Nico memasukkan dua buah koper berukuran besar dan sebuah tas
berukuran sedang ke dalam bagasi. Ia sama sekali tak habis pikir mengapa barang
bawaan gadis itu sebanyak ini, padahal ia hanya membawa sebuah ransel yang tak
begitu besar untuk pakaiannya. Gadis itu menyandarkan tubuhnya di samping
mobil, menatap Nico yang masih sibuk menata barang bawaan mereka.
“Mau sarapan dulu?” Tanya Nico setelah menyelesaikan tugasnya.
Tepat saat Elena ingin mengatakan ‘ya’, matanya menangkap seseorang yang tengah
berdiri beberapa meter jauh di belakang Nico.
“Tidak sayang, aku mau memelukmu.” Ujar Elena dengan suara manja
yang sengaja ia keraskan volumenya. Nico mengernyit heran. Sungguh tidak
biasanya Elena bersikap seperti itu. Dan… ‘sayang’? Nico tersenyum
girang Elena memanggilnya seperti itu. Nico beranjak, melingkarkan tangannya
pada tubuh Elena. Elena pun membalasnya. Tak dapat disangkal pelukan Nico
begitu menenangkannya. Kemudian Elena mengangkat tangannya dan mengacungkan
jari tengahnya pada seseorang yang ia lihat tadi, Leoni.
“Apa terjadi sesuatu?” Tanya Nico yang mulai melonggarkan
pelukannya untuk menatap Elena. Elena hanya tersenyum dan menggeleng.
“Ayo kita pulang.” Ajak Elena di samping Nico sambil bergelayut
manja di tangan lelaki itu, Elena menoleh ke belakang mendapati aura kemarahan
menyelimuti Leoni membuat Elena menyunggingkan senyum kemenangannya.
***
Elena POV
Aku masih bimbang dengan keputusanku. Apakah yang kulakukan untuk
kembali ke rumah adalah pilihan yang tepat? Aku sempat menelpon Evan dan ia
melarangku untuk kembali. Tapi bagaimanapun juga aku harus menjauhkan Nico dari
ular betina itu. Dan lagi aku juga memikirkan pekerjaan Nico yang ia tinggalkan
beberapa lama karena aku. Tunggu… pekerjaan Nico?
“Apa sebenarnya pekerjaanmu? Evan bilang kau hanya mengurus
perusaahaan ayahmu sementara?” Aku mencoba mencari tahu.
“Konsultan pajak. Tetapi karena aku bertengkar dengan atasanku aku
mengundurkan diri dan ayah menarikku untuk mengurus perusahaan sementara.
Sekitar tiga tahun. Tapi aku sudah memutuskan untuk mundur.” Jelas Nico tanpa
mengalihkan pandangannya dari jalanan.
“Kenapa kau tidak bekerja di perusahaan ayahmu?”
“Tidak, aku hanya ingin mandiri dan aku tak ingin orang-orang
segan padaku karena aku anak pemilik perusahaan.”
Satu hal yang baru aku tahu bahwa Nico adalah seorang konsultan
pajak meski ayahnya memiliki sebuah perusahaan besar. Aku tersenyum menyadari
kemandirian lelaki itu. Bukan tipe lelaki manja yang bergantung pada harta
orang tuanya.
“Bagaimana kau mengenal Evan?”
“Saat itu aku baru menjabat di perusahaan, kemudian aku mendengar
sekretarisku bergosip ada lelaki tampan yang magang di perusahaan kami. Aku
tidak suka mereka bergosip ditengah pekerjaan dan aku memanggil Evan. Kakakmu
itu sangat penurut. Aku tidak terlalu percaya kalian memiliki darah yang sama.”
“Kami kembar!” Aku bersungut kesal. Entahlah, aku juga heran pada
diriku sendiri. Seharusnya sifat yang terlalu kasar ini lebih cocok untuk Evan
karena dia adalah laki-laki. Seharusnya sifat penurut dan kalem itu menjadi
milikku. Mungkin karena Evan ditakdirkan menjadi kakakku, hingga ia mengambil
seluruh sifat terbaik dari kedua orang tuaku dan meninggalkan sifat buruknya
padaku.
“Aku tahu. Aku bisa melihatnya, sayang. Evan orang yang menarik
dan cerdas. Dan aku mulai merasa cocok berteman dengannya.”
“Lalu, apa aku boleh tahu hubunganmu dengan… Leoni?” Sebenarnya
ini yang mengganjal hatiku, tapi sejak awal aku takut untuk menanyainya.
Kuperhatikan tubuhnya sedikit menegang, namun kembali rileks dalam beberapa
detik.
“Sudah kubilang kami tidak ada apa-apa. Kami pernah menjalin
hubungan dan kami berpisah.” Aku tahu ia enggan membahas ini, tapi aku tak
peduli, aku ingin tahu.
“Mengapa kalian berpisah?” Kulihat Nico mengembuskan nafasnya
perlahan.
“Leoni mengkhianatiku.” Ujar Nico. Aku memiringkan tubuhku untuk
menatap Nico dan bersiap mendengar kelanjutannya. Tapi sepertinya dia tak
berniat melanjutkannya.
“Lalu?”
Nico melirikku sejenak dengan tatapan jengkel. “Dia lebih memilih
orang lain. Dia memutuskannya seminggu sebelum pernikahan kami.”
“Mungkin kau salah paham.”
“Mereka mengakuinya.”
Suasana tegang menyelimuti kami. Mungkin aku salah telah
memasukkan Leoni dalam daftar pertanyaan. Mungkin aku telah kembali menyayat
luka lama Nico hanya untuk keingintahuanku. Hening untuk beberapa saat, hingga
lelaki itu membuka mulutnya.
“Sudah lapar?”
“Sedikit.”
“Baiklah, kita makan dulu.”
***
Nico POV
Aku tidak dalam suasana hati yang baik-baik saja setelah gadis itu
mengungkit luka lamaku. Aku memang sudah tak menyimpan rasa apapun pada Leoni
kecuali rasa sakit hati. Dulu cintaku kepadanya terlampau besar sehingga ia
mampu menorehkan luka yang cukup dalam di hatiku. Namun semuanya berakhir tepat
saat gadis itu mengatakan ia mencintai lelaki sialan yang merebut hatinya
dariku. Sejak itu aku tak berniat menjalin suatu hubungan serius, tentu saja
kecuali dengan Elena.
Kulihat Elena dengan lahap memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
Tetapi tidak denganku. Aku masih saja mengaduk-aduk minuman dengan rasa malas.
Entahlah, aku sangat tidak bernafsu untuk melahap makanan di hadapanku ini.
“Tidak makan?” Tanya Elena setelah membalik sendok dan garpunya
pertanda makannya telah usai.
“Entah mengapa
aku merasa kenyang.”
“Tidak Nick, kau harus makan.” Elena meraih makananku kemudian
mengangkat sendok berisi makanan ke depan mulutku. Sungguh manis. Terkadang aku
merasa ada beberapa gadis dalam diri Elena. Kadang begitu lembut, namun menjadi
sangat garang saat ia marah.
Aku membuka mulutku kemudian melahap makanan yang ia suapkan
padaku. Gadis itu tersenyum hingga menyentuh matanya. Ia selalu membuatku
terpesona saat memandang wajah cantik dan sikap lembutnya. Aku menyentuh tangan
Elena saat ia hendak menyuapiku lagi, membuatnya tersipu setelah aku menatapnya
lekat-lekat.
“Ayo, Nick.” Ia mengangkat lagi suapan berikutnya. Aku menggeleng.
“Melihatmu seperti ini membuatku merasa kenyang.” Ya, kenyang
dalam artian sebenarnya setelah melahap sesuap makanan dari tangannya. Lihat,
ia membuatku seperti remaja yang sedang jatuh cinta.
“Kau sedang merayuku?” Tanya Elena di sela senyumannya.
“Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya.” Aku menatap jam yang
melingkar di tanganku, hampir jam sebelas siang dan kami harus melanjutkan
perjalanan. “Elena, aku akan ke toilet sebentar.”
***
Elena POV
Aku memandang punggungnya yang berjalan menjauh. Apapun yang ia
lakukan selalu membuatku berdebar. Aku kesal saat gadis lain memandangi
kami—lebih tepatnya memandangi Nico dengan tatapan kagum. Aku tak suka mereka
menginginkan milikku.
Milikku?
Ha! Bahkan kami
tidak memutuskan untuk menjalin hubungan seperti yang dilakukan mantan pacarku
dulu, seperti, ‘Elena, maukah kau menjadi pacarku?’ lalu aku akan menjawab, ‘ya,
tentu saja’. Aku tahu ini
bukan kisah remaja yang mungkin mengharuskan pertanyaan itu menjadi
patokan dalam memulai sebuah hubungan, namun sikapnya padaku sudah lebih dari
cukup untuk membuatnya menjadi milikku.
Aku menyeruput lemon tea dengan es batu yang hampir mencair
seluruhnya, lalu sebuah sosok yang berdiri di sampingku membuatku menoleh. Bukan Nico. Aku mendongak untuk melihat wajah
pemilik pakaian berwarna biru tua itu.
“Sendirian? Boleh aku menemanimu?” Tanya lelaki itu.
“Tidak boleh.” Jawabku ketus, menyeruput kembali minumanku.
Kemudian melalui ekor mataku aku melihat seseorang lainnya menarik kursi di
sampingku.
“Ikutlah denganku. Aku akan mengajakmu bersenang-senang, nona.”
“Kau pikir aku akan senang bersamamu? Sebaiknya cari saja
perempuan lain untuk kau goda.”
“Wah, lihat Bas, dia garang sekali.” Goda lelaki berpakaian biru
tua yang masih berdiri di sampingku. Lalu lelaki yang duduk di sampingku,
berdiri dan menarik tanganku.
“Mau apa kau?” Hardikku saat ia berusaha menarikku.
“Ayo ikut denganku. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu.” Orang
ini rupanya main-main denganku. Aku meraih minuman Nico yang masih berkurang
sedikit, kemudian kusiram wajahnya hingga noda dari cappucino itu bersarang di wajah dan pakaiannya.
“Sialan kau!” Lelaki itu mengangkat tangannya hendak memukulku,
namun aku hanya memejamkan mata rapat-rapat, menanti pukulannya.
***
Nico POV
Aku menangkap tangan lelaki itu. Apa yang akan dia lakukan?
Memukul gadisku? Sebelum itu terjadi, aku akan mematahkan tangannya. Aku tidak
pernah main-main, sebuah pukulan mendarat di wajahnya hingga darah mengalir
melalui pelipisnya. Siapa suruh dia membuatku marah?
Lelaki itu roboh, dan aku terus menghajarnya, meluapkan segala
emosiku padanya. Aku merasa seseorang menahan tanganku, dan hampir saja aku
menghajarnya jika saja aku tak menyadari bahwa itu adalah Elena.
“Nick, sudah. Lepaskan dia.” Teriak Elena ketakutan. Aku
mengalihkan pandanganku pada lelaki yang sudah tak berdaya itu, bahkan aku tak
menyadari bahwa wajahnya sudah babak belur lebih dari yang kukira. Aku berdiri
sementara dua orang satpam membantu lelaki itu untuk berdiri.
“Pak, bisa anda ikut dengan saya ke pos depan?” Tanya seorang
satpam yang kemudian kuiyakan. Tanganku masih gemetar karena amarah, Elena
menyandarkan kepalanya di lenganku dan kedua tangannya masih melingkar di
tanganku. Sebelah tanganku meraih wajahnya yang terasa basah. Kulepaskan
lilitan tangannya lalu aku merengkuh pundaknya dan membawanya menuju pos satpam
yang tak jauh dari pintu restoran.
“Aku tidak ingin memperpanjang masalah ini. Lelaki itu menggoda
istriku.” Aku berusaha meredam emosiku. Elena yang menyadari kemarahanku
mempererat genggamannya di tanganku.
“Tapi seharusnya anda tidak melakukan tindak kekerasan seperti
ini.”
“Lalu apa maumu?”
“Anda harus bertanggung jawab tentang ini. Anda harus mengganti
rugi.”
Oh, apakah ini tentang uang sekarang? Mereka sedang berbasa basi
untuk meminta uang, begitu? Aku curiga orang yang kuhajar tadi merupakan
komplotan dari dua satpam yang sok garang ini.
“Berapa yang kalian minta?” Ujarku dengan nada jengkel.
“Mungkin lima juta?” Tanya salah satu satpam dengan wajahnya yang
tak kalah menjengkelkan itu. "Wajah lelaki itu babak belur hingga nyaris
tak sadarkan diri, pak."
Sialan, mereka sedang memerasku sekarang. Aku pernah menabrak
seorang pengendara motor hingga ia mendapatkan sebelas jahitan di kakinya.
Namun mereka hanya meminta ganti rugi lima ratus ribu. Aku akui itu memang
salahku yang kurang berhati-hati. Dan yang ini? jelas sekali bajingan itu yang
memulainya dan kawannya meminta lima juta? Kenapa tak kubunuh saja dia!
Brak.
“Brengsek! Yang benar saja. Kalian mau memeras kami?” Suara penuh
emosi itu keluar setelah meja kayu milik satpam digebrak dengan berutal.
Kulihat gadis disampingku sedang menarik kerah pakaian satpam yang menyebalkan
itu dan mengacungkan sebuah pisau lipat kecil di depan wajahnya.
“Tunggu, nyonya. Tenanglah. Silahkan duduk, kita bisa bicara
baik-baik.”
“Persetan dengan kalian! Lihat saja, aku akan melaporkan kalian
dengan tuduhan percobaan pemerkosaan dan pemerasan. Ayahku seorang jaksa, dan
aku pastikan kalian bertiga mendekam di penjara!”
Entah mengapa aku hanya bisa memandanginya dengan tatapan kagum.
Lihat, aku dilindungi oleh seorang gadis yang sangat tangguh. Dia sangat
berbeda dengan gadis-gadis yang pernah kutemui sebelumnya. Secara penampilan,
dia memang seperti gadis feminin pada umumnya. Namun secara sifat, dia seperti
seekor macan betina yang membuatku ingin menjinakkannya.
“Nyonya, kumohon tenanglah. Baiklah aku akan menerima berapapun
ganti rugi yang kau berikan. Tapi tolong jauhkan pisau itu. Kau bisa saja
menusuk mataku.” Ujar lelaki itu, kemudian seorang satpam lainnya mencoba
meraih pisau Elena secara diam-diam, tetapi reflek Elena yang bagus membuat
pisau itu beralih ke wajah satpam tersebut.
“Mau apa kau…” Elena menggantung ucapannya kemudian melirik nama
yang tertera pada seragam lelaki itu. “…Luki?”
“Tidak, maafkan aku, nyonya.” Kulihat Elena melepaskan
cengkeramannya pada kerah pakaian satpam menyebalkan itu, kemudian melipat
pisaunya dan menyelipkannya pada kantong celananya. Ia kemudian mengeluarkan
dompetnya dan menyerahkan dua lembar ratusan ribu ke meja satpam tersebut.
“Luki Setiawan dan Ali Wibowo. Aku akan mengingat wajah dan nama
kalian, jika dikemudian hari kalian masih bertingkah seperti ini, aku akan
melaporkan kalian.” Ancam Elena.
Sejauh adanya kejadian itu, aku tak banyak berperan. Aku hanya
memerhatikan gadis itu dan dia sangat luar biasa. Padahal, saat beberapa mantan
pacarku mengajakku menonton film romantis, kulihat kekasih tokoh utama tersebut
akan menyelamatkan gadisnya dengan cara apapun. Tapi kenyataannya, gadisku
membuat harga diriku sedikit terluka sebagai seorang lelaki. Elena menarik
tanganku menuju mobil dan aku mengikutinya tanpa banyak bicara.
“Kau bisa merusak pintuku, adik kecil.” Ujarku saat Elena
membanting pintu mobil kesayanganku ini. Aku tidak marah, hanya saja aku ingin
mencairkan suasana karena wajah gadis itu tampak mengerikan. Dan pisau lipat
itu, dari mana dia mendapatkannya? Untung saja dia tak pernah mengancamku
menggunakan itu.
“Apa kau hanya menganggapku sebagai adik kecilmu? Sama seperti
Evan?” Alis Elena saling menyatu sama lain, tatapannya seolah menghunus
jantungku. Sepertinya aku sudah salah bicara.
“Tidak, sayang. Itu hanya panggilan untukmu. Selebihnya aku
menganggapmu lebih dari itu. Kau bukan adik kecilku, kau milikku dan aku
mencintaimu.” Aku tak terlalu mampu merangkai sebuah kalimat romantis, namun
menurutku itu adalah sebuah kalimat romantis terbaik dariku.
Senyum gadis itu tampak mengembang dan aku menyukainya.
***
Elena POV
Kalimat yang diucapkan Nick siang tadi terus membuatku tersenyum
bahagia. Aku miliknya. Dia mencintaiku. Itu adalah dua kalimat yang
mengikrarkan bahwa hubungan kami lebih dari teman. Dan itu membuat suasana
hatiku jauh lebih baik hingga mampu melupakan kejadian pemerasan yang tak masuk
akal itu.
Sejak tadi aku duduk meringkuk dengan memeluk kedua lututku.
Tubuhku menghadap lelaki tampan yang masih fokus pada jalanan dihadapannya.
Bagiku jalanan tak lagi menarik, berbeda dengan lelaki itu.
“Sudahlah, berhenti memandangku seperti itu, Elena.”
“Aku tak akan bosan memandangimu, Nick.”
“Kenapa kau ini? Sejak kejadian bersama Leoni, tingkahmu semakin
aneh.”
Sial! Kenapa nama itu muncul lagi.
“Jika kau menyebutnya di depanku lagi, aku bersumpah akan
membunuhnya, Nick.”
“Maafkan aku sayang, aku tak bermaksud seperti itu.” Ujar Nico
diikuti kuapannya yang cukup lebar. Hari sudah larut malam dan aku tahu Nico
sangat lelah. Mungkin dalam waktu sekitar setengah jam kami akan sampai di
rumah. Aku tak tahu bagaimana ekspresi Evan saat melihatku nanti dan aku tak
ingin menebaknya.
“Nick, aku mencintaimu.” Kalimat itu tiba-tiba saja lolos dari
mulutku, membuatku terkesiap saat menyadari kelancangan mulutku. Nick menoleh,
menatapku dengan pandangan yang sulit ku artikan. Aku mengubah dudukku dan
memandang ke jalanan di depan hingga ku lihat seorang gadis berdiri di tengah
jalan.
“Nick, awas!” Suara mobil berdecit memilukan dan aku tak lagi
melihat gadis itu berdiri di depan mobil.
Apakah gadis itu tertabrak?
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D