Ada rindu dan juga ketakutan di mata lelaki itu. Ia merindu gadis yang sosoknya selalu bisa dilihatnya. Walau hanya secara
sepihak. Tetapi ia juga takut jika tiba-tiba saja gadis itu akan
meninggalkannya. Ia takut jika mata gadis itu akan tertutup selamanya. Dan menenggelamkannya
dalam kubangan hitam kesedihan.
Seperti dongeng yang selalu dituturkan gadis itu saat mereka masih kecil.
‘Sang putri terbangun dari tidur panjangnya setelah mendapat ciuman cinta
sejati dari sang pangeran. Dan akhirnya, mereka hidup bahagia selamanya.’
Sederet kalimat itu mengalir deras dalam benak lelaki itu. Lengkap dengan
suara cempreng khas gadis kecil. Kemudian ia mengalihkan pandangan menatap
nanar pada gadis yang terbaring tidak berdaya di hadapannya. Gadis itu adalah
gadis yang sama dengan gadis kecil yang sering membacakan dongeng kepadanya
saat mereka masih anak-anak.
Dan mirisnya, keadaan gadis itu saat ini mirip seperti tokoh putri dalam
dongeng favoritnya.
Sudah sebelas bulan. Dan selama itu pula Giselle tertidur di atas tempat
tidur rumah sakit dengan berbagai alat yang terpasang pada tubuhnya. Tubuhnya
tergeletak tidak berdaya dengan kulit yang pucat. Sering kali lelaki itu berharap
bisa menggantikannya menanggung semua rasa sakit itu.
Sanak saudaranya, teman-teman, dan juga rekan-rekan sesama model sering
datang untuk menjenguk. Mereka semua mendoakan kesembuhan Giselle. Berita
tentang musibah yang menimpa Giselle dan orang tuanya memang sudah diketahui
banyak orang. Itu juga yang membuat Gabriel—kakak Giselle, langsung terbang pulang
meninggalkan kuliahnya di Indonesia.
Bahkan wartawan dari beberapa media cetak pernah datang demi meliput
perkembangan kesehatan Giselle. Gadis itu memang cukup dikenal sebagai model
perempuan yang berprestasi. Tetapi Gabriel
selalu menolak kedatangan para pemburu berita itu.
“Giselle,” lelaki itu berbisik memanggil gadisnya. Entah mengapa, walaupun ia
bisa melihat sendiri bahwa kedua mata itu masih terpejam, tetapi ia yakin bahwa
gadis itu masih di sini. Ia merasa yakin
Giselle berada di dekatnya.
Dan lelaki itu berharap gadisnya bisa mengerti betapa ia menginginkannya
untuk kembali. Ia rela melakukan apa pun untuk membuat gadis itu kembali
terbangun.
Apa pun. Termasuk mengecup bibirnya seperti pangeran yang memberikan ciuman
cinta sejati untuk membangunkan sang putri dari kutukan.
Sayangnya, cara itu benar-benar
hanya ada di dalam dongeng. Logika sudah berkali-kali memberi peringatan
sebelum lelaki itu melakukan tindakan konyol yang terlintas liar dalam benaknya.
Tetapi perasaannya terus saja memberi dukungan bahwa tidak ada salahnya
mencoba.
Lalu sekarang apa? Giselle belum juga terbangun. Dan ia sendiri sudah
menjadi lelaki berengsek karena mencium seorang gadis yang sedang tidak
berdaya.
***
Sebuah ketukan ringan di bahu lelaki itu, membuatnya terjaga seketika. Entah
sejak kapan ia sudah terlelap berbantal lengan di tepi tempat tidur Giselle. Ia
mendongak dan mendapati Gabriel berdiri di sampingnya. Sepasang mata lelaki itu
tampak lelah dan sendu menatap keadaan adik gadisnya.
“Beristirahatlah sejenak, Giberto. Biar aku yang menjaga Giselle.”
Gilberto mengangguk patuh. Ia bangkit dan membiarkan Gabriel menduduki
tempatnya. Ia menatap sekilas ke arah Giselle sebelum bergerak menuju kamar
mandi.
Berkali-kali, Gilberto membasuh wajahnya dengan air yang mengucur dari
keran wastafel. Titik-titik air tertinggal di sudut-sudut wajahnya. Bergelayut di
antara bakal janggutnya yang semakin lama tidak mengenal pisau cukur.
Perasaan bersalah menamparnya berulang kali saat mengingat kembali apa yang
sudah dilakukannya tadi. Ia merasa bersalah pada Gabriel. Orang yang sudah
memercayakan Giselle padanya.
Dan terutama lebih buruknya lagi. Ia merasa bersalah pada Giselle. Bagaimana
mungkin ia tega bertindak tidak senonoh pada gadis yang dicintainya itu.
Gilberto menundukkan kepalanya dalam-dalam, sebagai bentuk penyesalan atas
perbuatanya. Kemudian ia kembali memanjatkan doa agar gadis itu kembali membuka
matanya. Kembali sehat dan ceria seperti yang dikenalnya selama ini. Kembali
kepada semua orang yang menunggunya. Kembali kepada Gilberto untuk mendengarkan
pernyataan cintanya.
Ya. Gilberto telah jatuh cinta pada teman masa kecilnya. Tetapi ia sendiri
tidak tahu sejak kapan perasaan di dalam hatinya ini berubah menjadi cinta. Mereka
terlalu sering bersama sehingga ia tidak bisa dengan cepat mengenali perubahan
reaksi hatiku terhadap kehadiran gadis itu.
Tetapi jika ciumannnya bahkan tidak bisa membangunkan Giselle, apakah itu
berarti bahwa gadis itu bukanlah cinta sejatinya?
Jantung Gilberto seakan dihujam ribuan anak panah ketika memikirkan
kemungkinan itu. Tetapi jika memang itu benar, ia rela. Ia tidak akan
menghalangi Giselle untuk menemukan cinta sejatinya. Mungkin ia akan merasa
cukup dengan mengungkapkan perasaan terpendamnya pada Giselle. Ia sudah tidak
lagi peduli pada dirinya sendiri. Ia hanya ingin gadis itu kembali.
***
Gabriel sudah pergi beberapa saat yang lalu, mengembalikan kursi di samping
tempat tidur Giselle kepada Gilberto. Lelaki itu selalu menenggelamkan diri dengan
pekerjaannya. Mengurus banyak hal yang ditinggalkan orang tuanya. Mencari
pelipur lara di antara kesibukannya. Seolah semua itu mampu menyembuhkan duka
di hatinya.
Gilberto mengulurkan tangannya dan membelai ringan pipi Giselle yang
semakin tampak pucat. Seperti bulan yang kehilangan cahaya dan membiarkan bumi menghitam
dalam kegelapan abadi.
Seperti dunia Gilerto saat ini.
Seperti dunia Gilerto tanpa senyuman Giselle.
Seperti dunia Gilerto tanpa dongeng yang harus didengarnya berulang kali.
“Kumohon, jangan tinggalkan aku....” Gilberto meraih dan mengecup punggung
tangan Giselle penuh harap. Bahkan ia
tidak lagi mampu menghalau air matanya. “Aku mencintaimu, Giselle. Kumohon
kembalilah....”
Tiba-tiba saja Gilberto merasakan jemari Giselle bergerak lemah dalam
genggamannya. Sontak ia berdiri dari duduknya untuk memastikan bahwa ini bukan
bagian dari khayalannya. Benar saja. Mata gadis itu terbuka walaupun tampak
redup.
“Giselle,” panggil Gilberto dengan harapan yang masih bergayut berat. Ia
memberanikan diri walaupun ada kemungkinan bahwa suaranya sendiri akan berkhianat
dan membuatnya sadar jika saja ini hanyalah mimpi.
Tetapi gadis itu seolah mengerti keraguan Gilberto. Maka, ia menjawab
dengan mengerjapkan matanya perlahan. Dan memaksa lelaki itu untuk menerima bahwa
ini adalah kenyataan.
Ada rindu dan juga ketakutan di mata lelaki itu. Ia sangat merindukan gadis yang terbaring sambil
menatapnya tanpa ekspresi yang kuat. Tetapi ia juga merasa takut jika apa yang
dilihatnya saat ini hanyalah bagian dari ilusi yang muncul karena ia terlalu
berharap. Tetapi kemudian gadis itu mengulas senyum tipis, seolah ingin
meyakinkan lelaki yang ternganga menatapnya. Senyuman itu nyatanya mulai
melukiskan warna-warna ceria di atas tumpahan cat hitam dalam kanvas hidup Gilberto.
Gemetar, tangan Gilberto menekan tombol di samping tempat tidur.
“Dokter, dia sudah sadar! Dia sudah sadar!” seru lelaki itu sarat akan rasa
haru sekaligus senang.
Begitu para pengabdi medis berpakaian serba putih itu memasuki ruangan, ia
bergerak keluar untuk memberi ruang bagi pekerjaan mereka. Kakinya
mondar-mandir di koridor yang dipenuhi aroma disinfektan. Sementara tangannya
menggenggam ponsel yang ditempelkan di telinga, menunggu panggilannya
tersambung.
“Halo?”
Sesaat, lelaki itu seperti kehilangan suaranya. Tetapi beberapa detik
kemudian, ia sudah bisa berkata cepat tanpa terkendali. Walaupun ia terus
mengulang kalimat serupa.
“Dia sudah sadar! Gabriel, dia sudah sadar! Giselle sudah sadar!” ucapnya
dengan suara garau, merasakan kabut hitam berangsur hilang diembus cahaya yang
berpendar menjelma warna pelangi. Menghapus ketidaksadaran yang direnggut kegelapan.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D