Nico
POV
Aku tahu Elena
meninggalkanku karena sebuah kesalah pahaman. Terpatri dengan jelas dalam ingatanku
bagaimana raut wajahnya ketika saat menatapku, kemudian meninggalkanku begitu
saja tanpa sepatah katapun. Entahlah, meski ia tak peduli, tapi tetap saja
sesuatu dalam diriku merasa terluka karena kepergiannya.
“Pergilah, Leoni.” Aku tahu
suaraku bahkan terdengar lebih dingin dibandingkan perpaduan kutub utara dan
selatan.
“Aku tahu kau kemari karena
kau merindukanku, bukan begitu sayang?” Gadis itu bergelayut manja pada
lenganku membuatku risih.
“Leoni, jangan menguji
kesabaranku.” Aku mengembuskan napas panjang, memijit keningku yang terasa
mulai berdenyut. Bahkan aku merasa lelah hanya dengan melihatnya dari jarak
jauh. Inilah salah satu alasan aku enggan menginjakkan kakiku di rumah ini.
“Apa-apaan kau ini? Sudah
sangat lama kita tidak bertemu, mengapa sikapmu jadi seperti ini?” Raut wajah
gadis itu tampak kesal. Namun aku sama sekali tak menghiraukannya dan pergi
meninggalkan Leoni diikuti suara pintu yang berdebam keras di belakangku. Ya,
mungkin beberapa hari mengenal Elena membuatku tertular akan kebiasaaannya
membanting pintu.
Aku melangkah ragu menuju
sebuah pintu bercat coklat tua yang ada di sudut ruangan. Tanganku telah siap
mengetuk pintu tersebut, namun keraguan kembali bergelayut dalam hatiku. Sesuatu
dalam diriku sangat berharap bahwa Elena meninggalkanku karena cemburu, bukan
yang lain.
•••
Elena POV
Aku menyentuh bibirku,
nyaris tenggelam saat berenang dalam kekalutan hatiku. Baru saja aku merasakan
perasaanku yang mulai menghangat saat bersama lelaki itu, namun Tuhan telah
memperingatkanku bahwa Nico bukanlah milikku. Dan tak akan pernah!
Aku mencoba meyakinkan bahwa
kecupan itu memang tak ada artinya untuknya, begitupun untukku. Ini bukan kali
pertama aku berciuman, dan ini sama sekali tak ada apa-apanya. Ini hanya
kesalahan karena kami sama-sama terbawa suasana.
Aku gelisah. Membenamkan
wajahku pada bantal. Ya ampun, kenapa aku ini? Aku membalikkan tubuhku, menarik
napas dan membuangnya perlahan. Tatapanku terfokus pada langit-langit yang
berwarna putih.
Aku
kesepian.
Kuraih benda pintar yang
kusebut ponsel di samping bantal, kemudian mencari kontak dengan nama kakakku,
Evan.
“Kak…”
Sahutku begitu suara kakakku terdengar di telingaku..
“Ya Len. Bagaimana kabarmu
di sana? Beberapa hari aku tak mendengar suaramu, aku begitu kesepian.”
“Aku
juga, aku ingin pulang, kak.” Aku bisa merasakan suaraku bergetar.
“Kenapa
kau menangis? Nico… apakah dia bersikap baik padamu?”
“Ya,
dia sangat baik. Aku hanya merindukanmu. Aku merindukan rumah.”
“Jika
dia menyakitimu, aku akan menghajarnya untukmu. Istirahatlah, hari sudah
malam.”
Seandainya saja Evan tahu. Nico
sudah menyakitiku, menyakiti di suatu tempat yang tak akan terlihat oleh
seorang pun. Lagi-lagi aku mendesah, untuk pertama kalinya aku benar-benar
merasa kesepian.
•••
Nico POV
“Bagaimana Nico? Apakah
tidurmu nyenyak?” Suara manja yang terdengar memuakkan menusuk sadis kedua
telingaku. Aku mengerang kesal, menyadari seorang penyihir merusak mimpi
indahku bersama Elena. Ini masih pagi—bahkan sangat pagi ketika kulihat jam
dinding masih menunjukkan pukul enam pagi.
“Mau apa kau disini sepagi
ini?”
“Aku membangunkanmu sayang.
Aku bertanya pada bibi Riana, dia bilang kau belum bangun, jadi aku kemari
untuk memberikan kecupan selamat pagi.” Reflek aku menjauh ketika gadis itu
mendekatkan wajahnya, berniat melakukan ‘sesuatu’ padaku.
“Keluar kau dari sini, Leoni,
atau aku yang akan menyeretmu keluar.” Oke,
aku tak yakin bisa lebih bersabar lebih dari ini. Setelah semalam dia merusak
suasana romantis yang susah payah kubangun untuk Elena. Dia datang tiba-tiba
dan menghancurkan segalanya.
“Sekarang kau begitu jahat
padaku. Padahal dulu kau begitu menyayangiku.” Leoni merajuk, dan aku sangat
tidak peduli. Bahkan jika ia melompat dari balkon kamar sekalipun aku tak akan
peduli kecuali ia menyeret Elena untuk terjun bersamanya.
“Keluar kau!” Aku tak punya
stok kesabaran untuk gadis ini. Sehingga aku beringsut dan menyeret lengannya
menuju pintu kamarku.
“Nico, lepaskan!” Leoni
menghentakkan tangannya hingga terlepas dari cengkeramanku. “Aku.bisa.sendiri.”
Mendengarnya, aku yakin harga dirinya terluka. Kilatan terluka terpancar dari
tatapan matanya. Dan di satu sisi aku puas. Aku mengikuti Leoni untuk
memastikannya keluar dari kamarku, jika tidak aku akan menendangnya dengan
paksa.
Mataku terbelalak melihat
seseorang berdiri di suatu sudut, ia berdiri dengan segelas air yang
digenggamnya dengan raut yang tak terbaca.
“Adik kecil…”
“Cukup.” Elena mengangkat
tangannya untuk membuatku menutup mulut sekaligus menghentikan langkahku. “Aku
bukan adikmu. Berhenti memanggilku seperti itu.” Sorot mata yang tajam dengan
suara dingin, terasa seperti sebilah belati yang menyayat dadaku.
“Elena, ini tidak seperti
yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan.”
“Untuk apa? Memangnya apa
urusanku sehingga harus mendengarkan penjelasanmu? Aku tak peduli meski kau
tidur bersamanya.” Aku yakin ucapannya tak seperti apa yang ada di hatinya.
Senyumnya bahkan tak menyentuh matanya.
“Ayo kita sarapan, sayang.
Aku sudah lapar.” Leoni melingkarkan tangannya di lenganku. Dan pandangan Elena
beralih menuju tangan kami kemudian menatap Leoni dan aku bergantian. Aku menyentakkan
tangan Leoni dan mengejar Elena yang berbalik meninggalkan kami. Aku merasa
yakin bahwa aku harus memberikan penjelasan pada gadis itu. Namun seperti
biasa, pintu kamarnya terbanting tanda ia tak ingin diganggu. Setidaknya itu
yang dikatakan Evan padaku.
Aku mencoba bersabar. Jam
sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku masih mondar mandir gelisah di
dekat kamar Elena. Gadis itu tak juga keluar dari kamarnya. Bahkan ia telah
melewatkan sarapan dan makan siangnya. Aku berusaha memutar otak, berpikir
keras bagaimana agar ia mau keluar dari kamarnya, dan sebuah ide brilian
menghampiri otak cerdasku.
Aku berlari menuju sakelar
listrik yang berada di luar rumah, kemudian aku mematikannya dan surprise! Seluruh listrik di rumah padam
diikuti teriakan melengking dari suara yang kurindukan sejak pagi. Aku terkikik
geli ditengah kegelapan, menyadari bahwa rencanaku benar-benar cerdas.
“Elena…” Aku berteriak
mengetuk kamarnya, berusaha menjadi pahlawan kesiangan dalam kegelapan untuk
gadisku. Tak butuh waktu lama pintu itu terbuka dan seseorang di baliknya
berhambur menabrak tubuhku hingga aku nyaris terjatuh. Sungguh aku ingat benar Evan
berkata bahwa adiknya takut akan kegelapan, dan untuk itu aku akan sangat
berterima kasih pada calon kakak iparku itu.
“Sudahlah, adik kecil, ada
aku di sini. Semuanya akan baik-baik saja.” Aroma gadis itu sungguh bagai
candu. Aku mengusap punggungnya untuk menenangkannya. Sejenak mungkin aku tak
akan percaya bahwa gadis yang beringas itu akan ketakutan dalam kegelapan.
“Apa yang terjadi? Tidakkah
kau memiliki lilin, lampu senter atau sejenisnya?" Suara Elena terdengar
parau seperti habis menangis. Tapi di satu sisi aku lega karena Elena mau
berbicara denganku, di sisi lain aku merasa sangat bersalah karena membuat
gadis itu ketakutan. Aku mengeratkan pelukanku sejenak, kemudian mengecup
puncak rambutnya.
"Aku akan mengecek
sakelar. Kau tunggu di sini dulu."
"Tidak. Aku ikut."
Jika saja tak ada Elena di
hadapanku, mungkin aku akan berteriak kegirangan. Tetapi aku harus tetap
menjaga wibawaku di depan gadis itu. Lihat? Dia ingin berdekatan denganku.
Seulas senyum simpul tersungging di bibirku. Aku melangkah perlahan sementara
gadis itu menarik ujung kaosku dan mengikuti di belakangku.
"Oh ternyata sakelarnya
turun. Mungkin ada konsleting di belakang."
"Apa semuanya akan
baik-baik saja?"
"Tentu saja, jika
memang ada kesalahan, mungkin nanti malam listrik akan padam lagi." Aku memerhatikan
raut wajah Elena saat menggodanya. Sungguh dalam hati aku masih memuji-muji
kepandaianku untuk berakting sehingga tampak meyakinkan.
"Baiklah, kalau begitu.
Aku akan kembali ke kamar. Terima kasih." Elena berbalik, dengan langkah
seribunya, ia segera berjalan untuk segera meninggalkanku. Lalu apakah dia pikir
aku akan melepaskannya? Tidak! Aku
sudah susah payah membuatnya keluar dan dia ingin masuk ke kamarnya begitu
saja? Tidak akan!
"Elena, tunggu."
"Ada apa?"
"Tidakkah kau ingin
mendengar penjelasanku tentang tadi pagi?"
"Tidak."
"Sedikit saja. Agar kau
tidak salah paham."
"Tidak." Elena
meneruskan langkahnya.
"Elena, kurasa aku
mencintaimu..."
"Pembohong."
"Aku tidak berbohong.
Aku bersungguh-sungguh."
"Jonathan juga
mengatakan itu padaku."
Sejenak aku terpaku
mendengar nama itu keluar dari mulutnya. Bayangan mengenai si brengsek itu
tampaknya telah mengganggu pikirannya. Dan itu juga sangat menggangguku.
"Dia tidak jauh lebih
baik dari pada aku."
"Dari mana kau bisa
menyimpulkannya, tuan sok tahu? Kau bahkan tidak tahu siapa dia."
"Karena dia tak ada
untukmu saat kau membutuhkan bantuan, karena dia mengkhianatimu dan aku tak
akan melakukan hal itu padamu."
Whoa!
Kalian
dengar betapa yakinnya aku saat mengatakan itu? Aku bahkan tak pernah seyakin
itu saat mengatakan sejenis itu pada gadis manapun sebelumnya.
“Kenapa kau diam, Elena? Apa
aku benar?”
“Ya kau benar dan kau sama
saja seperti dia. Kau bilang kau mencintaiku setelah kau tidur dengan perempuan
lain. Kalian sama saja.”
“Aku bilang kau salah
paham.”
“Untuk apa? Aku tak ada
urusannya dengan kehidupan pribadimu.”
“Lalu jika memang tak ada
urusannya, kenapa kau mengurung diri di kamar dan sama sekali tak memedulikanku
seharian ini? Kau marah padaku? Atau… kau cemburu?”
Lagi-lagi Elena terdiam.
“Aku hanya merasa tidak enak
badan.”
“Pembohong.” Aku yakin saat
melihat wajahnya tiba-tiba memerah.
“Apa?”
“Ya, kau Elena Stevany. Kau
adalah pembohong. Aku tahu kau juga mencintaiku.”
“Omong kosong apa ini, tuan
besar? Aku tak punya waktu untuk meladenimu!” Elena meneruskan perjalanannya
menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya.
“Terserah kau saja adik
kecil. Kudoakan saja listrik akan padam sebentar lagi.” Aku berteriak kesal.
Bagaimana bisa gadis itu memandang remeh pernyataan cintaku? Tidakkah dia tahu
aku tulus mengatakannya? Sial!
***
Elena POV
Aku mencintaimu.
Kalimat itu masih terngiang
jelas di telingaku. Benarkah yang dikatakan lelaki itu? Tetapi Evan berulang
kali telah memperingatkanku untuk berhati-hati pada lelaki itu. Mungkinkah yang
dimaksud Evan adalah lelaki itu seorang pemain perempuan?
Perasaan yang harusnya kubuang
jauh-jauh, ternyata telah tumbuh kembali dalam hatiku tanpa bisa kukendalikan. Lalu
apa tadi pagi itu? Benarkah aku salah paham? Entahlah, mungkin cepat atau
lambat aku akan mengetahui kebenarannya.
Tanpa kusadari aku menarik
bibirku lebar—bahkan sangat lebar sehingga kurasakan akan menyentuh telingaku.
Aku memejamkan mataku, mulai berandai-andai jika memang cinta kami nyata.
Mataku mulai terasa berat sampai akhirnya aku memejamkan mataku.
Suara berisik di luar kamar
membuat kesadaranku mulai terkumpul sedikit demi sedikit. Aku memasang telinga
lebih tajam untuk memastikan keributan apa yang ada di luar. Aku mengecek jam
di ponsel, masih pukul satu dini hari. Kuregangkan punggungku, kemudian
berjalan mendekati pintu untuk menangkap pembicaraan di luar kamar.
“Tidak bisa!” Bentak sebuah
suara yang sama sekali tidak tak kukenali. Siapa dia?
“Aku akan menjaminnya.
Berapapun yang kau minta, aku akan memberikannya.” Suara lainnya menyahuti.
Suara yg tenang, yang sangat kuyakini itu adalah suara Nico.
“Ini harus dijalankan sesuai
prosedur. Nona Elena melakukan kesalahan, ia lalai dalam berkendara dan
menyebabkan kematian.”
Tidak mungkin. Bagaimana
mereka bisa menemukanku disini? Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Hidungku
mulai terasa pedih kemudian air mata mengaburkan pandanganku.
“Tapi kau tidak bisa
menahannya begitu saja.”
“Kami membawa surat
perintah. Pihak keluarga korban melayangkan gugatan. Dan mereka tak ingin
penjamin untuk melepas jeratan hukum untuk nona Elena. Sekarang silahkan anda
panggil nona Elena.”
“Dia tak ada bersamaku.”
“Kami mendapat informasi
bahwa dia di sini. Lebih baik anda memanggilnya atau kami akan menggeledah
rumah ini.”
Tidak! Kurasakan lututku
melemas seketika, tubuh gemetar dan menggigil secara tiba-tiba. Satu-satunya
hal yang harus kulakukan dari pada berdiri mematung dan memasrahkan nasibku
pada waktu, aku memutar otak, mencari cara agar polisi tak menemukanku. Aku
buru-buru mendekati jendela. Tak ada cara lain kecuali aku harus melompat
sekarang juga. Tetapi alangkah terkejutnya aku saat melihat beberapa polisi
telah berjaga di bawah.
Nico
penipu! Bukankah
sebelumnya lelaki itu telah berjanji akan menyelamatkanku? Namun bagaimana bisa
polisi menemukanku di sini? Padahal lelaki itu telah membawaku sejauh mungkin. Gelisah,
aku mondar-mandir sambil mengacak-acak rambut panjangku yang tergerai kusut,
persis seperti hatiku.
Suara ketukan pada pintu kamar
membuatku tak berdaya. Ya Tuhan, sungguh aku ingin bumi menelanku bulat-bulat
saat ini. Jantungku seolah hendak melompat keluar ketika derap langkah sepatu
terdengar bersahut-sahutan, semakin mendekat ke arahku. Aku harus segera
bersembunyi. Dengan seketika aku berlari menuju kamar mandi. Di saat yang
bersamaan, seseorang telah membuka pintu kamarku, membuatku berdiri mematung
menatap sesosok pria berseragam yang mengarahkan pandangannya padaku.
Bersambung…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D