju meja kecil di samping tempat tidurmu,
mengganti bunga yang mulai mengering di dalam vas, dengan sebuket bunga Anemone
ungu yang baru kubawa.
“Kenapa kau tidak pergi jalan-jalan? Cari pacar sana!”
Bibirku mencebik tidak suka. Ini sudah berulang kali kaukatakan sejak hari
pertama kau dirawat dalam bangunan ini. Bangunan yang menjauhkanmu dari
duniamu. Dari sepak bola yang kaucintai sepenuh hati. Sementara kau sendiri
yang berusaha menjauhkanku darimu.
“Buat apa? Aku sudah punya pacar.”
“Aku sudah bosan jadi pacarmu.”
“Benarkah?” tanyaku skeptis. Aku melipat tangan di depan dada, menyiapkan
pion untuk mengalahkanmu secara telak. “Sekali pun aku akan mengabulkan
permintaanmu?”
Kau mengangguk. “Sekali pun kau akan mengabulkan permintaan—benarkah itu, Ppoppo?”
Matamu langsung terbelalak tidak percaya.
Aku mengangkat tas yang kubawa, meletakkannya di sampingmu yang duduk di
tempat tidur. Sebagai bukti dari ucapanku.
Penuh semangat, kau membuka dan mengeluarkan isi tas itu. Setumpuk pakaian sesuai
keinginanmu. Tidak banyak yang bisa kulakukan untukmu, jadi aku melakukan apa
yang kubisa. Walaupun aku mungkin akan menyesalinya suatu hari nanti.
“Aku bosan melihatmu terus merengek seperti bayi,” ucapku sambil mengerucutkan
bibir. Walaupun kau tidak peduli, dan terus saja melebarkan senyuman. “Jadi,
apa boleh buat.”
***
“Bagaimana jika orangtuamu kembali dan kau tidak ada di sana?” tanyaku
takut.
Perasaan ragu tiba-tiba menyergapku justru ketika kita sudah berada di
dalam bus yang akan membawa kita ke tempat yang kauinginkan.
“Tidak apa. Orangtuaku baru akan kembali nanti malam,” jawabmu santai. Benar-benar
santai seperti ketika kita menyusup keluar dari rumah sakit tadi. Kau berjalan
biasa saja tanpa membuat orang lain curiga. Benar-benar membuat kita seperti pasangan
yang baru saja menjenguk teman yang sakit.
“Apa kau tidak... takut?” Keningku mengernyit. Dalam hati aku berdoa kau akan
mengurungkan niatmu di detik-detik terakhir.
Tetapi harapanku menguap begitu saja saat melihatmu menggelengkan kepala. Detik
berikutnya, bus sudah bergerak meninggalkan perhentiannya.
“Untuk apa takut pada sesuatu yang belum terjadi, Ppo?”
“Tapi...” Aku berujar ragu, lantas membasahi bibirku yang terasa kering. Mataku
tidak bisa menolak untuk melirik ke arah dada kiri tempat jantungmu berada.
“Lupakan.” Kau berbisik dalam rambutku, lalu mendaratkan kecupan seringan
bulu di puncak kepalaku. “Dan jadilah pacar yang menyenangkan.”
***
Angin berembus lembut, membawa aroma garam yang khas. Rambutku berkibar
seperti selembar bendera hitam yang menutupi sebagian wajahku. Kita berdiri bersisian
seolah menantang pemandangan serba biru yang terbentang di depan. Sementara
kaki telanjang kita sudah tenggelam dalam pasir pantai yang hangat.
“Sudah lama aku ingin mengajakmu kemari.” Kau bergumam sambil memasukkan
kedua tanganmu ke saku celana jeans. “Pantai
ini sangat cantik. Dulu kakek sering membawaku kemari saat liburan.”
“Terima kasih, chouchou,” seruku senang sambil meraih dan memeluk lehermu.
Tidak seperti biasanya, kau tidak melancarkan aksi protes saat aku
memanggilmu ‘chouchou’. Kau hanya terdiam seolah tenggelam dalam pikiranmu
sendiri. Meninggalkan aku yang bingung tetapi tidak berani bertanya. Takut
merusak suasana. Maka, aku hanya bisa menempelkan pipi ke dadamu, mendengarkan
debar jantungmu yang membuatku merasa lebih hidup.
“Terima kasih, ya, Ppo, untuk semuanya.” Akhirnya kau kembali bersuara.
Walaupun entah karena desau angin pantai yang melankolis atau telingaku yang
kelewat sensitif, tetapi nada bicaramu sarat akan kesedihan. “Terima kasih
sudah menjadi sahabat dan pacar terbaik untukku selama ini.”
Asal kau tahu saja, aku mencebik kesal mendengar kata-katamu. Benar-benar
kesal. “Jangan mengatakan hal menyedihkan seperti itu.”
“Bagian mananya yang menyedihkan dari sebuah ungkapan terima kasih?”
“Tapi kau mengatakan itu seolah-olah kau akan... pergi,” ucapku perlahan
hampir seperti bisikan. Karena aku begitu takut membayangkan kau tidak lagi ada
di sisiku.
Tetapi kau malah terkekeh tanpa beban, seolah kata-kataku hanyalah gurauan
untuk menghibur penonton. “Aku tidak akan pergi ke mana-mana.”
Aku mendongak sebentar. Sengaja ingin memandang wajahmu yang semakin pucat
dari hari ke hari. Walaupun senyum hangatmu tidak pernah memudar. Setebal apa
pun kumulonimbus yang menaungimu beberapa bulan terakhir.
“Tidak ada yang berhak menentukan hidup dan mati manusia, Ppo. Banyak yang
hidup pantas mati, dan yang mati pantas hidup. Kematian itu pasti untuk semua
makhluk hidup,” katamu sambil memelukku lebih dekat padamu. Sementara aku hanya
terdiam mendengarkan. Karena inilah pertama kalinya aku tergugah mendengar setiap
kata yang kauucap. Seolah kau adalah seseorang yang baru saja kukenal tujuh
menit yang lalu. Bukannya tujuh tahun yang lalu.
“Walaupun setiap kehidupan selalu berakhir dengan kematian, bukan berarti kita
hanya bisa pasrah dan diam menunggu saat itu tiba. Kita berhak meraih
kebahagiaan bersama orang yang kita sayangi. Bersikap baik dan mencetak
prestasi, agar kita tidak akan semudah itu dilupakan,” lanjutmu lantas kembali
mengecup puncak kepalaku. Kali ini, lebih lama dari sebelumnya. Aku bersyukur
sudah keramas sebelum berangkat menjengukmu tadi.
“Dan aku memilih untuk bahagia bersamamu.” Aku diam-diam tersenyum di
dadamu mendengar itu. Sementara kau memberi jeda yang membuatku berdebar-debar
tidak keruan. Merasakan firasat kau akan menyampaikan sesuatu yang penting.
“Mereka sudah menemukan pendonor jantung untukku. Dan aku sudah menyetujui untuk
melakukan operasi.”
Sontak aku melepaskan pelukan kita begitu saja. Lantas melompat senang ke
udara. “Benarkah?”
“Tolong tenang sedikit, Ppoppo. Atau aku akan menciummu.”
Aku mendengarmu berbisik mengancam. Tetapi tidak semudah itu aku
menurutimu. Perasaan senang di dalam dadaku sedang membuncah dan mungkin akan
membuatku meledak. Bagaimana tidak, setelah berkali-kali menolak, akhirnya kau akan
menjalani operasi demi kesembuhanmu.
Lompatanku baru terhenti begitu kau menarik lenganku dan membuktikan
ancamanmu. Bibir pucatmu mengecup lembut bibirku, mengakibatkan semburat merah
di kedua pipi. Alih-alih kembali melompat senang, aku hanya bisa tertunduk
malu. Walaupun jantungku melompat-lompat liar di dalam sana.
Aku akan selalu mengingatnya. Itu ciuman pertamaku. Ciuman pertama kita.
***
‘Aku masih penasaran, sebenarnya apa sih arti ‘ppoppo’ yang sering
kauucapkan?’ tanyaku kala itu, beberapa menit sebelum kau pindah ke ruang operasi.
‘Kau sendiri belum membongkar rahasia arti kata ‘chouchou’,’ sahutmu tidak
mau mengalah.
Seulas senyum usil berkedut di bibirku. ‘Itu panggilan sayang dalam bahasa
Perancis. Kalau tidak salah, ‘chou’ berarti ‘kubis’.’
‘Kubis?’ ulangmu dengan kedua alis terangkat. ‘Selama ini kau memanggilku ‘kubiskubis’?’
‘Memang kenapa?’ Aku mengangkat dagu dengan angkuh. ‘Aku yakin arti ‘ppoppo’
juga tidak lebih romantis dari itu.’
‘Kata ‘ppoppo’, berasal dari bahasa Korea yang artinya....’ jelasmu
perlahan lalu memberi jeda. Jemarimu terulur dan meraih daguku menghadap
kepadamu. Apa kau tahu saat itu aku menahan napasku? Entah mengapa aku
membayangkan kau akan menciumku. Dan napasku nyaris berhenti saat kau melakukan
apa yang kupikirkan. Lalu tersenyum dan berbisik, ‘Aku mencintaimu, Ppo.’
Seulas senyum memaksa hadir di tengah rahangku yang gemetar. Air mata
berderai di pipiku, membuatku seperti orang sinting yang tersenyum sambil
menangis bersamaan. Dan harusnya kau sadar diri. Semua senyum dan air mataku
bersumber dari satu orang yaitu dirimu.
Apa kau ingat, saat itu adalah pertama kalinya kau berkata bahwa kau
mencintaiku? Entah sebagai sahabat atau sebagai pacar, aku tidak peduli. Selama
itu adalah dirimu.
Maaf karena aku bersikap pengecut. Dan menghilangkan kesempatan bagimu
untuk mendengar balasan dariku secara langsung.
“Aku mencintaimu, Chou,” bisikku lirih. Perlahan aku mengecup batu granit
yang terukirkan namamu.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D