“KAU yakin tidak apa-apa, Lil
Princess?” tanya Diego cemas begitu mereka sudah duduk kembali di dalam mobil
sedan abu-abu gelapnya.
Kalila
mengerjapkan matanya beberapa kali. Butuh lebih dari sepuluh detik sebelum
akhirnya ia mencerna pertanyaan yang diucapkan Diego. “Ya. Aku tidak apa-apa.”
“Kau
mabuk?”
Tiba-tiba
Kalila tertawa renyah mendengar pertanyaan itu. Matanya terpejam. Telapak
tangannya menepuk-nepuk lengan Diego. “Yang benar saja! Mana mungkin aku mabuk
hanya karena segelas wine.”
“Seingatku
kau memang lemah pada minuman seperti itu,” ucap Diego heran. “Lalu kenapa hari
ini—“
“Sudah.
Tidak usah berdebat. Cepat antar aku pulang,” sela Kalila sambil tertawa-tawa
kecil. Tangannya bergerak bingung. Kesulitan memasangkan sabuk pengamannya.
Diego
menggeleng-gelengkan kepala melihat pipi Kalila memerah. Sekelumit tawa juga
tertular padanya. Lelaki itu menunduk, melingkarkan sabuk pengaman ke tubuh
Kalila.
“Jadi,
ke mana aku harus mengantarmu pulang?”
“Ke
sana,” jawab Kalila sambil mengangkat telunjuknya tidak tentu arah. Sebaris
tawa terpatah-patah kembali menghiasi bibir gadis itu.
“Kalau
kau tidak bisa menunjukkan jalan dengan benar, aku akan membawamu pulang ke
apartemenku,” ucap Diego sambil melipat lengan di depan dada.
“Ayo, ayo kita pulang ke apartemenmu,”
sahut Kalila sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Detik berikutnya, gadis itu
sudah menyandarkan kepalanya ke jok mobil. Dan dalam sekejap terdengar
dengkuran halus memenuhi seisi mobil.
Diego
melirik sekilas ke arah Kalila. Ia mulai menjalankan mobilnya, melaksanakan apa
yang diminta gadis itu. Sementara sudut bibirnya menarik seringai tanpa bisa
ditahan.
***
Pintu
apartemen itu tertutup dan mengunci secara otomatis di belakang punggung Diego.
Lelaki itu melepas sepatunya sambil tetap memapah Kalila. Begitu sepatunya
terlepas, ia menggendong Kalila seolah tidak ada beban berarti. Ia membawa
gadis itu memasuki ruang tamu dan menurunkannya di atas sofa berwarna serupa
bilberry.
Diego
menyalakan lampu duduk di samping sofa. Kemudian lelaki itu menutup rapat
gorden khaki-nya. Seolah mencegah cahaya luar memasuki apartemennya. Atau
menghindari seseorang melihat ke dalam. Sehingga kini ruangan itu temaram oleh
cahaya yang berpendar kekuningan dari balik kap lampu.
Diego
duduk di atas meja mahoni di ruang tamunya. Sepasang matanya menelusuri sosok
Kalila yang tertidur pulas di hadapannya. Napas gadis itu begitu teratur.
Begitu tenang seperti malaikat.
Di
bawah penerangan minim di ruangan itu, pandangan Diego terpaku pada wajah
Kalila. Alisnya sehitam arang, bulu matanya yang lentik, dan bibirnya merah
alami seperti stroberi. Semua itu seperti dilukis khusus di atas kulit
pucatnya. Rambut berpotongan bob menyentuh lembut pipinya yang jauh lebih tirus
daripada terakhir kali Diego melihatnya.
Entah
apa sebabnya, tetapi Diego memang merasa gadis itu sedikit berubah. Rona wajah
gadis itu berubah tampak muram. Senyumannya tidak pernah lagi terlihat tulus.
Seolah cahaya sudah terenggut paksa dari sepasang mata yang selalu mengisi
benak Diego selama ini.
Tiba-tiba
Diego mengerang tertahan. Rasa sakit itu datang lagi. Ia merasakan bekas luka
di kepalanya berdenyut-denyut nyeri. Lelaki itu memejamkan mata. Kedua tangannya mengepal kuat,
mencoba menenangkan dirinya.
Hal semacam ini memang sering terjadi. Jika ia terlalu sering memikirkan gadis
yang membuatnya terluka. Memikirkan gadis yang kini terlelap di atas sofanya.
Begitu
rasa sakit itu perlahan meninggalkan dirinya, Diego mendesis. Ia membuka mata
dan mengatur napasnya yang terputus-putus. Ini tidak baik. Diego harus
mengalihkan perhatiannya dari Kalila, atau rasa sakit itu akan membunuhnya
perlahan.
Diego
berlutut dan melepaskan sepatu yang membungkus kaki Kalila. Penuh
kehati-hatian, ia memosisikan kaki gadis itu ke atas lengan sofa. Tetapi saat ia bangkit,
tiba-tiba ujung jemari kanannya disentuh dan ditarik oleh genggaman lemah. Saat
menoleh, ia melihat Kalila sedang menatap redup padanya.
“Kau
mau ke mana?” tanya Kalila dengan suara parau.
“Menyimpan
sepatumu di rak,” jawab Diego ringan sambil menunjukkan sepatu yang menggantung
di ujung jemari kirinya.
“Jangan
pergi,” pinta Kalila sambil beranjak duduk.
“Aku
hanya sebentar.”
“Aku
mohon jangan pergi.” Kalila merengek dengan suara serak. Gadis itu bangkit dan
duduk bersandar pada sofa. Kepalanya terkulai putus asa. “Jangan tinggalkan
aku, My Hero Diego.”
Diego
mengernyit dan tersenyum secara bersamaan. Ia meletakkan kembali chukka
boots milik Kalila ke lantai, kemudian memosisikan
diri duduk di sisi gadis itu.
“Maafkan
aku, Diego.” Kalila terisak lantas memeluk Diego. Ia mengubur wajahnya di
lekukan leher lelaki itu. “Maaf, aku melarangmu pergi.”
“Tidak
apa,” sahut Diego bingung akan ucapan Kalila yang melantur. Ia mengulurkan
lengannya mengelus lembut kepala gadis itu. “Aku akan menemanimu di sini.”
“Padahal
dulu aku... ya, Tuhan... aku meninggalkanmu malam itu.” Tangis Kalila mulai
pecah menjadi isakan-isakan menyayat hati. “Ini semua salahku. Aku sudah
meninggalkanmu. Aku meninggalkanmu....”
Kening
Diego mengernyit mendengar ratapan Kalila. Tetapi lelaki itu tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Ia hanya membiarkan telapak tangannya bergerak teratur
membelai rambut Kalila. Bagaimanapun, entah mengapa, hatinya seperti
diiris-iris saat melihat gadis itu menangis.
“Aku...
aku sudah membuatmu terluka. Kau terluka karena aku.” Kalila masih terus
menyalahkan dirinya sendiri di tengah air matanya yang mengalir deras.
“Semuanya gara-gara aku.”
Diego
mempererat pelukannya. Sementara tangannya berpindah ke punggung Kalila,
mendaratkan tepukan ringan yang mencoba menenangkan. Ini pertama kalinya ia
berhadapan dengan Kalila yang histeris.
“Aku
akan lakukan apa pun
untuk menebus kesalahank—” Suara Kalila tertelan oleh tangisannya yang seolah
tidak berujung. Ia mendongak dan menatap langsung ke arah Diego.
Diego
hanya bisa meringis masam. Sepasang mata cokelat terang itu milik gadis itu
dibasahi air mata dan dilumuri perasaan bersalah yang pekat.
“Apa
pun itu?” tanya Diego. Sepasang matanya berkilat senang. “Kalau begitu, mulai
sekarang kau akan melakukan apa saja untukku. Dan setelah itu baru aku akan
memaafkanmu.”
Kalila
mengangguk pasrah. Sedetik kemudian gadis itu kembali menyurukkan kepalanya di
dada Diego. Isakannya sudah mereda. Walaupun air matanya masih terus mengalir.
Tetapi
rupanya Diego tidak lagi ingin membiarkan gadis itu tenggelam dalam air mata.
Maka, ia menangkup kedua pipi Kalila, membuat gadis itu kembali menatap
langsung padanya. Seulas seringai yang mengandung beribu makna terbit di bibir
Diego. Seperti yang diminta Kalila, ia akan melakukan apa saja. Mungkin hal
pertama yang harus dilakukannya adalah mengklaim gadis itu menjadi miliknya.
Lama
mereka saling terkunci dalam tatapan. Perlahan, Diego menunduk lebih dekat. Ibu
jarinya terulur, mengusap lembut bibir merah stroberi yang membisikkan namanya.
***
Suasana begitu hening dan tenang. Perlahan, Kalila
membuka matanya. Tidak ada cahaya yang menyilaukan. Hanya seberkas cahaya
keemasan yang menelusup dari balik tirai kamar. Beberapa detik berlalu, ia
hanya terdiam, menikmati lingkungan asing yang mengelilingnya.
Kalila tidak tahu ia berada di mana. Yang jelas ini bukan
kamar indekosnya. Kendatipun begitu, ia merasa hangat dan nyaman di atas tempat
tidur ini. Tetapi ia tidak boleh terus terlena. Ia harus segera mencari tahu di
mana ia berada. Dan bagaimana bisa ia ada di sini.
Kalila memosisikan dirinya duduk di tepi ranjang. Ia
terdiam sejenak saat kepalanya terasa pening. Matanya melirik ke arah nakas di
samping tempat tidur. Ada segelas air yang tampak berkilau di bawah
remang-remang cahaya bulan. Tanpa pikir panjang, ia langsung meneguk habis air
itu untuk membasahi tenggorokannya yang seperti dipenuhi duri.
Ingatan samar menyapu benak Kalila. Sejak kejadian malam
itu, Kalila membenci keramaian. Ia tidak suka berada di tengah banyak orang
yang seolah memandangnya penuh penghakiman. Belum lagi ketika sekumpulan orang
yang menyebutnya teman, mulai pergi meninggalkannya yang nyaris gila. Bagaimana
tidak, ia mendengar Diego terluka parah. Kabarnya, lelaki itu mengalami gegar
otak dan mendapat beberapa jahitan akibat luka yang didapatnya.
Berulang kali, ia ingin menjenguk Diego. Ingin melihat
sendiri bagaimana keadaan lelaki itu. Tetapi niatnya selalu runtuh begitu saja
membayangkan bahwa tidak akan ada maaf untuknya. Mendapati kenyataan itu, Kalila hanya bisa
menyembunyikan diri dalam kegelapan seperti ini. Bahkan memandang dirinya
sendiri di cermin sudah membuatnya muak. Ia hanya bisa meringkuk berlumur air
mata hingga jatuh tertidur.
Kalila kehilangan semua yang dibanggakannya selama ini.
Selera makannya menurun drastis. Nilai-nilainya di sekolah memburuk. Kedua
orang tua Kalila yang tidak tega melihatnya menderita, akhirnya memindahkan ia
ke kota asal ibunya. Sebelum anak gadis mereka jatuh sakit karena tertekan.
Setitik air matanya nyaris jatuh saat telinga Kalila
menangkap sayup-sayup bunyi piano dari luar kamar. Sebuah bisikan merdu tentang
kesedihan. Seolah melodi ini menjadi pengiring perasaannya. Atau justru
refleksi perasaan dari yang memainkannya.
Seperti anak-anak kecil yang terpikat bunyi seruling di
Hamelin, Kalila bangkit dan berjalan menuju pintu. Saat itulah ia baru
menyadari bahwa ia tidak mengenakan sepatu dan parka yang tadi dikenakannya.
Tetapi ia tidak peduli. Kalila lebih penasaran dengan irama yang membelai
telinganya. Mungkin ini karya Beethoven atau Mozart, ia tidak terlalu yakin.
Karena ia sendiri tidak begitu mengerti musik klasik. Walaupun musik ini cukup
familier di telinganya.
Kalila keluar dari kamar yang beraroma kayu-kayuan itu.
Pencahayaan di luar kamar itu tidak jauh berbeda. Semua tampak temaram dihiasi
cahaya yang mengintip kekuningan. Kalila melangkah perlahan menyusuri koridor
yang menuntunnya ke sebuah ruangan besar.
Di ruangan itu, matanya langsung tertuju pada sebuah
piano grand hitam mengilap. Sumber
dari melodi yang memenuhi udara. Ia terus mendekat dan mendapati seorang lelaki
duduk di balik piano itu. Jemari yang ramping menari di atas tuts piano.
Kalila akhirnya ingat. Musik ini sama seperti musik yang
mengalun dari dalam kotak musik yang pernah diberikan Diego padanya. Lelaki itu
tidak menyadari kehadirannya. Terlalu tenggelam dalam kesedihan yang disuarakan
tuts di ujung jarinya. Memainkan nada demi nada
Fur Elise.
Tubuh lelaki itu disinari cahaya hangat dari lampu yang
berdiri di samping piano. Ekspresinya begitu rapuh dan kesepian. Dan Kalila
mendengarkan dengan terpesona.
***
Entah sudah berapa lama Diego termenung di sofa itu. Ia
hanya merebahkan diri setelah memindahkan Kalila ke kamarnya. Mata lelaki itu
menatap nyalang pada langit-langit apartemennya. Tidak memedulikan ponselnya
yang terus berkedip mengabarkan panggilan masuk.
Tadi itu nyaris saja. Diego hampir saja melakukannya.
Bibirnya sudah begitu dekat dengan bibir Kalila. Sedikit lagi dan ia bisa
mencecapi bibir yang memabukkan itu. Kalau saja gadis itu tidak jatuh terkulai
dan terlelap berbantalkan bahunya.
“Kalila.” Diego meloloskan nama itu dari mulutnya.
Seperti berbisik ke udara hampa. Hanya sebuah nama tetapi mengandung banyak
makna untuknya. Hanya seorang gadis yang tidak bisa berhenti dipikirkannya. Apa
pun wujud perasaan yang ada di hatinya.
Gadis itu masih tetap cantik. Masih mengandung magnet
yang mampu menarik perhatian orang di sekelilingnya. Tetapi Diego tidak akan
tertipu lagi. Bahkan ia tidak menganggap serius permintaan maaf yang tadi
dilontarkan Kalila. Gadis itu licik dan munafik. Bekas luka yang dimiliki Diego
adalah bukti nyata keculasan seorang Kalila.
Diego langsung meringis saat ia merasakan luka di
kepalanya kembali berdenyut samar. Ini tidak biasanya terjadi. Tidak pernah
sebelumnya terjadi sakit di kepalanya kambuh lebih dari tiga kali sehari. Ia
mengatur napas perlahan, mencoba agar emosinya tidak meledak dan berakibat
buruk.
Jemari Diego meraba bekas luka yang memanjang di atas
kepalanya hingga ke dekat telinga kanannya. Beruntung, helai-helai rambutnya
mampu menyembunyikan dengan baik. Tetapi ia tidak akan pernah bisa lupa sakit
seperti apa yang pernah dirasakannya. Kalila tidak akan bisa lagi
mengendalikannya. Sebaliknya, justru ia yang akan mengendalikan gadis itu untuk
memenuhi keinginannya.
Diego tidak tahu sejak kapan hari sudah berganti malam.
Tetapi ia tidak terlalu memikirkan itu. Lelaki itu beranjak dari sofanya dan
melangkah menuju piano yang diletakkan dekat jendela. Mungkin sedikit musik
bisa membantunya memperbaiki perasaan.
Benar saja, hanya perlu beberapa detik saja dan Diego
sudah tenggelam dalam perasaannya. Melodi-melodi lembut mengalun perlahan.
Menyelimutinya dalam sekat tidak kasatmata yang mengasingkannya dari dunia di
sekitarnya. Sampai-sampai tidak menyadari seseorang yang tengah terpukau pada
permainannya.
“Kau bisa bermain piano?”
Suara yang lembut itu menyapa pendengaran Diego begitu Fur
Elise selesai dimainkan. Menyembunyikan rasa kagetnya, Diego lantas mengangkat
wajah dan menampilkan seulas senyum.
“Hai. Apa tidurmu nyenyak, Lil Princess?”
“Aku baru tahu kau bisa bermain piano sehebat ini,” sahut
Kalila masih terlihat takjub. Gadis itu menumpukan pandangannya pada tuts piano
yang tadi disentuh jemari Diego.
“Tidak lagi sehebat itu.” Diego mengusap punggung tangan
kirinya. “Malam itu, tanganku juga terluka parah.”
Kening Kalila mengernyit masam bersalut perasaan
bersalah. Jantungnya seperti diinjak gajah saat menatap tangan Diego. Tetapi
Kalila mengigit bibirnya, mencegah perasaan itu berubah wujud menjadi
kata-kata.
“Duduklah di sini,” ujar Diego sambil menggeser duduknya.
Memberi ruang untuk Kalila. “Aku akan memainkan satu lagu lagi untukmu.”
Kalila melirik sekilas ke arah tempat di sisi Diego.
Tetapi entah mengapa ia merasa ragu untuk duduk di sana. “Omong-omong, kenapa
aku bisa ada di sini?”
“Astaga, kau tidak ingat?” tanya Diego tidak percaya.
Alis lelaki itu berkerut kecewa. “Sungguh?”
Bingung. Kalila menggelengkan kepala.
“Setelah apa yang kita lakukan tadi?”
Kalila merasakan Diego menatapnya melalui bulu mata
tebalnya. Dan entah mengapa suara lelaki itu berubah sedikit sensual. Memang
apa yang sudah mereka lakukan? Astaga—oh, tidak! Mana mungkin itu bisa terjadi!
Kaki Kalila berjingkat mundur ke belakang. Ia memeluk tubuhnya sendiri seperti
ingin menutupi banyak hal. Dan wajahnya memerah karena pikirannya sendiri.
Diego terbahak keras melihat reaksi Kalila. Merasa senang
melihat gadis itu masuk dalam perangkapnya. “Tadi kau menangis histeris dan
memelukku dengan erat. Tidak ingin aku meninggalkanmu. Bahkan kau berjanji akan
melakukan apa pun untukku.”
Samar-samar benaknya menampilkan ingatan seperti yang
dikatakan Diego. Tetapi Kalila menolak untuk percaya. Ia menganggap itu
hanyalah mimpi yang entah mengapa terasa nyata.
Seharusnya, Kalila pasti akan marah begitu sadar sudah
dipermainkan. Tetapi itu tidak dilakukannya. Gadis itu malah tersenyum
malu-malu melihat tawa yang dilantunkan Diego. Suasana ini terlalu baik untuk
bersikap menyebalkan. Seperti yang dikatakan lelaki itu, mereka harus
memperbaiki kembali hubungan yang pernah retak.
***
Seseorang tampak berjalan
pelan-pelan melewati
koridor lantai tiga sebuah rumah indekos. Matanya tampak awas memerhatikan tiga digit angka yang
menempel di bagian atas daun pintu
masing-masing kamar. Rumah indekos ini bisa dikatakan cukup bebas tanpa
aturan jam malam dan pengawas yang kelewat mengekang. Masing-masing penghuni indekos
memiliki duplikat kunci gerbang dan pintu utama.
Malam ini, suasana tampak lengang. Entah karena banyak yang belum pulang, atau sudah
terlelap di kamar masing-masing. Yang jelas ia bersyukur karena semuanya
menjadi lebih mudah.
Lengkungan senyum melebar di wajah orang itu. Ia terlalu
senang begitu menemukan kamar bernomor 307 yang dicarinya. Pintu kamar itu
bercat cokelat gelap sama seperti kamar lainnya. Tetapi entah mengapa mata
orang itu berkilat-kilat seolah baru saja menemukan harta karun tersembunyi.
Ia mencoba mengetuk pintu itu perlahan lalu menunggu
selama beberapa detik. Tetapi tidak ada jawaban. Sepertinya penghuni kamar ini
sudah tidur atau bahkan belum pulang. Dan untuk memastikannya, ia memasukkan
kunci dan memutarnya hingga terdengar bunyi klik. Ia menggenggam gagang pintu
sambil menahan napas. Perlahan, ia membuka pintu itu sedikit untuk mengintip.
Kamar itu gelap. Tetapi dengan bantuan cahaya dari luar, ia bisa melihat bahwa
tidak ada seorang pun di kamar itu. Sepertinya keberuntungan sedang memihaknya
kali ini. Kemudian setelah menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada
yang melihatnya, orang itu melangkah
masuk dan menutup pintu di belakangnya dengan
sangat hati-hati.
Pertama-tama, ia meraba-raba dinding, mencari tombol
sakelar lampu. Dan begitu lampu menerangi kamar itu, penglihatannya menatap
liar, seolah pemandangan kamar itu bisa menjadi pemuas dahaganya selama ini.
Selanjutnya, ia mengeluarkan kamera dari dalam tasnya yang tersampir di pundaknya, lalu mulai
memotret setiap sudut kamar
itu.
Penuh semangat, ia bergerak membuka lemari pakaian. Baju-baju yang biasa dikenakan penghuni kamar itu
tertumpuk dan tergantung rapi dalam lemari itu. Ia mengambil salah
satu parka yang tergantung dan mengenakannya. Seringainya kembali muncul saat
melihat pantulan bayangannya di cermin.
Setelah mengembalikan parka ke gantungan di lemari, ia
memilih untuk berbaring di atas tempat tidur yang berbalut sprei bernuansa
monokrom. Ia membenamkan wajahnya pada bantal yang biasa digunakan pemilik
kamar ini. Memuaskan paru-parunya dengan aroma yang disukainya. Berusaha
menghibur dirinya sendiri atas penolakan terhadap ajakan makan siangnya.
Orang itu bangkit dan merapikan tempat tidur seperti
sedia kala. Ia melanjutkan penjelajahannya dan memotret banyak hal. Jam beker
ungu di atas nakas tempat tidur, rak buku di sudut kamar, juga jadwal kuliah di
atas meja belajar. Itu tentu akan mempermudah jadwal berkunjung selanjutnya.
Di atas meja rias yang tampak sepi, ia menemukan sebotol
parfum. Dengan senyum lebar yang sama sekali tidak surut, ia mengambil botol
itu dan membuka tutupnya. Aroma lavendel bercampur vanila menguar cepat
memanjakan indra penciumannya. Tidak berhenti sampai di situ, ia bahkan
menyemprotkannya ke leher dan berharap aroma tubuh mereka menjadi sama. Ia
memotret botol parfum itu, agar tidak kesulitan jika ingin membelinya nanti.
Setelah
merasa puas, ia melangkah
keluar dari kamar itu tanpa
suara. Seringai di wajahnya sama sekali tidak bisa disembunyikan.
***
“Aku tidak tahu kau bisa memasak,” puji Kalila sambil
menumpukan sikunya di atas meja panjang yang langsung tersambung dengan dapur
tempat Diego menyibukkan diri. Lelaki itu mengambil beberapa bahan makanan dari
kulkas, lalu mencucinya dengan air yang mengucur dari keran.
“Banyak yang tidak kauketahui tentangku, Lil Princess.”
Diego berbalik menghadap Kalila. Ia memandang sekilas dari bawah bulu matanya,
lalu melempar senyum. Kemudian tangannya sudah sibuk bergerak memotong sayuran
di atas talenan, menciptakan ketukan teratur.
“Memang apa lagi yang tidak kuketahui?”
Diego memilih untuk tidak langsung menjawab. Menikmati
tatapan Kalila ke arahnya, sementara ia tetap melanjutkan pekerjaan dapurnya.
Setelah memindahkan potongan-potongan wortel dan buncis ke mangkuk
masing-masing, ia baru mengangkat wajah menatap langsung kepada Kalila. “Kenapa
tidak coba mencari tahu sendiri? Aku tidak keberatan kaujelajahi.”
Entah mengapa, kedua pipi Kalila bersemu merah mendengar
kalimat itu. Apa lelaki itu memintanya untuk menjelajahi apartemen ini
sendirian? Mana mungkin, kan? Ia tidak bisa bersikap lancang seperti itu.
Ataukah ia harus menjelajahi yang lain—
“Kau bisa membaca buku jika merasa bosan. Ada beberapa
koleksi bukuku di rak,” ucap Diego memutus pikiran Kalila. Lelaki itu tampak
mengulum senyum geli yang sulit dimengerti Kalila.
Kalila sudah melihat rak besar yang menyimpan banyak buku
di dekat ruang tamu. Kumpulan buku itu benar-benar membuatnya iri. Jauh berbeda
dengan rak kecil di sudut kamar indekosnya. Tetapi kali ini, ia merasa buku
tidak jauh lebih menarik daripada lelaki di hadapannya.
“Mungkin nanti. Sekarang aku lebih baik di sini saja.”
Sepasang mata Diego memandang jauh ke dalam mata Kalila.
Seolah lelaki itu mampu melihat jelas pikiran lawan bicaranya. “Jadi, sekarang
kau lebih suka membaca aku?”
Alis Kalila mengernyit bingung. Mengapa lelaki ini
seperti hendak menjadikan dirinya sebagai objek dari setiap kegiatan yang
dilakukan Kalila?
“Kau akan memasak apa?” tanya Kalila mengalihkan
pembicaraan.
Diego menggidikkan bahu. “Sup ikan.”
Kalila memiringkan kepalanya. “Kenapa harus sup?”
“Tenang saja,” ucap Diego berusaha meredam tatapan
ragu-ragu yang tertuju padanya. “Masakanku pasti jauh lebih baik daripada
masakan koki yang memberimu wine dan membuatmu mabuk.”
Kalila mengernyit masam mengingat hal itu. Bagaimana bisa
dengan bodohnya ia memesan minuman seperti itu? Apa karena embel-embel ‘gratis’
yang dibisikan chef tampan itu?
“Seburuk apa aku ketika mabuk?” tanya Kalila sambil
menggigit bibir bawahnya. Bingung harus menuruti perasaan malu atau rasa ingin
tahunya.
“Sangat buruk,” jawab Diego tegas. Lelaki itu bahkan
berhenti melakukan kegiatan memasaknya dan memusatkan perhatian sepenuhnya
kepada Kalila. “Jangan berani-beraninya kau mabuk lagi. Apalagi jika kau sedang
tidak bersama denganku.”
Bibir Kalila mencebik. “Memang kenapa?”
“Kau mau mencium sembarang lelaki di luar sana ketika
mabuk?”
Kedua mata Kalila terbelalak seolah Diego baru saja
menyiramnya dengan seember air dingin. Jemarinya menyentuh bibirnya dengan
perasaan tidak percaya. “M-mana mungkin aku mencium... mu?”
Tetapi Diego hanya menghela napas berat. Sama sekali
tidak berniat memberikan jawaban pasti kepada Kalila. Sekarang lelaki itu malah
berbalik menghadap kompor, memasukkan potongan sayur dalam larutan kaldu di
panci. Seolah sengaja membiarkan Kalila sibuk menduga-duga dalam ingatan
samarnya.
Astaga, apa yang sudah ia lakukan? Mencium lelaki ketika
sedang mabuk bukanlah kebiasaan Kalila. Apalagi ia tidak bisa mengingat apa pun
dari insiden tersebut. Bahkan ia tidak berani membayangkan apa yang dipikirkan
Diego tentang dirinya. Beruntung, lelaki itu sedang berdiri memunggunginya
sehingga ia tidak perlu melihat wajah Kalila yang berubah serupa warna tomat di
atas meja.
Diam-diam, Kalila memerhatikan sosok Diego. Ia tidak
menyangka bahwa pubertas bisa mengubah banyak hal dari seseorang. Matanya
menelusuri lekukan sempurna torso berbalut kaus hitam yang terhidang di
hadapannya. Bahu tegap dan punggung yang gagah. Lengan yang bergerak tangkas di
antara peralatan dapur. Membuat Kalila tanpa sadar menggigit bibir bawahnya
untuk menahan diri agar tidak berlari dan menghambur dalam pelukan lelaki itu.
Saat itulah, tanpa diduga Kalila, tiba-tiba Diego
berbalik menghadap ke arahnya. Dan langsung menangkap basah wajahnya yang
menatap penuh minat. Kalila tidak sempat mengubah ekspresinya saat seulas
senyum pongah menarik sudut bibir lelaki itu.
“Senang dengan apa yang kau lihat, Lil Princess?”
sindirnya sekilas. Kemudian lelaki itu sudah berbalik cepat dan kembali ke
hadapan Kalila dengan semangkuk sup yang mengepul hangat. Lelaki itu meletakkan
sendok ke samping mangkuk, diikuti secangkir teh jahe yang memanjakan indra
penciuman Kalila.
Cepat-cepat Kalila menatap senang pada hidangan di atas
meja. Berharap Diego akan berpikir bahwa tadi ia berwajah seperti itu karena
lapar akan masakan beraroma menggoda ini. Tetapi sepertinya sia-sia saja.
Lelaki itu malah menampilkan senyum congkak yang membuat Kalila tanpa sadar
menahan napas.
Diego berbalik untuk mencuci peralatan masak yang baru
saja digunakannya. Dan menampilkan profil sosoknya ke dalam area pandang
Kalila. Hingga membuat gerakan tangan gadis itu terhenti sebelum menyentuh
sendok.
“Apa besok kau ada kuliah pagi?” tanya Diego sambil
menoleh sekilas ke arah Kalila.
Kalila memiringkan kepalanya mengingat-ingat jadwal
kuliahnya. Tiga detik kemudian gadis itu sudah memberi jawaban lewat gelengan
kepala. “Tidak ada,” jawabnya kemudian saat menyadari Diego tidak bisa
melihatnya saat ini. “Hanya ada satu kuliah jam satu siang. Memang kenapa?”
“Baguslah kalau begitu,” ujar Diego sambil mematikan
keran air. Ia mengeringkan tangannya dengan lap bermotif kotak-kotak, sambil
berjalan menghadap Kalila yang menatapnya bingung. Ia tersenyum miring yang
menyimpan banyak arti. “Berarti kita bisa menghabiskan waktu bersama sampai
pagi.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D