“Tidakkah kau pikir pembicaraan orang-orang begitu membosankan?”
“Aku bahkan tak mendengar
seorangpun berbicara, Cecile.” Ujar Amelie cuek sambil sekali lagi memasukkan
sepotong pizza ke dalam mulutnya.
Aku mengembuskan napas beratku,
jenuh dengan kelebihan yang membuatku muak. Aku, Cecile Bouvier, seorang gadis
yang berasal dari sebuah tempat yang amat sangat jauh. Salah satu kepulauan di
Samudra Pasifik, yang berjarak sekitar 321,5 kilometer dari Pulau Clipperton.
Sekitar enam tahun yang lalu, aku
kehilangan keluargaku karena sebuah kecelakaan kapal, kemudian salah satu tim
sukarelawan menampungku di rumahnya, di Marseille, pesisir tenggara Perancis
dan mengangkatku sebagai seorang anak. Dan setahun kemudian ayah angkatku
berhasil membuatku menjadi seorang pramugari di usia dua puluh tahun.
“Aku mendengar mereka
membicarakanmu, Amelie.” Aku mengerang jengkel karena Amelie bahkan tak peduli
jika masyarakat menghujatnya. Skandalnya dengan aktor nomor satu Perancis, Aldrick
Roux telah menyurutkan karirnya dalam satu tahun terakhir sebagai model ternama.
“Pasti dengan kalimat yang sama, Amelie
Benoit, mengganggu rumah tangga Aldrick Roux. Sudahlah Cecile, aku benar-benar
tak peduli. Kurasa kau perlu membeli penutup telinga.”
Penutup telinga? Bahkan aku sudah
membeli penutup telinga paling mahal sedunia. Entah ini sebuah anugerah atau musibah,
sebuah kemampuan untuk mendengar pembicaraan orang, bahkan hingga dalam radius
100 kilometer. Terkadang percakapan membosankan itu justru terdengar saat
pikiranku kosong, sehingga membuatku terjebak dalam suasana hati yang buruk,
seperti siang ini.
“Terserah kau saja.” Ujarku tak
peduli. Amelie, sahabat dekatku sejak aku menginjakkan kaki di Paris. Gadis
pemuja cinta meski di tempat yang salah.
“Kapan kau akan kembali terbang,
Cecile?” Tanya Amelie mencoba menemukan topik baru. Ini adalah pertanyaan yang membuatku
jemu. Sepanjang kepulanganku dari penerbangan terakhir, setiap saat semua orang
bertanya kapan aku akan kembali. Terlebih ini adalah hari terakhir liburku
sebelum besok aku harus kembali melebarkan bibirku untuk menyambut penumpang.
“Besok pagi. Ah… nerakaku akan
dimulai.” Perkerjaanku sebagai pramugari yang telah kutekuni selama enam tahun
ini, cukup memberikan banyak pengalaman. Terlebih mengenai hal kesabaran.
“Bersemangatlah, siapa tahu kau
akan mendapatkan jodohmu di sana.” Goda Amelie. Yang benar saja. Jika memang
begitu, aku bertekad setelah menikah aku hanya ingin menjadi ibu rumah tangga
dan mengurus anak-anakku kelak.
***
Seragam berwarna kelam terlihat
kontras membalut tubuhku. Sekali lagi aku memerhatikan dandananku di depan
cermin sebelum bersiap untuk menyapa penumpang. Alice yang tengah berdiri di
sampingku sibuk memoles bibirnya dengan warna merah yang sedikt gelap. Aku
memerhatikan cermin, pikiranku kembali tertuju pada orang tua angkatku dan itu
membuatku sedikit menyesal karena tidak menemui mereka di Marseille saat
mendapatkan libur.
“Aku tidak akan pergi ke Marseille.
Jadi jangan pernah menyuruhku kesana!” Kata-kata yang mengandung Marseille tampaknya membuat telingaku
peka, bahkan aku tak melihat seorangpun di sepanjang lorong pesawat kecuali
Corine, rekan kerjaku yang telah siap menyambut kedatangan penumpang. Aku
menutup kedua telingaku, berusaha tidak mencuri dengar pembicaraan orang lain
yang entah berada di mana.
“Ada apa, Cecile? Kau baik-baik
saja?” Tanya Alice yang tampaknya memerhatikanku. Aku hanya melempar senyum pada
gadis itu, kemudian turut bergabung dengan Corine.
Sejauh ini semua tampak baik-baik
saja, sebelum seorang lelaki yang wajahnya sangat aku kenali menyapaku kembali
siang ini. Aku mendesah putus asa, namun buru-buru mengenakan topeng tersenyum
milikku untuk bersikap hormat padanya.
“Cecile, apa kau masih tidak ingin
memberikannya padaku?” Tanya lelaki itu setelah menerima air mineral yang
dipesannya.
“Silahkan menikmati perjalanan
anda.” Ujarku tanpa mengindahkan pertanyaannya. Kemudian aku melangkah untuk
memberikan pesanan lain.
Saat aku kembali lelaki itu meraih
pergelangan tanganku, “Apa kau akan membuatku menghabiskan uang untuk pesawat
hanya demi meminta nomor ponselmu?”
“Saya kira anda memiliki urusan
lain ketika anda memutuskan untuk membeli tiket pesawat.”
“Ya, urusanku ada denganmu, Cecile.
Kau pikir sudah berapa banyak uang yang kukeluarkan hanya untuk ini?”
Hanya untuk bertemu denganku dan
meminta nomor ponselku? Yang benar saja. Mana ada orang yang akan rela
melakukan hal bodoh semacam itu?
“Kesabaranku sudah hampir habis,
Cecile. Jika kau tak memberikannya, aku benar-benar akan membuat onar lagi di
sini.”
Untuk ancamannya, kupikir lelaki
ini pantas disebut gila. Dua minggu yang lalu dia telah membuktikan ancaman yang
sebelumnya pernah dilontarkannya. Namun itu tidak membuatku gentar untuk
menyerahkan nomor ponselku pada lelaki ambisius tersebut. Aku bahkan tak mampu
membayangkan seberapa kaya dan luang waktunya hanya untuk menuruti ambisinya
itu. Kurasa dalam tiga bulan terakhir aku terlalu sering melihat wajah lelaki
itu. Wajahnya yang tampan khas lelaki Spanyol.
“Silahkan menikmati perjalanan anda.”
Lagi-lagi hanya itu yang bisa kuucapkan. Lelaki ini membuatku takut dan membuat
tekadku semakin bulat untuk segera meninggalkan pekerjaan ini.
“Bagaimana dia tahu, namaku?” Aku menggerutu, menatap cermin
yang memantulkan wajah lelahku.
“Aku yang memberitahunya. Dia memaksaku untuk memberi tahu
namamu.” Ujar Veronica yang berdiri dibelakangku.
Aku mendesah putus asa. Tak beberapa lama, aku mendengar
sebuah keributan tak jauh dari tempatku berdiri. Membuatku harus segera bertindak
untuk menghentikan keributan tersebut.
“Silahkan anda kembali ke tempat duduk.” Ujar Corine
menenangkan.
“Tidak, di mana Cecile? Aku harus bicara dengannya.”
“Apa yang ingin anda bicarakan dengan saya?” Lagi-lagi lelaki
itu memang membuktikan ucapannya. Dapat kulihat mata para penumpang tengah
sibuk memerhatikan keributan yang dibuat oleh lelaki berambut pirang gelap yang
kini telah berdiri di hadapanku.
“Aku Jose. Cecile, aku benar-benar ingin mengenalmu. Tidak
bisakah kau memberiku kesempatan?”
Tak ada pilihan lain. Sebelum terjadi keributan lebih besar,
aku harus mengakhiri semuanya. Dan justru itulah awal segalanya. Awal yang
membuat hidupku berubah.
***
Aku mengaduk-aduk gelas berisi jus stroberi itu hingga
dentingan es batu yang menyentuh gelas lagi-lagi membuat Jose mendengus. Entah
dikatakan apa hubungan kami ini. Kami dekat, tapi aku tidak merasa kami sedang
berada di suatu hubungan spesial. Aku menyeruput kembali jus stroberi itu
hingga membasahi tenggorokanku yang terasa kering.
“Sampai kapan kau akan bertingkah seperti ini? Apa kau tak
akan membiarkanku menemui orang tuamu?” Tanya Jose yang tengah menyangga
kepalanya dengan jemari-jemari panjangnya.
“Untuk apa Jose? Aku bahkan tak tahu akan mengenalkanmu
sebagai apa.”
“Cecile…” Aku dapat mendengar suara Jose yang penuh penekanan
disertai amarah. “Kau tahu akan mengenalkanku sebagai apa.”
Apa yang dia harapkan? Bahkan Jose tak pernah sekalipun
mengatakan dia mencintaiku. Meski terdengar kekanakan, bagaimanapun juga aku
ingin sebuah kejelasan hubungan kami. Aku mencintainya tapi aku tak pernah tahu
bagaimana perasaannya padaku, kecuali sikapnya yang seolah menunjukkan bahwa
aku adalah orang spesial baginya. Bagiku itu tak cukup.
“Aku bahkan tak pernah mendengar bagaimana perasaanmu
padaku.” Ini sudah tujuh bulan sejak kejadian terakhir kali di pesawat tempo
hari. Dan hingga detik ini Jose membuat perasaanku terasa mengambang.
“Kau tahu. Apakah sikapku padamu selama ini masih kurang
meyakinkanmu?” Ujar Jose datar. Selalu seperti ini saat aku memancingnya untuk
mengatakan perasaannya. Aku mendesah, merasakan ada suatu lubang besar yang
menganga dalam hatiku. Lelaki itu sangat susah ditebak.
“Jose.” Suara seorang lelaki merebut
perhatian kami. Ia mengenakan setelan rapi kemudian berjalan menghampiri kami.
“Ah, Alain kemarilah.” Jose melambaikan tangannya untuk
bergabung di meja kami.
“Bagaimana kabarmu?” Tanya lelaki yang kemudian mengalihkan
pandangannya padaku. “Ya Tuhan kau mirip sekali dengan Estelle.” Ujar lelaki
itu membelalakkan matanya. Aku mengalihkan pandanganku pada Jose, namun raut
wajahnya tak berubah sedikitpun.
“Dia Cecile.” Kata Jose singkat. Tidakkah dia
memperkenalkanku sebegai orang spesial atau apa? Ini sedikit menyakiti hatiku.
Ponsel Jose berdering, membuatnya berpamitan untuk sedikit
menjauh dari meja kami.
“Apa kau memiliki hubungan dengan Estelle?” Tanya Alain yang
masih mengamati wajahku.
Aku menggeleng. “Tidak. Siapa itu jika aku boleh tahu?”
Alain mendesah, rautnya tampak sedikit kecewa. “Dia mantan
istri Jose.”
Seketika aku merasa tenggorokanku tercekat. Mantan istri? Aku bahkan tak tahu bahwa
Jose pernah menikah sebelumnya. Apakah ini yang membuat Jose mati-matian
mendekatiku? Karena aku mirip mantan istrinya?
Sesaat kemudian Jose kembali. Mata coklatnya berusaha mencari
tahu apa yang terjadi setelah menyadari mataku yang mulai berkaca-kaca.
“Aku permisi Jose, Alain. Aku masih punya urusan.” Ujarku
dengan nada setenang mungkin meski aku sadar aku tak setenang itu. Tanpa
menunggu persetujuan Jose, aku meraih tas dan segera melangkah meninggalkan
mereka.”
“Apa yang kau katakan pada Cecile?” Terdengar suara geram
Jose di telingaku. Di saat seperti ini, aku bersyukur memiliki ketajaman
pendengaran yang tak masuk akal ini.
“Dia bertanya mengenai Estelle, jadi aku mengatakan bahwa
Estelle adalah mantan istrimu.” Kata Alain jujur. “Jose,” Suara itu membuatku
berhenti untuk kembali mendengar percakapan mereka. “Pergilah ke Marseille. Ibu
bilang kau tak pernah mengunjungi Estelle.”
Deg. Marseille menjadi kata yang sensitif
terlebih ditambah dengan nama itu. Apakah Jose akan mengunjunginya? Apakah dia
akan kembali bersama mantan istrinya? Memikirkannya membuat hatiku sakit.
Sesegera mungkin aku melangkah sambil menutup kedua telingaku. Menyedihkan.
***
Dua hari ini aku mengabaikan Jose. Di saat seperti ini aku
merindukan pekerjaan lamaku sebagai pramugari. Aku sudah melepaskan seragam itu
sejak lima bulan yang lalu atas permintaan Jose. Dan lagi aku memang sudah lama
ingin berhenti dari pekerjaan itu.
Seseorang membunyikan bel rumahku, membuatku beranjak untuk
membukanya. Aku tahu pasti siapa yang datang. Aku tak pernah memiliki tamu
kecuali Amelie dan lelaki itu, Jose.
“Cecile, ada apa denganmu?” Tanya Jose begitu melihatku
berdiri di hadapannya. “Aku merindukanmu.”
Aku hanya menimpalinya dengan senyum tanpa berniat menjawab
sepatah katapun. Dan aku rasa lelaki itu telah merasakan aura gelap di
sekelilingku.
“Cecile, aku akan ke Marseille.” Ujar Jose yang seketika
membuatku terasa tercekik.
Aku tersenyum getir, menatapnya dengan pandangan hampa. “Untuk
menemui mantan istrimu? Silahkan saja.”
“Ikutlah denganku.”
“Tidak Jose. Aku tak akan mengganggu kalian.” Ucapku sinis.
Aku melangkah mundur meraih daun pintu untuk menutupnya, namun Jose
menghalangi.
“Kujemput kau besok pagi. Bersiaplah.”
***
Entah apa yang terjadi denganku. Aku mengikuti Jose begitu
saja. Aku terbang ke Marseille. Diluar dugaan, Jose justru menemui orang tua
angkatku untuk meminta izin untuk menikahiku meski tak pernah sekalipun ia
mengatakan bahwa ia mencintaiku. Kemudian ia membawaku ke sebuah makam.
Estelle, akhirnya ku ketahui bahwa wanita
itu telah tiada karena kanker otak dua tahun silam. Di satu sisi itu membuatku
lega. Namun di sisi lain hal itu membuatku takut karena Estelle akan tetap ada
membayangi kami.
Aku menatap awan putih yang bergerombol, membuat pesawat yang
kutumpangi sedikit bergetar. Aku membayangkan apa jadinya hubungan kami nanti dengan
bayang-bayang Estelle. Kemudian, tangan hangat Jose menggenggam jemariku yang
terasa dingin.
“Kau tidak mirip dengan Estelle.” Nama itu keluar dari
mulutnya, sontak membuatku mengalihkan pandangan padanya. “Estelle yang mirip
denganmu.”
Pernyataan Jose membuatku mengernyit heran. Apa maksudnya?
“Pertama kali aku melihatmu sebagai pramugari lima tahun yang
lalu, pertama kalinya aku terbang ke luar negeri. Kemudian aku jatuh cinta
padamu.” Kata Jose yang kemudian mengecup tanganku yang digenggamnya.
“Lalu?”
“Lalu aku mencoba peruntungan untuk menaiki pesawat beberapa
kali, namun aku tidak melihatmu lagi. Kemudian aku melihat Estelle. Sempat
kupikir dia adalah dirimu, ternyata bukan. Lalu kami dekat dan menikah meski
aku tahu dia sedang sakit.”
Dia menghentikan ceritanya sejenak. Kemudian menatapku
lekat-lekat. Benarkah yang ia katakan? Ia bertemu denganku lebih dulu?
“Aku kembali mencarimu, aku mencari tahu melalui maskapai
tempatmu bekerja. Namun mereka enggan memberi tahu dengan alasan privasi. Tak
ada cara lain kecuali mencoba peruntunganku lagi untuk bertemu denganmu di
pesawat.”
Aku tersenyum mendengar ceritanya. Takjub bahwa aku mampu
membuat seseorang menginginkanku hingga seperti itu. Aku menyandarkan kepalaku
pada pundaknya, memeluk sebelah tangannya yang terbalut kemeja hitam.
“Cecile, aku mencintaimu.”
Pada akhirnya, dua kata yang kunantikan keluar dari mulutnya.
Ia mengecup keningku, mengusap rambutku dengan penuh kasih sayang. Tak ada hal
yang lebih membahagiakan dari ini sepanjang hidupku. Aku juga mencintaimu, Jose.
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D