Jumat, 13 Mei 2016

Green Eyed - Chapter 3



Nico POV
Aku terbangun ketika mendengar ponsel di atas nakas yang menurutku bergetar secara berlebihan. Sebuah pesan dari Evan, sama berlebihannya dengan lelaki itu dalam melindungi adiknya.

Jangan berbuat macam-macam pada adikku atau aku akan membunuhmu.

Sudah kuduga! Aku kembali menutup mataku yang terasa berat, seolah bulu mataku diikat dengan barbel di setiap helainya. Sudahlah, besok aku akan membalas pesan itu. Aku sangat mengantuk. Beberapa detik kemudian ponsel yang ternyata masih kugenggam kembali bergetar, membuatku mendengus kesal. Sungguh, setelah aku bangun nanti, aku akan mengutuk orang-orang yang mengganggu tidurku. Meski enggan, aku tetap membaca pesan yang dikirim oleh calon kakak iparku itu.

Tolong jaga dia baik-baik, tuan besar.

Sambil menahan mataku agar tak tertutup kembali, Aku melihat jam yang ada di ponselku. Masih jam dua dini hari. Kakak-beradik ini memang perpaduan sempurna golongan manusia yang tak akan membiarkanku hidup tenang!

Aku mengembangkan senyum ketika mataku menangkap sosok gadis yang tidur meringkuk di sofa. Kemudian aku melangkahkan kakiku untuk mendekatinya. Aku berjongkok untuk menatap gadis itu. Elena. Kusingkirkan anak rambut yang menutupi wajah cantiknya yang halus dan tampak jelas gurat kesedihan di wajah itu. Sungguh aku tak pernah menyangka akan menatapnya dalam jarak sedekat ini.

Kuberanikan diriku untuk menyentuh keningnya dengan bibirku dan menahannya untuk beberapa detik sambil menghirup aroma samponya yang menggelitik hidungku. Di saat yang bersamaan sebuah ide terlintas di benakku.

Aku berdiri, kemudian membungkuk untuk mengangkat tubuh Elena dan memindahkannya ke atas ranjang. Bagaimanapun juga aku telah berjanji pada Evan untuk menjaga adiknya dengan baik. Dan aku bukanlah tipe orang yang suka mengingkari janji. Kurebahkan gadis itu perlahan, kemudian menyelimuti tubuh Elena yang terasa dingin. Kembali kukecup kening gadis itu diikuti dengan ucapan selamat tidur. Sungguh, aku akan tidur nyenyak malam ini.
•••

Elena POV
Aku merasakan kehangatan yang menjalar di sekujur tubuhku dan aku semakin merapat pada sumber kehangatan yang membuatku merasa sangat nyaman. Tunggu… nyaman?  Aku mengernyit, memaksa otakku untuk bekerja meski mataku masih enggan terbuka. Kemudian perlahan mengerjapkan mataku yang masih terasa berat. Aku menyadari wajahku menempel pada dada bidang yang hangat dengan sebuah pelukan yang terasa begitu…

Mendadak aku tersadar dan membelalakkan mata lebar-lebar.

“Nico!! Oh ya ampun, dasar lelaki mesum!” Aku berteriak membuat Nico berjingkat dan dengan cepat ia berusaha mengumpulkan kesadarannya.

“Sialan!” Gerutu Nico pelan. “Ada apa denganmu? Kau membangunkanku dengan kasar. Bukankah seharusnya kau memberi sebuah kecupan selamat pagi setelah apa yang kita lalui semalam?” Nico menaikkan alisnya berkali-kali.

Deg.

Aku merasakan wajahku terbakar. Bukan, ini bukan terbakar secara harafiah, namun aku merasa wajahku terasa panas secara mendadak. Apa yang kami lakukan semalam? Aku semakin mengerutkan keningku, berusaha mengingat apapun. Namun yang kuingat, aku hanya tidur di sofa dan kedinginan karena manusia terkutuk dan egois itu yang sama sekali tak mau mengalah padaku.

“Wajahmu saat bangun tidur begitu cantik, adik kecil.” Goda Nico yang kemudian mencium punggung tanganku.

“Seingatku aku tidak tidur di sini.” Aku mengernyit, berharap dalam kecemasan. Semoga aku bukan gadis bodoh yang mengigau dan berjalan untuk berpindah tidur.

“Semalam kau berjalan kemari. Aku terkejut karena tiba-tiba kau memelukku.”

Fantastis! Kau memang ceroboh Elena! 

Dalam diam aku merutuki kebodohanku. Lihat, sekarang apa yang terjadi? Dengan kasar, aku menarik tangan dan berlari menuju kamar mandi diikuti suara debam pintu kamar mandi yang terbanting dengan kasar. Ya, itu kebiasaanku atau mungkin lebih baik disebut hobiku. Aku tak akan memungkiri bahwa aku memang menyukai suara debaman pintu yang sangat keras saat aku kesal, mungkin itu semacam melegakan sesuatu di sudut hatiku.

Aku bersandar di balik pintu kamar mandi. Jantungku berdetak dengan kencang dan tulang kakiku terasa meleleh. Apa yang telah kulakukan? Kutampar pelan kedua pipiku, berharap otakku akan mampu berpikir setelahnya, kuhampiri wastafel kemudian mencuci wajah dan masih tenggelam dalam pikiranku tentang ‘ada apa semalam’.

Aku menggeleng kuat-kuat, memercikkan butiran air di ujung rambutku yang basah, menghalau pikiran buruk yang perlahan meracuni otak, lalu berbalik menuju pintu. Namun tepat saat aku menggenggam gagang pintu, aku mengurungkan niatku. Apa yang harus kulakukan saat menghadapi Nico?
•••

Nico POV
Ini sudah hampir satu jam, namun gadis itu tak kunjung keluar dari kamar mandi. Aku mengernyit, menatap pintu yang tak kunjung terbuka. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku memutuskan untuk mengetuk pintu berwarna putih tersebut.

“Adik kecil, apa kau tertidur di dalam?”

Satu… Dua… Tiga… Empat… Lima…

Lima detik berlalu dan aku tak juga mendengar suara merdunya. Kembali aku mengetuknya lebih keras.

“A… iya, sebentar lagi aku akan keluar. Aku mau mandi dulu.”

Aku kembali mengernyitkan dahi, lalu apa yang dilakukannya selama itu di dalam sana? Aku mengendikkan bahu, kembali pada ranjang lebar dan menutup mataku kembali. Aroma semerbak memenuhi hidungku beberapa menit kemudian. Sedikit kubuka mataku untuk mengintip saat gadis itu keluar dari kamar mandi dengan rambut yang terbungkus handuk.

“Bertapa di kamar mandi?” Aku ingin sedikit menggoda dengan gadis itu.

“Harum sekali kau, adik kecil.” Aku mendekatinya untuk menghirup aromanya, ia menjauh, disaat yang bersamaan wajahnya merona, membuatnya tampak manis. Aku menarik handuk yang masih membungkus kepalanya, sepertinya ia tak siap hingga ia kehilangan keseimbangan tubuhnya, namun dengan cepat ia kembali berdiri tegak.

“Dasar laki-laki kurang ajar!” Gumam gadis itu pelan yang sayangnya terdengar seperti pujian di telingaku. Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya kemudian berlalu menuju kamar mandi.
***

Elena POV
Aku duduk di meja rias. Menatap wajahku yang masih merona yang dipantulkan oleh cermin besar di hadapanku. Kantung mataku terlihat mengerikan. Kemudian kuoles concealer untuk menutupi kantung mataku, kemudian membubuhkan bedak tipis dan lip ice untuk bibirku yang tampak pucat. Sesaat kemudian mataku menatap sebuah bayangan di belakangku melalui cermin. Lelaki itu, berdiri tegak—dan sialnya dalam posisi itu, dia tampak… seksi—hanya mengenakan handuk yang dililitkan di sekitar pinggangnya dan itu kembali membuat wajahku memerah.

“Nick, tak bisakah kau bersikap lebih sopan. Ada aku disini.” Aku mengomel, sambil berusaha mengatur nadaku agar tidak terdengar salah tingkah.

“Aku sudah bersikap sesopan mungkin, adik kecil.” Nico berjalan mendekatiku perlahan dengan langkah panjangnya, menunduk, mendekatkan wajahnya di atas bahuku. Jantungku seolah mendobrak dadaku dengan kasar agar bisa terlepas sekarang juga. Seperti menyadari kegugupanku, lelaki itu terkekeh dengan mimik iblisnya yang menyebalkan kemudian membuka lemari pakaian di samping meja rias.

“Setelah ini kita lanjutkan perjalanan. Bersiaplah.”

Oh, sial! Lagi-lagi dia berhasil mengerjaiku. Dan entah mengapa, aku biasanya sangat mampu membuat lawanku terpojok, menangis darah hingga memohon ampun padaku. Kemudian aku akan melihatnya sambil tertawa puas layaknya Maleficentpenyihir yang mengutuk Putri Aurora— tetapi kali ini aku merasakan sebuah karma menghampiriku. Kuembuskan napas panjang setelah lelaki itu menjauh. Ya ampun, ini mengerikan!
•••

Nico POV
Pemandangan hijau yang terbentuk oleh bukit-bukit dengan udara yang sejuk membuat Elena berkali-kali bergumam takjub. Ia seperti seorang alien yang baru saja menginjakkan kakinya di muka bumi. Gadis itu benar-benar terlihat manis dan aneh di saat yang bersamaan.

“Kau tak pernah melihat pemandangan seperti ini?” Tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari jalan berkelok-kelok yang ada di hadapanku.

“Kak Evan pernah mengajakku. Tapi pemandangannya tak seindah ini.” Suaranya riang, begitu merdu menggelitik telingaku. Dia seperti seorang anak berusia tujuh tahun yang bertamasya bersama ayahnya, tak henti-hentinya memuji keindahan pemandangan yang mengelilingi kami. Ya Tuhan, aku benar-benar seperti seorang ayah yang membawa putri kecilku.

“Aku akan mengajakmu ke tempat yang jauh lebih indah dari pada ini.”

Aku mengalihkan pandanganku sejenak untuk menatap gadis di sampingku. Matanya membelalak dengan mulutnya yang menganga begitu lebar dan mungkin sebentar lagi air liurnya akan menetes. Sebelum itu terjadi, aku meraih dagunya dengan telunjukku dan mengatupkan mulutnya dengan ibu jariku. Sungguh, pribadi gadis ini sangat menarik dan semakin membuatku tak ingin melepaskannya.

Sebuah perkebunan terhampar luas dilihat dari balkon rumahku—lebih tepatnya rumah mendiang ibuku. Dengan sesekali menyesap secangkir teh, mata Elena tak berhenti memandang puluhan pekerja yang sibuk berkutat dalam pekerjaannya. Ini adalah pemandangan terindah yang pernah kulihat sebelumnya, begitu cantik.

“Selamat siang, nona.” Suara lelaki terdengar menyapa Elena dengan bersemangat.

“Selamat siang.” Senyum Elena terurai lebar menanggapi lelaki itu.

“Bahkan kau sama sekali tak pernah berbicara seramah itu padaku.” Aku berjalan dengan cepat mendekati Elena, melempar pandangan sebal yang ditanggapinya dengan bibir yang mengerucut kesal. Aku berdiri di samping Elena, mencari tahu siapa lelaki yang dengan lancang mencuri senyuman manis gadisku.

“Hei, jangan sok ramah. Cepat lanjutkan pekerjaanmu.” Oh… ya… itu Dio, dia adalah anak dari sepupu adik ipar dari sepupu jauh ibuku. Aku tahu itu karena dia adalah teman bermainku saat aku menghabiskan liburan di tempat ini semasa kecil. Rumah ini adalah rumah yang penuh kenangan.

“Kau ini kenapa, tuan besar?” Suara itu membuyarkan lamunanku.

“Apanya yang kenapa?” Aku bingung dengan pertanyaan yang dilemparkan tiba-tiba oleh Elena. Kemudian gadis itu mengisyaratkan kebawah dengan matanya. Oh, lelaki itu.

“Aku hanya tidak suka mereka bersikap tidak sopan.” Aku menunjukkan nada ketidak sukaanku pada lelaki itu.

“Mereka hanya menyapaku. Kenapa kau marah?” Aku menatapnya geram. “Kau cemburu, tuan besar?”

Ya!

“Tidak, aku hanya tidak suka dengan sikap mereka.” Aku menjawab setenang mungkin meski dalam dadaku justru merasakan sebaliknya. Apa-apaan ini? Kenapa aku salah tingkah melihat tatapan geli gadis itu? Apa dia sedang menggodaku sekarang? Sial, aku tak akan tahan jika bersamanya dengan keadaan seperti ini. Ayolah, bukankah aku ini seorang lelaki dewasa? Mengapa aku bertingkah seperti remaja jatuh cinta!
***

Elena POV
Jangan panggil aku Elena jika aku tak bisa mengerjai orang-orang yang menurutku sangat menyebalkan. Dia boleh mendapatkan beberapa poin untuk kemenangannya menggodaku dan aku akan memanfaatkan segala kesempatan yang ada untuk balas menggodanya. Oh lihat tadi, tidakkah wajahnya itu menggemaskan? Lamunanku terhenti saat ponselku berdering, tepat saat ia membuka pintu untuk memasuki rumahnya. Senyumku kembali tersungging sambil melihat lelaki itu meninggalkanku.

“Halo sayang.” Sapaku pada seseorang di sana, yang membuat lelaki itu memutar langkahnya untuk kembali mendekat padaku.

“Siapa?” Bisik Nico tanpa suara. Aku bisa melihat rasa penasaran yang dia tunjukkan melalui wajahnya yang tampan. Ia menuntut sebuah jawaban, tetapi aku hanya mengacungkan telunjukku di depan bibir, kemudian mengedipkan sebelah mataku padanya.

“Iya, aku baru saja sampai. Bagaimana kabarmu, sayang? Aku merindukanmu.” Aku membuat suaraku terkesan manja sambil sesekali memerhatikan ekspresi wajahnya. Wajahnya tampak masam, kemudian kusunggingkan senyum jahilku padanya. Tanpa pernah kusangka, lelaki itu tiba-tiba merebut ponselku.

“Elena butuh istirahat, jangan ganggu dia!” Hardik Nico kasar.

Kemudian sepertinya suara di telpon membuat Nico terkejut, namun ia berusaha menyembunyikannya dariku. Oh yeah! Sungguh aku ingin tertawa penuh kemenangan melihat wajah salah tingkahnya itu. 

“Ah, ya… Em... maaf Evan. Adikmu sakit, dia terlihat pucat. Mungkin dia lelah dan butuh istirahat.” Suara Nico terdengar lebih lembut. Aku tertawa lagi, mengingat aku sama sekali tak merasa sedang sakit, dan tentu saja sangat jauh dari kata pucat. Aku menengadahkan tangan di depan Nico untuk meminta ponselku kembali. Aku butuh bicara dengan kakakku tersayang.

“Baik Evan, aku pasti menjaganya dengan baik. Elena ingin berbicara denganmu.”

“Segera turun adik kecil, aku akan menunggumu untuk makan siang.” Bisik Nico yang kemudian disusul dengan sebuah ciuman di pipi yang membuatku kembali tersipu. Laki-laki ini!
•••

Hari sudah gelap, Elena mengeratkan pelukannya untuk dirinya sendiri. Ia duduk di kursi balkon sambil memikirkan hal-hal buruk yang masih sangat kental dalam pikirannya. Ia merasa telah terjatuh dalam sebuah lubang hitam dan seumur hidupnya ia tak akan bisa bangkit.

Sepasang tangan terulur untuk meletakkan jaket tebal pada tubuh Elena.

“Apa yang kau pikirkan?” Tanya Nico menyeret sebuah kursi untuk mendekati gadis itu.

“Apa yang akan terjadi padaku?” Senyum sinis—atau putus asa— tersungging di bibirnya. “Aku hanya membayangkan bagaimana jika suatu hari polisi menangkapku? Aku akan berada dalam sel yang dingin tanpa siapapun. Aku akan…” Suara Elena yang bergetar sesaat kemudian terbungkam oleh bibir hangat lelaki di hadapannya.

“Selama aku di sini, kau akan baik-baik saja. Tak akan ada seorangpun yang akan membawamu.” Nico menangkup wajah Elena dengan kedua tangannya. Air mata kembali membasahi wajah Elena membuat Nico merengkuhnyadan mengusap punggung gadis itu.

Pelukan itu sangat menenangkannya, Elena menghirup dalam-dalam aroma tubuh lelaki itu. Perlahan Elena membalas pelukan Nico dan mengusir jarak yang memisahkan mereka. Elena tak ingin melepaskan pelukan itu, ia membutuhkannya. Setidaknya untuk hari ini.

“Nico!” Bentak seorang gadis yang berdiri di depan pintu. Teriakan itu membuat Elena sesegera mungkin melepaskan diri dari Nico. Seorang gadis dengan dress yang menutupi setengah pahanya dan rambut hitamnya yang menjuntai panjang.

Gadis itu melangkah mendekati Nico, kemudian memeluknya. Elena mengernyitkan dahinya, menatap Nico dengan pandangan bertanya-tanya. Tak ada penjelasan apapun, membuatnya harus tahu diri. Tanpa kalimat apapun yang mampu keluar dari mulutnya, Elena bergegas untuk pergi dari tempat itu.


Ini salahnya, seharusnya ia tahu bahwa lelaki itu hanya bersikap baik padanya. Faktanya, dia tak lebih dari seorang ‘adik kecil’ bagi lelaki itu. Dan ia harus segera menghentikan perasaannya. Perasaan yang mulai tumbuh untuk lelaki yang tak akan pernah menjadi miliknya. 

Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D