Jumat, 20 Mei 2016

Green Eyed - Chapter 4


Nico POV
Aku tahu Elena meninggalkanku karena sebuah kesalah pahaman. Terpatri dengan jelas dalam ingatanku bagaimana raut wajahnya ketika saat menatapku, kemudian meninggalkanku begitu saja tanpa sepatah katapun. Entahlah, meski ia tak peduli, tapi tetap saja sesuatu dalam diriku merasa terluka karena kepergiannya. 

“Pergilah, Leoni.” Aku tahu suaraku bahkan terdengar lebih dingin dibandingkan perpaduan kutub utara dan selatan.

“Aku tahu kau kemari karena kau merindukanku, bukan begitu sayang?” Gadis itu bergelayut manja pada lenganku membuatku risih.

“Leoni, jangan menguji kesabaranku.” Aku mengembuskan napas panjang, memijit keningku yang terasa mulai berdenyut. Bahkan aku merasa lelah hanya dengan melihatnya dari jarak jauh. Inilah salah satu alasan aku enggan menginjakkan kakiku di rumah ini.

“Apa-apaan kau ini? Sudah sangat lama kita tidak bertemu, mengapa sikapmu jadi seperti ini?” Raut wajah gadis itu tampak kesal. Namun aku sama sekali tak menghiraukannya dan pergi meninggalkan Leoni diikuti suara pintu yang berdebam keras di belakangku. Ya, mungkin beberapa hari mengenal Elena membuatku tertular akan kebiasaaannya membanting pintu.

Aku melangkah ragu menuju sebuah pintu bercat coklat tua yang ada di sudut ruangan. Tanganku telah siap mengetuk pintu tersebut, namun keraguan kembali bergelayut dalam hatiku. Sesuatu dalam diriku sangat berharap bahwa Elena meninggalkanku karena cemburu, bukan yang lain.
•••

Elena POV
Aku menyentuh bibirku, nyaris tenggelam saat berenang dalam kekalutan hatiku. Baru saja aku merasakan perasaanku yang mulai menghangat saat bersama lelaki itu, namun Tuhan telah memperingatkanku bahwa Nico bukanlah milikku. Dan tak akan pernah!

Aku mencoba meyakinkan bahwa kecupan itu memang tak ada artinya untuknya, begitupun untukku. Ini bukan kali pertama aku berciuman, dan ini sama sekali tak ada apa-apanya. Ini hanya kesalahan karena kami sama-sama terbawa suasana.

Aku gelisah. Membenamkan wajahku pada bantal. Ya ampun, kenapa aku ini? Aku membalikkan tubuhku, menarik napas dan membuangnya perlahan. Tatapanku terfokus pada langit-langit yang berwarna putih.

Aku kesepian.

Kuraih benda pintar yang kusebut ponsel di samping bantal, kemudian mencari kontak dengan nama kakakku, Evan.

“Kak…” Sahutku begitu suara kakakku terdengar di telingaku..

“Ya Len. Bagaimana kabarmu di sana? Beberapa hari aku tak mendengar suaramu, aku begitu kesepian.”

“Aku juga, aku ingin pulang, kak.” Aku bisa merasakan suaraku bergetar.

“Kenapa kau menangis? Nico… apakah dia bersikap baik padamu?”

“Ya, dia sangat baik. Aku hanya merindukanmu. Aku merindukan rumah.”

“Jika dia menyakitimu, aku akan menghajarnya untukmu. Istirahatlah, hari sudah malam.”

Seandainya saja Evan tahu. Nico sudah menyakitiku, menyakiti di suatu tempat yang tak akan terlihat oleh seorang pun. Lagi-lagi aku mendesah, untuk pertama kalinya aku benar-benar merasa kesepian.
•••

Nico POV
“Bagaimana Nico? Apakah tidurmu nyenyak?” Suara manja yang terdengar memuakkan menusuk sadis kedua telingaku. Aku mengerang kesal, menyadari seorang penyihir merusak mimpi indahku bersama Elena. Ini masih pagi—bahkan sangat pagi ketika kulihat jam dinding masih menunjukkan pukul enam pagi.

“Mau apa kau disini sepagi ini?”

“Aku membangunkanmu sayang. Aku bertanya pada bibi Riana, dia bilang kau belum bangun, jadi aku kemari untuk memberikan kecupan selamat pagi.” Reflek aku menjauh ketika gadis itu mendekatkan wajahnya, berniat melakukan ‘sesuatu’ padaku.

“Keluar kau dari sini, Leoni, atau aku yang akan menyeretmu keluar.” Oke, aku tak yakin bisa lebih bersabar lebih dari ini. Setelah semalam dia merusak suasana romantis yang susah payah kubangun untuk Elena. Dia datang tiba-tiba dan menghancurkan segalanya.

“Sekarang kau begitu jahat padaku. Padahal dulu kau begitu menyayangiku.” Leoni merajuk, dan aku sangat tidak peduli. Bahkan jika ia melompat dari balkon kamar sekalipun aku tak akan peduli kecuali ia menyeret Elena untuk terjun bersamanya.

“Keluar kau!” Aku tak punya stok kesabaran untuk gadis ini. Sehingga aku beringsut dan menyeret lengannya menuju pintu kamarku.

“Nico, lepaskan!” Leoni menghentakkan tangannya hingga terlepas dari cengkeramanku. “Aku.bisa.sendiri.” Mendengarnya, aku yakin harga dirinya terluka. Kilatan terluka terpancar dari tatapan matanya. Dan di satu sisi aku puas. Aku mengikuti Leoni untuk memastikannya keluar dari kamarku, jika tidak aku akan menendangnya dengan paksa.

Mataku terbelalak melihat seseorang berdiri di suatu sudut, ia berdiri dengan segelas air yang digenggamnya dengan raut yang tak terbaca.

“Adik kecil…”

“Cukup.” Elena mengangkat tangannya untuk membuatku menutup mulut sekaligus menghentikan langkahku. “Aku bukan adikmu. Berhenti memanggilku seperti itu.” Sorot mata yang tajam dengan suara dingin, terasa seperti sebilah belati yang menyayat dadaku.

“Elena, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku bisa jelaskan.”

“Untuk apa? Memangnya apa urusanku sehingga harus mendengarkan penjelasanmu? Aku tak peduli meski kau tidur bersamanya.” Aku yakin ucapannya tak seperti apa yang ada di hatinya. Senyumnya bahkan tak menyentuh matanya.

“Ayo kita sarapan, sayang. Aku sudah lapar.” Leoni melingkarkan tangannya di lenganku. Dan pandangan Elena beralih menuju tangan kami kemudian menatap Leoni dan aku bergantian. Aku menyentakkan tangan Leoni dan mengejar Elena yang berbalik meninggalkan kami. Aku merasa yakin bahwa aku harus memberikan penjelasan pada gadis itu. Namun seperti biasa, pintu kamarnya terbanting tanda ia tak ingin diganggu. Setidaknya itu yang dikatakan Evan padaku.

Aku mencoba bersabar. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Aku masih mondar mandir gelisah di dekat kamar Elena. Gadis itu tak juga keluar dari kamarnya. Bahkan ia telah melewatkan sarapan dan makan siangnya. Aku berusaha memutar otak, berpikir keras bagaimana agar ia mau keluar dari kamarnya, dan sebuah ide brilian menghampiri otak cerdasku.

Aku berlari menuju sakelar listrik yang berada di luar rumah, kemudian aku mematikannya dan surprise! Seluruh listrik di rumah padam diikuti teriakan melengking dari suara yang kurindukan sejak pagi. Aku terkikik geli ditengah kegelapan, menyadari bahwa rencanaku benar-benar cerdas.

“Elena…” Aku berteriak mengetuk kamarnya, berusaha menjadi pahlawan kesiangan dalam kegelapan untuk gadisku. Tak butuh waktu lama pintu itu terbuka dan seseorang di baliknya berhambur menabrak tubuhku hingga aku nyaris terjatuh. Sungguh aku ingat benar Evan berkata bahwa adiknya takut akan kegelapan, dan untuk itu aku akan sangat berterima kasih pada calon kakak iparku itu.

“Sudahlah, adik kecil, ada aku di sini. Semuanya akan baik-baik saja.” Aroma gadis itu sungguh bagai candu. Aku mengusap punggungnya untuk menenangkannya. Sejenak mungkin aku tak akan percaya bahwa gadis yang beringas itu akan ketakutan dalam kegelapan.

“Apa yang terjadi? Tidakkah kau memiliki lilin, lampu senter atau sejenisnya?" Suara Elena terdengar parau seperti habis menangis. Tapi di satu sisi aku lega karena Elena mau berbicara denganku, di sisi lain aku merasa sangat bersalah karena membuat gadis itu ketakutan. Aku mengeratkan pelukanku sejenak, kemudian mengecup puncak rambutnya.

"Aku akan mengecek sakelar. Kau tunggu di sini dulu."

"Tidak. Aku ikut."

Jika saja tak ada Elena di hadapanku, mungkin aku akan berteriak kegirangan. Tetapi aku harus tetap menjaga wibawaku di depan gadis itu. Lihat? Dia ingin berdekatan denganku. Seulas senyum simpul tersungging di bibirku. Aku melangkah perlahan sementara gadis itu menarik ujung kaosku dan mengikuti di belakangku.

"Oh ternyata sakelarnya turun. Mungkin ada konsleting di belakang."

"Apa semuanya akan baik-baik saja?"

"Tentu saja, jika memang ada kesalahan, mungkin nanti malam listrik akan padam lagi." Aku memerhatikan raut wajah Elena saat menggodanya. Sungguh dalam hati aku masih memuji-muji kepandaianku untuk berakting sehingga tampak meyakinkan.

"Baiklah, kalau begitu. Aku akan kembali ke kamar. Terima kasih." Elena berbalik, dengan langkah seribunya, ia segera berjalan untuk segera meninggalkanku. Lalu apakah dia pikir aku akan melepaskannya? Tidak! Aku sudah susah payah membuatnya keluar dan dia ingin masuk ke kamarnya begitu saja? Tidak akan!

"Elena, tunggu."

"Ada apa?"

"Tidakkah kau ingin mendengar penjelasanku tentang tadi pagi?"

"Tidak."

"Sedikit saja. Agar kau tidak salah paham."

"Tidak." Elena meneruskan langkahnya.

"Elena, kurasa aku mencintaimu..."

"Pembohong."

"Aku tidak berbohong. Aku bersungguh-sungguh."

"Jonathan juga mengatakan itu padaku."

Sejenak aku terpaku mendengar nama itu keluar dari mulutnya. Bayangan mengenai si brengsek itu tampaknya telah mengganggu pikirannya.  Dan itu juga sangat menggangguku.

"Dia tidak jauh lebih baik dari pada aku."

"Dari mana kau bisa menyimpulkannya, tuan sok tahu? Kau bahkan tidak tahu siapa dia."

"Karena dia tak ada untukmu saat kau membutuhkan bantuan, karena dia mengkhianatimu dan aku tak akan melakukan hal itu padamu."

Whoa! Kalian dengar betapa yakinnya aku saat mengatakan itu? Aku bahkan tak pernah seyakin itu saat mengatakan sejenis itu pada gadis manapun sebelumnya.

“Kenapa kau diam, Elena? Apa aku benar?”

“Ya kau benar dan kau sama saja seperti dia. Kau bilang kau mencintaiku setelah kau tidur dengan perempuan lain. Kalian sama saja.”

“Aku bilang kau salah paham.”

“Untuk apa? Aku tak ada urusannya dengan kehidupan pribadimu.”

“Lalu jika memang tak ada urusannya, kenapa kau mengurung diri di kamar dan sama sekali tak memedulikanku seharian ini? Kau marah padaku? Atau… kau cemburu?”

Lagi-lagi Elena terdiam.

“Aku hanya merasa tidak enak badan.”

“Pembohong.” Aku yakin saat melihat wajahnya tiba-tiba memerah.

“Apa?”

“Ya, kau Elena Stevany. Kau adalah pembohong. Aku tahu kau juga mencintaiku.”

“Omong kosong apa ini, tuan besar? Aku tak punya waktu untuk meladenimu!” Elena meneruskan perjalanannya menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya.

“Terserah kau saja adik kecil. Kudoakan saja listrik akan padam sebentar lagi.” Aku berteriak kesal. Bagaimana bisa gadis itu memandang remeh pernyataan cintaku? Tidakkah dia tahu aku tulus mengatakannya? Sial!
***
Elena POV
Aku mencintaimu.

Kalimat itu masih terngiang jelas di telingaku. Benarkah yang dikatakan lelaki itu? Tetapi Evan berulang kali telah memperingatkanku untuk berhati-hati pada lelaki itu. Mungkinkah yang dimaksud Evan adalah lelaki itu seorang pemain perempuan?

Perasaan yang harusnya kubuang jauh-jauh, ternyata telah tumbuh kembali dalam hatiku tanpa bisa kukendalikan. Lalu apa tadi pagi itu? Benarkah aku salah paham? Entahlah, mungkin cepat atau lambat aku akan mengetahui kebenarannya.

Tanpa kusadari aku menarik bibirku lebar—bahkan sangat lebar sehingga kurasakan akan menyentuh telingaku. Aku memejamkan mataku, mulai berandai-andai jika memang cinta kami nyata. Mataku mulai terasa berat sampai akhirnya aku memejamkan mataku.

Suara berisik di luar kamar membuat kesadaranku mulai terkumpul sedikit demi sedikit. Aku memasang telinga lebih tajam untuk memastikan keributan apa yang ada di luar. Aku mengecek jam di ponsel, masih pukul satu dini hari. Kuregangkan punggungku, kemudian berjalan mendekati pintu untuk menangkap pembicaraan di luar kamar.

“Tidak bisa!” Bentak sebuah suara yang sama sekali tidak tak kukenali. Siapa dia?

“Aku akan menjaminnya. Berapapun yang kau minta, aku akan memberikannya.” Suara lainnya menyahuti. Suara yg tenang, yang sangat kuyakini itu adalah suara Nico.

“Ini harus dijalankan sesuai prosedur. Nona Elena melakukan kesalahan, ia lalai dalam berkendara dan menyebabkan kematian.”

Tidak mungkin. Bagaimana mereka bisa menemukanku disini? Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Hidungku mulai terasa pedih kemudian air mata mengaburkan pandanganku.

“Tapi kau tidak bisa menahannya begitu saja.”

“Kami membawa surat perintah. Pihak keluarga korban melayangkan gugatan. Dan mereka tak ingin penjamin untuk melepas jeratan hukum untuk nona Elena. Sekarang silahkan anda panggil nona Elena.”

“Dia tak ada bersamaku.”

“Kami mendapat informasi bahwa dia di sini. Lebih baik anda memanggilnya atau kami akan menggeledah rumah ini.”

Tidak! Kurasakan lututku melemas seketika, tubuh gemetar dan menggigil secara tiba-tiba. Satu-satunya hal yang harus kulakukan dari pada berdiri mematung dan memasrahkan nasibku pada waktu, aku memutar otak, mencari cara agar polisi tak menemukanku. Aku buru-buru mendekati jendela. Tak ada cara lain kecuali aku harus melompat sekarang juga. Tetapi alangkah terkejutnya aku saat melihat beberapa polisi telah berjaga di bawah.

Nico penipu! Bukankah sebelumnya lelaki itu telah berjanji akan menyelamatkanku? Namun bagaimana bisa polisi menemukanku di sini? Padahal lelaki itu telah membawaku sejauh mungkin. Gelisah, aku mondar-mandir sambil mengacak-acak rambut panjangku yang tergerai kusut, persis seperti hatiku.

Suara ketukan pada pintu kamar membuatku tak berdaya. Ya Tuhan, sungguh aku ingin bumi menelanku bulat-bulat saat ini. Jantungku seolah hendak melompat keluar ketika derap langkah sepatu terdengar bersahut-sahutan, semakin mendekat ke arahku. Aku harus segera bersembunyi. Dengan seketika aku berlari menuju kamar mandi. Di saat yang bersamaan, seseorang telah membuka pintu kamarku, membuatku berdiri mematung menatap sesosok pria berseragam yang mengarahkan pandangannya padaku.

“Nona Elena, anda harus ikut kami ke kantor polisi.”


Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D