Nico POV
Aku
terbangun ketika mendengar ponsel di atas nakas yang menurutku bergetar secara
berlebihan. Sebuah pesan dari Evan, sama berlebihannya dengan lelaki itu dalam
melindungi adiknya.
Jangan berbuat macam-macam
pada adikku atau aku akan membunuhmu.
Sudah kuduga! Aku
kembali menutup mataku yang terasa berat, seolah bulu mataku diikat dengan
barbel di setiap helainya. Sudahlah, besok aku akan membalas pesan itu. Aku
sangat mengantuk. Beberapa detik kemudian ponsel yang ternyata masih kugenggam
kembali bergetar, membuatku mendengus kesal. Sungguh, setelah aku bangun nanti,
aku akan mengutuk orang-orang yang mengganggu tidurku. Meski enggan, aku tetap
membaca pesan yang dikirim oleh calon kakak iparku itu.
Tolong jaga dia baik-baik,
tuan besar.
Sambil
menahan mataku agar tak tertutup kembali, Aku melihat jam yang ada di ponselku.
Masih jam dua dini hari. Kakak-beradik ini memang perpaduan sempurna golongan manusia
yang tak akan membiarkanku hidup tenang!
Aku
mengembangkan senyum ketika mataku menangkap sosok gadis yang tidur meringkuk
di sofa. Kemudian aku melangkahkan kakiku untuk mendekatinya. Aku berjongkok
untuk menatap gadis itu. Elena. Kusingkirkan
anak rambut yang menutupi wajah cantiknya yang halus dan tampak jelas gurat
kesedihan di wajah itu. Sungguh aku tak pernah menyangka akan menatapnya dalam
jarak sedekat ini.
Kuberanikan
diriku untuk menyentuh keningnya dengan bibirku dan menahannya untuk beberapa
detik sambil menghirup aroma samponya yang menggelitik hidungku. Di saat yang
bersamaan sebuah ide terlintas di benakku.
Aku
berdiri, kemudian membungkuk untuk mengangkat tubuh Elena dan memindahkannya ke
atas ranjang. Bagaimanapun juga aku telah berjanji pada Evan untuk menjaga
adiknya dengan baik. Dan aku bukanlah
tipe orang yang suka mengingkari janji. Kurebahkan gadis itu perlahan, kemudian
menyelimuti tubuh Elena yang terasa dingin. Kembali kukecup kening gadis itu
diikuti dengan ucapan selamat tidur. Sungguh, aku akan tidur nyenyak malam ini.
•••
Elena
POV
Aku
merasakan kehangatan yang menjalar di sekujur tubuhku dan aku semakin merapat
pada sumber kehangatan yang membuatku merasa sangat nyaman. Tunggu… nyaman?
Aku mengernyit, memaksa otakku untuk bekerja meski mataku masih enggan
terbuka. Kemudian perlahan mengerjapkan mataku yang masih terasa berat. Aku
menyadari wajahku menempel pada dada bidang yang hangat dengan sebuah pelukan
yang terasa begitu…
Mendadak
aku tersadar dan membelalakkan mata lebar-lebar.
“Nico!!
Oh ya ampun, dasar lelaki mesum!” Aku berteriak membuat Nico berjingkat dan dengan
cepat ia berusaha mengumpulkan kesadarannya.
“Sialan!”
Gerutu Nico pelan. “Ada apa denganmu? Kau membangunkanku dengan kasar. Bukankah
seharusnya kau memberi sebuah kecupan selamat pagi setelah apa yang kita lalui
semalam?” Nico menaikkan alisnya berkali-kali.
Deg.
Aku
merasakan wajahku terbakar. Bukan, ini bukan terbakar secara harafiah, namun
aku merasa wajahku terasa panas secara mendadak. Apa yang kami lakukan semalam? Aku semakin mengerutkan keningku,
berusaha mengingat apapun. Namun yang kuingat, aku hanya tidur di sofa dan
kedinginan karena manusia terkutuk dan egois itu yang sama sekali tak mau
mengalah padaku.
“Wajahmu
saat bangun tidur begitu cantik, adik kecil.” Goda Nico yang kemudian mencium
punggung tanganku.
“Seingatku
aku tidak tidur di sini.” Aku mengernyit, berharap dalam kecemasan. Semoga aku
bukan gadis bodoh yang mengigau dan berjalan untuk berpindah tidur.
“Semalam
kau berjalan kemari. Aku terkejut karena tiba-tiba kau memelukku.”
Fantastis!
Kau memang ceroboh Elena!
Dalam diam aku merutuki kebodohanku. Lihat, sekarang apa
yang terjadi? Dengan kasar, aku menarik tangan dan berlari menuju kamar mandi
diikuti suara debam pintu kamar mandi yang terbanting dengan kasar. Ya, itu
kebiasaanku atau mungkin lebih baik disebut hobiku. Aku tak akan memungkiri
bahwa aku memang menyukai suara debaman pintu yang sangat keras saat aku kesal,
mungkin itu semacam melegakan sesuatu di sudut hatiku.
Aku
bersandar di balik pintu kamar mandi. Jantungku berdetak dengan kencang dan
tulang kakiku terasa meleleh. Apa yang telah kulakukan? Kutampar pelan kedua
pipiku, berharap otakku akan mampu berpikir setelahnya, kuhampiri wastafel
kemudian mencuci wajah dan masih tenggelam dalam pikiranku tentang ‘ada apa semalam’.
Aku
menggeleng kuat-kuat, memercikkan butiran air di ujung rambutku yang basah, menghalau
pikiran buruk yang perlahan meracuni otak, lalu berbalik menuju pintu. Namun
tepat saat aku menggenggam gagang pintu, aku mengurungkan niatku. Apa yang harus kulakukan saat menghadapi Nico?
•••
Nico
POV
Ini
sudah hampir satu jam, namun gadis itu tak kunjung keluar dari kamar mandi. Aku
mengernyit, menatap pintu yang tak kunjung terbuka. Setelah menimbang-nimbang,
akhirnya aku memutuskan untuk mengetuk pintu berwarna putih tersebut.
“Adik kecil, apa
kau tertidur di dalam?”
Satu…
Dua… Tiga… Empat… Lima…
Lima detik berlalu
dan aku tak juga mendengar suara merdunya. Kembali aku mengetuknya lebih keras.
“A… iya, sebentar
lagi aku akan keluar. Aku mau mandi dulu.”
Aku
kembali mengernyitkan dahi, lalu apa yang
dilakukannya selama itu di dalam sana? Aku mengendikkan bahu, kembali pada
ranjang lebar dan menutup mataku kembali. Aroma semerbak memenuhi hidungku beberapa menit kemudian. Sedikit kubuka mataku untuk mengintip saat gadis itu keluar dari kamar mandi dengan
rambut yang terbungkus handuk.
“Bertapa
di kamar mandi?” Aku ingin sedikit menggoda dengan gadis itu.
“Harum
sekali kau, adik kecil.” Aku mendekatinya untuk menghirup aromanya, ia menjauh,
disaat yang bersamaan wajahnya merona, membuatnya tampak manis. Aku menarik
handuk yang masih membungkus kepalanya, sepertinya ia tak siap hingga ia
kehilangan keseimbangan tubuhnya, namun dengan cepat ia kembali berdiri tegak.
“Dasar
laki-laki kurang ajar!” Gumam gadis itu pelan yang sayangnya terdengar seperti
pujian di telingaku. Aku tertawa melihat ekspresi wajahnya kemudian berlalu
menuju kamar mandi.
***
Elena
POV
Aku
duduk di meja rias. Menatap wajahku yang masih merona yang dipantulkan oleh
cermin besar di hadapanku. Kantung mataku terlihat mengerikan. Kemudian kuoles concealer
untuk menutupi kantung mataku, kemudian membubuhkan bedak tipis dan lip ice untuk bibirku yang tampak pucat.
Sesaat kemudian mataku menatap sebuah bayangan di belakangku melalui cermin.
Lelaki itu, berdiri tegak—dan sialnya dalam posisi itu, dia tampak… seksi—hanya
mengenakan handuk yang dililitkan di sekitar pinggangnya dan itu kembali membuat
wajahku memerah.
“Nick,
tak bisakah kau bersikap lebih sopan. Ada aku disini.” Aku mengomel, sambil
berusaha mengatur nadaku agar tidak terdengar salah tingkah.
“Aku
sudah bersikap sesopan mungkin, adik kecil.” Nico berjalan mendekatiku perlahan
dengan langkah panjangnya, menunduk, mendekatkan wajahnya di atas bahuku.
Jantungku seolah mendobrak dadaku dengan kasar agar bisa terlepas sekarang juga. Seperti
menyadari kegugupanku, lelaki itu terkekeh dengan mimik iblisnya yang
menyebalkan kemudian membuka lemari pakaian di samping meja rias.
“Setelah
ini kita lanjutkan perjalanan. Bersiaplah.”
Oh, sial! Lagi-lagi
dia berhasil mengerjaiku. Dan entah mengapa, aku biasanya sangat mampu
membuat lawanku terpojok, menangis darah hingga memohon ampun padaku. Kemudian
aku akan melihatnya sambil tertawa puas layaknya Maleficent—penyihir yang mengutuk Putri Aurora— tetapi kali ini aku merasakan sebuah karma
menghampiriku. Kuembuskan napas panjang setelah lelaki itu menjauh. Ya ampun, ini mengerikan!
•••
Nico
POV
Pemandangan
hijau yang terbentuk oleh bukit-bukit dengan udara yang sejuk membuat Elena
berkali-kali bergumam takjub. Ia seperti seorang alien yang baru saja
menginjakkan kakinya di muka bumi. Gadis itu benar-benar terlihat manis dan aneh di saat yang bersamaan.
“Kau
tak pernah melihat pemandangan seperti ini?” Tanyaku tanpa mengalihkan
pandangan dari jalan berkelok-kelok yang ada di hadapanku.
“Kak
Evan pernah mengajakku. Tapi pemandangannya tak seindah ini.” Suaranya riang,
begitu merdu menggelitik telingaku. Dia seperti seorang anak berusia tujuh
tahun yang bertamasya bersama ayahnya, tak henti-hentinya memuji keindahan pemandangan yang mengelilingi
kami. Ya Tuhan, aku benar-benar seperti seorang ayah yang membawa putri kecilku.
“Aku
akan mengajakmu ke tempat yang jauh lebih indah dari pada ini.”
Aku
mengalihkan pandanganku sejenak untuk menatap gadis di sampingku. Matanya
membelalak dengan mulutnya yang menganga begitu lebar dan mungkin sebentar lagi
air liurnya akan menetes. Sebelum itu terjadi, aku meraih dagunya dengan
telunjukku dan mengatupkan mulutnya dengan ibu jariku. Sungguh, pribadi gadis
ini sangat menarik dan semakin membuatku tak ingin melepaskannya.
Sebuah
perkebunan terhampar luas dilihat dari balkon rumahku—lebih tepatnya rumah
mendiang ibuku. Dengan sesekali menyesap secangkir teh, mata Elena tak berhenti
memandang puluhan pekerja yang sibuk berkutat dalam pekerjaannya. Ini adalah
pemandangan terindah yang pernah kulihat sebelumnya, begitu cantik.
“Selamat
siang, nona.” Suara lelaki terdengar menyapa Elena dengan bersemangat.
“Selamat
siang.” Senyum Elena terurai lebar menanggapi lelaki itu.
“Bahkan
kau sama sekali tak pernah berbicara seramah itu padaku.” Aku berjalan dengan
cepat mendekati Elena, melempar pandangan sebal yang ditanggapinya dengan bibir
yang mengerucut kesal. Aku berdiri di samping Elena, mencari tahu siapa lelaki
yang dengan lancang mencuri senyuman manis gadisku.
“Hei,
jangan sok ramah. Cepat lanjutkan pekerjaanmu.” Oh… ya… itu Dio, dia adalah
anak dari sepupu adik ipar dari sepupu jauh ibuku. Aku tahu itu karena dia
adalah teman bermainku saat aku menghabiskan liburan di tempat ini semasa
kecil. Rumah ini adalah rumah yang penuh kenangan.
“Kau
ini kenapa, tuan besar?” Suara itu membuyarkan lamunanku.
“Apanya
yang kenapa?” Aku bingung dengan pertanyaan yang dilemparkan tiba-tiba oleh
Elena. Kemudian gadis itu mengisyaratkan kebawah dengan matanya. Oh, lelaki itu.
“Aku
hanya tidak suka mereka bersikap tidak sopan.” Aku menunjukkan nada ketidak
sukaanku pada lelaki itu.
“Mereka
hanya menyapaku. Kenapa kau marah?” Aku menatapnya geram. “Kau cemburu, tuan
besar?”
Ya!
“Tidak,
aku hanya tidak suka dengan sikap mereka.” Aku menjawab setenang mungkin meski
dalam dadaku justru merasakan sebaliknya. Apa-apaan ini? Kenapa aku salah tingkah
melihat tatapan geli gadis itu? Apa dia sedang menggodaku sekarang? Sial, aku
tak akan tahan jika bersamanya dengan keadaan seperti ini. Ayolah, bukankah aku
ini seorang lelaki dewasa? Mengapa aku bertingkah seperti remaja jatuh cinta!
***
Elena
POV
Jangan
panggil aku Elena jika aku tak bisa mengerjai orang-orang yang menurutku sangat
menyebalkan. Dia boleh mendapatkan beberapa poin untuk kemenangannya menggodaku
dan aku akan memanfaatkan segala kesempatan yang ada untuk balas menggodanya. Oh
lihat tadi, tidakkah wajahnya itu menggemaskan? Lamunanku terhenti saat
ponselku berdering, tepat saat ia membuka pintu untuk memasuki rumahnya.
Senyumku kembali tersungging sambil melihat lelaki itu meninggalkanku.
“Halo
sayang.” Sapaku pada seseorang di sana, yang membuat lelaki itu memutar
langkahnya untuk kembali mendekat padaku.
“Siapa?”
Bisik Nico tanpa suara. Aku bisa melihat rasa penasaran yang dia tunjukkan
melalui wajahnya yang tampan. Ia menuntut sebuah jawaban, tetapi aku hanya
mengacungkan telunjukku di depan bibir, kemudian mengedipkan sebelah mataku
padanya.
“Iya,
aku baru saja sampai. Bagaimana kabarmu, sayang? Aku merindukanmu.” Aku membuat
suaraku terkesan manja sambil sesekali memerhatikan ekspresi wajahnya. Wajahnya
tampak masam, kemudian kusunggingkan senyum jahilku padanya. Tanpa pernah
kusangka, lelaki itu tiba-tiba merebut ponselku.
“Elena
butuh istirahat, jangan ganggu dia!” Hardik Nico kasar.
Kemudian
sepertinya suara di telpon membuat Nico terkejut, namun ia berusaha
menyembunyikannya dariku. Oh yeah! Sungguh
aku ingin tertawa penuh kemenangan melihat wajah salah tingkahnya itu.
“Ah,
ya… Em... maaf Evan. Adikmu sakit, dia terlihat pucat. Mungkin dia lelah dan
butuh istirahat.” Suara Nico terdengar lebih lembut. Aku tertawa lagi,
mengingat aku sama sekali tak merasa sedang sakit, dan tentu saja sangat jauh
dari kata pucat. Aku menengadahkan tangan di depan Nico untuk meminta ponselku
kembali. Aku butuh bicara dengan kakakku tersayang.
“Baik
Evan, aku pasti menjaganya dengan baik. Elena ingin berbicara denganmu.”
“Segera
turun adik kecil, aku akan menunggumu untuk makan siang.” Bisik Nico yang
kemudian disusul dengan sebuah ciuman di pipi yang membuatku kembali tersipu. Laki-laki ini!
•••
Hari
sudah gelap, Elena mengeratkan pelukannya untuk dirinya sendiri. Ia duduk di
kursi balkon sambil memikirkan hal-hal buruk yang masih sangat kental dalam
pikirannya. Ia merasa telah terjatuh dalam sebuah lubang hitam dan seumur
hidupnya ia tak akan bisa bangkit.
Sepasang
tangan terulur untuk meletakkan jaket tebal pada tubuh Elena.
“Apa
yang kau pikirkan?” Tanya Nico menyeret sebuah kursi untuk mendekati gadis itu.
“Apa
yang akan terjadi padaku?” Senyum sinis—atau putus asa— tersungging di
bibirnya. “Aku hanya membayangkan bagaimana jika suatu hari polisi menangkapku?
Aku akan berada dalam sel yang dingin tanpa siapapun. Aku akan…” Suara Elena
yang bergetar sesaat kemudian terbungkam oleh bibir hangat lelaki di
hadapannya.
“Selama
aku di sini, kau akan baik-baik saja. Tak akan ada seorangpun yang akan
membawamu.” Nico menangkup wajah Elena dengan kedua tangannya. Air mata kembali
membasahi wajah Elena membuat Nico merengkuhnyadan mengusap punggung gadis itu.
Pelukan
itu sangat menenangkannya, Elena menghirup dalam-dalam aroma tubuh lelaki itu.
Perlahan Elena membalas pelukan Nico dan mengusir jarak yang memisahkan mereka.
Elena tak ingin melepaskan pelukan itu, ia membutuhkannya. Setidaknya untuk
hari ini.
“Nico!”
Bentak seorang gadis yang berdiri di depan pintu. Teriakan itu membuat Elena
sesegera mungkin melepaskan diri dari Nico. Seorang gadis dengan dress yang menutupi setengah pahanya dan
rambut hitamnya yang menjuntai panjang.
Gadis
itu melangkah mendekati Nico, kemudian memeluknya. Elena mengernyitkan dahinya,
menatap Nico dengan pandangan bertanya-tanya. Tak ada penjelasan apapun,
membuatnya harus tahu diri. Tanpa kalimat apapun yang mampu keluar dari
mulutnya, Elena bergegas untuk pergi dari tempat itu.
Ini
salahnya, seharusnya ia tahu bahwa lelaki itu hanya bersikap baik padanya.
Faktanya, dia tak lebih dari seorang ‘adik kecil’ bagi lelaki itu. Dan ia harus
segera menghentikan perasaannya. Perasaan yang mulai tumbuh untuk lelaki yang
tak akan pernah menjadi miliknya.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D