Satu kesalahan di malam itu yang membawaku pada suatu kehidupan yang tak lazim.Kehidupan yang terasa sangat janggal yang membuatku cemas pada masa depanku. Sejujurnya aku sedikit menyesal telah menonton film Twilight yang membuatku sedikit berangan aku akan memiliki kekasih dari spesies yang berbeda.
Oh ayolah, hidupku ini bukan cerita fiksi.
Seberapapun aku menginginkannya, hal-hal seperti itu tak akan terjadi. Tetapi
setidaknya aku ingin bertemu lelaki yang mampu mengguncang duniaku, yang mampu
mengubah pikiran tololku yang selalu terjebak dalam kisah romantis orang lain.
Aku menyeret langkahku dengan malas, hariku
sungguh melelahkan dengan kuliah di pagi buta yang dilanjutkan bekerja hingga
larut. Sungguh aku berharap ada seorang ibu peri yang akan mengayunkan
tongkatnya untuk menyediakan kereta kencana yang akan mengantarku pulang malam
ini. Tenagaku sudah terkuras habis setelah setan tua di tempat kerjaku memaksa
kami lembur hingga larut.
Aku menguap lebar-lebar, merentangkan kedua
tanganku sambil menengadahkan kepalaku untuk menatap langit. Bulan purnama. Aku
tersenyum menatap bulan itu bersinar terang. Saat seperti mungkin manusia serigala
akan berubah wujud. Aku menutup mata, menghirup udara malam dalam-dalam.
“Mia!”
Aku menurunkan tanganku, berdecak kesal ketika
aku mendengar suara itu lagi. Tentu saja, bulan sudah menampakkan wajahnya.
Dan… selamat datang Mia di dunia kegelapan!
“Hai gadis. Kenapa kau cemberut seperti itu?
Aku sudah menunggumu dari tadi.” Ujarnya sambil melingkarkan lengan di
pundakku.
Aku hanya memutar mataku bosan. Tingkahnya
semakin berlebihan akhir-akhir ini, dan itu membuatku gila. Gila secara
harfiah.
“Mia, ayo.” Ia bergelayut di tanganku dengan
suara manjanya.“Aku ingin kau membelikanku wafel dengan es krim stroberi yang
ada di kafe dekat kampusmu. Kudengar disana enak. Aku nanti akan mengganti
uangmu.”
Aku memilih diam, tanpa menghiraukannya aku
terus melangkah menuju rumahku. Aku sudah terlalu lelah untuk hal-hal tidak
penting dan aku tak akan menghamburkan hasil keringatku hanya untuk sebuah
wafel.
“Mia, kumohon.” Ia memandangku dengan mata
memohonnya, membuatku teringat pada kucing kampung yang sudah berhari-hari
menahan lapar. Aku mendesah putus asa. Kemudian mengiyakan permohonannya.
Aku sengaja mengambil tempat di teras kafe dengan
pencahayaan yang temaram. Seorang gadis berperawakan bak seorang model
berseragam pelangi menghampiriku, menyodorkan daftar menu yang langsung kutolak
dengan mengangkat tanganku.
“Strawberry
waffle sundaes satu,” Aku
mengucapkan menu yang santer dibicarakan oleh teman-temanku meski sekalipun aku
belum pernah menginjakkan kaki di kafe ini. “Dan secangkir coklat hangat.”
“Kenapa hanya satu? Kau tidak memesan
wafelnya?” Tanya seseorang di hadapanku yang tak berhenti bicara sejak aku
mengiyakan permohonannya. Aku menggeleng lelah. Aku hanya ingin tidur.
Beberapa menit kemudian sepiring wafel yang
disiram madu dengan es krim stroberi diatasnya dan dua buah stroberi segar
dihidangkan di atas meja. Aku menggeser piring itu ke hadapannya agar ia
berhenti mengoceh.
“Cepat habiskan. Aku ingin pulang sekarang!”
Perintahku dengan nada yang sedikit meninggi. Ia mengernyit menatapku, kemudian
mengisyaratkan dengan matanya agar aku menoleh ke samping. Aku seolah tersadar,
kualihkan pandanganku pada gadis yang masih berdiri di sampingku yang tengah
memerhatikanku dengan tatapan bingung.
“Ah, maafkan aku, kau bisa pergi.” Aku
tersenyum kaku pada gadis itu. Oke, aku yakin dia pasti menganggapku gila
sekarang!
“Seharusnya kau tidak ceroboh. Lihat, satu
orang lagi akan menganggapmu gila.” Ia terkikik geli menatapku yang masih
cemberut merutuki kecerobohanku.
“Ini semua salahmu, Theo.Harusnya kau tidak
merengek seperti siswa SD! Ini juga nyaris tengah malam, bisa-bisanya kau
menggerutu seperti itu!”
“Ehm… Mia? Kau baik-baik saja?” Suara maskulin
yang sedikit serak membuatku mengalihkan pandangan pada seorang lelaki yang
berdiri menjulang di belakang Theo.
“Ah… kak Kelvin. A-aku baik-baik saja.” Ujarku
gugup. Bagaimana bisa aku bertemu seorang jurnalis kampus yang sok tampan dan
terlalu banyak bicara di saat yang sangat tidak tepat?
“Boleh aku duduk di sini?” Tanya Kelvin
mengisyaratkan kursi yang diduduki Theo. Aku masih mengamati Theo yang
tampaknya enggan bergerak sedikitpun dari tempatnya sambil menikmati
makanannya, kemudian pandanganku kembali pada kakak tingkat yang masih menunggu
jawabanku.
“Apa kau sedang bersama seseorang?” Tanya
Kelvin lagi sambil memandangi piring dengan wafel yang masih setengah.
“Ti-tidak… Ah, maksudku iya, aku kemari bersama
pacarku. Dia sedang ke… em… ke toilet.”
Sial, aku gugup sekarang. Jika ia menangkap
gelagat anehku, dia akan terus mencari tahu, kemudian saat aku terbangun besok,
sebuah berita tentang mahasiswi gila berkeliaran di sebuah kafe akan menjadi headline koran kampus.
“Oh, kukira kau tidak punya pacar.” Ujar lelaki
itu sinis.
“Sialan! Ayo pulang, Mia.” Theo berdiri dengan
kasar, raut wajahnya terlihat marah sekarang.
“Tapi kau belum menghabiskan makananmu.”
“Maaf, apa kau bicara dengank, Mia?” Tanya
Kelvin yang menyunggingkan senyum liciknya. Sial!
“Tidak, maaf. Aku mau pulang.”
Theo menarik tangaku, melewati Kevin yang masih
menatapku dengan tatapan anehnya. Aku berusaha menyamakan langkah dengan
langkah panjang Theo untuk keluar dari kafe setelah membayar wafel dan coklat
hangat yang bahkan belum sempat kusentuh.
Sepanjang perjalanan pulang, aku berkali-kali
mendesah. Sedangkan kulihat lelaki di sampingku lebih memilih diam. Kami hanya
berjalan dalam diam menuju rumahku sambil menikmati kesunyian malam yang
disinari cahaya bulan.
***
Aku merasakan sesuatu yang basah dan lembut
menyentuh wajahku. Aku mengernyit. Kemudian membuka mataku perlahan untuk
menyesuaikan cahaya matahari yang menelusup melalui lubang ventilasi yang langsung
menyorot mataku. Sinar oranye itu menyorot, menandakan senja telah bertahta.
Senja? Benarkah aku telah melewatkan pagiku hari ini?
“Minggir Theo!” Aku menyingkirkkan sesosok
berbulu yang duduk di samping kepalaku sambil menjilati wajahkku. Uh.. menjijikkan!
Dasar kucing tidak tahu diri! Aku mengernyit menatap jam di ponselku, aku
benar-benar melewatkan semuanya. Aku menatap kucing itu sinis, aku yakin dia
sudah kelaparan.
Sejak lahir aku ditakdirkan untuk membenci
kucing dan akhir-akhir ini aku selalu dibangunkan oleh seekor kucing. Ya,
kucing! Dan sayangnya kucing yang kelewat imut ini adalah Theo. Apa kau
berpikir aku memelihara hewan menjijikkan ini dan menamainya dengan nama yang
sama dengan lelaki menyebalkan itu? Sayangnya tidak. Tapi aku bisa jelaskan.
Aku merutuki kebodohanku malam itu, pergi ke
seorang peramal—atau penyihir—yang mendirikan sebuah stan dalam pameran yang
diadakan kampus. Aku mendatanginya dan memintanya agar memberikan padaku sebuah
kisah cinta dengan cara yang tidak biasa dan dia berjanji akan memberi kejutan
untukku. Dan bam! kejutan itu datang.
“Lelaki
yang akan kau lihat pertama kali saat bulan tertutup awan, dialah yang akan
menjadi kekasihmu, tetapi syarat dan ketentuan tetap berlaku.”
Kalimat itu terus terputar di kepalaku seperti
sebuah kaset rusak. Betapa girangnya ketika aku menyadari bahwa bulan telah
tertutup awan dan aku melihat sosok Theo, lelaki yang selalu kusukai sejak aku
menginjakkan kaki di kampus ini. Dan itu adalah awal dari segala musibah itu.
Musibah dimana aku menyadari bahwa Theo telah berubah menjadi seekor kucing
tepat di depan kedua mataku.
“Miauw…” Suara itu terdengar nyaring
membuyarkan lamunanku.
Aku sedikit kecewa harus menghadapi Theo yang
tampan berubah menjadi si kucing menjijikkan saat matahari bertahta, dan
menjadi sejenis hantu saat bulan menampakkan batang hidungnya. Dan itu
membuatku seperti orang gila yang berbicara sendiri.
Sangat kusayangkan aku tak bisa bersamanya
seperti normalnya sejoli yang merajut kasih. Setelah kejadian malam itu, aku
bahkan tak pernah menemukan penyihir itu. Aku hanya mendapatkan sebuah surat
konyol yang berisi ‘Saat halo menyapa
cinta’.
Aku memindah saluran televisi, namun tak
satupun menarik perhatianku hingga aku terpaku pada drama picisan yang mendayu-dayu.
Hal itu membuat pikiranku melayang-layang, aku yang dulu selalu mengagumi Theo,
tak pernah tahu bahwa kenyataannya ia nyaris sama menyebalkannya seperti Kevin,
dan itu sangat menguji kesabaranku. Apa ini artinya cintaku sudah mulai surut?
Kucing itu kembali bergelayut di tanganku,
seolah ingin mengatakan sesuatu. Aku yakin ia lapar. Aku beranjak, membuat
spageti dan segelas susu untuk mengisi perut kami. Jangan lupa, dia hanya kucing
jadi-jadian yang menolak segala macam makanan kucing.
***
“Theo, sampai kapan kau akan seperti ini?”
Tanyaku sembari mengelus bulu halusnya. Aku meletakkannya di pangkuanku sambil
menonton televisi yang menyajikan tayangan memasak. Aku mendesah, kecewa bahwa
Theo sama seperti kucing pada umumnya—kecuali nafsu makannya.
Entah mengapa rasa benciku pada hewan berbulu
itu sedikit berkurang, mengingat sudah hampir satu bulan aku tinggal
bersamanya. Aku memejamkan mataku sejenak, memikirkan cara apa yang harus kulakukan
untuk mengembalikan tubuhnya seperti semula.
“Aku juga tidak tahu.” Suara serak itu
membuatku terkejut. Aku membuka mataku, mengalihkan pandanganku pada jendela
yang membingkai langit gelap di luar sana.
“Ini semua salahmu, Mia. Aku jadi tidak bisa
hidup seperti biasanya.” Theo mengembuskan napasnya perlahan. Nada kecewa
terdengar dari suaranya, membuatku semakin merasa bersalah.
“Maaf, aku juga sudah berusaha mencari penyihir
itu. Tapi aku tidak menemukannya.” Tak kurang cara telah kulakukan demi Theo.
Jika tahu akan begini akhirnya, aku akan memilih untuk terlarut dalam drama
picisan di televisi dari pada membuat lelaki yang kusukai berubah wujud demi
imajinasi konyolku.
“Tidak adakah tanda atau pesan darinya? Demi
Tuhan, aku bosan terjebak di tubuh seperti ini.” Ujar Theo mengusap wajahnya.
Sekelebat ingatan muncul di benakku, “Saat halo
menyapa cinta.”
“Apa?”
“Itu surat yang ditinggalkan wanita itu.” Aku
menatap Theo yang tampaknya sama bingungnya denganku. Aku tersenyum saat
memikirkan beberapa kemungkinan.
“Kenapa?”
“Halo Theo, aku mencintaimu.”
Satu… dua…
tiga… Kenapa lelaki itu belum berubah wujud?
Sial! Apa yang barusan kukatakan? Aku mengumpat
diriku sendiri dalam hati. Jantungku seolah hendak mendobrak rusukku. Aku mampu
merasakan wajahku terasa panas sedangkan Theo masih memandangiku dengan tatapan
heran.
“Apa kau serius?”
Ya! “Ti-tidak… A- aku
hanya mencoba menebak pesan itu.” Ujarku gugup yang hanya dibalas anggukan oleh
Theo.
“Aku bisa menebaknya. Baiklah, Mia, kurasa aku
butuh udara segar. Aku ingin jalan-jalan dulu.”
Aku hanya mengangguk, membiarkannya menikmati
malamnya. Apakah Theo marah karena aku mengucapkan itu padanya? Atau dia merasa
sungkan? Aku tahu dia sudah memiliki kekasih, mungkin dia keberatan jika ada
gadis lain yang menyatakan cinta padanya. Ngomong-ngomong, apakah gadis itu
tengah mencarinya sekarang? Membayangkan wajah sombong gadis itu membuatku
ingin tertawa.
Aku berkali-kali menguap, jam sudah menunjukkan
pukul sebelas malam. Sudah lima jam Theo pergi, tetapi dia masih belum kembali
juga. Aku meraih jaketku, kemudian beranjak untuk mencari lelaki itu. Aku
mengitari daerah sekitar rumahku, tapi tidak juga kutemukan batang hidungnya.
Aku mencoba mencari kemungkinan dimana ia berada.
Setengah berlari, aku menemukan lelaki itu
duduk pada pagar pembatas jalan mengamati pemandangan lautan cahaya yang
terpancar dari rumah-rumah yang berjajar. Aku melangkah, mendekati Theo dan
berdiri di sampingnya.
“Ayo pulang. Apa yang kau lakukan di sini?”
Ujarku sambil ikut memandangi lampu-lampu yang berkelap-kelip layaknya
bintang-bintang di langit.
“Tidak, aku hanya membutuhkan sedikit hiburan. Semua
yang terjadi membuatku sedikit bingung.”
“Maafkan aku, Theo. Jika saja aku tidak menemui penyihir itu, mungkin
kau tidak akan menjadi seperti ini.”
“Apa kau yang memintanya untuk merubahku
menjadi seperti ini?”
“Tidak… tidak…” Sergahku cepat. “Saat itu aku
menginginkan kisah romantis yang tidak biasa, kemudian aku mendatangi stan
ramalan. Lalu wanita itu bilang, kejutan itu akan ada pada lelaki yang kulihat
pertama kali saat bulan tertutup awan. Dan…”
“Dan aku adalah orang pertama yang kau lihat.”
Theo melanjutkan kalimatku yang terputus. Aku mengangguk, dan melihatnya
tersenyum getir membuatku yakin sekarang dia pasti membenciku.
“Maafkan aku.”
“Tapi apa kau percaya bahwa ini bukan
kebetulan?”
“A-apa?”
“Wanita itu bilang orang yang pertama kali kau
lihat, dan itu adalah aku. Kurasa ini memang takdir.”
“Apa maksudmu?”
“Aku mencintaimu, Mia.”
Apa dia tidak salah bicara? Dia baru saja mengatakan
bahwa dia mencintaiku? Tapi bukankah dia lari saat aku mengatakan itu padanya?
“Karena kau tidak serius saat mengatakannya
padaku tadi.” Ujar Theo yang seolah bisa membaca pikiranku. Aku mengernyit
menatapnya. “Aku kecewa karena kau mengatakan itu bukan karena perasaanmu. Padahal
tadinya aku sangat senang.”
“Ini salah Theo, kau sudah punya seseorang. Aku
tak ingin mengganggu hubungan kalian.”
“Aku?”
“Vany.”
“Vany? Dia tetanggaku, Mia. Dan tak ada apapun
di antara kami. Aku hanya menyukaimu, sejak pertama kali aku melihatmu sebagai
mahasiswa baru.”
Aku tak tahu ini pengaruh penyihir itu atau
tulus dari hati Theo. Tetapi aku sungguh ingin bersorak sekarang. Theo sang
idola menyukaiku?
“Aku… aku juga menyukaimu.” Aku tak bisa
menyembunyikan kebahagiaan yang membuncah dalam hatiku. Senyum lelaki itu
sangat menular, membuatku tak tahan untuk mengurai senyum yang sejak tadi
kutahan. Theo menyentuh jemariku, dan entah mengapa tangannya terasa begitu
hangat.
“Hei, jangan bermesraan di pingir jalan.”
Teriak seseorang di belakang kami diikuti kilatan blitz yang membutakan mata.
“Kevin, sialan kau. Hentikan!”
“Theo, lama sekali aku tak melihat batang
hidungmu. Kemana saja kau?” Tanya Kevin dengan seringaian khasnya. Aku dan Theo
saling melempar pandang.
“Kau bisa melihat Theo?”
“Kau pikir aku buta?” Ujar Kevin sambil
mengerucutkan bibirnya. Ini adalah sebuah jawaban. Dan aku yakin Theo sudah
kembali seperti semula.
“Sebuah gosip, Theo dan Mia. Sampai jumpa
teman.” Seringai puas tersungging di bibirnya, kemudian ia pergi meninggalkan
kami.
Aku menengadahkan kepalaku, memandangi langin
yang bertaburan bintang.
“Halo.” Suara Theo mencuri perhatianku.
“Apa?”
“Itu.” Theo menunjuk ke arah bulan yang
bersinar terang. “Cincin yang ada di sekitar bulan.”
Oh tentu saja itu disebut halo. Bagaimana bisa
aku sama sekali tak menyadari maksud penyihir itu? Saat halo menyapa cinta.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D