“HAI, Kal.”
Baru saja Kalila mendesah lega setelah terbebas dari kuliahnya
siang ini. Dan sekarang telinganya sudah menangkap sapaan yang ingin
dihindarinya. Seorang lelaki berdiri di depan pintu kelas yang akan
ditinggalkan Kalila, seolah memang sengaja menunggunya. Atau mungkin mengadangnya.
“Oh, hai, Elliot.” Kalila balas menyapa. Seperti biasa, demi
menjaga sopan-santunnya.
“Aku senang mendengarmu menyebut namaku,” ucap Elliot dan
membuktikannya dengan seulas senyum bahagia di wajahnya. “Mau makan siang
bersama?”
“Maaf, tapi aku sudah membawa bekalku sendiri,” tolak
Kalila sehalus mungkin.
“Oh, begitukah?” Kening Elliot berkerut kecewa. “Mungkin
lain kali?”
Kalila mengangguk sambil lalu. “Kalau begitu, aku pergi
dulu, ya.”
Cepat-cepat Kalila memacu langkahnya menjauh. Tidak
sedikit pun ia merepotkan diri untuk menoleh barang sejenak ke arah Elliot.
Kakinya bergerak cepat menuju taman yang terletak di bagian belakang gedung
fakultas. Beruntung, dengan mudah ia menemukan tempat duduk kosong di bawah
pohon yang rindang.
Kalila langsung menghempaskan pantatnya di tengah kursi
panjang yang muat diduduki tiga orang itu. Memang sengaja agar tidak ada orang
asing yang duduk di sampingnya. Ia ingin menghabiskan istirahat siangnya di sini.
Jadi, ia harus membuat tempat ini senyaman mungkin untuk dirinya.
Punggung Kalila mendapatkan kenyamanannya saat bersandar
ke punggung kursi. Duduk tegak selama kuliah memang melelahkan. Ia memindahkan
tas ke atas pangkuannya lalu mengeluarkan kotak berisi sandwich tuna sebagai pahlawan makan siangnya.
Sengaja, Kalila menghindari kantin sampai waktu yang
tidak ditentukan setelah insiden kopi tempo hari. Bukan karena takut atau masih
merasa malu. Melainkan ia ingin menghindari kemungkinan untuk bertemu dengan
gadis loudspeaker yang mungkin saja
masih menyimpan dendam padanya. Ia malas berurusan dengan orang absurd semacam
itu. Karena ia sendiri juga tidak bisa menjamin bahwa di kesempatan selanjutnya
gadis itu tidak akan berakhir dengan kepala botak permanen.
Kalila terkikik sendiri membayangkan imajinasi sadisnya.
Bahkan ia tidak menyadari saat seseorang datang dan menghimpitnya dalam
pelukan. Membuat gigitan terakhir sandwich
tunanya nyaris membunuhnya seketika.
“Apa kabar, Kal?” sapa mesin pemeluk itu dengan nada
ceria.
Sementara Kalila masih sibuk menepuk-nepuk dadanya yang
terasa sesak. Konsenterasinya mengumpul perlahan bersamaan dengan suara
batuknya yang terputus-putus. “E-rin? Erin?”
“Tingtong!
Tebakanmu tepat sekali!” seru Erin penuh keceriaan, didukung dengan
penampilannya yang serba jingga hari ini. Terutama kukunya yang tampak segar
seperti sekumpulan jeruk mandarin.
“Astaga, kau membuatku kaget,” keluh Kalila sambil
mengubek-ubek isi tasnya, mencari botol minuman yang mungkin ada di negeri
antah berantah.
“Kau sedang apa, Kal?”
Kalila hanya mengangkat buku diktat yang tadi dibacanya. Mengisyaratkan
kegiatan yang dilakukannya sebelum akhirnya Erin datang dan membuatnya
tersedak.
“Belajar?” Erin mengonfirmasi maksud Kalila. Tetapi entah
mengapa nada bicaranya terdengar heran. “Ah, andai saja kita berada di jurusan
yang sama. Pasti kita bisa belajar bertiga di taman. Seperti ini.”
Kalila yakin benar bahwa ‘kita’ yang dimaksud Erin adalah
mereka berdua ditambah Valeria. Tetapi ia malah menghela napas lega karena
merasa beruntung tidak berada satu jurusan dengan dua orang itu. Dan helaan
napasnya semakin berat begitu teringat bahwa botol minumannya tertinggal di
atas rak sepatunya.
“Omong-omong, kenapa kau mengenakan topi, Kal? Seperti
buronan saja. Untung tadi aku masih bisa mengenalimu,” komentar Erin masih saja
tidak menyadari kesalahannya yang nyaris mengakhiri napas Kalila. Gadis itu
malah mengulurkan tangan, berniat melepas topi dari kepala Kalila.
“Jangan!” cegah Kalila cepat sambil memegangi topinya.
Terlalu cepat hingga terdengar seperti sentakan yang mengejutkan Erin dan juga
dirinya sendiri. Ia berdeham dan merendahkan nada bicaranya. “Maksudku, hari
ini sangat terik. Jadi....”
“Oke, oke. Aku mengerti, Kal,” potong Erin sambil
melebarkan senyum. “Tapi lain kali kau bisa mencoba memakai sunblock.”
Kalila mengangguk samar. Diam-diam, ia merasa lega Erin
tidak merebut topinya seperti yang dilakukan Valeria tempo hari.
Pandangan Kalila berubah kecokelatan secara tiba-tiba. Ia
mengerjapkan mata beberapa kali. Sebelum akhirnya menyadari ada gelas kertas
yang menguarkan aroma kopi menghalangi penglihatannya.
“Ini untukmu, Kal.”
Gelas itu mendadak bersuara, membuat Kalila terkesiap dan
mengangkat kepalanya. Di hadapannya, Elliot berdiri menjulang dengan
senyumannya yang khas. Baru kali ini Kalila menyadari lelaki itu memiliki
lesung pipit yang manis.
“Terima kasih,” ucap Kalila sambil menerima kopi itu dan
menyesapnya perlahan-lahan. Kafeina cair itu mengairi tenggorakannya yang
tersumbat repih-repih roti. Ia terlalu merasa lega hingga tidak risi saat Elliot
duduk di sebelahnya.
Justru kehebohan klandestin Erin yang membuat Kalila
bingung. Gadis itu menjawil pinggangnya hingga ia menoleh protes. Tanpa peduli
pada ekspresi Kalila, Erin malah berbisik menanyakan tentang lelaki yang baru
saja bergabung dengan mereka.
“Oh, iya, Elliot. Perkenalkan, ini Erin,” ucap Kalila
sambil memundurkan tubuhnya hingga punggungnya benar-benar menempel maksimail
ke sandaran kursi.
“Hai, Erin,” sapa Elliot sambil mengulurkan tangannya.
“Maaf, aku tidak tahu kalau Kal sedang bersamamu. Jadi, aku hanya membeli kopi
untuknya.”
Malu-malu, Erin menjabat tangan Elliot. Wajah gadis itu
terang-terangan tersipu. Bahkan Kalila berani bersumpah ia sempat melihat Erin
menggigit bibir bawahnya sepersekian detik.
“Tidak apa-apa, kok. Mungkin kita bisa minum kopi bersama
lain waktu.”
Mata Kalila melirik bergantian ke kanan dan kiri.
Walaupun dua pasang mata yang diliriknya itu sama-sama tidak menyadarinya.
Mereka seolah saling terkunci untuk memandang satu sama lain. Hingga akhirnya saling
melempar senyum dan merekatkan jabatan tangan yang merentang di hadapan Kalila.
Kalila menghitung sampai sepuluh di dalam hati. Begitu
tiba di angka sepuluh, posisi ini belum juga berubah. Hati-hati, ia mencoba
memasuki kabut tidak kasatmata yang menutupi sosoknya.
“Hem... boleh
permisi sebentar?”
Terkesiap, Erin dan Elliot langsung menarik kembali
tangan masing-masing. Kabut di sekitar mereka tersapu bersih, menampilkan sosok
Kalila.
“Maaf kalau aku mengganggu. Tapi aku harus pergi
sekarang,” pamit Kalila sambil bangkit dari duduknya, takut kembali terpenjara
oleh jabatan tangan tanpa akhir yang seolah mengurungnya dalam kandang harimau.
“Silakan lanjutkan yang tadi.”
***
Keluar dari kandang harimau, masuk ke kandang buaya.
Peribahasa satu itu sepertinya sesuai untuk menggambarkan
situasi saat ini. Situasi yang harus dihadapi Kalila karena kebodohannya
sendiri.
Tadinya Kalila berniat pindah ke perpustakaan sambil
menunggu jam kuliah yang selanjutnya. Tetapi entah karena panik atau masih
terpengaruh kabut merah
muda, ia malah melangkah ke arah sebaliknya. Kaki dalam chukka boots berwarna cokelat kopi itu membawanya ke tempat yang
paling dihindarinya.
Tidak ada waktu untuk merutuki diri sendiri. Kalila harus
bergegas memutar balik haluannya. Sebelum kandang buaya yang ditakutinya
terbuka lebar.
“Hei, kau!”
Sebuah seruan menusuk punggung Kalila. Entah bagaimana,
tetapi ia yakin seruan itu ditujukan untuknya. Maka, ia memilih untuk
berpura-pura tidak mendengar dan meneruskan langkah kembali ke fakultasnya.
Bukannya menjadi tuli sementara, telinga Kalila malah
semakin menajamkan kemampuannya. Ia bisa mendengar bunyi hak sepatu yang
mengehentak-hentak di belakangnya. Bahkan bunyi gemerencing gantungan kunci
yang bergoyang-goyang seiring langkah kaki pemiliknya.
Oh, sial. Pintu
kandang buaya sudah terbuka.
Sebuah tepukan keras di bahunya, membuat Kalila sadar ia
sudah terseret masuk ke dalam kandang buaya. Tangan yang menggenggam bahunya
membalikkan tubuh Kalila dengan cepat. Dan ia tidak bisa berkutik, seperti
tikus yang ekornya terjepit di perangkap.
Mata Kalila melirik ke arah tikungan di depannya. Ah,
padahal tinggal beberapa langkah lagi ia tiba di fakultasnya. Kalau tahu
jadinya akan seperti ini, lebih baik ia mati kaku karena menunggu Erin dan
Elliot melepas jabatan tangan mereka.
Begitu berbalik, Kalila langsung menelan ludahnya yang
terasa tajam. Ternyata buaya itu tidak sendiri. Mungkin ada sekitar lima buaya
yang mengepungnya saat ini. Tetapi Kalila tidak sempat menghitung, karena buaya
pirang palsu yang tadi menepuk bahunya itu langsung berucap sinis.
“Ternyata kau dari fakultas ekonomi,” ucap bua—Lory
dengan nada meremehkan. “Pantas aku tidak menemukanmu di fakultasku.”
Kalila hanya membalas dengan tatapan malas. Sebelah
alisnya terangkat acuh tidak acuh. Sementara bibirnya bungkam, mengabaikan
kalimat itu berlalu seperti angin kosong.
“Jangan mengabaikanku, Kancil Genit.” Lory maju selangkah
dan menatap langsung ke arah Kalila. Jika tidak dibantu sepatu hak tingginya,
mungkin ia harus mendongak untuk menatap gadis yang disebutnya sebagai ‘kancil genit’.
Para anteknya, berdiri di belakang sambil kompak melipat tangan di depan dada.
Ironis memang. Kalila masih ingat benar bagaimana dahulu
ia sering mengalami situasi seperti ini. Tetapi dengan posisi berbeda. Saat
itu, ia dan teman-temannya menjadi para buaya bermulut busuk. Menghardik teman
sekelas yang dianggap kurang populer, mengancam orang lain untuk mengerjakan
tugas, memanggil adik kelas dengan panggilan yang menusuk telinga.
Dan sekarang, karma seolah mengikat kuat kakinya. Memutar
balik keadaan dan meletakkannya di posisi yang ditindas.
“Kau, kan, gadis yang sengaja menumpahkan kopi untuk
mencari perhatian pacarku?” tuduh Lory tanpa basa-basi.
Kening Kalila berkerut geram. “Maaf untuk mengatakan ini,
Nona Besar,” ucap Kalila sengaja menunjukkan ekspresi jijik. “Tapi aku sama
sekali tidak tertarik dengan pacarmu itu.”
Tempo hari Kalila memang diam. Karena saat itu ia merasa
bersalah atas apa yang dilakukannya. Tetapi hari ini ia tidak mau menerima
cacian karena dituduh melakukan sesuatu yang tidak dilakukannya. Ia tidak mau
terus diam dan menjadi sasaran empuk untuk selanjutnya.
Persetan dengan sopan-santun.
“Oh—benarkah? Apa itu berarti sebenarnya kau ingin menarik
perhatianku?” sahut Lory tidak mau kalah, diikuti tawa mengejek dari
teman-temannya.
Mata Kalila melebar gusar mendengar tuduhan lain yang
ditujukan untuknya.
“Kau suka padaku?” tambah Lory sambil menunjuk dadanya
sendiri, lantas melepaskan tawa melalu bibirnya yang dipoles lipstik merah darah. “Betapa cantiknya aku, hingga membuat
gadis lain jatuh cinta.”
Mata Kalila semakin melebar. Bahkan ia nyaris memuntahkan
sandwich tunanya melalui rongga mata.
Saking loyanya mendengar anggapan yang dituduhkan kepadanya secara
bertubi-tubi.
“Aku tidak seperti itu!”
“Kalau begitu, kau pasti berbohong.” Lory melontarkan
tuduhan lainnya. “Mana ada gadis di dunia ini yang tidak tertarik pada Diego-ku.”
“Apa menurutmu ketertarikan itu hanya dinilai dari
penampilan fisik, huh?” sahut Kalila cepat, lantas mendenguskan tawa sinis.
“Pantas saja kau berdandan menor habis-habisan tapi otakmu kosong melompong.”
Kali ini, Lory terdiam tidak bisa membalas ucapan Kalila.
Tetapi ekspresi gadis itu seolah mampu mengucapkan segalanya. Wajahnya merah padam entah karena marah atau malu. Yang pasti
ia tidak akan terima jika kalah bicara dari orang lain. Lagipula, bukankah Lory
adalah calon advokat hebat di masa depan? Bagaimanapun ia tidak boleh kalah
begitu saja.
Kehabisan kata-kata, Lory bergerak cepat merenggut topi
dari kepala Kalila dan membantingnya ke atas trotoar. Ia menginjak topi
berwarna khaki itu dengan sepatu hak
tingginya. Sepasang mata berlapis lensa kontak ungu
gelap itu memancarkan aura meremehkan.
Mata Kalila langsung berselimut kabut amarah. Sontak ia
mendorong bahu Lory hingga gadis itu terhuyung ke belakang. Beruntung, antek-anteknya
sigap menahan tubuh gadis loudspeaker itu
agar tidak jatuh terjengkang. Setelah memungut topinya, Kalila segera pergi
dari situ sebelum darahnya benar-benar mendidih.
Kalila berjalan cepat dengan langkah-langkah lebar. Kepalanya
tertunduk memandang debu jejak sepatu yang tercetak di topinya. Tidak peduli
lagi ke mana kaki ini akan membawanya. Entah ke kandang dubuk atau pun
serigala, ia benar-benar tidak peduli.
Tiba-tiba saja Kalila bertabrakan langsung dengan dinding
yang keras. Ia mengaduh dengan panik. Tetapi tiba-tiba saja dinding itu
bergerak dan membuatnya sadar bahwa itu bukanlah dinding. Sekarang dinding itu
bahkan mencekal kedua bahunya dan mulai bersuara.
“Hati-hati, Lil Princess.”
Kalila langsung mendongak dan bersitatapan dengan
sepasang mata dingin yang menatapnya lembut selama beberapa detik. Tetapi
kemudian tatapan itu berubah bingung. Sama bingungnya dengan apa yang
diperdebatkan benaknya saat ini.
“Sepertinya akhir-akhir ini kau sering sekali menabrakku,
ya, Lil Princess.”
Kalila menelan ludahnya yang terasa menyakitkan. Jauh
lebih menyakitkan daripada tersedak sandwich
tuna. Tenggorakannya tercekat. Sementara tidak satu pun kata bisa terucap dari
bibirnya yang bergetar.
Hanya ada satu orang yang memanggilnya seperti itu. Panggilan
norak yang disukainya. Setidaknya untuk beberapa tahun silam. Tetapi sekarang,
mendengar panggilan itu seperti mendengar bunyi sangkakala pertanda dirinya
akan terseret ke neraka.
“Sudah kuduga, kau pasti tidak merindukanku,” ucap lelaki
itu dengan raut wajah yang dibuat kecewa. “Apa benar semudah itu melupakanku?”
Oh, tidak. Setiap
kalimat yang diucapkan dengan suara yang rendah dan maskulin itu membuat pintu
neraka berderak terbuka menyambutnya. Kalila harus bergegas menyelamatkan diri.
Ke kandang anaconda sekalipun!
***
‘APA kau benar-benar menginginkannya, Lil Princess?’
‘Ssst... jangan memanggilku seperti itu di sini,’ bisik
Kalila tanpa menggerakkan bibirnya. Matanya mendelik penuh peringatan.
Panggilan itu sangat norak. Tetapi Kalila menyukainya. Hanya saja ia tidak
ingin yang lain mendengarnya. ‘Dan ya tentu saja aku menginginkannya.’
Diego merapatkan jaket kedodorannya yang menenggelamkan
tubuh kurusnya. Bukan hanya karena malam ini sangat dingin. Tetapi juga karena
tebing terjal yang akan didakinya beberapa menit lagi. Tebing itu memang tidak
terlalu tinggi. Hanya saja bebatuan tajam yang menghiasinya membuat Diego
bergidik ngeri. Bebatuan itu akan langsung menghadiahkan luka jika kau terjatuh
karena salah melangkah.
Di tepi tebing itu, berdiri kokoh sebatang pohon maple.
Daun-daun berwarna ungu gelap tumbuh rimbun
di setiap rantingnya. Daun itulah yang diinginkan Kalila sebagai bukti cinta
Diego kepadanya.
‘Tapi... apa itu tidak berbahaya?’
Kalila tidak langsung menjawab. Gadis itu malah meraih
tangan Diego. Ia menggenggam tangan lelaki lima belas tahun itu sambil
mengerjapkan matanya dengan manja. Bibirnya mengerucut bersiap membujuk. Jurus
andalan Kalila yang selalu berguna untuk mendapatkan apa pun yang
diinginkannya.
‘Kumohon, Diego. Lakukan ini demi aku,’ ucap Kalila
dengan nada penuh rayuan.
Di bawah cahaya yang temaram, Diego menatap sepasang mata
cokelat itu. Detik berikutnya, ia sudah menghela napas tanda mengalah.
Apa boleh buat. Kalau
sudah begini, tidak ada pilihan lain selain melakukannya. ‘Baiklah.’ Sepasang
mata Diego berkilat penuh tekad. ‘Aku akan melakukannya.’
Kalila tidak bisa menyembunyikan senyum bahagianya.
‘Terima kasih, My Hero Diego.’
Sebenarnya, tidak ada yang perlu dibuktikan Diego kepada
Kalila. Mereka berdua saling mencintai satu sama lain. Dan mereka sama-sama
mengetahui itu.
Diego adalah lelaki yang baik dan cerdas. Kalila tidak pernah
peduli pada tulang pipi dan lutut Diego yang menonjol. Atau tingginya yang
tidak lebih dari pelipis Kalila. Juga pipinya yang dihiasi jerawat dan gaya
rambutnya yang ketinggalan zaman. Waktu yang mereka lalui selalu terasa
menyenangkan. Dan itu lebih dari cukup bagi Kalila.
Justru sekumpulan orang-orang sombong—yang
menyebut diri mereka teman—itu yang menuntut pembuktian. Sebagai kalangan populer di
sekolah, mereka menganggap Diego sangat tidak pantas bersanding dengan Kalila.
Kecuali, kalau Diego berani menunjukkan bahwa ia bukanlah lelaki pengecut.
Itulah mengapa Kalila tidak pernah mengakui hubungannya
dengan Diego. Bukan karena malu. Tetapi ia tahu pasti bahwa orang-orang itu
akan ikut campur seperti saat ini.
Pertemuan pertama mereka terjadi di perpustakaan. Saat
itu, Diego dan Kalila bersinggungan untuk mengambil buku yang sama. Mendapati
ada orang lain yang memiliki minat serupa, mereka langsung tenggelam dalam
obrolan yang seakan tiada akhir. Jauh berbeda dengan lingkungan populernya yang
hanya membahas tas bermerk keluaran terbaru atau pun rencana penindasan
terhadap kalangan kurang populer.
Kalila merasa menemukan dunianya. Dan perlahan ia mulai
menjauh dari lingkungan populernya. Ia lebih memilih menghabiskan jam istirahat
bersama Diego di perpustakaan alih-alih ikut bergosip ria di kantin.
Awalnya, semua berjalan lancar tanpa masalah. Kalila juga
sama sekali tidak merasa kehilangan. Ia sendiri juga bingung mengapa ia bisa
dengan mudah masuk ke dalam golongan populer. Entah karena fisiknya yang
menarik, otaknya yang cemerlang, atau bahkan hanya karena ia adalah putri dari
keluarga kaya raya.
Sayangnya, tidak lama kemudian beberapa temannya ada yang
curiga. Hingga memutuskan untuk membuntuti Kalila ke perpustakaan. Sejak saat
itu, rahasianya dan Diego terbongkar.
‘Tunggulah bersama yang lainnya,’ ucap Diego membuyarkan
lamunan Kalila. Lelaki itu melepaskan syalnya, lalu melilitkannya ke leher
Kalila. ‘Aku akan mengambil maple ungu itu untukmu.’
Kalila mengangguk kecil, masih tersipu dengan aroma Diego
yang menguar dari syal rajut yang melingkari lehernya. Ia berbalik lalu berlari
kecil ke arah teman-teman populernya.
‘Jadi, si pengecut itu akan melakukannya?’ tanya Sharon
dengan nada mencemooh.
‘Tentu saja,’ balas Kalila tidak terima. Ia tidak suka
mendengar orang-orang ini saat membicarakan Diego. Tetapi ia mencoba bersabar
untuk terakhir kali. ‘Lihat, dia sudah mulai mendaki.’
Dengan gesit, Diego menjadikan bebatuan di permukaan
tebing sebagai pijakan. Tanpa kesulitan yang berarti, ia sudah berdiri di tepi
tebing diikuti sorakan Kalila dan teman-temannya. Sekarang yang perlu dilakukan
Diego hanyalah memanjat pohon dan memetik satu helai daun maple ungu itu.
Setelah itu, semua ini akan berakhir. Ia bisa bebas mengakui hubungannya dengan
Diego, tanpa perlu takut dikucilkan ataupun dijadikan sasaran penindasan.
‘Tapi, kalau dia gagal, kau harus pacaran denganku, ya,’
ucap Ruben—salah satu lelaki di sana, sambil merangkul bahu Kalila.
‘Dalam mimpimu!’ tolak Kalila sambil menepis lengan
Ruben.
***
Kalila tidak tahu ia mimpi apa tadi malam. Tetapi yang
jelas, lelaki yang duduk di hadapannya ini seolah datang dari mimpi buruknya
yang terdalam. Sosok yang menghantui hari-harinya yang muram.
Tubuh lelaki itu tegap dan berisi. Saat berdiri
berhadapan, Kalila harus mendongakkan kepala untuk bisa menatap wajahnya.
Otot-otot liat terlihat menyembul di balik polo
shirt hitam yang melekat pas di tubuhnya. Rambut lelaki itu jatuh tepat ke
atas lengkungan alisnya yang memberi kesan angkuh. Sepasang matanya tampak
dingin sekaligus mampu menatap dengan penuh kelembutan.
Lelaki itu menyesap perlahan kopinya. Matanya tidak
sedikit pun lepas dari Kalila. Sementara tangannya bergerak mengembalikan
cangkir porselen itu ke atas tatakan. Sekilas, ia menjilat bibir penuhnya,
menghapus sisa kopi yang tertinggal di sana.
Oh, Tuhan. Seharusnya
lelaki ini lebih pantas menjadi pangeran dalam mimpi indahnya.
Kalila masih tidak bisa memercayai ini. Atau, tidak
ingin, lebih tepatnya. Ia menundukkan kepalanya karena merasa tidak nyaman.
Sekujur tubuhnya seperti membeku. Dalam hati, ia sungguh-sungguh berharap bahwa
ini semua hanyalah mimpi di siang bolong. Dan begitu ia mengangkat kepalanya,
ia akan terbangun di kamar indekosnya.
“Jadi, apa kabarmu, Lil Princess?”
Kepala Kalila terangkat. Dan matanya langsung membuang
pandangan ke arah lain, tidak sanggup bersitatap dengan mata yang sehitam
langit malam. Ia merapatkan coat
panjang yang dikenakannya saat menyadari bahwa harapannya tidak menjadi nyata.
Mereka berdua masih duduk berhadapan di dalam kafe bernuansa warna-warni.
“Berhenti memanggilku seperti itu,” balas Kalila sambil
menyeruput mango smoothie pesanannya.
Ck. Kalila
merutuk dalam hati, menyesali sikap ketusnya. Itu bukan kata-kata yang pantas
untuk diucapkan. Seharusnya ia meminta maaf kepada Diego atas apa yang terjadi
di masa lalu. Tetapi ia kelewat gugup hingga bibirnya tidak bisa dikendalikan
dengan benar.
“Lho? Kenapa?” tanya Diego bingung. “Aku tidak keberatan
kau memanggilku ‘My Hero Diego’.”
Pipi Kalila sontak bersemu merah. Ia sangat mengingat
panggilan norak itu. Panggilan istimewa
di antara mereka berdua.
“Kita sudah tidak pacaran lagi.”
Ah, bodohnya. Memang
belum ada kesepakatan resmi tentang hubungan mereka setelah malam itu. Tetapi
Kalila sangat menyesali kata-katanya yang seolah tidak berperasaan. Duh, kapan
sih mulutnya berhenti membuat kacau?
Tetapi lelaki itu malah menarik bibirnya membentuk
senyuman. “Aku tidak keberatan kalau kita pacaran lagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D