“Aku hanya ingin
melihatmu mengenakan gaun pengantin sebelum aku benar-benar pergi, Ana. Kau
sudah dua puluh enam tahun. Dan kurasa sudah saatnya kau menikah.”
“Kalau kau ingin
melihatku mengenakan gaun, kita bisa membeli gaun pernikahan untukku tanpa harus
mengadakan pernikahan. Jangan memaksaku, aku juga tidak memiliki seseorang
sekarang.”
“Laki-laki yang
waktu itu? Nico?”
“Tidak... tidak...
kami hanya saling menguntungkan satu sama lain. Aku tidak benar-benar ingin
bersama dengannya, Julia.”
Julia mengernyit,
sesuatu di dadanya terasa sakit karena percakapan kecil itu. Ariana yang panik
segera menekan tombol yang ada di dekat ranjang untuk menghubungkan dengan
perawat. Dan tak lama kemudian, seorang perawat datang dan menyuntikkan pereda
nyeri untuk Julia.
“Sebaiknya biarkan
dia beristirahat.” Ujar suster tersebut dengan ramah. Ariana mengangguk pasrah.
Sudah dua minggu ini Julia dirawat di rumah sakit. Jantungnya yang bermasalah
sejak kecil membuatnya lemah. Tetapi suatu kejaiban Julia bisa bertahan hingga
dua puluh delapan tahun.
Ariana mendesah,
kakaknya selalu ingin melihatnya menikah karena ia tahu usianya tak akan
bertahan lama. Namun Ariana sangat menyayangi kakaknya. Pembicaraannya barusan
membuatnya berpikir untuk segera mencari seseorang.
***
Setelah Julia
tertidur dan pengganti untuk menunggui Julia datang, Ariana bergegas menyambar
tasnya. Ia butuh sesuatu untuk perutnya. Makanan selalu bisa membuatnya tenang,
dan semoga Tuhan segera menunjukkan jalan terbaik untuk masalahnya!
Ariana melambaikan
tangannya untuk memanggil sebuah taksi. Kemudian hawa dingin menerpa wajahnya
tepat ketika ia membuka pintunya.
“Mau kemana?”
Tanya sopir taksi sambil menatap cermin kecil yang menggantung di bagian depan.
“Aku ingin makan.”
“Tujuan anda?”
“Mungkin kau punya
rekomendasi?”
“Mungkin Pizzante
bisa menjadi rekomendasi. Itu sebuah restoran Eropa milik temanku. Masakannya
enak dan banyak orang yang menyukainya. Aku…”
“Sudahlah, lebih
baik bawa aku kesana sekarang.” Sela Ariana cepat. Ia tak ingin banyak bicara
sementara pikirannya kalut. Melalui kaca spion, lelaki itu melirik sekilas
gadis yang tengah duduk termenung sambil menatap pemandangan gersang di
sepanjang jalan.
“Apa sesuatu
sedang mengganggumu, Ana?” Suara itu dengan cepat merebut perhatian Ariana.
Ariana segera memajukan posisinya untuk melihat lelaki bertopi yang tengah
fokus pada jalanan di depan.
Ariana mengernyit,
berusaha memastikan siapa lelaki yang hanya mampu ia lihat dari samping.
Hidungnya tampak macung, tulang pipinya terlihat tegas dengan rahang keras.
Wajahnya tampak bersih tanpa bulu-bulu yang tumbuh di wajahnya. Bebarapa saat
kemudian, seulas senyum simpul menghiasi wajah lelaki itu.
“Berhenti
memandangiku seperti itu, Ariana.”
“Kau mengenalku?”
“Kau melupakanku?
Tega sekali kau.”
Ariana kembali
menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia sejenak tenggelam dalam
pikirannya, mencoba memutar memori di kepalanya. Satupun tak ada gambaran jelas
mengenai siapa lelaki itu. Ariana mencuri pandang melalui kaca spion kecil yang
memantulkan wajah pengemudi, namun ia masih saja tak menemukan jawaban.
“Astaga, ini aku, Rio.
Teman lesmu saat SMP.”
Ariana mengerutkan
kening sejenak, sekelebat ingatan tentang lelaki gendut yang menjadi bahan
hinaan seorang gadis penindas yang disukainya muncul di benaknya. Itu sudah
terjadi lama sekali dan lelaki itu telah berubah menjadi sosok yang sama sekali
tidak dikenalinya.
“Oh… Aku ingat.”
“Tentu saja kau
harus ingat. Bagaimana kabarmu? Apa kau sudah menikah sekarang?”
Menikah?
Bahkan Ariana sama sekali tak pernah memikirkan itu sebelumnya—tentu saja
sebelum Julia melayangkan permintaan konyolnya itu. Ariana mendesah, ia tak
mungkin meminta bantuan mantan kekasihnya mengingat betapa galak pasangan
lelaki itu sekarang. Lalu sebuah ide cemerlang muncul di benaknya.
“Apa kau tidak mau
menikah denganku?” Tanya Ariana tiba-tiba yang membuat punggung Rio menegang.
Sesaat setelah itu, Ariana langsung merutuki kebodohannya betapapun lelaki itu
adalah temannya—teman yang tidak dekat sama sekali. “Ah, maaf. Lu…”
“Tidak masalah.”
Ujar Rio diselingi sebuah tatapan menyipit yang terpantul dari kaca spion. Tidak masalah? Ariana merasa dirinya
sudah gila karena mengajak orang asing menikah dan ia rasa orang itu lebih gila
lagi karena menerima penawaran spontan Ariana.
“Kau bercanda.”
Tukas Ariana sinis.
“Aku serius. Aku
sedang dalam masalah genting dan aku butuh seorang gadis untuk kukenalkan pada
orang tuaku.”
***
Ariana duduk di
kursi kantin rumah sakit sambil menikmati secangkir kopi yang mulai dingin. Ia
masih memikirkan ketidaksengajaan yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Ia
memandangi ponselnya yang menampilkan sebuah kontak bernama Rio. Lelaki itu
meminta Ariana menghubunginya ketika ia benar-benar siap.
Ariana mendesah,
memandangi layar yang berlatarkan fotonya bersama Julia. Gadis itu bahkan belum
sempat menikah meski usianya telah menginjak dua puluh sembilan tahun. Itu
dikarenakan penyakit jantung yang dideritanya sejak kecil. Dan patut disyukuri,
menurut dokter bisa bertahan hingga di usia itu adalah suatu keajaiban. Namun
sayang, kondisi Julia justru memburuk akhir-akhir ini, bahkan dokter telah memvonis
usianya yang tak akan bertahan lama.
Pikirkanlah
permohonanku.
Kalimat itu masih
terngiang di telinga Ariana dan terasa membebani kepalanya. Apakah ia harus
menerima kerjasama lelaki itu? Mengingat kondisi Julia yang terus memburuk
membuatnya semakin yakin atas pilihannya. Ia tak ingin memendam rasa penyesalan
jika kakaknya meninggalkannya sebelum Ariana bisa mengabulkan permintaannya.
Dengan segala
keyakinan, Ariana memutuskan untuk menghubungi lelaki itu.
“Em… Rio. Aku
ingin kita bertemu.”
***
Sebuah kafe
bernuansa monokrom dipilih Rio untuk tempat pertemuan. Kali ini Ariana datang
lebih cepat, mengambil duduk di dekat pintu agar Rio mudah menemukannya. Kemudian
memesan segelas jus jeruk dan sepiring spageti untuk perutnya yang terlalu mudah
lapar.
“Siang, Ana.”
Suara maskulin itu mendapat perhatian Ariana. Sesaat ia sempat terpesona pada
lelaki yang kini duduk di sampingnya. Bagaimana mungkin dia adalah Rio? Lelaki
gendut yang membuatnya bertepuk sebelah tangan saat itu.
Jika berbicara
mengenai selera, Ariana sadar dulu seleranya sangat rendah. Tetapi seiring
berjalannya waktu, Ariana menyadari bahwa matanya tak pernah salah. Terbukti
dari caranya memandang Rio sebelas tahun yang lalu, kini lelaki itu tampak
sangat tampan.
“Apa kau baik-baik
saja, Ana?” Tanya Rio yang masih memerhatikan Ariana yang terus memandangnya.
“Ah ya, maaf. Aku
baik-baik saja. Em… begini, Rio. Tentang tawaran kerjasama waktu itu, apakah
masih berlaku?”
“Menikah? Tentu
saja. Apa kau sudah siap melakukannya, Ana?”
Sejenak Ariana
merasa ragu dengan keputusannya sebelum akhirnya ia berkata ya. Mereka mulai saling membuka diri,
menyusun rencana sedemikian rupa untuk pernikahan main-main itu. Semua ini ia
lakukan untuk Julia.
“Kenapa kau diam
saja? Apa yang ada di pikiranmu?” Tanya Rio yang kini mengemudikan taksinya
untuk mengantarkan Ariana pulang. Mereka bedua setuju untuk melangsungkan
pernikahan tersebut dalam dua bulan kedepan. Memang terkesan mendadak, namun
lebih cepat lebih baik untuk mereka.
“Kurasa tugasmu
hanya membantuku, bukan mengorek isi kepalaku.” Balas Ariana ketus ditambah
sebuah lirikan tajam untuk Rio.
Rio kembali
tertawa seolah kalimat barusan adalah sebuah lelucon. “Kukira kau memikirkan
akan memiliki beberapa anak setelah kita menikah nanti.”
Ariana hanya
memutar matanya menanggapi Rio. Anak? Yang benar saja. Ia bahkan belum berpikir
sejauh itu.
***
Entah keajaiban
macam apa yang terjadi hingga kebohongan atas hubungan mereka berjalan dengan
sangat baik. Kedua orang tua Rio maupun Ariana telah menyetujui pernikahan itu
meski ibu Ariana sempat menentang karena calon menantunya yang hanya seorang
sopir taksi.
Pagi ini, Rio
mengantar Ariana untuk mencari sebuah gaun pernikahan. Sebisa mungkin, Ariana
tak ingin membebani Rio untuk pernikahan pura-pura ini. Pada awalnya ia hanya
ingin menyewa sebuah gaun, tetapi Rio justru membawanya ke sebuah butik
terkenal yang menjual berbagai pakaian pesta termasuk gaun pernikahan.
Ariana menggigit
bibirnya. Bagaimanapun juga, ia yakin apapun yang dijual di butik ini bukan
barang murahan. Tetapi Rio memaksanya memilih salah satu gaun pernikahan yang
terpasang di beberapa manekin. Pandangan Ariana jatuh pada sebuah gaun putih
yang menjuntai dengan payet-payet berwarna pink
pucat yang tampak anggun.
“Bagaimana dengan
ini?” Tanya Ariana ragu. Rio hanya menaikkan alisnya, matanya mengamati detail
dari gaun tersebut hingga akhirnya lelaki itu mengangguk setuju.
“Kami ingin ini.”
Ujar Rio. Ariana menganga tak percaya. Dia bahkan tak bertanya berapa harga
gaun itu. Yang Ariana tahu kemudian, mereka berada di dalam mobil dengan gaun
di pangkuan Ariana yang terbungkus cantik di dalam tas kertas berwarna silver
yang cukup besar.
“Kau membelinya?”
“Tidak, aku
mencurinya.” Kata Rio santai sambil mengemudikan taksinya.
“Ini sangat
mahal.”
“Kau kira sopir
taksi tak mampu membelinya? Ini penghinaan, nona.”
“Seharusnya kita
bisa menyewanya.”
“Setahuku setiap
wanita mendambakan sebuah pernikahan, Ana.”
“Tapi ini hanya
pura-pura.”
“Tapi aku ingin
pengantinku menjadi wanita tercantik.”
Rio menghentikan
mobilnya tepat di depan rumah Ariana. Lelaki itu memandang Ariana lekat-lekat.
Kemudian menyentuh wajah Ariana. Ariana bisa memastikan wajahnya memerah karena
malu. Wajah lelaki itu begitu dekat hingga membuat Ariana memejamkan kedua
matanya. Tiba-tiba bibir Rio mendarat di kening Ariana, membuat gadis itu
membuka matanya perlahan.
“Tidakkah kau tahu
sejak dulu aku menyukaimu?”
“Aku? Bukankah kau
menyukai… Nadia?”
“Nadia? Tidak,
Ana. Dia menindasku karena dia tahu aku menyukaimu. Aku tak ingin dia
membocorkan rahasia itu pada siapapun, hingga aku mau menuruti keinginannya.”
Ariana menutup
mulutnya dengan kedua tangannya. Apakah saat itu mereka saling menyukai? Betapa
bodohnya tingkah mereka saat itu. Memikirkannya membuat Ariana geli. Tapi
Ariana bersyukur pernah mengenalnya, karena itu membawanya pada sebuah takdir
yang tak pernah terduga.
***
Ariana masih
berdiri di depan cermin, memerhatikan riasan wajah yang membuatnya tampak
cantik. Gaun putih menjuntai dengan payet berwarna pink pucat membuat penampilan Ariana semakin memukau. Seulas senyum
simpul menghiasi bibirnya yang dipoles lipstik berwarna merah muda. Kemudian
perhatiannya beralih pada sesosok wanita cantik di belakangnya.
“Kau benar-benar
mengabulkan permintaanku, Ana.”
“Julia, sekarang
giliranmu. Kau harus sembuh untukku.”
“Aku akan berusaha
semampuku, Ana. Apa kau bahagia dengannya? Apa kau menikah karena terpaksa?”
Ariana tersenyum. Terpaksa? Mungkin ya, tapi mungkin juga
tidak. Entahlah. Yang jelas, perasaan Ariana kini jauh lebih bahagia dari yang
ia bayangkan. Terlebih menyadari bahwa lelaki itu adalah pelengkap hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D