Jumat, 27 Mei 2016

Green Eyed - Chapter 5


Elena POV
“Lepaskan aku! Lepaaaaas!!!” Aku meronta sekuat mungkin. Sialnya dua orang berlengan kekar yang tidak keren sama sekali itu tampak enggan mengendurkan cengkeramannya sedikitpun. “Kalian tidak akan membawaku kemana-mana!” Aku melompat-lompat, bergerak dengan kasar untuk melepaskan diri. Mataku beredar mencari pertolongan, hingga kutemukan sesosok lelaki yang kucari-cari tengah duduk bersantai di depan televisi.

“Nick, tolong aku!” Aku berteriak sekencang yang kumampu hingga tenggorokanku terasa serak. Tetapi lelaki itu bergeming, perlahan menoleh diiringi senyuman licik penuh arti yang tersungging di bibirnya.

“Sialan kau Nick, kau menjebakku! Kau pembohong!” Teriakku meledak-ledak. Sungguh tak seharusnya aku percaya pada siapapun. Bahkan kini pun aku mulai tak percaya pada diriku sendiri. Dan kalian lihat akibatnya aku mempercayai diriku untuk mempercayakan keselamatanku padanya?

“Lihat saja Nick, aku mengutukmu! Aku bersumpah kau akan menikahi macan betina yang galak dan akan mencabik-cabik wajahmu!” Sumpah serapah keluar dari mulutku tanpa aku bisa menghentikannya. Ini terlalu menyakitkan, terlebih saat melihat lelaki yang kau cintai mengkhianatimu dan menertawakanmu saat polisi menggiringmu keluar.

Air mataku lolos tepat saat tawa itu keluar dari mulutnya. Tawanya menggelegar memenuhi seisi ruangan. Aku bersumpah lelaki itu tertawa seperti iblis hingga membuatku bergidik ngeri. Tawa itu masih terdengar jelas, meraung-raung dalam gendang telingaku. Kemudian tawa itu seolah menyelimuti seluruh tubuhku hingga aku merasa kesulitan untuk bernapas. Dadaku terasa sesak, pandanganku kabur, lalu beberapa saat kemudian semuanya terasa gelap dan sunyi.

Aku pasti sudah mati.

Aku membelalakkan mataku saat oksigen terasa memenuhi rongga dadaku. Hidungku terasa begitu sakit. Tetapi tawa itu kembali menusuk telingaku.

“Selamat siang, adik kecil.” Sapa seseorang yang tengah duduk bersila di atas ranjang. Sinar matahari yang menembus jendela kaca di belakangnya, tampak membuat lelaki itu seperti seorang malaikat yang bersinar—ralat, iblis yang bersinar. Dan iblis itu telah nyaris membunuhku dengan tangan hangatnya yang memencet hidungku.

“Apa yang kau lakukan di kamarku?”

“Membangunkanmu. Kau berharap apa lagi? Ini sudah nyaris jam dua belas siang lalu kau berteriak menyumpahiku menikah dengan macan betina. Oh ya ampun, aku sungguh takut.” Ujar lelaki itu dengan suara yang dibuat-buat.

“Bangun pemalas!” Lelaki itu berkata sebelum aku mampu mencerna apa yang dikatakannya tadi. Kemudian ia menarik kedua kakiku hingga menyentuh lantai kayu di bawah ranjang. “Setengah jam lagi aku menunggumu di bawah untuk makan siang.”

“Baik, tuan besar.” Nada kesal yang sengaja kutegaskan, kuharap akan menyentil telinganya. Namun ternyata lelaki itu hanya menyunggingkan senyumnya yang begitu manis yang mungkin akan membuat gula darahku melonjak jika aku terus memerhatikannya.
***
Nico POV
Entah apa yang ada dalam mimpinya. Bibi Riana mengatakan bahwa gadis itu mengigau. Lalu ketika aku memasuki kamarnya, ia berteriak-teriak menyumpahiku untuk menikah dengan macan betina. Mungkinkah macan betina itu dia? Mengingat sifatnya yang galak itu membuatku tersenyum geli penuh harap. Aku meneguk segelas jus jeruk yang baru saja dibuatkan oleh bibi Riana. Sebelah tanganku masih memainkan sebuah gelang yang terbuat dari untaian rantai perak dengan bandul cantik yang di dalamnya terdapat permata hijau yang tergantung di sepanjang rantainya.

Beberapa jam yang lalu aku pergi ke pasar seni yang tak jauh dari rumah. Aku berniat mendatangi stan lukisan milik teman lamaku, dan aku melihat sebuah stan yang menjual berbagai perhiasan. Aku teringat pada Elena dan membeli satu untuknya.

“Panas sekali di sini.” Suara itu terdengar merdu di telingaku. Gadis itu mengenakan sebuah terusan berwarna hijau muda dengan motif bunga di bagian bawahnya. Kemudian ia duduk di sampingku.

“Aku lapar.” Bibirnya mengerucut saat mengatakan itu. Aku masih menyangga daguku dengan sebelah tangan, masih menatap lekat-lekat wajah gadis itu. Tiba-tiba gadis itu mendekatkan wajahnya ke wajahku—sangat dekat hingga aku merasakan jantungku berdetak sangat kencang. Lalu ia menjauh dan terkiki geli. Ya, aku digoda oleh seorang gadis!

Aku berdecak kesal saat gadis itu menatapku dengan seringaian jahil di wajah cantiknya. Kupikir dia akan menciumku!

 “Mana mungkin aku menciummu.” Kata gadis itu tiba-tiba. Lihat, bukankah ia mirip cenayang yang bisa mendengar suara hati? Benar-benar gadis yang menarik dan multitalenta. Aku menggenggam pergelangan tangannya saat ia hendak meletakkan gelas jus jeruk milikku yang sempat ia teguk barusan. Ia menaikkan sebelah alisnya.

“Kenapa kau tidak mau? Apa harus aku yang mulai duluan?” Aku balas menggodanya dan semburat kemerahan mulai menjalar di wajahnya. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Aku tahu pasti dia salah tingkah. Jika tidak, aku yakin gadis itu akan menyemburkan sumpah serapahnya seperti yang biasa dia lakukan padaku.

“Aku punya sesuatu untukmu.” Aku menarik tangan kirinya, kemudian melingkarkan gelang itu pada pergelangan tangannya. Tampak cantik dan serasi dengan pakaiannya hari ini. Aku melihat matanya membesar kemudian dilanjutkan dengan senyumannya yang melebar.

“Cantik sekali. Ini gratis untukku?”

“Sayangnya tidak,” Senyumnya memudar digantikan alisnya yang hampir menyatu di atas matanya. “Suatu hari nanti aku akan meminta bayarannya padamu.”
***
Elena POV
Aku masih terus memandangi gelang yang diberikan Nick padaku. Sangat cantik. Entah apa yang terjadi pada akhirnya kami menjadi semakin dekat, terlebih setelah pernyataan cintanya beberapa hari yang lalu. Aku menghirup udara pagi yang masih sejuk, dan berjalan-jalan di sekitar kebun teh yang daunnya masih basah karena embun. Nick masih tidur dan aku hanya meninggalkan pesan pada bibi Riana jika Nick mencariku.

Aku merasa seseorang menepuk pundakku saat aku hendak melewati sebuah jembatan yang sangat kecil  di dekat kebun. Sial, gadis itu!

“Halo, bukankah kau teman Nico? Aku Leoni.” Ujar gadis itu yang kemudian menyodorkan tangannya untuk bersalaman. Suaranya yang dibuat-buat membuatku ingin mencekiknya sekarang juga. Aku muak dengan gadis ini!

“Elena.” Jawabku singkat, menjabat tangannya agar harga dirinya tak terluka. Aku mengerutkan kening ketika gadis itu masih tak melepaskan jabatan tanganku dan spontan aku melirik tangannya.

Wah, gelang yang sama dengan yang diberikan Nico untukku. Bagaimanapun juga aku tak suka seseorang memiliki barang yang sama denganku, terlebih gadis di hadapanku ini.

“Oh, lihat,” Ia menarik tangan kiriku yang berusaha kusembunyikan. “Nico yang memberikannya untukmu? Lihat punya kita sama.” Ujar gadis itu girang. Aku memutar bola mataku, ingin segera terlepas dari jeratan ular berbisa yang menyebalkan ini.

“Begitulah.” Aku terang-terangan menunjukkan ketidak sukaanku pada Leoni, tapi tampaknya gadis itu sama sekali tidak peka. Jika aku jadi dia, aku akan segera pergi saat lawan bicaraku terlihat keberatan.

“Sungguh? Pantas saja kemarin dia membeli dua. Ternyata satunya diberikan padamu.”

Ada banyak alasan mengapa aku membenci gadis itu. Pertama, suara manjanya terlalu dibuat-buat dan itu membuatku ingin muntah. Kedua, dia sama sekali tidak peka. Ketiga, dia agresif, terlebih pada Nick dan itu poin yang paling membuatku benci pada gadis itu. Aku mengembuskan nafas melalui mulutku, sebuah asap tipis keluar melalui mulutku. Pagi ini dingin, namun hatiku sudah terasa sangat panas.

“Oh ya? Nick membelinya bersamamu kemarin?” Kali ini aku mengikuti nada suaranya. Terlihat riang meski hanya dibuat-buat.

“Tentu saja, dia mengajakku ke pasar seni.”

“Lihat, betapa romantisnya Nick. Bahkan saat pergi denganmu, dia masih mengingatku, Leoni.” Dalam hari aku tertawa saat melihat ekspresi Leoni yang mulai berubah.

“Yah, mungkin dia hanya sungkan padamu karena dia tidak mengajakmu pergi.”

“Dia sudah mengajakku, tapi aku yang tidak mau karena aku masih mengantuk. Begitu dia sampai di rumah, dia membangunkanku dengan kecupan yang lembut, kemudian dia memakaikan gelang ini di tanganku.” Sungguh aku ingin tertawa saat kalimat itu keluar dari mulutku. Membangunkan dengan kecupan kubilang? Jika saja Leoni tahu bahwa saat itu Nico hampir membunuhku. Wajah gadis itu mulai memerah. Tampaknya emosinya telah mulai naik ke kepalanya, namun ia tetap berusaha tenang.

“Memang begitulah Nico. Dia lelaki yang lembut. Mungkin aku sedikit beruntung bertemu dia lebih dulu. Dan aku yakin dalam hati Nico masih ada aku.”

“Percaya diri sekali kau.”

“Tentu saja, kami nyaris menikah jika saja anak kami tidak gugur.”

Seseorang, tolong tampar aku. Apa yang baru saja kudengar? Anak? Membayangkan Nico berdekatan dengan seorang gadis saja aku tak mampu, dan sekarang gadis sialan itu bilang ‘anak’? Aku dapat merasakan tengkukku merinding. Kali ini gadis itu membuat kemarahanku merangkak menuju puncak.

“Selain romantis, pengertian, perhatian, Nico juga lelaki yang hebat di ranjang.”

Cukup! Hentikan, sialan!

“Yah, aku tahu. Dan anak ini,” Aku menyentuh perutku yang sedikit membuncit karena terlalu banyak makan. “aku pastikan akan menjaganya dengan baik dan kami akan membangun hidup yang bahagia.”

“Ya, kecuali aku mampu merebut Nico darimu dan membuatmu menjadi orang tua tunggal.”

Leoni sudah melebihi batasnya dan aku tak akan lagi memberikan toleransi pada wanita ini, aku mendekatinya kemudian dengan kasar menarik rambutnya yang tergerai panjang. Aku yang sedikit lebih tinggi darinya merasa beruntung karena aku mampu mengintimidasi gadis itu. Aku menarik rambutnya hingga gadis itu mendongak sambil merintih. Aku mendekatkan bibirku di telinganya.

“Kau, jika kau masih ingin selamat, jauhi Nico atau aku tak akan segan-segan menyiksamu jauh daripada ini.” Gertakku dengan gigi yang masih terkatup.

Mungkin mengintimidasi lawan sudah jadi bakatku sejak di sekolah menengah. Bahkan seniorku saat kuliah pun enggan mencari masalah denganku atau mereka akan merasakan akibatnya. Tapi itu dulu, menjelang skripsi aku sudah bertobat. Aku takut musuh-musuhku akan mengutukku dan membuatku jadi mahasiswa abadi di kampusku.

“Elena, lepaskan. Sakit.” Leoni sedikit meronta saat aku menjambaknya semakin kuat. Aku menyeringai, menikmati rasa sakit gadis itu.

“Kau pikir aku akan mudah melepaskanmu? Lihat saja nanti. Aku akan membunuhmu jika kau masih mendekati Nico.” Ancamku yang kemudian melepaskan tanganku saat seseorang memanggil namaku.
***
Nico POV
“Elena.”

Aku melihat gadis itu tampak berbeda. Kilatan kemarahan terlihat jelas di matanya.

“Nick, tolong aku.” Leoni yang menangis berlari ke arahku kemudian memelukku. Aku tak membalasnya karena bagiku aku tak punya alasan untuk memeluk orang lain kecuali Elena.

“Le-o-ni.” Suara dingin Elena mengalahkan suhu pagi ini di kebun teh. Di satu sisi aku kasihan melihat Leoni, di sisi lain, aku senang karena Elena tampaknya telah memberi pelajaran pada gadis manja itu.

“Elena sudahlah.” Aku mencoba menjauhkan Leoni dariku dan berjalan mendekati Elena. Namun entah mengapa tatapannya padaku terasa tajam. Aku mengernyit bingung. Aku yakin Leoni telah mengatakan sesuatu padanya.

“Aku ingin kembali pada Evan.” Ujar Elena saat aku berdiri di hadapannya. Aku mengikuti arah pandang Elena yang masih menerawang jauh di belakangku. Leoni, gadis itu berlari meninggalkan kami. Tiba-tiba Elena melingkarkan kedua tangannya di pinggangku, ia menyandarkan kepalanya di dadaku. Hening. Namun aku merasakan pundak gadis itu bergetar. Ia menangis. Aku sepertinya telah melewatkan bagian penting mereka berdua.

“Kau kenapa, Elena?”

“Aku ingin pulang. Se-ka-rang!”

“Tapi polisi…”

“Aku tak peduli.” Elena menyela. “Di sini sudah seperti penjara bagiku, terlebih dengan adanya Leoni, membuatku semakin muak.”

“Kau cemburu?”

“Aku ingin pulang!” 

Elena mengusap air matanya dengan kasar. Sejenis air mata yang tumpah karena kemarahan. Gadis itu menghentakkan kakinya kemudian pergi meninggalkanku.

“Apa yang dikatakan Leoni?” Aku menyejajarkan langkahku dengan Elena.

“Semuanya.”

“Seperti apa, misalnya?” Elena tak menjawab pertanyaanku. Ia melirikku sejenak, menatap ke dalam mataku kemudian berlari ke dalam rumah. Firasatku mulai memburuk, entah apa yang dikatakan Leoni hingga Elena semarah ini.

Brak.

Pintu kamarnya sudah terbanting dan itu tandanya setan kemarahan sudah merasukinya. Kali ini aku harus meminta penjelasan padanya atau semuanya akan semakin kusut mengingat sifat Leoni yang akan menggunakan cara apapun untuk menapatkanku.

“Elena, aku masuk.” Aku membuka pintunya, tak peduli ia akan melempar pisau padaku. Bantal, guling dan selimut tidak lagi ada di tempatnya. Gadis itu sedang murka.

“Jelaskan padaku.” Aku tak ingin bantahan, aku harus tahu situasi apa yang kuhadapi.

“Apa lagi? Kau lebih tahu dengan kisahmu.”

“Elena.” Aku masih mencoba menelan emosiku. Jika ini bukan Elena, aku pasti sudah meledak-ledak karena ia merajuk dengan cara yang menjengkelkan seperti ini.

“Ini gara-gara kau.”

“Aku?”

“Ya, kau pergi mengajak Leoni keluar dan membelikanku gelang yang sama dengannya.” Oh, bagus. Kemampuan berakting Leoni sama sekali tak surut meski aku sudah lama aku tak bertemu dengannya.

“Aku pergi sendiri, dan aku hanya membelikan satu untukmu.”

“Pembohong.”

Aku mendesah kesal, kenapa gadis ini benar-benar keras kepala dan lebih memercayai Leoni.

“Aku bersumpah Elena, kau bisa temui temanku dan bertanya padanya.”

“Kau masih menyukai Leoni?”

Ya ampun, apa lagi ini?

“Tidak. Aku hanya mencintaimu, Elena.”

“Leoni, dia mantan pacarmu? Kalian hampir menikah?”

“Apa aku sedang diinterogasi sekarang?” Ya Tuhan, aku sudah nyaris putus asa sekarang dan Elena masih menanyaiku dengan hal-hal yang tidak-tidak. Elena menyatukan alisnya, simbol bahwa ia harus mendapat jawaban. Aku mengembuskan napas putus asa.

“Ya.”

“Antar aku pulang sekarang.” Gadis itu kembali merajuk. Aku membenamkan wajahku pada kedua telapak tanganku, kemudian menggaruk rambutku yang sama sekali tidak terasa gatal.

“Elena, aku memang akan menikahinya, tapi itu tidak terjadi.”

“Tentu saja, karena anak kalian gugur? Karena itu kalian batal menikah?”

“Lelucon macam apa ini?” Kesabaranku mulai tak terkendali. “Kau lebih memercayainya dari pada aku? Gadis pembual itu menurutmu lebih berkata jujur dari pada aku? Kau keterlaluan, Elena.” Suaraku nyaris berteriak, membuat gadis dihadapanku terkesiap. Aku memejamkan mataku sejeak, mengatupkan bibirku erat-erat, meredam emosi yang mulai membuat kepalaku berdenyut.

“Elena, itukah yang membuatmu mengatakan padanya bahwa kau hamil anaku?” Aku ingin marah dan tertawa pada saat yang bersamaan ketika teringat Elena menyentuh perutnya dan mengatakan bahwa kami akan hidup bahagia. Anak? Bahkan untuk menciumku saja Elena enggan.

Elena mengangguk lemah, tak berani menatap mataku. Ada kalanya gadis ini tampak menggemaskan, terlebih saat ia sedang… cemburu. Aku mendekatinya, satu tanganku menaikkan dagunya, sedangkan tangan yang lain menggenggam jemarinya.

“Aku tak pernah menyentu Leoni sejauh apa yang kau pikirkan di kepalamu itu, Leoni hanya masa laluku. Dan sekarang, aku mencintaimu. Percayalah.”


Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D