“KAU terlihat kelelahan.”
Suara yang dalam dan maskulin menyapanya. Mau tidak mau
gadis itu mengangkat wajahnya. Matanya berserobok pandang dengan sepasang mata
hitam yang dingin tetapi menatapnya penuh keramahan. Sekilas ia seperti
mengenal sepasang mata itu, tetapi ingatannya
tidak juga memunculkan satu atau dua nama walaupun dipaksa.
Lelaki itu mengulurkan tangannya, meletakkan sebotol
mineral ke hadapan gadis yang melongo menatapnya. “Ini untukmu.”
Belum sempat gadis itu melontarkan penolakan maupun
mengungkapkan terima kasih, lelaki itu pergi begitu saja. Dengan cepat tubuh
tegapnya sudah berbaur dengan keramaian di kantin bagian dalam.
“Kau mengenal lelaki itu, Kal?”
Kalila menolehkan kepalanya ke kiri. Wajahnya menampilkan
ekspresi bingung yang belum terjawab. Dan sekarang malah harus menanggung rasa
penasaran orang lain.
“Kenapa kau tidak bercerita jika memiliki teman setampan
itu?”
Belum tuntas kebingungannya, muncul lagi suara antusias
yang tertangkap telinga kanannya. Kalila menoleh, kemudian menggelengkan
kepala. Dua gadis yang duduk mengapitnya ini cukup banyak bertanya untuk orang
yang baru beberapa hari berkenalan.
“Aku tidak mengenalnya,” ujar Kalila lantas memandang
heran pada sebotol air mineral di hadapannya.
“Benarkah?” tanya gadis di sisi kirinya dengan sangsi. “Lalu
kenapa dia memberimu minuman itu?”
Kalila mengangkat bahunya tidak peduli.
“Apa dia salah orang, ya?” tebak gadis lainnya, yang—kalau
Kalila tidak salah mengingat— bernama Erin.
“Ah, tapi benar-benar memalukan harus bertemu lelaki
setampan itu dengan penampilan mengerikan seperti ini,” keluh gadis yang
satunya sambil menunduk frustrasi. Ia menutupi wajah dengan kedua telapak
tangannya.
Sebenarnya penampilan mereka belum sampai di level
mengerikan. Tetapi memang jauh dari kesan anggun dan elegan. Rambut dikucir
tiga di bagian atas, kanan, dan kiri kepala. Pakaian yang mereka kenakan adalah
kaus putih dengan lambang universitas dan celana olahraga selutut dengan warna
yang melambangkan fakultas masing-masing. Ditambah, papan karton berisi biodata
yang terkalung di leher mereka.
Kalila memerhatikan penampilan dua orang di sampingnya.
Kuciran di rambut mereka sudah tidak serapi sebelumnya. Jejak-jejak keringat
membuat beberapa anak rambut yang terlepas menempel di beberapa sisi wajah. Dan ia yakin
penampilannya sendiri tidak lebih baik dari itu.
“Aku bahkan membiarkan kukuku pucat tanpa kuteks, Val.” Erin
menimpali dengan keluhan serupa.
“Aku juga tidak sempat menggambar alisku,” sahut Valeria tidak
mau kalah.
Benar juga. Kalila akhirnya ingat nama gadis itu. Valeria.
Gadis yang tiba-tiba meminta dipanggil ‘Val’ begitu Kalila menyebutkan ‘Kal’
sebagai nama panggilannya.
“Lagipula kenapa, sih, selama masa orientasi kita
dilarang berdandan?” sungut Valeria membesar-besarkan masalah.
“Iya, iya,” sahut Erin setuju. “Bahkan kita disuruh
memunguti sampah dan menyapu jalan. Itu, kan, bukan tugas kita sebagai
mahasiswa.”
“Bersyukurlah, ini adalah hari terakhir.” Kalila ikut
menimpali, mulai terganggu dengan perdebatan yang menurutnya tidak perlu.
“Benar, benar. Ini bukan saatnya mengeluh yang hanya
menambah keriput di wajah,” ucap Erin sambil mengangguk-angguk dengan wajah
ceria. “Yah, semoga saja suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi dengan lelaki
itu.”
“Tidak perlu menunggu suatu
hari nanti,” timpal Valeria cepat, memotong harapan Erin. “Kita cari saja
dia ke fakultasnya. Kalau melihat dari warna celananya, sepertinya dia dari
fakultas hukum.”
“Ah, benar, benar.” Erin bersorak riang, tidak peduli
pada pengunjung lain yang juga duduk di teras kantin bersama mereka. “Kau
memang pintar, Val.”
“Tentu saja,” sahut Valeria bangga. “Kalau tidak, mana
mungkin aku diterima di universitas ini.”
Kalila akhirnya ikut tertawa bersama dua orang itu. Dua
orang yang langsung heboh hanya karena sebotol air mineral. Dan botol itu hanya
bisa bungkam, tanpa mampu menuturkan rahasia apa pun. Termasuk tentang
kehadirannya yang tiba-tiba dan menerbitkan tanda tanya ke hadapan Kalila.
***
Masa orientasi sudah terlewati. Dan hari-hari Kalila
sebagai mahasiswa akhirnya dimulai.
Tidak ada lagi rambut yang dikucir tiga. Kalila kembali
dengan topi kesayangan yang menghiasi kepala cantiknya. Kemeja lengan panjang
merah bata yang tampak kebesaran mengambil alih posisi kaus putih yang
dikenakannya dalam seminggu terakhir. Celana olahraga untuk masa orientasi juga
sudah pergi digantikan skinny jeans biru
gelap favoritnya.
Kalila melenggang tenang dalam chukka boots yang
terpasang pas di kakinya. Ia melangkah menuju perpustakaan dengan setumpuk buku
dalam dekapannya. Sama sekali tidak menyadari beberapa pasang mata memusatkan
perhatian ke arahnya. Jika bukan karena parasnya yang menarik, itu berarti
karena gaya berpakaiannya yang seperti hendak menghadapi musim gugur.
“Kal!”
Sebenarnya tanpa perlu menolehkan kepala, Kalila tahu
benar siapa yang menyerukan namanya. Selain karena belum banyak orang yang
dikenalnya, suara yang menyapanya saat ini memang memiliki lengkingan yang
khas. Tetapi demi menjaga sopan-santun, ia menolehkan kepalanya dan mendapati Valeria
sedang berlari-lari kecil menghampirinya. Tepat seperti dugaannya.
“Hai, Valeria,” ujar Kalila balas menyapa.
Gadis di hadapannya justru memberengut tidak suka. “Sudah
kukatakan, panggil saja aku ‘Val’.”
“Hem,
baiklah... Val—“
“Nah, begitu lebih baik,” kata Valeria sambil tersenyum
senang. Telapak tangannya menepuk-nepuk rok floralnya. “Kau mau ke mana?”
“Perpustakaan.”
“Untuk belajar?”
Kalila menggeleng. “Mengembalikan buku.”
Valeria menyingsing sedikit lengan kemejanya yang seperti
kebun bunga tulip di Belanda, melirik jam tangan yang melingkari lengannya.
“Boleh aku ikut?”
“Boleh,” jawab Kalila singkat lantas kembali melangkahkan
kaki, diikuti Valeria di sampingnya.
Mereka berdua menyusuri koridor kampus tanpa membicarakan
apa pun. Bahkan sekadar obrolan pembunuh waktu selama menunggu lift tidak hadir
di antara mereka. Kalila sendiri tidak peduli akan hal itu. Tetapi Valeria jemu
karena merasa diabaikan.
“Kenapa kau selalu terlihat muram, sih, Kal?” gumam Valeria
begitu pintu lift tertutup dan mengurung mereka berdua.
Kalia mengangkat sebelah alisnya. “Muram?”
“Kau selalu berjalan cepat sambil menunduk, jarang
tersenyum, dan hanya menjawab singkat pertanyaanku,” jelas Valeria sambil
memainkan ujung rambut ikalnya yang dikucir kuda. “Kalau seperti itu terus, kau
akan kesulitan mendapat teman dan juga pacar, lho.”
Sudut bibir Kalila diam-diam berkedut sinis. Baguslah.
Justru dua hal itu yang sangat dihindarinya saat ini.
“Apa kau tidak sadar kalau banyak orang yang
memerhatikanmu? Terutama para lelaki tampan di sekitar kita. Salah satunya yang
memberimu minuman di kantin tempo hari. Kau tidak ingin bertemu lagi
dengannya?”
Kalila menggeleng, memberikan jawaban sejujurnya.
Valeria menghela napas panjang bersamaan dengan bunyi
denting lift. Tanpa diduga, tiba-tiba saja ia merebut topi bisbol yang
dikenakan Kalila lalu melompat keluar begitu pintu lift terbuka.
“Kalau begitu, topimu kusita dulu. Tunjukkan wajah
cantikmu pada dunia,” ucap Valeria sambil melambaikan topi Kalila di tangannya.
Gadis itu masih sempat mengerlingkan mata sebelum berlari meninggalkan Kalila.
Kalila berdecak marah. Matanya melebar kesal. Langkahnya
menghentak sebal keluar dari lift. Jemarinya bergerak cepat merapikan rambutnya
yang berantakan.
Inilah salah satu alasan mengapa Kalila menghindari hubungan
pertemanan. Ia malas berurusan dengan orang yang suka mencampuri urusannya.
***
Sejak pertama kali bertemu dengan Kalila, Valeria
langsung menyukainya. Gadis itu memiliki segala hal yang diimpikannya selama
ini. Rambut lurus berwarna hitam, sepasang mata cokelat terang, tubuh semampai,
dan tentu saja kaki yang jenjang. Benar-benar sempurna. Oh, ralat. Rona muram
yang selalu terpancar dari sosok Kalila adalah satu-satunya kekurangannya.
Seharusnya, ia bersikap ceria seperti Valeria.
Valeria menghela napas panjang saat menatap pantulan
bayangannya pada cermin yang tergantung di atas wastafel. Pipi gembil, rambut
ikal nyaris keriting, dan sepasang paha besar yang dibencinya. Jika berada di
samping Kalila, ia benar-benar merasa seperti itik buruk rupa.
Seandainya muncul peri yang mampu mengabulkan segala
permohonan, Valeria ingin meminta agar ia bisa bertukar posisi dengan Kalila. Jika
sudah begitu, ia pasti jauh lebih percaya diri dan menunjukkan wajah cantiknya
pada semua orang. Bukannya bersikap tidak bersyukur dan malah menutupinya dalam
bayang-bayang topi butut.
Valeria meremas kuat topi yang tadi direbutnya dari
Kalila. Bagaimana mungkin gadis itu masih bisa terlihat cantik walaupun
mengenakan topi seperti ini?
Sungguh, Valeria benar-benar merasa iri.
***
Telapak tangan Kalila terangkat ke wajahnya, berusaha menutupi
mulutnya yang menguap lebar. Sekalipun tidak ada orang selain dirinya di kamar
indekos itu. Jemarinya kemudian mengusap air yang menitik di sudut mata, akibat
kantuk yang ditahannya.
Mengantuk? Kalila
menguap sekali lagi. Matanya mencuri lihat ke arah jam yang terpasang di
dinding kamarnya yang bercat kuning gading.
Astaga. Mata Kalila terbelalak seketika. Pantas saja ia merasa
sangat mengantuk. Ternyata saat ini sudah hampir pukul tiga dini hari.
Bagaimana bisa ia belajar sampai selarut ini? Tangan Kalila bergerak cepat
mengembalikan buku-bukunya ke dalam rak. Ia harus bergegas tidur agar tidak
terlambat kuliah pagi.
Tetapi niatnya untuk tidur langsung menguap begitu ia
berhadapan dengan cermin besar di samping tempat tidurnya. Cermin dengan tepian
kayu itu merefleksikan sosoknya secara utuh.
Perlahan, Kalila melangkah mendekati cermin. Ia
mengulurkan tangannya, mencoba menyentuh bayangannya sendiri. Pantulan sosok
itu balas menatap padanya. Sepasang mata cokelat terang yang seperti milik
neneknya itu menunjukkan kehampaan yang nyata.
Rambut hitam Kalila berpotongan bob yang menggantung di atas bahunya, membingkai wajahnya yang
putih pucat. Bibir merah stroberinya melempar senyum palsu. Sementara hidungnya
yang ramping berkerut masam saat kata-kata Valeria terngiang di benaknya.
‘Kalau seperti itu terus, kau akan kesulitan mendapat teman dan juga pacar,
lho.’
Dahulu, beberapa tahun yang lalu, mungkin itu bukanlah
hal yang sulit untuk didapatkan Kalila. Bahkan mungkin hanya dengan menghela
napas, banyak orang yang berlomba-lomba ingin menjadi temannya. Banyak lelaki
memperebutkan posisi untuk menjadi pasangannya.
Tetapi kemudian kehadiran seseorang membuat Kalila sadar
akan segala kepalsuan itu.
Tidak ada seorang pun yang tulus ingin menjalin hubungan
dengannya. Ada banyak maksud yang tersembunyi di balik kata-kata manis yang mengandung
racun. Mereka semua mendekatinya karena ia cantik. Karena ia pintar. Karena
penampilan fisiknya yang menarik. Karena ia kaya raya. Karena ayahnya pemilik
perusahaan yang sangat berpengaruh di dunia bisnis.
Mendadak Kalila menjadi idola tanpa memiliki talenta
apa-apa. Dan semua yang dimilikinya itu membuat Kalila muak!
Terlebih karena semua temannya yang berwajah ganda itu
membuat Kalila kehilangan seseorang yang paling berharga untuknya. Seseorang
yang sudah membuka matanya dari kepalsuan di sekitarnya. Meninggalkan setumpuk
perasaan bersalah yang semakin menggunung dari waktu ke waktu. Hingga tanpa
sadar, Kalila menutup pintu hatinya dari segala bentuk hubungan yang melibatkan
emosi.
***
Kalila menghela napas lega saat dosennya mengakhiri
kuliah pagi ini. Ia bergerak cepat merapikan alat tulisnya dari atas meja.
Rasanya seperti menunggu ribuan tahun ketika menempuh kuliah dengan mata berat
menahan kantuk.
Entah bagaimana caranya, tetapi satu kalimat yang
diucapkan Valeria tempo hari bisa memengaruhi Kalila seperti itu. Ia terjaga
semalaman. Hingga akhirnya jam beker ungunya
berdering keras menyatakan bahwa ia sudah kehabisan waktu tidurnya. Dan
sekarang yang dibutuhkannya hanya sesuatu yang mengandung kafeina.
“Kalila,” sapa seseorang perlahan sambil mengetuk bahunya
dari belakang.
Kalila membalik tubuhnya dengan malas. Seorang lelaki
yang duduk di kursi yang berada tepat di belakangnya. Hanya dengan melihat
sepintas, Kalila tahu lelaki itu berusaha menghidangkan senyum termanisnya.
Lagi-lagi, demi sopan-santun, Kalila membalas senyum itu
sambil meralat cara lelaki itu memanggilnya. “Kal. Panggil saja ‘Kal’.”
“Baiklah, Kal,” balas lelaki itu dengan senyum yang lebih
lebar. “Namaku Elliot.”
Kalila mengangguk. “Oke. Ada apa, Elliot?”
“Sudah kuduga kau terlihat lebih cantik jika dilihat dari
dekat.” Lelaki bernama Elliot itu malah bergumam asal tetapi sengaja agar
didengar Kalila.
Cantik? Kalila
menyebut satu kata itu dalam hati. Kepalanya tertunduk menyembunyikan senyum
sinis. Tetapi sepertinya lelaki di hadapannya salah mengartikan sikapnya itu.
Itu bukan pertama kalinya Kalila mendengar kata itu
terlontar untuknya. Sebuah kata yang dahulu mampu membuat perasaannya melambung
tinggi. Tetapi sekarang kata itu tidak lebih dari pujian kosong yang paling
mudah diucapkan untuk berbasa-basi. Orang-orang tidak perlu mengenalnya hanya untuk
mengatakan bahwa ia cantik.
“Oh, maaf aku jadi melantur,” ucap Elliot seolah baru
tersadar dari lamunan palsunya. “Aku ingin mendiskusikan materi ini, Kal.”
Kalila melongokkan kepalanya pada salah satu materi
diktat yang ditunjuk Elliot. Ia mengerutkan keningnya bingung lantas
menggelengkan kepala. “Maaf. Tapi aku sendiri belum memahami materi ini.”
“Begitukah?” Elliot terdengar sangsi. Seolah mengetahui
kebohongan Kalila. “Kebetulan, aku sudah paham materi ini. Mau kuajari?”
Urat kesal mencuat di kening Kalila. Ia benar-benar malas
berurusan dengan lelaki keras kepala seperti ini. Kepalanya sangat pusing dan
ia tidak ada waktu untuk meladeni basa-basi murahan di sini.
“Maaf. Tapi aku ada kuliah lain setelah ini,” tukas
Kalila sambil berdiri kasar dari tempat duduknya.
“Ya. Aku tahu,” sahut Elliot sambil tetap tersenyum.
“Semester ini, kan, kita selalu sekelas, Kal.”
“Oh, ya?” timpal Kalila acuh tidak acuh. Sementara
tangannya bergerak cepat membereskan alat tulis dari atas mejanya. Berusaha
menunjukkan bahwa ia sedang terburu-buru.
“Kalau begitu, sampai ketemu nanti, Kal.”
Kalila mengangguk sekenanya, lalu mengambil langkah lebar
meninggalkan kelas. Cepat-cepat ia mengenakan topi bucket abu-abunya, menyembunyikan wajah yang selalu membuatnya
menerima kebaikan semu.
***
“Terima kasih.” Kalila mengangguk ramah saat menerima
secangkir kopi yang dipesannya.
Kalila sungguh tidak sabar untuk segera menyesap kopinya.
Ia harus mengusir kantuknya yang semakin menjadi-jadi. Satu persatu sel di
otaknya seolah tumbang dan terlelap tanpa menunggu izin darinya.
Bergegas, Kalila memacu langkahnya mencari tempat duduk yang
masih kosong di antara padatnya suasana kantin. Beberapa mahasiswa tampak duduk
meriung penuh senda gurau padahal makanan mereka sudah tandas dari piring
masing-masing. Mendapati seluruh tempat duduk sudah terisi, memaksa Kalila
memutuskan untuk meninggalkan kantin. Ia berencana pindah duduk ke taman
fakultas sambil membaca sekilas materi untuk kuliah selanjutnya.
Mungkin Kalila tidak akan berhenti berjalan jika bukan
karena ia mendadak menabrak seseorang. Atau dinding, ia tidak terlalu yakin.
Karena yang ditabraknya itu sangat keras dan kokoh. Diikuti bunyi gemerencing yang
seolah menjadi musik latar untuk kejadian itu.
Gelas kertas dalam genggaman Kalila menghamburkan isinya
keluar akibat benturan itu. Sebagian merembes di tangannya yang langsung terasa
seperti melepuh. Sementara lebih dari separuh kopi panasnya tumpah ke dada dan
perut orang yang ditabraknya.
Mata Kalila sontak terbuka lebar, kantuknya hilang
seketika. Walaupun terkejut, ia masih bisa mendengar suara memekik yang
menghardiknya habis-habisan.
***
“Maaf,” ucap Kalila sepenuh hati. Bibirnya bergetar
karena panik. Sementara batinnya sibuk merutuki dirinya sendiri.
Kalila sadar, ucapan maafnya tidak akan cukup. Terbukti
dengan adanya suara yang terus sibuk memaki di sampingnya. Suara itu semakin
naik beberapa oktaf seolah tidak bisa puas mengungkapkan kekesalannya. Maka,
dengan sigap Kalila mengeluarkan sapu tangan dari tasnya dan langsung
menepuk-nepukkan pada kemeja milik korban dari kecerobohannya.
Noda kopi di kemeja yang kuyup itu terserap sedikit demi
sedikit. Hingga sapu tangan berwarna violet milik Kalila berangsur menjadi
warna kecokelatan. Perubahan warna juga tampak di wajah Kalila. Semburat merah menyebar cepat di pipinya saat jemarinya
merasakan otot dada dan perut yang menonjol di balik kemeja ungu gelap beraroma kopi di hadapannya. Tetapi ini
bukan saatnya tersipu untuk hal seperti ini. Ia harus bertanggung jawab atas
kesalahannya.
“Jangan sentuh!” bentak suara melengking itu sambil
menampik tangan Kalila dengan kasar. Sapu tangannya terlepas dari genggaman dan
mendarat di lantai kantin.
Tentu saja Kalila merasa geram. Ingin sekali rasanya ia
melayangkan tamparan ke mulut loudspeaker
yang kurang ajar itu. Memang benar ia sudah melakukan kesalahan, tetapi bukan
berarti gadis ini bisa memperlakukannya semena-mena.
“Lihat-lihat dulu dong kalau berjalan!” hardik gadis itu
sambil mengacungkan telunjuknya ke hadapan Kalila. “Sekarang coba lihat akibat
dari perbuatan konyolmu!”
Perlahan, Kalila menarik dan mengembuskan napasnya
berulang kali, berusaha mengatur emosinya.
“Sudah cukup, Lory. Semua orang memerhatikanmu.”
Suara rendah dan maskulin itu mengalun lembut ke telinga
Kalila. Mengembalikan akal sehatnya ke dunia nyata. Nyaris saja ia kehilangan
kendali dan mencabuti rambut pirang palsu di kepala gadis itu.
“Tapi perempuan ini harus diberi pelajaran!” Gadis itu
masih saja menyalahkan Kalila. Bahkan ia tidak berusaha merendahkan suaranya
sedikit pun. Seolah ia ingin seluruh dunia mendengar kesalahan apa yang sudah
diperbuat Kalila. “Dia membuat kemejamu basah dan kotor.”
“Cuma kopi. Bukan masalah,” ucap lelaki itu setengah
berbisik. “Ayo kita pergi.”
Lelaki itu menggenggam kedua bahu Lory, setengah menyeret
gadis itu pergi. Tetapi Lory masih meronta, menolak untuk menyingkir dari
hadapan Kalila. Sepertinya ia benar-benar belum merasa puas dengan materi
pelajaran yang disusunnya untuk Kalila.
Sambil menghela napas berat, Kalila memungut sapu tangan
dan cangkir kertasnya yang sudah menghilangkan kantuknya dengan cara yang tidak
biasa. Dalam hati, Kalila menyesali kopinya yang sudah mengotori pakaian lelaki
itu. Seharusnya lebih baik kopi panas itu tumpah ke wajah gadis yang masih
mengumpatinya dari kejauhan.
***
Kalila menjalani sisa harinya di kampus dengan tabah.
Walaupun gumpalan awan hitam masih menggantung di atas kepalanya. Wajahnya
semakin tertekuk muram lebih dari biasanya setelah apa yang di hadapinya.
Kopinya tumpah tidak bersisa. Gendang telinganya harus
menerima hardikan dari gadis loudspeaker.
Dan sekarang ia harus bersabar pada Elliot yang seperti sengaja duduk tepat di
sampingnya. Kalila yakin lelaki itu tidak benar-benar memerhatikan materi
kuliah yang sedang disampaikan dosen di depan kelas. Beberapa kali ia merasakan
Elliot mencuri pandang ke arahnya melalui ekor mata. Tentu saja itu membuatnya
terganggu dan kesulitan berkonsentrasi seperti seharusnya.
Mata Kalila melirik cepat pada jam tangan yang melingkar
di lengannya. Diam-diam, ia mendesah lega. Sebentar lagi kuliah selesai. Ia
hanya perlu menunggu lima menit lagi. Dan ia bisa kembali ke kamar indekosnya
yang nyaman. Hanya lima menit. Tetapi entah mengapa rasanya seperti menunggu
bertahun-tahun.
Kalila menghitung dalam hati. Satu... Dua... Tiga...
Empat... Lima... Hingga akhirnya dosen berkacamata itu melantunkan kalimat yang
sangat ditunggu-tunggu Kalila.
“Sekian untuk hari ini, sampai jumpa di pertemuan
selanjutnya,” ucap dosen itu sambil menjadi orang pertama yang meninggalkan
kelas.
Seperti ingin mengejar posisi kedua, Kalila juga bergerak
cepat memasukkan buku catatannya ke dalam tas sambil berdiri dari kursinya.
“Setelah ini kau mau ke mana, Kal?” tanya Elliot sambil
membereskan barangnya sendiri. Tidak ingin kalah cepat dari Kalila.
“Pulang.”
“Mau kuantar?”
“Tidak perlu. Aku bisa sendiri.”
Atau mungkin terbiasa sendiri, Kalila menambahkan dalam hati. Ia mengangguk sekilas untuk sopan-santun
pada seseorang yang mengajaknya bicara. Kemudian kakinya sudah bergerak cepat,
merebut posisi orang ketujuh yang keluar dari kelas.
Kalila menyusuri koridor kampus dengan langkah-langkah
lebar. Rasa kantuk kembali menyerang. Dan kali ini, kopi tidak akan bisa lagi
menjadi penawarnya. Memang hanya tidur yang dibutuhkannya sekarang.
Satu-satunya obat mujarab untuk mengobati kantuk. Kalila terlalu sibuk
membayangkan dirinya tengah bergelung memeluk guling di bawah selimutnya yang
hangat, hingga tidak menyadari seseorang berjalan tergesa berlawanan arah
dengannya. Detik berikutnya, mereka bertabrakan tanpa bisa dicegah.
Bibir Kalila mengaduh perlahan saat merasakan bahunya
bersinggungan keras dengan bahu milik orang lain. Telinganya menangkap bunyi
gemerencing yang seolah mengingatkan Kalila bahwa ini adalah tabrakan kedua dalam
serangkaian kesialannya hari ini. Gadis itu mengumpat dalam hati dan berniat
melontarkan keluhannya lebih dahulu. Sebelum orang lain kembali melakukan itu
pada harinya yang buruk.
Tetapi niat itu langsung musnah begitu Kalila melihat
seseorang yang bertabrakan dengannya. Sosok lelaki itu mengingatkannya pada
seseorang yang dikenalnya. Wajah tirus dengan tulang pipi yang menonjol. Walau
samar, tampak sedikit bintik-bintik jerawat di pipi lelaki itu. Gaya rambut dan
pakaiannya lebih cocok dikenakan jika ia hidup di tahun 1960-an. Tinggi
badannya tidak lebih dari pelipis Kalila.
“M-maaf,” ujar lelaki itu dengan suara begetar.
Suara itu lantas menyadarkan Kalila bahwa mereka adalah
orang yang berbeda. Seseorang dalam ingatannya, tidak pernah berbicara dengan
suara bergetar seperti itu. Suaranya selalu tegas dan dalam. Diiringi sorot
mata yang cerdas dan cemerlang. Bukannya sepasang mata ketakutan yang kini
menatapnya seolah Kalila adalah hewan buas yang siap menerkam kapan saja.
“Maaf, maaf,” lelaki itu kembali meminta maaf karena
melihat Kalila yang hanya terdiam dengan kening mengernyit dalam. Membuat ia
berpikir bahwa gadis itu akan melampiaskan kemarahan besar kepadanya. “Maaf.
Aku tidak sengaja.”
Tanpa diduga sama sekali, Kalila justru menyunggingkan
seulas senyum tipis. “Tidak apa-apa. Aku juga sedang melamun tadi.”
Tetapi lelaki itu tidak berhenti meminta maaf. Sekarang
ia malah berulang kali membungkukkan tubuhnya dalam-dalam seperti hendak
menempelkan kepalanya ke lantai. Membuat Kalila merasa tidak nyaman karena
menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka.
“Tolong jangan seperti ini,” ucap Kalila sambil ikut
menundukkan kepalanya sedikit. Sementara telapak tangannya mengusap tengkuknya
karena perasaan tidak nyaman. Saat itulah, Kalila menyadari sesuatu tergeletak
di atas lantai. Tiga batang kunci dengan gantungan berbentuk kucing yang
langsung dikenalinya sebagai kunci indekosnya. Angka 307 tercetak di salah satu
kepala kunci itu. Sepertinya kunci-kunci itu terjatuh ketika mereka bertabrakan
tadi.
Begitu Kalila memungut kunci itu, lelaki di hadapannya
berhenti membungkuk. Lelaki itu hanya mengatakan maaf singkat untuk terakhir
kali, sebelum kemudian berbalik dan melangkah pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D