Dia menyelinap turun dari tempat tidur. Dengan sengaja aku menggeliat, bergerak menyamankan posisi tidur palsuku. Aku bisa merasakan ia berhenti bergerak di tepi tempat tidur. Lehernya bergerak sekilas, menatap ke arahku. Kemudian aku mendengar helaan ringan napasnya saat mendapati mataku masih terpejam.
Sayup-sayup, aku mendengar ia berjinjit mengangkat tumit. Kemudian kakinya
melangkah diam-diam keluar kamar. Begitu terdengar bunyi pintu ditutup
perlahan, aku baru memberanikan diri membuka mataku.
Aku menatap nyalang ke arah langit-langit kamar yang berwarna kuning pucat.
Begitu banyak pertanyaan berkumpul ramai-ramai di dalam benakku. Ini bukan yang
pertama kalinya istriku pergi mengendap-endap seperti ini. Sebenarnya, apa yang
perempuan itu coba sembunyikan dariku?
Mataku melirik pada jam beker di atas nakas. Jam berwarna terakota itu menunjukkan
pukul setengah empat dini hari. Aku menghela napas berat lalu bangkit duduk. Bagaimanapun
akhirnya nanti, aku harus menyelesaikan ini secepatnya.
***
Gelap. Itu yang pertama kali diterima mataku begitu aku membuka pintu
kamar. Tetapi itu sama sekali tidak mengurungkan niatku. Aku berjalan perlahan
sambil meraba dinding koridor. Mengikuti cahaya di ujung sana.
Cahaya itu berasal dari salah satu ruangan di rumah ini. Rumah kami. Ruangan
yang familier untukku. Tetapi seharusnya tidak untuk perempuan itu. Seharusnya.
Pernah suatu waktu, aku memintanya membuatkanku kopi. Dan perempuan itu
sukses membuat dapur berakhir seperti baru diserbu gempa. Biji-biji kopi
bertebaran di atas meja. Air menggenang di meja dan lantai.
Jadi, untuk apa dia berada di dapur jam segini?
Maka, aku memutuskan untuk melangkah mendekat tanpa suara. Lalu bersandar pada
dinding di sebelah pintu dapur yang terbuka. Menyembunyikan diri dalam
kegelapan.
Suasana begitu hening. Bahkan aku bisa mendengar ponselnya bergetar di atas
meja. Tanpa menunggu lama, dia sudah menyambut panggilan itu.
“Hei, ke mana saja, sih, kau?” Dia mendesis kesal. Tetapi masih tetap
menjaga volume suaranya agar tidak meninggi. “Kau telat meneleponku.”
Oh... Aku mengerti sekarang. Jadi ini yang dilakukan istriku selama ini? Bertelepon
dengan seseorang saat aku tengah tertidur lelap. Tanpa kusadari, api cemburu
sudah tersulut di atas kepalaku. Tetapi aku tidak boleh gegabah. Belum ada
bukti yang menunjukkan bahwa istriku sedang berhubungan dengan lelaki lain. Bisa
saja itu sesama teman perempuannya yang sedang butuh tempat curhat. Yah, kalian mengertilah, para perempuan
selalu memerlukan privasi. Harus selalu ada rahasia yang—
“Ya. Aku sedang meremasnya sekarang.”
Keningku mengernyit. Sebenarnya apa yang sedang dia bicarakan dengan
peneleponnya?
“Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?”
Hening. Tidak ada suara apa-apa. Mungkin dia sedang mendengarkan lawan
bicaranya di ujung sana. Sementara aku menunggu sambil menahan napasku. Rasanya,
emosi dalam dadaku nyaris meledak.
“Hei, Julian! Jangan berani-beraninya kau tidur sebelum urusanku selesai di
sini.”
Julian? Keningku mengernyit lebih dalam. Apa ini Julian yang sama dengan
Julian yang kukenal? Salah satu juniorku di akademi. Si lelaki terlalu tampan sampai
bisa dikatakan cantik. Yang sekarang menjadi chef utama di restoran Pizzante.
Jadi, rumor itu benar. Bahwa Julian bisa memikat perempuan mana pun hanya
dengan mengerjapkan kelopak matanya. Tetapi kenapa istriku harus menjadi salah
satu dari perempuan-perempuan itu.
Hanya sekali aku mempertemukan mereka. Dan ini yang kudapat? Sebuah
pengkhianatan? Padahal aku menyayangi istriku sepenuh hati. Padahal aku bahkan
sudah menganggap Julian seperti saudaraku sendiri.
“Ah, jadi begitu. Ya, ya. Ah, benar seperti itu.”
Sial. Sial. Sial.
***
Aku sudah tidak tahan lagi. Maka, aku memutuskan untuk menampakkan diri. Kakiku
melangkah memasuki dapur. Mataku langsung menangkap tengkuk dan punggung
istriku. Perempuan itu membelakangiku. Terlalu sibuk dengan urusan
perselingkuhannya. Hingga tidak menyadari kedatanganku. Padahal aku sama sekali
tidak mengendap-endap seperti yang dilakukannya padaku hampir setiap malam.
“Ah, bagaimana aku melakukan itu?” Dia bertanya dengan bingung. “Tangan
kananku sudah kotor dan tangan kiriku sedang menggenggam pons—“
Dia terkesiap. Tentu saja. Ponselnya sudah berpindah ke tanganku. Memutus komunikasinya
dengan kekasih gelapnya.
“Kalau begitu, biar aku membantumu untuk itu,” ucapku penuh dengan sindiran
tajam.
Lama, dia terpaku. Tenggorakannya bergerak-gerak rikuh. Tampak kesulitan
menelan ludahnya sendiri. Persis seperti pencuri yang tertangkap basah tengah
beraksi.
“Apa yang sedang kaulakukan?” tanyaku berusaha mengintimidasi. Mataku melirik
cepat pada meja dapur yang kacau balau. Tepung terigu tersebar di seluruh meja.
Tiga warna paprika. Bawang bombai. Makaroni. Sosis. Keju. Tomat. Daun oregano.
“I-ini tidak ada hubungannya denganmu.” Dia menjawab ketus dan sedikit
gugup.
Apa itu? Perasaan bersalahkah? Atau perasan tidak nyaman karena rahasianya
terbongkar?
“Kau sedang membuat piza?” tebakku yang kuyakini pasti benar.
Dia tidak menjawab. Wajahnya langsung berubah serupa tomat yang ada di atas
meja. Kepalanya menunduk seolah sedang merutuk dalam hati karena aku bisa
menebak dengan tepat.
“Bukan urusanmu.” Dia menyahut kering.
“Kalau begitu, biarkan aku membantumu,” ucapku sambil memeluk pinggangnya
dari belakang. Sekarang kami berdua sama-sama sedang menghadap adonan di atas
meja keramik itu. Salah satu tangannya berlumuran adonan yang diuleninya.
Dia mencoba meronta. “Tinggalkan aku sendiri,” pintanya sambil bersikap
dingin.
Persetan. Perempuan ini tetap harus diberi hukuman.
“Apa kau marah?” bisikku di dekat telinganya. Sementara pelukanku semakin
mengetat di pinggangnya. “Apa aku mengganggu kegiatan rahasiamu?”
“Kumohon, aku sedang sibuk sekarang.”
“Kau harus menguleni adonan ini dengan benar,” ucapku sambil menuntun
tangannya untuk bergerak. Dia mulai meremas adonan itu dengan tangannya. “Kau
bebas melakukan yang lain. Kau bisa memukulnya atau bahkan membantingnya.”
Dan itulah yang dia lakukan. Dia mengangkat dan membanting adonan kembali
kemeja. Kemudian mendaratkan kepalan tangannya pada adonan yang tidak bersalah.
Kentara sekali ada emosi pribadi yang tercampur di dalamnya.
“Cukup. Sekarang kita harus mengistirahatkan ini,” ucapku. Seketika ia
menghentikan kegiatannya. “Memang siapa yang kau bayangkan saat menguleni tadi?”
Dia tidak menjawab. Tetapi matanya melirik tajam padaku. Mengantarkan jawaban
dari pertanyaanku. Ya, ya. Tentu saja. Pasti aku yang dimaksudnya. Aku
membenamkan wajah pada rambutnya, dan tertawa kecil di sana. Dia berdecak kesal
dan kembali memberontak. Tetapi aku tidak akan melepaskannya begitu saja.
Aku terus memerangkap perempuan itu dalam pelukanku. Tidak peduli seberapa
sering dia meronta. Lagipula sepertinya dia tidak sepenuhnya ingin lepas
dariku. Aku tahu dia selalu merasa nyaman berada dalam dekapanku. Dia pasti
menyesal sudah mencoba mengkhianatiku.
Tetapi semua terlambat sudah. Mungkin ini akan menjadi duet pertama dan
terakhir kami di dapur. Karena aku tidak akan segan-segan mengajak dia untuk
berpisah.
Satu persatu bahan berhasil dieksekusinya dengan baik. Tentu saja dengan
bantuan dan arahan dariku. Adonan sudah tertata rapi di dalam pan. Bertaburkan potongan
paprika, parutan keju, makaroni rebus, dan aneka topping yang lainnya. Lama-lama, aku jadi penasaran bajingan seperti
apa yang mampu membuat istriku berkutat lama di dapur.
***
Aroma keju yang khas menguar di udara. Kelezatan menggoda itu berasal dari seloyang
piza yang baru saja dikeluarkan dari oven. Penganan bundar dari Italia itu kini
tersaji manis di atas meja bundar yang diletakkan perempuan itu di balkon timur
rumah kami. Dua kursi kayu mengapit rapi meja itu.
Tidak ada lagi ekspresi ketus di wajahnya. Yang ada hanyalah senyuman lebar
yang sarat akan kebahagiaannya. Tangan cantik perempuan itu sibuk menggerakkan pizza cutter, memotong-motong menjadi
beberapa bagian. Siulan riang lepas dari bibir merah muda yang selalu kupuja
itu.
Aku penasaran. Tetapi berusaha tidak menunjukkannya. Aku berpura-pura sibuk
memerhatikan pemandangan di hadapanku.
Saat ini, langit seperti terbelah dua. Bulan tampak seperti mutiara putih
yang mengapung di langit yang berwarna biru gelap. Bersiap terhisap ke dalam
fajar yang segera menyingsing. Sementara sinar matahari yang baru mulai
menjajah perlahan, menciptakan warna kemerahan yang samar.
Sayangnya, aku tidak berpura-pura kali ini. Aku benar-benar terpesona
dengan keindahan yang terhidang di hadapanku.
“Ini adalah piza paling indah yang pernah kulihat seumur hidupku. Berkali-kali
aku mencoba tapi selalu berakhir dengan kehancuran.”
Tiba-tiba dia berkata, menarikku dari kekuasaan pesona sang fajar.
“Piza spesial ini rasanya sangat pantas kupersembahkan untuk seorang yang
spesial di hari spesialnya.”
Aku menoleh. Keningku mengernyit dalam. Apa
maksudnya?
“Terima kasih sudah bersedia membantuku. Aku sama sekali tidak menyangka.”
Dia melanjutkan tanpa peduli pada aku yang kebingungan. “Padahal awalnya aku
ingin membuat kejutan. Dan meminta Julian untuk membantuku. Tapi akhirnya aku
tahu bahwa dia tidak sehebat dirimu.”
Oke. Jadi, ke mana arah pembicaraan ini?
“Selamat ulang tahun, suamiku,” ucapnya kemudian. Kedua lengannya melingkari
leherku. Bibirnya meninggalkan sekilas kecupan di pipi kananku.
Sementara mulutku terngaga lebar tidak percaya. Otakku seolah membeku di
tempatnya. Berminggu-minggu aku menghabiskan tenaga karena curiga. Tidurku tidak
pernah nyenyak karena memikirkan ke mana perginya istriku yang menyelinap.
Dan semua ini ternyata—untukku? Ulang tahunku?
“Kenapa?” Dia bertanya dengan wajah memberengut. “Apa kau tidak suka?”
Sial. Bajingan seperti apa aku ini? Bagaimana mungkin aku meragukan cinta
perempuan ini?
Matahari mulai menanjak naik, menghapus bersih kegelapan malam. Cahaya jingganya
berpendar samar, pertanda dimulainya hari yang baru. Di kejauhan terdengar ayam
berkokok, mengiringi bisikan mesraku di telinga perempuan dalam pelukanku.
“Tapi ulang tahunku masih lusa, Sayang.”
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D