MUNGKIN, ada baiknya Kalila pergi memeriksakan dirinya ke
dokter. Akhir-akhir ini, ia memang merasa kurang sehat. Seolah ada beban yang
menekan tengkuknya kuat-kuat. Hingga membuatnya kehilangan selera makan. Bahkan
ia kesulitan berkonsentrasi di ruangan kuliah yang nyaman. Sekujur tubuhnya
berkeringat dingin walaupun suhu di sekitarnya disejukkan pendingin ruangan.
Kalila merasakan sentuhan ringan di bahunya. Astaga, apa ia tertidur di kelas? Pikiran
itu membuatnya panik dan langsung mengangkat kepalanya. Akibatnya, kepalanya
malah pening luar biasa.
Tetapi apa yang dilihatnya, bukanlah wajah dosen killer
yang bersiap menegurnya. Melainkan wajah Elliot yang tengah menunduk
memerhatikannya. Kalila bisa melihat suasana kelas yang sudah lengang di balik
punggung lelaki itu. Hanya tersisa mereka berdua di kelas.
Kalila mengerang dalam hati. Keningnya mengernyit tajam,
membuatnya tampak menakutkan. Sejak kapan kuliah berakhir tanpa
sepengetahuannya?
“Kal, kau mau makan siang denganku hari ini?” tanya
Elliot dengan hati-hati. Entah mengapa lelaki itu terlihat takut. Seolah Kalila
adalah bom yang bisa meledak sewaktu-waktu. “Ada yang ingin kubicarakan.”
Mendengar ajakan makan siang itu, sontak membuat perut
Kalila membisikkan raungan kecil. Ia menyentuh perutnya sambil melirik jam
tangan ungu yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir pukul sebelas
siang. Dan ia langsung teringat mango smootie dari Rainbow Cafe kemarin siang
adalah kudapan terakhir yang mengisi perutnya.
Ah, pantas saja Kalila merasa seburuk ini. Ia tidak ingin
jatuh sakit yang akan mengganggu kuliahnya. Secepatnya ia harus menjejalkan
makanan apa pun ke dalam perutnya yang kosong. Tetapi tentu saja tidak bersama
Elliot.
“Maaf, Elliot. Tapi... aku sudah ada janji siang ini,” elak
Kalila cepat karena menyembunyikan kebohongan. Tangannya juga tidak kalah cepat
membereskan alat tulisnya dari atas meja. Kemudian kakinya melangkah tergesa
meninggalkan kelas.
Tetapi apa yang menyambutnya di luar kelas, membuat jantung
Kalila melompat naik ke tenggorokan. Sementara langkahnya terhenti menyisakan
bunyi berdecit di lantai. Ia berjingkat ngeri mundur selangkah ke belakang.
“Hai, Lil Princess,” sapa lelaki itu sambil menampilkan
senyum lebarnya. Seolah itu sudah terbiasa dilakukannya untuk Kalila. “Mau
menemaniku makan siang?”
Mendengar suara Diego yang membelai telinganya, membuat
jantung Kalila langsung merosot jatuh ke kakinya. Ia menelan ludahnya yang terasa
pahit. Sementara tubuhnya berbalik di atas tumitnya. Dan berhadapan langsung
dengan Elliot yang baru saja keluar dari kelas. Tanpa pikir panjang, ia
mengamit lengan Elliot dan menyeretnya menjauh. Tidak peduli pada sorot
kebingungan di wajah lelaki itu.
***
“Sebenarnya kita mau ke mana, Kal?”
Suara itu langsung mengembalikan akal sehat Kalila.
Buru-buru, ia menarik tangannya kembali dengan canggung. Sementara kepalanya
celingukan, memastikan tidak ada Diego di sekitarnya.
“M-maaf,” ucap Kalila sambil menarik turun topinya untuk
menutupi wajahnya yang memerah karena malu. “Maaf, sudah menarikmu begitu
saja.”
“Tidak apa-apa. Aku justru merasa senang.” Elliot
tersenyum menampilkan lengkungan di pipinya. “Kukira kau marah padaku.”
“Kenapa harus marah?” tanya Kalila bingung. Ia menatap
Elliot melalui bulu matanya yang lentik.
“Hem, karena
aku terlihat tertarik dengan temanmu—Erin,” jawab Elliot sambil meringis masam. Terdengar
sedikit keraguan dalam suaranya. “Kukira kau... cemburu.”
Mulut Kalila langsung ternganga seketika. Ada tawa dan
perasaan tidak menyangka yang bergelayut di sana. Keningnya mengernyit heran. Bagaimana
bisa lelaki ini memikirkan kemungkinan seperti itu?
“Ya, kau tahu, maksudku,” ucap Elliot terpatah-patah,
merasa sudah mengucapkan sesuatu yang salah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak
gatal. “Kemarin kau pergi, maksudku, pergi begitu saja setelah aku berkenalan
dengan Erin. Tapi itu sama sekali bukan seperti—”
“Kau salah mengira, Elliot,” sela Kalila sambil
melepaskan tawa kecilnya. “Aku sama sekali tidak marah. Malah aku senang kalau
kalian bisa bersama.”
“Benarkah?” tanya Elliot tidak percaya. “Kau sungguh
tidak marah padaku?”
Kalila mengangguk meyakinkan. Ia menepuk ramah bahu
lelaki itu lalu berujar, “Omong-omong, terima kasih sudah bersedia kuseret
seperti tadi.”
“Tidak masalah.” Elliot menggidikkan bahunya. “Sempat kukira
tadi kau mau mengajakku makan siang.”
Sekali lagi, Kalila tertawa kecil menanggapi perkiraan
Elliot. “Tapi aku ada kuliah lagi setelah ini.”
Elliot ingin mengejar Kalila yang langsung pergi begitu
saja. Tetapi ia mengurungkan niatnya dan malah terkekeh kecil karena sadar
sudah ditolak.
***
Setelah meninggalkan Elliot yang sudah membantunya untuk
kabur dari Diego, Kalila terus melangkahkan kakinya menuju bagian timur gedung
fakultas. Hingga akhirnya, matanya menangkap pemandangan pintu perpustakaan. Pintu
itu terbuka lebar, seolah sengaja hendak menyambutnya.
Langkah kaki Kalila menghentak antusias. Lapar di
perutnya menguap begitu saja. Berpindah ke otaknya yang lapar akan pengetahuan.
Lagi pula ia harus mengejar keterlambatannya karena sama sekali tidak
mendengarkan kuliah Ekonomi Mikro tadi.
“Hai, Kal.”
Terdengar sapaan ringan dari seorang gadis di belakang
punggung Kalila. Gadis itu menepuk kuat bahunya. Saking kuatnya hingga membuat ia
limbung dan nyaris tersungkur. Beruntung, kakinya masih cukup kokoh menopang
tubuhnya.
“Oh—hai, Val.” Kalila balas menyapa sambil membalikan
tubuhnya. Walaupun sebenarnya ia enggan. Gadis itu lagi-lagi mengenakan pakaian
berwarna cerah dengan motif floral yang mencolok. Tetapi ada yang berbeda dari
penampilan Valeria kali ini.
“Mau ke perpustakaan juga, Kal?” tanya Valeria dengan
sepasang mata yang melebar penasaran. Sepasang mata yang berlapis lensa kontak
berwarna cokelat terang.
Kalila terdiam sejenak penuh pertimbangan. Takut salah
menjawab dan membuatnya terjebak dalam keadaan yang sangat dihindarinya.
“Tidak juga. Hanya kebetulan lewat. Aku mau ke—” Mata
Kalila bergerak cepat mencari korban bagi kebohongannya. “Turun lewat tangga.”
“Oh.” Bibir Valeria membulat kecewa melihat ke arah yang
ditunjuk Kalila. Tetapi begitu matanya memandang sekilas pada kaki Kalila, dengan
cepat kekecewaan itu tergantikan oleh senyuman. “Sepatumu bagus. Sepertinya aku
juga punya yang seperti itu. Kapan-kapan kita bisa janjian memakainya bersama.”
“Benarkah?” sahut Kalila berpura-pura tertarik. Padahal
ia sama sekali tidak menyukai gagasan itu. Lagi pula bukankah sepatu ini dibuat
khusus untuknya? Kalila yang mendesainnya secara pribadi.
Valeria mengangguk senang. “Aku mau mengembalikan buku.
Kalau kau mau menunggu sebentar, kita bisa pergi makan siang bersama.”
Kening Kalila berkerut. Entah mengapa, sepertinya hari
ini semua orang tertarik mengajaknya makan siang bersama. Memangnya ia terlihat
seperti singa kelaparan?
“Hem, tapi aku
sudah ada janji,” kata Kalila sambil memasang wajah menyesal.
“Ah, sayang sekali.” Valeria sama sekali tidak
menyembunyikan kekecewaannya. “Kalau begitu, aku masuk dulu, ya.”
Kalila mengangguk cepat, mempersilakan Valeria hilang
dari hadapannya. Sementara ia sendiri langsung memacu kakinya menuju tangga di
samping perpustakaan. Sebaiknya ia cepat-cepat pulang dan mencari sesuatu yang
bisa dimakan.
Tetapi baru tiga anak tangga yang dituruninya, Kalila
teringat pada topinya yang disita Valeria tempo hari. Ia berbalik cepat dengan
perasaan bimbang. Apa harus ia menagih hal semacam itu di perpustakaan?
Saat itulah tiba-tiba keningnya menghantam sesuatu dengan
kuat. Kalila tersentak dan langsung kehilangan keseimbangannya. Sebelum sempat
menyadari apa yang di tabraknya, kaki kirinya tergelincir dari pijakan yang
memeleset di tepi anak tangga. Tubuhnya terhuyung ke belakang.
Kalila lantas memejamkan mata, mempersiapkan diri untuk hal
terburuk yang bisa terjadi. Ia merasa tubuhnya terguncang. Tetapi kepalanya
tidak menghantam lantai. Tubuhnya tidak jatuh berguling-guling di tangga. Ia
sama sekali tidak merasa kesakitan.
Begitu Kalila membuka mata dan mengangkat kepalanya. Matanya
langsung melebar karena terkejut. Sementara napasnya tercekat saat menyadari wajahnya
berada dekat dengan dada bidang seseorang yang tadi dihindarinya.
Astaga, bagaimana bisa ia terperangkap dalam pelukan
lelaki ini?
***
Sepasang mata cokelat terang itu terbelalak menatapnya.
Kening Diego mengernyit saat mencoba mengartikan berbagai macam ekspresi yang
berkelebat di mata gadis itu. Ia menangkap banyak ekspresi terkejut sekaligus
bingung. Juga sedikit amarah dan ketakutan.
Tiba-tiba gadis itu meronta dalam pelukannya, menarik
Diego dari pikirannya. Beruntung, ia masih cukup waktu untuk berpikir sebelum
menuruti keinginan Kalila. Ia tidak mungkin melepaskan gadis itu begitu saja.
Sebelum memastikan kedua kaki cantik dalam sepatu berbahan suede itu berpijak dengan benar.
Diego berdeham pelan lalu bertanya, “Kau baik-baik saja,
Lil Princess?”
“Lepaskan aku!” seru Kalila yang kembali meronta.
“Tapi kau akan terjatuh.” Diego berbisik begitu dekat di
telinga Kalila. “Aku tidak ingin melihat pacarku terluka.”
“Akan lebih baik jika aku jatuh,” tukas Kalila tidak mau
kalah.
Diego terdiam sejenak. “Baiklah, kalau itu maumu,”
gumamnya sambil berangsur melonggarkan pelukannya di pinggang Kalila.
Merasa tidak sabar, Kalila mendorong dada Diego agar
cepat menjauh. Tetapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Tubuhnya malah
terpental dan limbung ke belakang. Kali ini, ia pasti akan benar-benar celaka.
Terjerembap bersama tumpukan gengsi yang akan menimpanya.
Dengan cepat Diego mengulurkan tangan dan menahan siku
gadis itu. Tubuh Kalila tersentak keras kembali ke arahnya. Kecuali topi yang
menutupi kepala cantik itu. Topi itu lepas dan melayang jatuh ke atas undakan
anak tangga.
“Pelan-pelan saja, Lil Princess.” Diego mengembuskan
napas panjang. Untung saja tadi ia memutuskan untuk mengikuti gadis ini. Jika
tidak, entah apa yang akan terjadi.
Tepat seperti dugaannya, Kalila langsung menarik
lengannya secepat mungkin dari pegangan Diego. Mata gadis itu menatapnya tajam.
Kali ini, penuh kecurigaan. “Apa maumu?”
“Tadi sudah kukatakan padamu. Tapi kau malah lari bersama
lelaki lain,” ucap Diego sambil menggidikkan bahu. “Siapa itu? Pacar gelapmu?
Apa semudah itu kau menduakan aku?”
“Dia Elliot. Teman sekelasku,” bantah Kalila cepat.
Suaranya nyaris meninggi. “Dan aku tidak pernah menyetujui kembali menjadi
pacarmu.”
“Tapi kau pasti tidak akan menolak lagi ajakan makan
siangku sekarang,” ujar Diego penuh percaya diri. Ia membungkuk dan mengusap
pipi Kalila dengan ibu jarinya. “Kau terlihat seperti Lil Zombie dengan wajah
pucatmu.”
Kalila masih menatapnya galak. Kening gadis itu berkerut
mengerikan. Persis seperti zombie yang siap merobek otak mangsanya.
Merasa keutuhan otaknya terancam, Diego cepat-cepat
mengeluarkan pengalih perhatian dari tasnya. Ia menyodorkannya ke hadapan
Kalila. “Tapi sebelum itu, kau perlu bahan bakar supaya kuat berjalan.”
Mata Kalila mengerjap sekali. Tenggorokannya bergerak
susah payah, mencegah agar air liurnya tidak menetes. Sandwich ayam yang disodorkan
Diego padanya, sontak membuat perutnya bersorak senang.
***
‘Apa tidak ada tempat lain?’ tanya Kalila dengan suara
terdengar cemas. Seharusnya ia mendengarkan Diego tadi. Tempat itu terlihat
berbahaya.
Ruben menggelengkan kepalanya. ‘Pohon maple sulit tumbuh
di iklim seperti ini. Hanya bukit ini yang memiliki suhu udara dan tanah yang
cocok.’
‘Tapi... entah kenapa tiba-tiba aku merasa takut,’ ujar
Kalila dengan sepasang mata yang tidak bisa lepas dari sosok Diego.
‘Kenapa? Kau meragukan kemampuan si pengecut itu?’ timpal
Sharon yang ikut masuk dalam obrolan.
‘Tenang saja. Aku juga pernah memajat pohon itu
sebelumnya,’ dusta Ruben sebelum Kalila kalap dan merobek bibir Sharon. Ia
memang tidak punya cukup keberanian untuk melakukan itu. Tetapi ia ingin tetap
terlihat hebat di mata kedua gadis di hadapannya. ‘Lihat, dia sudah berhasil
memanjat.’
Seperti yang dikatakan Ruben, Diego sudah berhasil
memanjat pohon itu seperti seekor kucing hutan. Siapa yang menyangka kaki
kerempeng itu ternyata mampu memijak dengan kokoh.
Kalila menjalinkan kesepuluh jemari tangannya di depan
dada. Matanya terpejam. Dalam hati ia merapalkan banyak doa. Berharap agar
Diego Sang Pahlawan Kesatrianya akan kembali ke pelukannya segera.
Tetapi kemudian Kalila mendengar Sharon memekik keras
bersama gadis-gadis lain yang ada di sana. Ia membuka matanya dan mendapati
pijakan Diego yang tidak tepat pada salah satu dahan. Lelaki itu kehilangan
keseimbangan dan meluncur cepat mengikuti gravitasi bumi. Tubuhnya
berguling-guling di tepi dinding tebing yang dipenuhi bebatuan. Beberapa
temannya yang berdiri di dekat situ, malah menjauh mundur.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut Kalila. Bibir
gadis itu hanya menganga lebar dengan panik. Ketakutan yang nyata membanjiri
sekujur tubuhnya yang menegang. Dan setitik amarah membara tepat di belakang
kepalanya saat mendengar seseorang melarang Ruben—yang memegang ponsel dengan
tangan gemetar—untuk menghubungi siapa pun. Mereka akan terlibat masalah jika
ada orang lain yang tahu.
Demi Tuhan, ini bukan saatnya bersikap egois. Diego
terjatuh dan pasti terluka parah. Tetapi tidak seorang pun yang bergerak untuk
menolongnya. Tidak seorang pun dari para lelaki yang selalu mengumbar
kehebatannya di hadapan Kalila. Tidak seorang pun dari para gadis yang selalu
berkata bahwa mereka adalah sahabat sejati.
Dengan berlinang air mata, Kalila akhirnya bisa
menggerakkan tubuhnya. Ia berlari menghampiri kegelapan tempat di mana Diego
terjatuh. Tetapi tiba-tiba ia disilaukan cahaya senter yang diiringi derap
langkah.
‘Hei, apa yang kalian lakukan di sini?!’
Tanpa komando dari siapa pun, semua orang menghambur
berlari kabur agar tidak tertangkap dan mendapat masalah. Apalagi mengingat
jabatan orang tua masing-masing yang berada di kelas atas. Mereka tidak akan
sudi mencoreng martabat keluarga. Sekalipun nyawa seseorang menjadi taruhannya.
Tiba-tiba Ruben menarik paksa lengan Kalila. Menyeret
gadis itu untuk ikut melarikan diri. Tetapi ia mencoba meronta. Memaksa hendak
kembali dan memeriksa langsung keadaan Diego.
Tetapi Ruben berbisik dan menyuruhnya untuk tetap
berlari. Atau hukuman di sekolah dan di rumah akan siap menantinya. Kabarnya,
akhir-akhir ini memang ada rumor beredar tentang sekumpulan remaja yang sering
berpesta minuman keras di daerah sepi seperti ini.
Entah setan apa yang merasukinya kala itu, Kalila
menuruti saran menyesatkan itu. Tetapi bagaimanapun ia tidak bisa membiarkan
Diego begitu saja.
‘T-tolong selamatkan dia!’ teriak Kalila pada orang-orang
yang mengejar mereka. Suara gadis itu sarat akan perasaan frustrasi. ‘Ada
seseorang yang terluka di bawah pohon maple! Kumohon tolong selamatkan dia!’
Pria-pria bertubuh tambun itu menghentikan pengejaran
mereka saat mendengar kata-kata Kalila. Mereka langsung mengarahkan senter ke
bagian bawah pohon maple. Dan benar saja. Kalila dapat melihat sosok Diego yang
tergeletak tidak sadarkan diri. Kepala dan jaket lelaki itu dipenuhi bercak
darah.
Kalila tertegun dan menghentikan langkahnya. Ia harus
segera kembali dan memastikan keadaan Diego baik-baik saja. Tetapi seseorang
kembali menarik lengannya, mengingatkannya untuk terus berlari.
Malam itu, Kalila terus berlari. Sementara perasaan
bersalah bergelayut erat di punggungnya. Tidak terlihat memang. Tetapi ia
selalu bisa merasakannya. Dan Kalila menyadari benar bahwa ia tidak termaafkan.
***
Selera makan Kalila menguap bebas tidak berbekas. Begitu
juga dengan rasa lapar yang sejak tadi meraung dalam lambungnya. Ia hanya
memutar-mutar garpunya pada spaghetti yang terhidang di hadapannya. Tanpa satu
pun suapan mendarat ke mulutnya.
Bukan karena makanan itu tidak menarik. Aromanya saja
pasti mampu membuat siapa pun meneteskan air liur. Tetapi entah mengapa ia
merasa mual ketika teringat hari-hari yang ia jalani dengan dihantui rasa
bersalah. Dan kini pusat dari penyesalan itu muncul di hadapannya tanpa
peringatan.
Haruskah ia meminta maaf sambil bersujud? Atau menangis
tersedu-sedu menyatakan betapa ia sangat menyesal?
“Ada apa, Lil Princess?” tanya Diego yang mulai terlihat
sebal. Lelaki itu menghentikan kegiatan makannya. Nada bicaranya berbalut
sindiran tajam. “Apa restoran ini terlalu murah? Tidak sesuai dengan kastamu?
Atau kau enggan makan bersama lelaki kurang populer sepertiku?”
Kalila mendorong piringnya menjauh. Ia menyandarkan
punggungnya ke sandaran kursi. Selama beberapa detik kepalanya terangkat
menatap langit-langit restoran yang berwarna seperti lavendel.
“Katakan, apa maumu?” tanya Kalila begitu sepasang
matanya bersitatap dengan mata gelap lelaki yang duduk di hadapannya.
Diego menggidikkan bahunya. “Kau sudah menuruti mauku.
Itulah kenapa kita ada di sini.”
Astaga, sampai kapan lelaki ini mempermainkannya? Kalila
berdecak kesal mendengar jawaban palsu seperti itu. Ia yakin bahwa lelaki ini
memiliki tujuan lain dengan mendekatinya.
“Begini,” ucap Kalila mencoba membuka pintu untuk
pembicaraan yang serius. “Kalau ada niatmu untuk balas dendam——”
Tiba-tiba tawa lepas lelaki di hadapannya itu memotong
ucapan Kalila. Menghadirkan kerutan dalam di antara alisnya. Memang apa yang
lucu?
“Astaga, Lil Princess,” gumam Diego di tengah gelaknya.
Lelaki itu menyembunyikan sebagian wajahnya di balik telapak tangan, berusaha
meredam rasa geli pada otot wajahnya. “Dari mana kau mendapat pikiran seperti
itu?”
“Karena, yah, kau tiba-tiba berada di dekatku,” jelas
Kalila terbata diliputi kebingungan di setiap kata. “Kau seperti sengaja
mengejarku, kau tahu, atas apa yang pernah kulakukan padamu dulu.”
“Kutegaskan padamu, Lil Princess. Kau tidak sepenting itu
bagiku,” balas Diego ketus. Jelas-jelas bernada menyakiti. “Dan aku tidak
‘tiba-tiba’ berada di dekatmu. Aku sendiri tidak tahu jika kita diterima di
universitas yang sama. Pertama kali aku melihatmu saat masa orientasi. Dan aku
menyapamu dengan sebotol air mineral. Siapa tahu kau lupa. Mengingat betapa
banyak lelaki yang dengan mudahnya tertarik padamu.”
Tentu saja Kalila masih mengingatnya. Walaupun saat itu
ia belum mengenali lelaki itu sebagai Diego. Lelaki itu seperti orang yang
berbeda. Ia berubah dalam banyak hal.
“Karena kebetulan kita dipertemukan lagi setelah tiga
tahun. Kurasa tidak ada salahnya mencoba memperbaiki hubungan kita berdua.”
Kalila mengangguk setuju. Walaupun tidak sedikit pun ia
berani menatap langsung mata Diego. Perasaan malu menyiram deras wajahnya atas
pikirannya yang sudah terlalu jauh. Diego benar. Jika lelaki itu berniat balas
dendam, seharusnya ia membiarkan Kalila terjatuh dari tangga tadi. Itu akan
jauh lebih mudah.
“Aku sengaja menyinggung masalah pacar hanya untuk
memastikan seperti apa hubungan ini bagimu. Kita tidak pernah benar-benar
bertemu untuk berpisah setelah kejadian itu, kau ingat?” lanjut Diego seolah menghakimi
Kalila. Sepasang mata hitam lelaki itu berkilat-kilat tajam. “Tapi tadi kulihat
kau dengan mudahnya menggandeng lelaki lain. Cukup jelas untukku sekarang, Nona
Populer.”
“Sudah kukatakan, dia hanya teman sekelasku.”
“Permisi,” sela seseorang memotong perdebatan mereka
berdua. Seorang lelaki berpakaian hitam dengan dua baris kancing berwarna merah
yang tersusun rapi ke bawah ala seragam seorang chef. “Saya Julian, chef di
restoran ini. Apa Anda ingin memesan minuman penggugah selera makan?”
“Uh, oh, sepertinya tidak—“
Kalila hendak menolak secara halus, tetapi tiba-tiba saja
chef itu menunduk dan berbisik di telinganya.
“Ini spesial untuk Anda, Nona. Tapi tolong rahasiakan
ini.” Julian semakin merendahkan suaranya. “Saya akan memberikannya secara
gratis. Entah kenapa saya merasa terluka karena gadis secantik Anda belum
menyentuh masakan saya sedikit pun.”
Kalila tergugu dengan wajah nyaris semerah tomat. Entah
berapa kali lagi ia harus mempermalukan dirinya hari ini. Sementara Diego
meremas kuat tepi meja restoran. Menahan kuat-kuat ledakan amarah dalam dadanya
saat melihat sikap menggelikan dari chef berengsek itu.
“K-kalau begitu, saya mau segelas wine,” ujar Kalila
akhirnya.
“Baiklah. Wine pesanan Anda akan segera diantar.” Chef
itu menebarkan senyumnya yang sehangat matahari, sebelum meninggalkan Diego dan
Kalila kembali berdua.
“Lihat, chef itu saja terpesona padamu,” gumam Diego
sinis.
“Kau salah,” sahut Kalila mencoba menularkan rasa
malunya. “Dia hanya menjalankan tugasnya.”
“Lagi pula untuk apa kau memesan wine? Semudah itu kau
terpikat bisikan setan?”
“Seperti yang dikatakan chef Julian, aku perlu minuman
pembangkit selera makan.”
“Silakan, wine Anda.”
Kali ini seorang pramusaji yang menghidangkan segelas
wine ke meja Kalila. Warna kemerahan mendekati ungu pekat menggenang dalam
mangkuk gelas bertangkai itu.
“Terima kasih,” ujar Kalila sambil tersenyum. Belum
setetes pun wine itu menyentuh indera pengecapnya, tetapi perasaannya sudah
lebih baik sekarang.
“Sini, biar aku minum dulu.” Diego meraih tangkai gelas
mendekat ke arahnya. “Berjaga-jaga jika ada hal aneh yang dicampur ke
dalamnya.”
Tetapi Kalila merenggut cepat gelas itu. Kemudian
menghabiskan segelas wine itu dalam sekali teguk. Sama sekali tidak repot-repot
menghirup aroma maupun menikmati aftertaste
seperti seharusnya. Detik berikutnya, ia langsung menggenggam garpu dan
mengantarkan beberapa gulungan spaghetti untuk mengisi perutnya yang kosong.
Sontak Kalila merasakan kepalanya terasa pening. Tetapi
ia tidak peduli. Ia hanya ingin cepat melupakan apa yang sudah terjadi. Tentang
bagaimana ia mempermalukan dirinya sendiri di depan Diego dengan tuduhan tidak
beralasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D