Kamis, 19 Mei 2016

Purple Maple (Dua)



“HAI, Kal.”

Baru saja Kalila mendesah lega setelah terbebas dari kuliahnya siang ini. Dan sekarang telinganya sudah menangkap sapaan yang ingin dihindarinya. Seorang lelaki berdiri di depan pintu kelas yang akan ditinggalkan Kalila, seolah memang sengaja menunggunya. Atau mungkin mengadangnya.

“Oh, hai, Elliot.” Kalila balas menyapa. Seperti biasa, demi menjaga sopan-santunnya.

“Aku senang mendengarmu menyebut namaku,” ucap Elliot dan membuktikannya dengan seulas senyum bahagia di wajahnya. “Mau makan siang bersama?”

“Maaf, tapi aku sudah membawa bekalku sendiri,” tolak Kalila sehalus mungkin.

“Oh, begitukah?” Kening Elliot berkerut kecewa. “Mungkin lain kali?”

Kalila mengangguk sambil lalu. “Kalau begitu, aku pergi dulu, ya.”

Cepat-cepat Kalila memacu langkahnya menjauh. Tidak sedikit pun ia merepotkan diri untuk menoleh barang sejenak ke arah Elliot. Kakinya bergerak cepat menuju taman yang terletak di bagian belakang gedung fakultas. Beruntung, dengan mudah ia menemukan tempat duduk kosong di bawah pohon yang rindang.


Kalila langsung menghempaskan pantatnya di tengah kursi panjang yang muat diduduki tiga orang itu. Memang sengaja agar tidak ada orang asing yang duduk di sampingnya. Ia ingin menghabiskan istirahat siangnya di sini. Jadi, ia harus membuat tempat ini senyaman mungkin untuk dirinya.

Punggung Kalila mendapatkan kenyamanannya saat bersandar ke punggung kursi. Duduk tegak selama kuliah memang melelahkan. Ia memindahkan tas ke atas pangkuannya lalu mengeluarkan kotak berisi sandwich tuna sebagai pahlawan makan siangnya.
                                                
Sengaja, Kalila menghindari kantin sampai waktu yang tidak ditentukan setelah insiden kopi tempo hari. Bukan karena takut atau masih merasa malu. Melainkan ia ingin menghindari kemungkinan untuk bertemu dengan gadis loudspeaker yang mungkin saja masih menyimpan dendam padanya. Ia malas berurusan dengan orang absurd semacam itu. Karena ia sendiri juga tidak bisa menjamin bahwa di kesempatan selanjutnya gadis itu tidak akan berakhir dengan kepala botak permanen.

Kalila terkikik sendiri membayangkan imajinasi sadisnya. Bahkan ia tidak menyadari saat seseorang datang dan menghimpitnya dalam pelukan. Membuat gigitan terakhir sandwich tunanya nyaris membunuhnya seketika.

“Apa kabar, Kal?” sapa mesin pemeluk itu dengan nada ceria.

Sementara Kalila masih sibuk menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak. Konsenterasinya mengumpul perlahan bersamaan dengan suara batuknya yang terputus-putus. “E-rin? Erin?”

Tingtong! Tebakanmu tepat sekali!” seru Erin penuh keceriaan, didukung dengan penampilannya yang serba jingga hari ini. Terutama kukunya yang tampak segar seperti sekumpulan jeruk mandarin.

“Astaga, kau membuatku kaget,” keluh Kalila sambil mengubek-ubek isi tasnya, mencari botol minuman yang mungkin ada di negeri antah berantah.

“Kau sedang apa, Kal?”

Kalila hanya mengangkat buku diktat yang tadi dibacanya. Mengisyaratkan kegiatan yang dilakukannya sebelum akhirnya Erin datang dan membuatnya tersedak.

“Belajar?” Erin mengonfirmasi maksud Kalila. Tetapi entah mengapa nada bicaranya terdengar heran. “Ah, andai saja kita berada di jurusan yang sama. Pasti kita bisa belajar bertiga di taman. Seperti ini.”

Kalila yakin benar bahwa ‘kita’ yang dimaksud Erin adalah mereka berdua ditambah Valeria. Tetapi ia malah menghela napas lega karena merasa beruntung tidak berada satu jurusan dengan dua orang itu. Dan helaan napasnya semakin berat begitu teringat bahwa botol minumannya tertinggal di atas rak sepatunya.

“Omong-omong, kenapa kau mengenakan topi, Kal? Seperti buronan saja. Untung tadi aku masih bisa mengenalimu,” komentar Erin masih saja tidak menyadari kesalahannya yang nyaris mengakhiri napas Kalila. Gadis itu malah mengulurkan tangan, berniat melepas topi dari kepala Kalila.

“Jangan!” cegah Kalila cepat sambil memegangi topinya. Terlalu cepat hingga terdengar seperti sentakan yang mengejutkan Erin dan juga dirinya sendiri. Ia berdeham dan merendahkan nada bicaranya. “Maksudku, hari ini sangat terik. Jadi....”

“Oke, oke. Aku mengerti, Kal,” potong Erin sambil melebarkan senyum. “Tapi lain kali kau bisa mencoba memakai sunblock.”

Kalila mengangguk samar. Diam-diam, ia merasa lega Erin tidak merebut topinya seperti yang dilakukan Valeria tempo hari.

Pandangan Kalila berubah kecokelatan secara tiba-tiba. Ia mengerjapkan mata beberapa kali. Sebelum akhirnya menyadari ada gelas kertas yang menguarkan aroma kopi menghalangi penglihatannya.

“Ini untukmu, Kal.”

Gelas itu mendadak bersuara, membuat Kalila terkesiap dan mengangkat kepalanya. Di hadapannya, Elliot berdiri menjulang dengan senyumannya yang khas. Baru kali ini Kalila menyadari lelaki itu memiliki lesung pipit yang manis.

“Terima kasih,” ucap Kalila sambil menerima kopi itu dan menyesapnya perlahan-lahan. Kafeina cair itu mengairi tenggorakannya yang tersumbat repih-repih roti. Ia terlalu merasa lega hingga tidak risi saat Elliot duduk di sebelahnya.

Justru kehebohan klandestin Erin yang membuat Kalila bingung. Gadis itu menjawil pinggangnya hingga ia menoleh protes. Tanpa peduli pada ekspresi Kalila, Erin malah berbisik menanyakan tentang lelaki yang baru saja bergabung dengan mereka.

“Oh, iya, Elliot. Perkenalkan, ini Erin,” ucap Kalila sambil memundurkan tubuhnya hingga punggungnya benar-benar menempel maksimail ke sandaran kursi.

“Hai, Erin,” sapa Elliot sambil mengulurkan tangannya. “Maaf, aku tidak tahu kalau Kal sedang bersamamu. Jadi, aku hanya membeli kopi untuknya.”

Malu-malu, Erin menjabat tangan Elliot. Wajah gadis itu terang-terangan tersipu. Bahkan Kalila berani bersumpah ia sempat melihat Erin menggigit bibir bawahnya sepersekian detik.

“Tidak apa-apa, kok. Mungkin kita bisa minum kopi bersama lain waktu.”

Mata Kalila melirik bergantian ke kanan dan kiri. Walaupun dua pasang mata yang diliriknya itu sama-sama tidak menyadarinya. Mereka seolah saling terkunci untuk memandang satu sama lain. Hingga akhirnya saling melempar senyum dan merekatkan jabatan tangan yang merentang di hadapan Kalila.

Kalila menghitung sampai sepuluh di dalam hati. Begitu tiba di angka sepuluh, posisi ini belum juga berubah. Hati-hati, ia mencoba memasuki kabut tidak kasatmata yang menutupi sosoknya.

Hem... boleh permisi sebentar?”

Terkesiap, Erin dan Elliot langsung menarik kembali tangan masing-masing. Kabut di sekitar mereka tersapu bersih, menampilkan sosok Kalila.

“Maaf kalau aku mengganggu. Tapi aku harus pergi sekarang,” pamit Kalila sambil bangkit dari duduknya, takut kembali terpenjara oleh jabatan tangan tanpa akhir yang seolah mengurungnya dalam kandang harimau. “Silakan lanjutkan yang tadi.”
***

Keluar dari kandang harimau, masuk ke kandang buaya.

Peribahasa satu itu sepertinya sesuai untuk menggambarkan situasi saat ini. Situasi yang harus dihadapi Kalila karena kebodohannya sendiri.

Tadinya Kalila berniat pindah ke perpustakaan sambil menunggu jam kuliah yang selanjutnya. Tetapi entah karena panik atau masih terpengaruh kabut merah muda, ia malah melangkah ke arah sebaliknya. Kaki dalam chukka boots berwarna cokelat kopi itu membawanya ke tempat yang paling dihindarinya.

Tidak ada waktu untuk merutuki diri sendiri. Kalila harus bergegas memutar balik haluannya. Sebelum kandang buaya yang ditakutinya terbuka lebar.

“Hei, kau!”

Sebuah seruan menusuk punggung Kalila. Entah bagaimana, tetapi ia yakin seruan itu ditujukan untuknya. Maka, ia memilih untuk berpura-pura tidak mendengar dan meneruskan langkah kembali ke fakultasnya.

Bukannya menjadi tuli sementara, telinga Kalila malah semakin menajamkan kemampuannya. Ia bisa mendengar bunyi hak sepatu yang mengehentak-hentak di belakangnya. Bahkan bunyi gemerencing gantungan kunci yang bergoyang-goyang seiring langkah kaki pemiliknya.

Oh, sial. Pintu kandang buaya sudah terbuka.

Sebuah tepukan keras di bahunya, membuat Kalila sadar ia sudah terseret masuk ke dalam kandang buaya. Tangan yang menggenggam bahunya membalikkan tubuh Kalila dengan cepat. Dan ia tidak bisa berkutik, seperti tikus yang ekornya terjepit di perangkap.

Mata Kalila melirik ke arah tikungan di depannya. Ah, padahal tinggal beberapa langkah lagi ia tiba di fakultasnya. Kalau tahu jadinya akan seperti ini, lebih baik ia mati kaku karena menunggu Erin dan Elliot melepas jabatan tangan mereka.

Begitu berbalik, Kalila langsung menelan ludahnya yang terasa tajam. Ternyata buaya itu tidak sendiri. Mungkin ada sekitar lima buaya yang mengepungnya saat ini. Tetapi Kalila tidak sempat menghitung, karena buaya pirang palsu yang tadi menepuk bahunya itu langsung berucap sinis.

“Ternyata kau dari fakultas ekonomi,” ucap buaLory dengan nada meremehkan. “Pantas aku tidak menemukanmu di fakultasku.”

Kalila hanya membalas dengan tatapan malas. Sebelah alisnya terangkat acuh tidak acuh. Sementara bibirnya bungkam, mengabaikan kalimat itu berlalu seperti angin kosong.

“Jangan mengabaikanku, Kancil Genit.” Lory maju selangkah dan menatap langsung ke arah Kalila. Jika tidak dibantu sepatu hak tingginya, mungkin ia harus mendongak untuk menatap gadis yang disebutnya sebagai ‘kancil genit’. Para anteknya, berdiri di belakang sambil kompak melipat tangan di depan dada.

Ironis memang. Kalila masih ingat benar bagaimana dahulu ia sering mengalami situasi seperti ini. Tetapi dengan posisi berbeda. Saat itu, ia dan teman-temannya menjadi para buaya bermulut busuk. Menghardik teman sekelas yang dianggap kurang populer, mengancam orang lain untuk mengerjakan tugas, memanggil adik kelas dengan panggilan yang menusuk telinga.

Dan sekarang, karma seolah mengikat kuat kakinya. Memutar balik keadaan dan meletakkannya di posisi yang ditindas.

“Kau, kan, gadis yang sengaja menumpahkan kopi untuk mencari perhatian pacarku?” tuduh Lory tanpa basa-basi.

Kening Kalila berkerut geram. “Maaf untuk mengatakan ini, Nona Besar,” ucap Kalila sengaja menunjukkan ekspresi jijik. “Tapi aku sama sekali tidak tertarik dengan pacarmu itu.”

Tempo hari Kalila memang diam. Karena saat itu ia merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. Tetapi hari ini ia tidak mau menerima cacian karena dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Ia tidak mau terus diam dan menjadi sasaran empuk untuk selanjutnya.

Persetan dengan sopan-santun.

“Ohbenarkah? Apa itu berarti sebenarnya kau ingin menarik perhatianku?” sahut Lory tidak mau kalah, diikuti tawa mengejek dari teman-temannya.

Mata Kalila melebar gusar mendengar tuduhan lain yang ditujukan untuknya.

“Kau suka padaku?” tambah Lory sambil menunjuk dadanya sendiri, lantas melepaskan tawa melalu bibirnya yang dipoles lipstik merah darah. “Betapa cantiknya aku, hingga membuat gadis lain jatuh cinta.”

Mata Kalila semakin melebar. Bahkan ia nyaris memuntahkan sandwich tunanya melalui rongga mata. Saking loyanya mendengar anggapan yang dituduhkan kepadanya secara bertubi-tubi.

“Aku tidak seperti itu!”

“Kalau begitu, kau pasti berbohong.” Lory melontarkan tuduhan lainnya. “Mana ada gadis di dunia ini yang tidak tertarik pada Diego-ku.”

“Apa menurutmu ketertarikan itu hanya dinilai dari penampilan fisik, huh?” sahut Kalila cepat, lantas mendenguskan tawa sinis. “Pantas saja kau berdandan menor habis-habisan tapi otakmu kosong melompong.”

Kali ini, Lory terdiam tidak bisa membalas ucapan Kalila. Tetapi ekspresi gadis itu seolah mampu mengucapkan segalanya. Wajahnya merah padam entah karena marah atau malu. Yang pasti ia tidak akan terima jika kalah bicara dari orang lain. Lagipula, bukankah Lory adalah calon advokat hebat di masa depan? Bagaimanapun ia tidak boleh kalah begitu saja.

Kehabisan kata-kata, Lory bergerak cepat merenggut topi dari kepala Kalila dan membantingnya ke atas trotoar. Ia menginjak topi berwarna khaki itu dengan sepatu hak tingginya. Sepasang mata berlapis lensa kontak ungu gelap itu memancarkan aura meremehkan.

Mata Kalila langsung berselimut kabut amarah. Sontak ia mendorong bahu Lory hingga gadis itu terhuyung ke belakang. Beruntung, antek-anteknya sigap menahan tubuh gadis loudspeaker itu agar tidak jatuh terjengkang. Setelah memungut topinya, Kalila segera pergi dari situ sebelum darahnya benar-benar mendidih.

Kalila berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar. Kepalanya tertunduk memandang debu jejak sepatu yang tercetak di topinya. Tidak peduli lagi ke mana kaki ini akan membawanya. Entah ke kandang dubuk atau pun serigala, ia benar-benar tidak peduli.

Tiba-tiba saja Kalila bertabrakan langsung dengan dinding yang keras. Ia mengaduh dengan panik. Tetapi tiba-tiba saja dinding itu bergerak dan membuatnya sadar bahwa itu bukanlah dinding. Sekarang dinding itu bahkan mencekal kedua bahunya dan mulai bersuara.

“Hati-hati, Lil Princess.”

Kalila langsung mendongak dan bersitatapan dengan sepasang mata dingin yang menatapnya lembut selama beberapa detik. Tetapi kemudian tatapan itu berubah bingung. Sama bingungnya dengan apa yang diperdebatkan benaknya saat ini.

“Sepertinya akhir-akhir ini kau sering sekali menabrakku, ya, Lil Princess.”

Kalila menelan ludahnya yang terasa menyakitkan. Jauh lebih menyakitkan daripada tersedak sandwich tuna. Tenggorakannya tercekat. Sementara tidak satu pun kata bisa terucap dari bibirnya yang bergetar.

Hanya ada satu orang yang memanggilnya seperti itu. Panggilan norak yang disukainya. Setidaknya untuk beberapa tahun silam. Tetapi sekarang, mendengar panggilan itu seperti mendengar bunyi sangkakala pertanda dirinya akan terseret ke neraka.

“Sudah kuduga, kau pasti tidak merindukanku,” ucap lelaki itu dengan raut wajah yang dibuat kecewa. “Apa benar semudah itu melupakanku?”

Oh, tidak. Setiap kalimat yang diucapkan dengan suara yang rendah dan maskulin itu membuat pintu neraka berderak terbuka menyambutnya. Kalila harus bergegas menyelamatkan diri. Ke kandang anaconda sekalipun!
***

‘APA kau benar-benar menginginkannya, Lil Princess?’

‘Ssst... jangan memanggilku seperti itu di sini,’ bisik Kalila tanpa menggerakkan bibirnya. Matanya mendelik penuh peringatan. Panggilan itu sangat norak. Tetapi Kalila menyukainya. Hanya saja ia tidak ingin yang lain mendengarnya. ‘Dan ya tentu saja aku menginginkannya.’

Diego merapatkan jaket kedodorannya yang menenggelamkan tubuh kurusnya. Bukan hanya karena malam ini sangat dingin. Tetapi juga karena tebing terjal yang akan didakinya beberapa menit lagi. Tebing itu memang tidak terlalu tinggi. Hanya saja bebatuan tajam yang menghiasinya membuat Diego bergidik ngeri. Bebatuan itu akan langsung menghadiahkan luka jika kau terjatuh karena salah melangkah.

Di tepi tebing itu, berdiri kokoh sebatang pohon maple. Daun-daun berwarna ungu gelap tumbuh rimbun di setiap rantingnya. Daun itulah yang diinginkan Kalila sebagai bukti cinta Diego kepadanya.

‘Tapi... apa itu tidak berbahaya?’

Kalila tidak langsung menjawab. Gadis itu malah meraih tangan Diego. Ia menggenggam tangan lelaki lima belas tahun itu sambil mengerjapkan matanya dengan manja. Bibirnya mengerucut bersiap membujuk. Jurus andalan Kalila yang selalu berguna untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya.

‘Kumohon, Diego. Lakukan ini demi aku,’ ucap Kalila dengan nada penuh rayuan.

Di bawah cahaya yang temaram, Diego menatap sepasang mata cokelat itu. Detik berikutnya, ia sudah menghela napas tanda mengalah.

Apa boleh buat. Kalau sudah begini, tidak ada pilihan lain selain melakukannya. ‘Baiklah.’ Sepasang mata Diego berkilat penuh tekad. ‘Aku akan melakukannya.’

Kalila tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. ‘Terima kasih, My Hero Diego.’

Sebenarnya, tidak ada yang perlu dibuktikan Diego kepada Kalila. Mereka berdua saling mencintai satu sama lain. Dan mereka sama-sama mengetahui itu.

Diego adalah lelaki yang baik dan cerdas. Kalila tidak pernah peduli pada tulang pipi dan lutut Diego yang menonjol. Atau tingginya yang tidak lebih dari pelipis Kalila. Juga pipinya yang dihiasi jerawat dan gaya rambutnya yang ketinggalan zaman. Waktu yang mereka lalui selalu terasa menyenangkan. Dan itu lebih dari cukup bagi Kalila.

Justru sekumpulan orang-orang sombongyang menyebut diri mereka temanitu yang menuntut pembuktian. Sebagai kalangan populer di sekolah, mereka menganggap Diego sangat tidak pantas bersanding dengan Kalila. Kecuali, kalau Diego berani menunjukkan bahwa ia bukanlah lelaki pengecut.

Itulah mengapa Kalila tidak pernah mengakui hubungannya dengan Diego. Bukan karena malu. Tetapi ia tahu pasti bahwa orang-orang itu akan ikut campur seperti saat ini.

Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan. Saat itu, Diego dan Kalila bersinggungan untuk mengambil buku yang sama. Mendapati ada orang lain yang memiliki minat serupa, mereka langsung tenggelam dalam obrolan yang seakan tiada akhir. Jauh berbeda dengan lingkungan populernya yang hanya membahas tas bermerk keluaran terbaru atau pun rencana penindasan terhadap kalangan kurang populer.

Kalila merasa menemukan dunianya. Dan perlahan ia mulai menjauh dari lingkungan populernya. Ia lebih memilih menghabiskan jam istirahat bersama Diego di perpustakaan alih-alih ikut bergosip ria di kantin.

Awalnya, semua berjalan lancar tanpa masalah. Kalila juga sama sekali tidak merasa kehilangan. Ia sendiri juga bingung mengapa ia bisa dengan mudah masuk ke dalam golongan populer. Entah karena fisiknya yang menarik, otaknya yang cemerlang, atau bahkan hanya karena ia adalah putri dari keluarga kaya raya.

Sayangnya, tidak lama kemudian beberapa temannya ada yang curiga. Hingga memutuskan untuk membuntuti Kalila ke perpustakaan. Sejak saat itu, rahasianya dan Diego terbongkar.

‘Tunggulah bersama yang lainnya,’ ucap Diego membuyarkan lamunan Kalila. Lelaki itu melepaskan syalnya, lalu melilitkannya ke leher Kalila. ‘Aku akan mengambil maple ungu itu untukmu.’

Kalila mengangguk kecil, masih tersipu dengan aroma Diego yang menguar dari syal rajut yang melingkari lehernya. Ia berbalik lalu berlari kecil ke arah teman-teman populernya.

‘Jadi, si pengecut itu akan melakukannya?’ tanya Sharon dengan nada mencemooh.

‘Tentu saja,’ balas Kalila tidak terima. Ia tidak suka mendengar orang-orang ini saat membicarakan Diego. Tetapi ia mencoba bersabar untuk terakhir kali. ‘Lihat, dia sudah mulai mendaki.’

Dengan gesit, Diego menjadikan bebatuan di permukaan tebing sebagai pijakan. Tanpa kesulitan yang berarti, ia sudah berdiri di tepi tebing diikuti sorakan Kalila dan teman-temannya. Sekarang yang perlu dilakukan Diego hanyalah memanjat pohon dan memetik satu helai daun maple ungu itu. Setelah itu, semua ini akan berakhir. Ia bisa bebas mengakui hubungannya dengan Diego, tanpa perlu takut dikucilkan ataupun dijadikan sasaran penindasan.

‘Tapi, kalau dia gagal, kau harus pacaran denganku, ya,’ ucap Rubensalah satu lelaki di sana, sambil merangkul bahu Kalila.

‘Dalam mimpimu!’ tolak Kalila sambil menepis lengan Ruben.
***

Kalila tidak tahu ia mimpi apa tadi malam. Tetapi yang jelas, lelaki yang duduk di hadapannya ini seolah datang dari mimpi buruknya yang terdalam. Sosok yang menghantui hari-harinya yang muram.

Tubuh lelaki itu tegap dan berisi. Saat berdiri berhadapan, Kalila harus mendongakkan kepala untuk bisa menatap wajahnya. Otot-otot liat terlihat menyembul di balik polo shirt hitam yang melekat pas di tubuhnya. Rambut lelaki itu jatuh tepat ke atas lengkungan alisnya yang memberi kesan angkuh. Sepasang matanya tampak dingin sekaligus mampu menatap dengan penuh kelembutan.

Lelaki itu menyesap perlahan kopinya. Matanya tidak sedikit pun lepas dari Kalila. Sementara tangannya bergerak mengembalikan cangkir porselen itu ke atas tatakan. Sekilas, ia menjilat bibir penuhnya, menghapus sisa kopi yang tertinggal di sana.

Oh, Tuhan. Seharusnya lelaki ini lebih pantas menjadi pangeran dalam mimpi indahnya.

Kalila masih tidak bisa memercayai ini. Atau, tidak ingin, lebih tepatnya. Ia menundukkan kepalanya karena merasa tidak nyaman. Sekujur tubuhnya seperti membeku. Dalam hati, ia sungguh-sungguh berharap bahwa ini semua hanyalah mimpi di siang bolong. Dan begitu ia mengangkat kepalanya, ia akan terbangun di kamar indekosnya.

“Jadi, apa kabarmu, Lil Princess?”

Kepala Kalila terangkat. Dan matanya langsung membuang pandangan ke arah lain, tidak sanggup bersitatap dengan mata yang sehitam langit malam. Ia merapatkan coat panjang yang dikenakannya saat menyadari bahwa harapannya tidak menjadi nyata. Mereka berdua masih duduk berhadapan di dalam kafe bernuansa warna-warni.

“Berhenti memanggilku seperti itu,” balas Kalila sambil menyeruput mango smoothie pesanannya.

Ck. Kalila merutuk dalam hati, menyesali sikap ketusnya. Itu bukan kata-kata yang pantas untuk diucapkan. Seharusnya ia meminta maaf kepada Diego atas apa yang terjadi di masa lalu. Tetapi ia kelewat gugup hingga bibirnya tidak bisa dikendalikan dengan benar.

“Lho? Kenapa?” tanya Diego bingung. “Aku tidak keberatan kau memanggilku ‘My Hero Diego’.”

Pipi Kalila sontak bersemu merah. Ia sangat mengingat panggilan norak itu. Panggilan istimewa  di antara mereka berdua.

“Kita sudah tidak pacaran lagi.”

Ah, bodohnya. Memang belum ada kesepakatan resmi tentang hubungan mereka setelah malam itu. Tetapi Kalila sangat menyesali kata-katanya yang seolah tidak berperasaan. Duh, kapan sih mulutnya berhenti membuat kacau?

Tetapi lelaki itu malah menarik bibirnya membentuk senyuman. “Aku tidak keberatan kalau kita pacaran lagi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D