Rabu, 11 Mei 2016

RabuRabuChallenge - Mazy Taxi


“Aku tidak mengerti apa yang membuatmu berpikir bahwa menggelar pesta pernikahanku akan membuat kondisimu membaik.” Ujar Ariana pada seorang gadis yang kini tengah tidur di sebuah ranjang kecil dengan selang infus yang tersambung pada tangan kirinya.

“Aku hanya ingin melihatmu mengenakan gaun pengantin sebelum aku benar-benar pergi, Ana. Kau sudah dua puluh enam tahun. Dan kurasa sudah saatnya kau menikah.”

“Kalau kau ingin melihatku mengenakan gaun, kita bisa membeli gaun pernikahan untukku tanpa harus mengadakan pernikahan. Jangan memaksaku, aku juga tidak memiliki seseorang sekarang.”

“Laki-laki yang waktu itu? Nico?”

“Tidak... tidak... kami hanya saling menguntungkan satu sama lain. Aku tidak benar-benar ingin bersama dengannya, Julia.”

Julia mengernyit, sesuatu di dadanya terasa sakit karena percakapan kecil itu. Ariana yang panik segera menekan tombol yang ada di dekat ranjang untuk menghubungkan dengan perawat. Dan tak lama kemudian, seorang perawat datang dan menyuntikkan pereda nyeri untuk Julia.

“Sebaiknya biarkan dia beristirahat.” Ujar suster tersebut dengan ramah. Ariana mengangguk pasrah. Sudah dua minggu ini Julia dirawat di rumah sakit. Jantungnya yang bermasalah sejak kecil membuatnya lemah. Tetapi suatu kejaiban Julia bisa bertahan hingga dua puluh delapan tahun.

Ariana mendesah, kakaknya selalu ingin melihatnya menikah karena ia tahu usianya tak akan bertahan lama. Namun Ariana sangat menyayangi kakaknya. Pembicaraannya barusan membuatnya berpikir untuk segera mencari seseorang.
***

Setelah Julia tertidur dan pengganti untuk menunggui Julia datang, Ariana bergegas menyambar tasnya. Ia butuh sesuatu untuk perutnya. Makanan selalu bisa membuatnya tenang, dan semoga Tuhan segera menunjukkan jalan terbaik untuk masalahnya!

Ariana melambaikan tangannya untuk memanggil sebuah taksi. Kemudian hawa dingin menerpa wajahnya tepat ketika ia membuka pintunya.

“Mau kemana?” Tanya sopir taksi sambil menatap cermin kecil yang menggantung di bagian depan.

“Aku ingin makan.”

“Tujuan anda?”

“Mungkin kau punya rekomendasi?”

“Mungkin Pizzante bisa menjadi rekomendasi. Itu sebuah restoran Eropa milik temanku. Masakannya enak dan banyak orang yang menyukainya. Aku…”

“Sudahlah, lebih baik bawa aku kesana sekarang.” Sela Ariana cepat. Ia tak ingin banyak bicara sementara pikirannya kalut. Melalui kaca spion, lelaki itu melirik sekilas gadis yang tengah duduk termenung sambil menatap pemandangan gersang di sepanjang jalan.

“Apa sesuatu sedang mengganggumu, Ana?” Suara itu dengan cepat merebut perhatian Ariana. Ariana segera memajukan posisinya untuk melihat lelaki bertopi yang tengah fokus pada jalanan di depan.

Ariana mengernyit, berusaha memastikan siapa lelaki yang hanya mampu ia lihat dari samping. Hidungnya tampak macung, tulang pipinya terlihat tegas dengan rahang keras. Wajahnya tampak bersih tanpa bulu-bulu yang tumbuh di wajahnya. Bebarapa saat kemudian, seulas senyum simpul menghiasi wajah lelaki itu.

“Berhenti memandangiku seperti itu, Ariana.”

“Kau mengenalku?”

“Kau melupakanku? Tega sekali kau.”

Ariana kembali menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Ia sejenak tenggelam dalam pikirannya, mencoba memutar memori di kepalanya. Satupun tak ada gambaran jelas mengenai siapa lelaki itu. Ariana mencuri pandang melalui kaca spion kecil yang memantulkan wajah pengemudi, namun ia masih saja tak menemukan jawaban.

“Astaga, ini aku, Rio. Teman lesmu saat SMP.”

Ariana mengerutkan kening sejenak, sekelebat ingatan tentang lelaki gendut yang menjadi bahan hinaan seorang gadis penindas yang disukainya muncul di benaknya. Itu sudah terjadi lama sekali dan lelaki itu telah berubah menjadi sosok yang sama sekali tidak dikenalinya.

“Oh… Aku ingat.”

“Tentu saja kau harus ingat. Bagaimana kabarmu? Apa kau sudah menikah sekarang?”

Menikah? Bahkan Ariana sama sekali tak pernah memikirkan itu sebelumnya—tentu saja sebelum Julia melayangkan permintaan konyolnya itu. Ariana mendesah, ia tak mungkin meminta bantuan mantan kekasihnya mengingat betapa galak pasangan lelaki itu sekarang. Lalu sebuah ide cemerlang muncul di benaknya.

“Apa kau tidak mau menikah denganku?” Tanya Ariana tiba-tiba yang membuat punggung Rio menegang. Sesaat setelah itu, Ariana langsung merutuki kebodohannya betapapun lelaki itu adalah temannya—teman yang tidak dekat sama sekali. “Ah, maaf. Lu…”

“Tidak masalah.” Ujar Rio diselingi sebuah tatapan menyipit yang terpantul dari kaca spion. Tidak masalah? Ariana merasa dirinya sudah gila karena mengajak orang asing menikah dan ia rasa orang itu lebih gila lagi karena menerima penawaran spontan Ariana.

“Kau bercanda.” Tukas Ariana sinis.

“Aku serius. Aku sedang dalam masalah genting dan aku butuh seorang gadis untuk kukenalkan pada orang tuaku.”
***

Ariana duduk di kursi kantin rumah sakit sambil menikmati secangkir kopi yang mulai dingin. Ia masih memikirkan ketidaksengajaan yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Ia memandangi ponselnya yang menampilkan sebuah kontak bernama Rio. Lelaki itu meminta Ariana menghubunginya ketika ia benar-benar siap.

Ariana mendesah, memandangi layar yang berlatarkan fotonya bersama Julia. Gadis itu bahkan belum sempat menikah meski usianya telah menginjak dua puluh sembilan tahun. Itu dikarenakan penyakit jantung yang dideritanya sejak kecil. Dan patut disyukuri, menurut dokter bisa bertahan hingga di usia itu adalah suatu keajaiban. Namun sayang, kondisi Julia justru memburuk akhir-akhir ini, bahkan dokter telah memvonis usianya yang tak akan bertahan lama.

Pikirkanlah permohonanku.

Kalimat itu masih terngiang di telinga Ariana dan terasa membebani kepalanya. Apakah ia harus menerima kerjasama lelaki itu? Mengingat kondisi Julia yang terus memburuk membuatnya semakin yakin atas pilihannya. Ia tak ingin memendam rasa penyesalan jika kakaknya meninggalkannya sebelum Ariana bisa mengabulkan permintaannya.

Dengan segala keyakinan, Ariana memutuskan untuk menghubungi lelaki itu.

“Em… Rio. Aku ingin kita bertemu.”
***
Sebuah kafe bernuansa monokrom dipilih Rio untuk tempat pertemuan. Kali ini Ariana datang lebih cepat, mengambil duduk di dekat pintu agar Rio mudah menemukannya. Kemudian memesan segelas jus jeruk dan sepiring spageti untuk perutnya yang terlalu mudah lapar. 

“Siang, Ana.” Suara maskulin itu mendapat perhatian Ariana. Sesaat ia sempat terpesona pada lelaki yang kini duduk di sampingnya. Bagaimana mungkin dia adalah Rio? Lelaki gendut yang membuatnya bertepuk sebelah tangan saat itu.

Jika berbicara mengenai selera, Ariana sadar dulu seleranya sangat rendah. Tetapi seiring berjalannya waktu, Ariana menyadari bahwa matanya tak pernah salah. Terbukti dari caranya memandang Rio sebelas tahun yang lalu, kini lelaki itu tampak sangat tampan.

“Apa kau baik-baik saja, Ana?” Tanya Rio yang masih memerhatikan Ariana yang terus memandangnya.

“Ah ya, maaf. Aku baik-baik saja. Em… begini, Rio. Tentang tawaran kerjasama waktu itu, apakah masih berlaku?”

“Menikah? Tentu saja. Apa kau sudah siap melakukannya, Ana?”

Sejenak Ariana merasa ragu dengan keputusannya sebelum akhirnya ia berkata ya. Mereka mulai saling membuka diri, menyusun rencana sedemikian rupa untuk pernikahan main-main itu. Semua ini ia lakukan untuk Julia.

“Kenapa kau diam saja? Apa yang ada di pikiranmu?” Tanya Rio yang kini mengemudikan taksinya untuk mengantarkan Ariana pulang. Mereka bedua setuju untuk melangsungkan pernikahan tersebut dalam dua bulan kedepan. Memang terkesan mendadak, namun lebih cepat lebih baik untuk mereka.

“Kurasa tugasmu hanya membantuku, bukan mengorek isi kepalaku.” Balas Ariana ketus ditambah sebuah lirikan tajam untuk Rio.

Rio kembali tertawa seolah kalimat barusan adalah sebuah lelucon. “Kukira kau memikirkan akan memiliki beberapa anak setelah kita menikah nanti.”

Ariana hanya memutar matanya menanggapi Rio. Anak? Yang benar saja. Ia bahkan belum berpikir sejauh itu.
***
Entah keajaiban macam apa yang terjadi hingga kebohongan atas hubungan mereka berjalan dengan sangat baik. Kedua orang tua Rio maupun Ariana telah menyetujui pernikahan itu meski ibu Ariana sempat menentang karena calon menantunya yang hanya seorang sopir taksi.

Pagi ini, Rio mengantar Ariana untuk mencari sebuah gaun pernikahan. Sebisa mungkin, Ariana tak ingin membebani Rio untuk pernikahan pura-pura ini. Pada awalnya ia hanya ingin menyewa sebuah gaun, tetapi Rio justru membawanya ke sebuah butik terkenal yang menjual berbagai pakaian pesta termasuk gaun pernikahan.

Ariana menggigit bibirnya. Bagaimanapun juga, ia yakin apapun yang dijual di butik ini bukan barang murahan. Tetapi Rio memaksanya memilih salah satu gaun pernikahan yang terpasang di beberapa manekin. Pandangan Ariana jatuh pada sebuah gaun putih yang menjuntai dengan payet-payet berwarna pink pucat yang tampak anggun.

“Bagaimana dengan ini?” Tanya Ariana ragu. Rio hanya menaikkan alisnya, matanya mengamati detail dari gaun tersebut hingga akhirnya lelaki itu mengangguk setuju.

“Kami ingin ini.” Ujar Rio. Ariana menganga tak percaya. Dia bahkan tak bertanya berapa harga gaun itu. Yang Ariana tahu kemudian, mereka berada di dalam mobil dengan gaun di pangkuan Ariana yang terbungkus cantik di dalam tas kertas berwarna silver yang cukup besar.

“Kau membelinya?”

“Tidak, aku mencurinya.” Kata Rio santai sambil mengemudikan taksinya.

“Ini sangat mahal.”

“Kau kira sopir taksi tak mampu membelinya? Ini penghinaan, nona.”

“Seharusnya kita bisa menyewanya.”

“Setahuku setiap wanita mendambakan sebuah pernikahan, Ana.”

“Tapi ini hanya pura-pura.”

“Tapi aku ingin pengantinku menjadi wanita tercantik.”

Rio menghentikan mobilnya tepat di depan rumah Ariana. Lelaki itu memandang Ariana lekat-lekat. Kemudian menyentuh wajah Ariana. Ariana bisa memastikan wajahnya memerah karena malu. Wajah lelaki itu begitu dekat hingga membuat Ariana memejamkan kedua matanya. Tiba-tiba bibir Rio mendarat di kening Ariana, membuat gadis itu membuka matanya perlahan.

“Tidakkah kau tahu sejak dulu aku menyukaimu?”

“Aku? Bukankah kau menyukai… Nadia?”

“Nadia? Tidak, Ana. Dia menindasku karena dia tahu aku menyukaimu. Aku tak ingin dia membocorkan rahasia itu pada siapapun, hingga aku mau menuruti keinginannya.”

Ariana menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Apakah saat itu mereka saling menyukai? Betapa bodohnya tingkah mereka saat itu. Memikirkannya membuat Ariana geli. Tapi Ariana bersyukur pernah mengenalnya, karena itu membawanya pada sebuah takdir yang tak pernah terduga.
***
Ariana masih berdiri di depan cermin, memerhatikan riasan wajah yang membuatnya tampak cantik. Gaun putih menjuntai dengan payet berwarna pink pucat membuat penampilan Ariana semakin memukau. Seulas senyum simpul menghiasi bibirnya yang dipoles lipstik berwarna merah muda. Kemudian perhatiannya beralih pada sesosok wanita cantik di belakangnya.

“Kau benar-benar mengabulkan permintaanku, Ana.”

“Julia, sekarang giliranmu. Kau harus sembuh untukku.”

“Aku akan berusaha semampuku, Ana. Apa kau bahagia dengannya? Apa kau menikah karena terpaksa?”


Ariana tersenyum. Terpaksa? Mungkin ya, tapi mungkin juga tidak. Entahlah. Yang jelas, perasaan Ariana kini jauh lebih bahagia dari yang ia bayangkan. Terlebih menyadari bahwa lelaki itu adalah pelengkap hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D