Rabu, 18 Mei 2016

RabuRabuChallenge - Love at The First Flight


“Tidakkah kau pikir pembicaraan orang-orang begitu membosankan?”

“Aku bahkan tak mendengar seorangpun berbicara, Cecile.” Ujar Amelie cuek sambil sekali lagi memasukkan sepotong pizza ke dalam mulutnya.

Aku mengembuskan napas beratku, jenuh dengan kelebihan yang membuatku muak. Aku, Cecile Bouvier, seorang gadis yang berasal dari sebuah tempat yang amat sangat jauh. Salah satu kepulauan di Samudra Pasifik, yang berjarak sekitar 321,5 kilometer dari Pulau Clipperton.

Sekitar enam tahun yang lalu, aku kehilangan keluargaku karena sebuah kecelakaan kapal, kemudian salah satu tim sukarelawan menampungku di rumahnya, di Marseille, pesisir tenggara Perancis dan mengangkatku sebagai seorang anak. Dan setahun kemudian ayah angkatku berhasil membuatku menjadi seorang pramugari di usia dua puluh tahun.

“Aku mendengar mereka membicarakanmu, Amelie.” Aku mengerang jengkel karena Amelie bahkan tak peduli jika masyarakat menghujatnya. Skandalnya dengan aktor nomor satu Perancis, Aldrick Roux telah menyurutkan karirnya dalam satu tahun terakhir sebagai model ternama.

“Pasti dengan kalimat yang sama, Amelie Benoit, mengganggu rumah tangga Aldrick Roux. Sudahlah Cecile, aku benar-benar tak peduli. Kurasa kau perlu membeli penutup telinga.”

Penutup telinga? Bahkan aku sudah membeli penutup telinga paling mahal sedunia. Entah ini sebuah anugerah atau musibah, sebuah kemampuan untuk mendengar pembicaraan orang, bahkan hingga dalam radius 100 kilometer. Terkadang percakapan membosankan itu justru terdengar saat pikiranku kosong, sehingga membuatku terjebak dalam suasana hati yang buruk, seperti siang ini.

“Terserah kau saja.” Ujarku tak peduli. Amelie, sahabat dekatku sejak aku menginjakkan kaki di Paris. Gadis pemuja cinta meski di tempat yang salah.

“Kapan kau akan kembali terbang, Cecile?” Tanya Amelie mencoba menemukan topik baru. Ini adalah pertanyaan yang membuatku jemu. Sepanjang kepulanganku dari penerbangan terakhir, setiap saat semua orang bertanya kapan aku akan kembali. Terlebih ini adalah hari terakhir liburku sebelum besok aku harus kembali melebarkan bibirku untuk menyambut penumpang.

“Besok pagi. Ah… nerakaku akan dimulai.” Perkerjaanku sebagai pramugari yang telah kutekuni selama enam tahun ini, cukup memberikan banyak pengalaman. Terlebih mengenai hal kesabaran.

“Bersemangatlah, siapa tahu kau akan mendapatkan jodohmu di sana.” Goda Amelie. Yang benar saja. Jika memang begitu, aku bertekad setelah menikah aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak-anakku kelak.
***

Seragam berwarna kelam terlihat kontras membalut tubuhku. Sekali lagi aku memerhatikan dandananku di depan cermin sebelum bersiap untuk menyapa penumpang. Alice yang tengah berdiri di sampingku sibuk memoles bibirnya dengan warna merah yang sedikt gelap. Aku memerhatikan cermin, pikiranku kembali tertuju pada orang tua angkatku dan itu membuatku sedikit menyesal karena tidak menemui mereka di Marseille saat mendapatkan libur.

“Aku tidak akan pergi ke Marseille. Jadi jangan pernah menyuruhku kesana!” Kata-kata yang mengandung Marseille tampaknya membuat telingaku peka, bahkan aku tak melihat seorangpun di sepanjang lorong pesawat kecuali Corine, rekan kerjaku yang telah siap menyambut kedatangan penumpang. Aku menutup kedua telingaku, berusaha tidak mencuri dengar pembicaraan orang lain yang entah berada di mana.

“Ada apa, Cecile? Kau baik-baik saja?” Tanya Alice yang tampaknya memerhatikanku. Aku hanya melempar senyum pada gadis itu, kemudian turut bergabung dengan Corine.

Sejauh ini semua tampak baik-baik saja, sebelum seorang lelaki yang wajahnya sangat aku kenali menyapaku kembali siang ini. Aku mendesah putus asa, namun buru-buru mengenakan topeng tersenyum milikku untuk bersikap hormat padanya.

“Cecile, apa kau masih tidak ingin memberikannya padaku?” Tanya lelaki itu setelah menerima air mineral yang dipesannya.

“Silahkan menikmati perjalanan anda.” Ujarku tanpa mengindahkan pertanyaannya. Kemudian aku melangkah untuk memberikan pesanan lain.

Saat aku kembali lelaki itu meraih pergelangan tanganku, “Apa kau akan membuatku menghabiskan uang untuk pesawat hanya demi meminta nomor ponselmu?” 

“Saya kira anda memiliki urusan lain ketika anda memutuskan untuk membeli tiket pesawat.”

“Ya, urusanku ada denganmu, Cecile. Kau pikir sudah berapa banyak uang yang kukeluarkan hanya untuk ini?”

Hanya untuk bertemu denganku dan meminta nomor ponselku? Yang benar saja. Mana ada orang yang akan rela melakukan hal bodoh semacam itu?

“Kesabaranku sudah hampir habis, Cecile. Jika kau tak memberikannya, aku benar-benar akan membuat onar lagi di sini.”

Untuk ancamannya, kupikir lelaki ini pantas disebut gila. Dua minggu yang lalu dia telah membuktikan ancaman yang sebelumnya pernah dilontarkannya. Namun itu tidak membuatku gentar untuk menyerahkan nomor ponselku pada lelaki ambisius tersebut. Aku bahkan tak mampu membayangkan seberapa kaya dan luang waktunya hanya untuk menuruti ambisinya itu. Kurasa dalam tiga bulan terakhir aku terlalu sering melihat wajah lelaki itu. Wajahnya yang tampan khas lelaki Spanyol.

“Silahkan menikmati perjalanan anda.” Lagi-lagi hanya itu yang bisa kuucapkan. Lelaki ini membuatku takut dan membuat tekadku semakin bulat untuk segera meninggalkan pekerjaan ini.
“Bagaimana dia tahu, namaku?” Aku menggerutu, menatap cermin yang memantulkan wajah lelahku.

“Aku yang memberitahunya. Dia memaksaku untuk memberi tahu namamu.” Ujar Veronica yang berdiri dibelakangku.

Aku mendesah putus asa. Tak beberapa lama, aku mendengar sebuah keributan tak jauh dari tempatku berdiri. Membuatku harus segera bertindak untuk menghentikan keributan tersebut.

“Silahkan anda kembali ke tempat duduk.” Ujar Corine menenangkan.

“Tidak, di mana Cecile? Aku harus bicara dengannya.”

“Apa yang ingin anda bicarakan dengan saya?” Lagi-lagi lelaki itu memang membuktikan ucapannya. Dapat kulihat mata para penumpang tengah sibuk memerhatikan keributan yang dibuat oleh lelaki berambut pirang gelap yang kini telah berdiri di hadapanku.

“Aku Jose. Cecile, aku benar-benar ingin mengenalmu. Tidak bisakah kau memberiku kesempatan?”

Tak ada pilihan lain. Sebelum terjadi keributan lebih besar, aku harus mengakhiri semuanya. Dan justru itulah awal segalanya. Awal yang membuat hidupku berubah.
***

Aku mengaduk-aduk gelas berisi jus stroberi itu hingga dentingan es batu yang menyentuh gelas lagi-lagi membuat Jose mendengus. Entah dikatakan apa hubungan kami ini. Kami dekat, tapi aku tidak merasa kami sedang berada di suatu hubungan spesial. Aku menyeruput kembali jus stroberi itu hingga membasahi tenggorokanku yang terasa kering.

“Sampai kapan kau akan bertingkah seperti ini? Apa kau tak akan membiarkanku menemui orang tuamu?” Tanya Jose yang tengah menyangga kepalanya dengan jemari-jemari panjangnya.

“Untuk apa Jose? Aku bahkan tak tahu akan mengenalkanmu sebagai apa.”

“Cecile…” Aku dapat mendengar suara Jose yang penuh penekanan disertai amarah. “Kau tahu akan mengenalkanku sebagai apa.”

Apa yang dia harapkan? Bahkan Jose tak pernah sekalipun mengatakan dia mencintaiku. Meski terdengar kekanakan, bagaimanapun juga aku ingin sebuah kejelasan hubungan kami. Aku mencintainya tapi aku tak pernah tahu bagaimana perasaannya padaku, kecuali sikapnya yang seolah menunjukkan bahwa aku adalah orang spesial baginya. Bagiku itu tak cukup.

“Aku bahkan tak pernah mendengar bagaimana perasaanmu padaku.” Ini sudah tujuh bulan sejak kejadian terakhir kali di pesawat tempo hari. Dan hingga detik ini Jose membuat perasaanku terasa mengambang.

“Kau tahu. Apakah sikapku padamu selama ini masih kurang meyakinkanmu?” Ujar Jose datar. Selalu seperti ini saat aku memancingnya untuk mengatakan perasaannya. Aku mendesah, merasakan ada suatu lubang besar yang menganga dalam hatiku. Lelaki itu sangat susah ditebak.

“Jose.” Suara seorang lelaki merebut perhatian kami. Ia mengenakan setelan rapi kemudian berjalan menghampiri kami.

“Ah, Alain kemarilah.” Jose melambaikan tangannya untuk bergabung di meja kami.

“Bagaimana kabarmu?” Tanya lelaki yang kemudian mengalihkan pandangannya padaku. “Ya Tuhan kau mirip sekali dengan Estelle.” Ujar lelaki itu membelalakkan matanya. Aku mengalihkan pandanganku pada Jose, namun raut wajahnya tak berubah sedikitpun.

“Dia Cecile.” Kata Jose singkat. Tidakkah dia memperkenalkanku sebegai orang spesial atau apa? Ini sedikit menyakiti hatiku.

Ponsel Jose berdering, membuatnya berpamitan untuk sedikit menjauh dari meja kami.

“Apa kau memiliki hubungan dengan Estelle?” Tanya Alain yang masih mengamati wajahku.

Aku menggeleng. “Tidak. Siapa itu jika aku boleh tahu?”

Alain mendesah, rautnya tampak sedikit kecewa. “Dia mantan istri Jose.”

Seketika aku merasa tenggorokanku tercekat. Mantan istri? Aku bahkan tak tahu bahwa Jose pernah menikah sebelumnya. Apakah ini yang membuat Jose mati-matian mendekatiku? Karena aku mirip mantan istrinya?

Sesaat kemudian Jose kembali. Mata coklatnya berusaha mencari tahu apa yang terjadi setelah menyadari mataku yang mulai berkaca-kaca.

“Aku permisi Jose, Alain. Aku masih punya urusan.” Ujarku dengan nada setenang mungkin meski aku sadar aku tak setenang itu. Tanpa menunggu persetujuan Jose, aku meraih tas dan segera melangkah meninggalkan mereka.”

“Apa yang kau katakan pada Cecile?” Terdengar suara geram Jose di telingaku. Di saat seperti ini, aku bersyukur memiliki ketajaman pendengaran yang tak masuk akal ini.

“Dia bertanya mengenai Estelle, jadi aku mengatakan bahwa Estelle adalah mantan istrimu.” Kata Alain jujur. “Jose,” Suara itu membuatku berhenti untuk kembali mendengar percakapan mereka. “Pergilah ke Marseille. Ibu bilang kau tak pernah mengunjungi Estelle.”

Deg. Marseille menjadi kata yang sensitif terlebih ditambah dengan nama itu. Apakah Jose akan mengunjunginya? Apakah dia akan kembali bersama mantan istrinya? Memikirkannya membuat hatiku sakit. Sesegera mungkin aku melangkah sambil menutup kedua telingaku. Menyedihkan.
***

Dua hari ini aku mengabaikan Jose. Di saat seperti ini aku merindukan pekerjaan lamaku sebagai pramugari. Aku sudah melepaskan seragam itu sejak lima bulan yang lalu atas permintaan Jose. Dan lagi aku memang sudah lama ingin berhenti dari pekerjaan itu.

Seseorang membunyikan bel rumahku, membuatku beranjak untuk membukanya. Aku tahu pasti siapa yang datang. Aku tak pernah memiliki tamu kecuali Amelie dan lelaki itu, Jose.

“Cecile, ada apa denganmu?” Tanya Jose begitu melihatku berdiri di hadapannya. “Aku merindukanmu.”

Aku hanya menimpalinya dengan senyum tanpa berniat menjawab sepatah katapun. Dan aku rasa lelaki itu telah merasakan aura gelap di sekelilingku.

“Cecile, aku akan ke Marseille.” Ujar Jose yang seketika membuatku terasa tercekik.

Aku tersenyum getir, menatapnya dengan pandangan hampa. “Untuk menemui mantan istrimu? Silahkan saja.”

“Ikutlah denganku.”

“Tidak Jose. Aku tak akan mengganggu kalian.” Ucapku sinis. Aku melangkah mundur meraih daun pintu untuk menutupnya, namun Jose menghalangi.

“Kujemput kau besok pagi. Bersiaplah.”
***

Entah apa yang terjadi denganku. Aku mengikuti Jose begitu saja. Aku terbang ke Marseille. Diluar dugaan, Jose justru menemui orang tua angkatku untuk meminta izin untuk menikahiku meski tak pernah sekalipun ia mengatakan bahwa ia mencintaiku. Kemudian ia membawaku ke sebuah makam.

Estelle, akhirnya ku ketahui bahwa wanita itu telah tiada karena kanker otak dua tahun silam. Di satu sisi itu membuatku lega. Namun di sisi lain hal itu membuatku takut karena Estelle akan tetap ada membayangi kami.

Aku menatap awan putih yang bergerombol, membuat pesawat yang kutumpangi sedikit bergetar. Aku membayangkan apa jadinya hubungan kami nanti dengan bayang-bayang Estelle. Kemudian, tangan hangat Jose menggenggam jemariku yang terasa dingin.

“Kau tidak mirip dengan Estelle.” Nama itu keluar dari mulutnya, sontak membuatku mengalihkan pandangan padanya. “Estelle yang mirip denganmu.”

Pernyataan Jose membuatku mengernyit heran. Apa maksudnya?

“Pertama kali aku melihatmu sebagai pramugari lima tahun yang lalu, pertama kalinya aku terbang ke luar negeri. Kemudian aku jatuh cinta padamu.” Kata Jose yang kemudian mengecup tanganku yang digenggamnya.

“Lalu?”

“Lalu aku mencoba peruntungan untuk menaiki pesawat beberapa kali, namun aku tidak melihatmu lagi. Kemudian aku melihat Estelle. Sempat kupikir dia adalah dirimu, ternyata bukan. Lalu kami dekat dan menikah meski aku tahu dia sedang sakit.”

Dia menghentikan ceritanya sejenak. Kemudian menatapku lekat-lekat. Benarkah yang ia katakan? Ia bertemu denganku lebih dulu?

“Aku kembali mencarimu, aku mencari tahu melalui maskapai tempatmu bekerja. Namun mereka enggan memberi tahu dengan alasan privasi. Tak ada cara lain kecuali mencoba peruntunganku lagi untuk bertemu denganmu di pesawat.”

Aku tersenyum mendengar ceritanya. Takjub bahwa aku mampu membuat seseorang menginginkanku hingga seperti itu. Aku menyandarkan kepalaku pada pundaknya, memeluk sebelah tangannya yang terbalut kemeja hitam.

“Cecile, aku mencintaimu.”

Pada akhirnya, dua kata yang kunantikan keluar dari mulutnya. Ia mengecup keningku, mengusap rambutku dengan penuh kasih sayang. Tak ada hal yang lebih membahagiakan dari ini sepanjang hidupku. Aku juga mencintaimu, Jose.
Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D