“KULIHAT akhir-akhir ini, kau mulai jarang terlihat
bersama Diego,” kata Jenna sambil memosisikan punggungnya ke sandaran sofa khusus
manikur-pedikur berwarna magenta itu. Gadis berponi belah tengah itu harus mendapatkan
kenyamannya sesempurna mungkin. “Ada apa sebenarnya?”
Yang ditanya tidak langsung menjawab. Ia berusaha rileks
di atas sofa serupa yang berada di samping
kiri Jenna. Walaupun raut kesal nampak samar-samar di wajahnya. Tetapi ia tahu
benar bahwa Jenna tidak akan berhenti bertanya jika belum mendapat jawaban yang
memuaskan.
“Lory? Kau mendengarku?” tanya Jenna lagi tanpa
menolehkan kepalanya. Ia memang tidak akan banyak bergerak saat para terapis mulai
merawat kuku-kukunya.
Lory memutar bola matanya diam-diam. Ia berharap pembicaraan
itu cepat berakhir karena ia sendiri merasa kesal karena lelaki itu semakin
sulit ditemui. “Tidak ada apa-apa. Aku memang sengaja menjauh darinya untuk
sementara.”
“Benarkah?” tanya gadis lain berblus renda yang menempati
sofa di sebelah kanan Jenna. Ia memejamkan matanya karena menikmati pijatan
dari sandaran sofa di punggungnya. “Kukira karena Diego kembali dekat dengan
Kalila.”
Terheran, Lory bangkit begitu saja dari sandaran. Ia
memekik kaget saat merasakan alat pengikir menggesek kulitnya. “Hati-hati,
dong! Kau sengaja melukaiku, huh?!”
“Maaf. S-saya tidak sengaja,” jawab terapis berseragam merah
muda itu sambil berusaha tegar. Ia tahu itu bukan kesalahannya. Salah sendiri
tiba-tiba bergerak tanpa peringatan. Tetapi ia tidak bisa melawan karena gadis
yang menghardiknya ini adalah pelanggan utama tempat ia bekerja.
“Keluar sana!” bentak Lory hingga membuat terapis itu
tergopoh keluar ruangan. Begitu sadar bahwa kekesalannya salah sasaran, Lory
langsung menoleh kepada gadis yang memancing rasa jengkelnya. “Bagaimana kau
tahu kalau nama Kancil itu Kalila?”
Tetapi gadis itu bergeming. Kedua matanya tetap terpejam.
Tanpa merasa wajib menjawab pertanyaan yang ditujukan padanya.
“Aku tahu kau mendengarku, Sharon,” desis Lory berusaha
meredam agar kemarahannya tidak memuncak.
Sharon berdecak kesal. “Tentu saja aku tahu. Aku pernah
satu sekolah dengan Kalila. Dan juga dengan Diego.”
Mata Lory melebar nyaris menggelinding keluar. Sementara
Jenna berusaha menikmati perawatannya setenang mungkin. Ia hanya bisa melirik
ke kanan dan ke kiri di tengah atmosfer yang mendadak berubah tegang. Padahal hari
Sabtu selalu menjadi jadwal mereka untuk bersantai cantik.
“Tapi dia sepertinya tidak mengenalimu sebagai teman lama
waktu itu,” ucap Lory. Kejadian saat ia menginjak topi Kalila berputar dalam
benaknya. Ada Sharon juga di sana. Tetapi Kancil itu tidak bereaksi apa-apa.
“Entalah.” Bahu Sharon bergedik samar. “Mungkin dia
terlalu fokus padamu. Kau tokoh utama hari itu.”
Padahal kenyataannya, saat itu Sharon memang sengaja bersembunyi
begitu ia menyadari lawan Lory adalah Kalila. Ia mengambil posisi di belakang
Lory dalam impitan temannya yang lain. Belum saatnya ia menjadi tokoh utama
yang menggerakkan cerita.
“Kenapa kau tidak bilang dari awal?”
Sharon membuka matanya. Ia menoleh pada Lory yang sedang
menatapnya dengan tajam. “Karena kau tidak pernah bertanya.”
Yang benar saja! Lory menempelkan wajahnya pada telapak
tangan. Padahal sebelumnya Sharon tidak pernah bersikap seberani ini padanya. Apa
gadis itu merasa berkuasa hanya karena mengetahui secuil informasi?
“Oke. Sorry,
tadi aku hanya kaget mendengarnya.” Lory mulai mengangkat wajahnya, lalu
kembali tersenyum. Ia tahu benar bahwa pengendalian diri itu penting agar ia
tidak kehilangan segalanya. “Jadi, ada hubungan apa mereka di masa lalu?”
“Mereka berpacaran,” jawab Sharon sambil menggedikkan
bahu.
“Kau yakin?” tanya Lory sangsi.
Sharon mengerucutkan bibirnya ragu-ragu. “Tidak juga. Aku
rasa Kalila hanya memanfaatkan Diego yang saat itu mengejarnya. Yah, saat itu keadaannya jauh berbeda
dengan sekarang.”
Lory mengubah posisi duduknya menghadap Sharon. Ia menyilangkan
kedua kakinya, bersiap mendengarkan lebih lanjut.
“Kalila memang tidak banyak berubah secara fisik.
Walaupun sekarang dia lebih tertutup dan tidak sok berkuasa seperti dulu,”
lanjut Sharon lantas tersenyum mencemooh. “Tapi aku jamin kau tidak akan jatuh
cinta pada Diego yang dulu, Lory. Lelaki itu super duper culun dan ketinggalan zaman. Cih! Aku benar-benar kaget
saat melihatnya berubah seperti sekarang.”
Kening Lory mengernyit. Ia membayangkan Diego-nya yang
tampan dan gagah berubah mengerikan seperti yang dideskripsikan Sharon.
“Lalu, kenapa tiba-tiba Diego berubah?” tanya Jenna lamat-lamat.
Ia mulai tidak tahan hanya menjadi pendengar.
“Entahlah.” Sharon mengangkat bahunya acuh tidak acuh.
“Mungkin untuk balas dendam.”
“Balas dendam?” Lory membeo kata-kata Sharon.
Sharon menganggut-anggut membenarkan. “Kalila
mencampakkan Diego setelah puas bermain-main. Dia sudah melukai Diego-mu secara
fisik dan juga menyakiti perasaannya.”
Lory menggeram sambil mencakar permukaan sofa.
“Dan menurutku, sebaiknya kau tidak menggacaukan rencana
balas dendam Diego,” tukas Sharon sambil kembali memejamkan matanya dengan
relaks. Bagaimanapun, ia juga ingin melihat Kalila terpuruk tidak berdaya.
Tentu saja Lory tidak akan mengacau. Tetapi ia bisa memastikan
bahwa hidup Kancil itu akan lebih sengsara daripada neraka.
***
Akhir pekan kali ini benar-benar indah.
Diego berdiri menyandar pada sebuah pilar besar di depan
gedung apartemennya. Ia memilih mengenakan kaus lengan panjang berwarna belau
dengan kerah berbentuk O. Dengan warna abu-abu yang menghiasi bagian ujung
lengan. Kedua tangannya tersimpan dalam saku celana jeans-nya. Dan senyumannya tidak bosan bertengger di bibirnya.
Sebuah mobil coupe
bercat kecubung datang lalu berhenti di hadapan Diego. Kaca jendela pengemudi mobil
itu bergerak turun, menampilkan seraut wajah yang dikenalnya.
“Masuk,” ujar gadis itu ketus dan langsung menutup
kembali jendelanya.
Tanpa menunggu lama, Diego bergegas memutar dan duduk ke
kursi penumpang.
“Aku benar-benar terkesan dengan ajakan kencanmu,” ujar Diego
sambil terkekeh geli. Ia memasangkan sabuk pengaman dan refleks mencari
pegangan saat gadis di sampingnya melajukan mobilnya tiba-tiba. Hingga mobil
itu seperti hendak melompat.
“Hei, hati-hati, Lil Princess.” Diego mendesah panik. Ia
berpegangan pada jok mobil sampai Kalila menjalankan mobilnya dengan benar. “Aku
tidak ingin celaka di kencan pertama kita.”
“Berapa kali kubilang ini bukan kencan,” tukas Kalila sambil
mencengkeram kuat roda kemudi mobilnya.
“Aku tahu ini pasti kencan,” balas Diego tidak mau kalah.
Ia menahan tawa kecil di ujung bibirmya. “Hari ini kau pakai rok.”
Tersentak, Kalila menarik-narik rikuh ujung roknya yang
menyentuh lututnya. Benar-benar sial! Lagi pula untuk apa tadi Kalila bertindak
bodoh dengan memilih pakaian seperti ini? Astaga, seharusnya ia tahu bahwa Diego
tidak akan terkesan.
“Asal tahu saja, rok ini biasanya kupakai tidur,” ujar
Kalila akhirnya. Padahal ia sengaja memilih rok midi hitam dengan corak mawar itu
utnuk menambah kesan feminin di hadapan Diego. Dan hasilnya? Benar-benar rugi
ia memikirkan lelaki itu.
“Oh. Jadi untuk itukah kau mengajakku kencan?” Diego
melirik Kalila dengan pandangan takut yang dibuat-buat. Seolah Kalila adalah
gadis agresif yang suka menjebak lelaki. Bahkan sekarang lelaki itu mendramatisasi
suasana dengan memeluk tubuhnya sendiri yang bersandar pada pintu mobil.
Kalila mendecakkan lidah. Bagaimana mungkin ia bisa
sekesal ini hanya karena tingkah seorang lelaki? Ia mengerang dalam hati. Diego
yang dahulu jauh lebih mudah untuk dihadapi. Sama sekali tidak membuat ia salah
tingkah hanya karena seulas senyuman.
“Aku suka blus burgundimu,” ucap Diego. Tanpa ketakutan
palsunya tadi. Hanya ada senyuman di wajahnya. Ya! Senyuman itu! Senyuman yang
membuat Kalila merasa sesak. “Aku suka gadis yang mengenakan blus. Dan aku juga
suka gadis yang mengenakan coat atau
parka.”
Kalila berpura-pura melirik pada spion saat membelokkan mobilnya
memasuki area parkir. Padahal ia mencuri pandang sedikit pada lelaki di
sampingnya. Kemudian ia menghela napas berat. Bagaimana bisa, sih, ia pernah
berpikir lelaki ini muncul untuk membalas dendam?
“Diam dan dengarkan,” ucap Kalila sambil menarik rem
tangan begitu mobilnya sudah terparkir sempurna. “Ini bukan kencan. Aku hanya
ingin mentraktirmu sebagai permintaan maaf dan ucapan terima kasih.”
“Untuk apa?” Diego bertanya. Jemari rampingnya menekan
tombol yang membebaskan tubuhnya dari kekangan.
Kalila menggigit bibir bawahnya skeptis. Ia tidak terlalu
yakin harus mengatakan ini secara langsung. “Hem... maaf karena menumpahkan kopi padamu, menabrakmu, dan juga...”
Wajah Kalila tampak muram kali ini. “Maaf karena meninggalkanmu—“
“Lalu, terima
kasih untuk apa?” potong Diego sebelum Kalila melanjutkan kalimatnya.
“Terima kasih
untuk air mineralnya, terima kasih sudah menolongku di tangga dan membiarkanku...
menginap,” ujar Kalila dengan wajah tersipu. “Terima kasih karena tidak menaruh
dendam padaku.”
Diego menyeringai
dengan arti yang disimpannya dalam hati. Ia tidak menyangka kalimat seperti itu
bisa juga terucap dari bibir Kalila. Padahal ia tahu kata-kata seperti itu tidak
familier bagi Kalila yang dahulu. Sepertinya gadis itu sudah banyak berubah. Apa
ia harus membatalkan rencana yang sudah disusunnya?
“Ayo, turun! Aku
sudah lapar!” sentak Kalila yang mulai salah tingkah di bawah tatapan sepasang
mata hitam milik lelaki itu.
***
“Aku masih tidak menyangka kau mengajakku makan siang,”
ucap Diego lantas mengangkat cangkir dan menyesap kopinya.
Kalila buru-buru mengalihkan pandangannya pada kue
cokelat di atas piringnya. Ia sedang tidak ingin melihat kebiasaan Diego
menjilat bibir untuk menghapus sisa kopi. “Memang kenapa?” tanya Kalila sambil memotong
kuenya menggunakan garpu. Lelehan cokelat mengalir seperti lahar yang keluar dari
kepundan gunung berapi.
“Bukankah biasanya para gadis lebih suka menghabiskan akhir
pekan dengan teman-temannya?” Setidaknya begitulah yang didengar Diego dari
Lory. “Pergi ke salon atau makan siang di kafe seperti ini. Tunggu—kau tidak
menganggapku sebagai teman perempuanmu, kan, Lil Princess?” tanya Diego dengan
pandangan mata curiga yang sontak membuat Kalila terbahak.
“Tentu saja tidak.” Kalila memutar bola matanya jenaka.
“Aku bukan tipikal yang
makan-siang-bersama-teman-dan-makan-malam-bersama-pacar-di-akhir-pekan.
Lagipula aku tidak memiliki keduanya.”
“Hei, kau punya aku, Lil Princess,” ucap Diego penuh teguran.
“Aku bisa menjadi pacarmu sekaligus teman perempuanmu,” lanjut Diego lantas
sengaja membuat suaranya terdengar melengking didukung bulu matanya yang
mengepak genit.
Sekali lagi, Kalila tergelak akibat gurauan Diego. Saat
ini lelaki itu masih melanjutkan sandiwaranya dengan menyelipkan rambut ke
belakang telinga dengan gaya feminin.
“Sungguh, aku suka caramu tertawa, Lil Princess,” gumam
Diego dengan suaranya sendiri. Tanpa sedikit pun ia tidak melepaskan tatapannya
dari Kalila yang mulai tersipu.
Bergaya tidak peduli, Kalila menyuapkan potongan kue
selanjutnya sambil melempar perhatiannya ke arah televisi di atas bar kafe. Televisi
layar datar itu cukup besar untuk dilihat dari tempat Kalila duduk di dekat
jendela. Gadis itu mengernyit saat melihat tayangan sebuah mobil yang hancur
dalam keadaan terbalik. Banyak orang mengerumuni kejadian itu seperti semut mengerubuti
gula, membuat Kalila sadar bahwa tayangan itu bukan berasal dari potongan
adegan film aksi.
Diego mengikuti arah pandang Kalila saat sebuah foto
lelaki bersetelan jas disisipkan di sudut kanan layar. Kalila merasa cukup
terbantu dengan keterangan berbentuk tulisan di bawah foto itu. Karena
sepertinya pihak kafe sengaja tidak menyalakan suara televisi agar tidak
menganggu pengunjung. Jadi, lelaki bernama Leo Ferdian itulah yang menjadi
korban meninggal dari kecelakaan mobil yang terjadi kemarin sore itu.
Wajah Kalila berubah sendu. Entah mengapa ia merasa
bersedih untuk siapa pun orang terdekat yang harus ditinggalkan lelaki itu.
Padahal lelaki itu tampak tersenyum bahagia dalam fotonya. Sayangnya, lelaki
itu harus menemui ajal di usia yang masih muda.
“Hei.” Diego menyenggol siku Kalila dan membuyarkan apa
pun lamunan gadis itu. “Sedang memikirkan apa? Menyayangkan kematian lelaki
tampan itu?”
Kalila menghela napas berat. Ia menunduk lalu menyendok
es krim yang bertahta di atas Vanilla Latte miliknya. “Aku hanya membayangkan
bagaimana jika kecelakaan seperti itu terjadi padaku. Apa mungkin ada yang
bersedia datang ke pemakamanku?”
“Jangan mengatakan hal yang mengerikan begitu,” tegur
Diego dengan raut masam. “Tapi ada baiknya kau mulai berteman dengan orang di
sekitarmu.”
“Sepertinya itu akan sulit.” Kalila tersenyum sinis. “Apa
yang dinamakan ‘teman’ hanya akan datang saat mereka merasa membutuhkanku.”
“Tentu saja,” sahut Diego yang lantas disambut kerutan di
antara alis Kalila. Ternyata Diego juga sepemikiran dengannya. “Mereka, kan,
membutuhkanmu untuk hadir di pemakaman mereka.”
Kalila berdecak saat menyadari sudah kembali terjebak
dalam gurauan Diego. Lelaki ini tidak boleh didiamkan saja tanpa perlawanan.
“Kau sendiri apa akan pergi dengan pacar pirangmu nanti
malam?” tanya Kalila memulai serangan balik.
Diego menggeleng lalu menyesap tetes terakhir kopinya.
“Kau tidak pirang, Lil Princess.”
“Tentu saja bukan aku,” sahut Kalila dengan kesal. “Itu
lho... perempuan yang membentakku karena aku menabrak dan menumpahkan kopi
padamu.”
“Oh—maksudmu Lory?” tanya Diego begitu kata-kata Kalila
memutar ulang kejadian itu dalam benaknya. “Dia bukan pacarku.”
“Bohong!” sela Kalila dengan nada sangsi. “Dia datang menemuiku
dan menuduhku sengaja menggodamu.”
“Sungguh?!” Mata Diego melebar takjub. “Tapi dia tidak
melakukan sesuatu yang buruk padamu, kan?”
Kalila menggeleng ringan. “Sepertinya dia hanya jenis
gadis yang suka menggertak.”
“Dia selalu bersikap manis di depanku. Aku tahu itu
palsu. Tapi mana mungkin aku mendepaknya begitu saja dari hadapanku. Aku tahu benar
rasanya ‘dibuang’ seperti itu,” ucap Diego sambil mengatupkan rahangnya. Sementara
Kalila mendengarkan dengan perasaan tidak nyaman. “Aku hanya berharap dia akan
segera sadar bahwa aku hanya ingin berteman dengannya. Tidak lebih.”
Kalila menanggut-anggutkan kepalanya tanda mengerti. Padahal
batinnya menjerit histeris saat merasakan ingatan masa lalu menamparnya
kuat-kuat. Ia ingat pernah menjadi bagian dari orang-orang yang tidak berperasaan
itu. Mendepak orang-orang yang dianggap tidak sekasta dengan kelompok mereka.
Ia sadar. Betapa hina dirinya.
“Kau juga, cobalah lebih terbuka dengan teman-temanmu.
Pasti menyedihkan rasanya hidup seorang diri.”
“Aku tidak punya teman,” tegas Kalila sekali lagi. Lagi pula
ia sudah terbiasa sendiri.
“Bagaimana dengan dua orang yang duduk bersamamu di kantin
saat masa orientasi?”
Kalila hanya mampu meringis masam menanggapi kata-kata
Diego. Ia jadi teringat saat-saat riuh bersama dua gadis itu. Tetapi ia meragu.
Mampukah ia membuka lagi hatinya untuk orang lain?
***
“Kenapa kita berhenti di sini?” tanya Kalila
terheran-heran saat Diego mengemudikan mobil memasuki area parkir untuk para
tamu apartemen. Tadi lelaki itu memang berkeras hendak menyetir dengan alasan
ia merasa tidak gentleman jika
membiarkan Kalila kembali menyetir.
Diego melepas seat
belt-nya lalu menoleh pada Kalila dengan pandangan penuh makna tersembunyi.
“Kau tidak ingin mampir sebentar ke apartemenku? Kita bisa melanjutkan hingga
makan malam. Tadi katamu kau tidak ada acara malam ini.”
Mata Kalila memelotot dan ia mengangkat tangan dengan
gaya mengancam. Tetapi, bukannya menghindar agar tidak mendapat pukulan, Diego
malah terbahak seolah Kalila mengatakan lelucon terlucu yang pernah ia dengar
seumur hidupnya. Mata lelaki itu sampai tertutup dengan kepala yang menghadap
langit-langit mobil.
“Oh.” Tiba-tiba Kalila tersentak, lalu cepat-cepat mengeluarkan
ponsel yang bergetar tanpa dering dari tas kecil yang dibawanya. Baru kali ini
ia merasa terselamatkan oleh peneleponnya. Ia melirik layar ponsel sekilas lalu
matanya berkilat ragu.
“Telepon dari pacar gelapmu?” tuduh Diego sambil memasang
ekspresi cemberut yang dibuat-buat. Ia mencebik seperti anak kecil yang tertangkap
basah membuang brokoli dari piring. “Jawab saja. Aku berjanji tidak akan cemburu.”
“Bukan.” Kalila melirik ragu-ragu. Haruskah ia menjawab in?
“Ini Erin. Salah satu dari gadis yang duduk bersamaku di kantin waktu itu.”
Diego menyipitkan mata. “Lalu kenapa tidak kau jawab?”
Kalila melirik sekali lagi pada Diego, sebelum akhirnya menempelkan
ponsel ke telinga. Tepat sedetik
sebelum deringnya terputus.
“Hai, Erin,” sapa Kalila basa-basi.
“Akhirnya kau menjawab teleponku, Kal,”
seru Erin dengan nada senang sekaligus lega.
“Aku tadi sedang menyetir,” dusta Kalila. Ia mengerling
pada Diego berharap lelaki itu mendukung kebohongannya. Padahal sejak tadi ia
meang sengaja mengabaikan getaran samar dari dalam tasnya. “Ada apa?”
“Apa malam ini kau
ada acara?”
Baru saja Kalila hendak menjawab saat Diego menatapnya
penuh peringatan. Pasti samar-samar lelaki itu bisa mendengar pertanyaan Erin. Terbukti
dengan alis lelaki itu yang terangkat seolah menuduhnya hendak berbohong. Padahal
meminum secangkir cokelat panas sambil membaca buku juga termasuk dalam agenda
Kalila.
“Hem... Sepertinya
tidak ada,” jawab Kalila akhirnya. Walaupun dengan berat hati.
“Kalau begitu ikutlah
denganku nanti malam,” ajak Erin dengan keceriaan yang sama sekali tidak
disembunyikan. Bahkan Kalila seolah bisa membayangkan gadis itu melompat atau
bertepuk tangan saking senangnya.
“Memangnya ikut ke mana?”
“Nanti aku kirimkan
detailnya lewat SMS. Atau sekalian saja kujemput dan kita bersiap di tempatku.
Jadi, tolong kirimkan alamatmu,” jawab Erin panjang lebar. “Eh, omong-omong, apa kau punya gaun warna
putih? Kalau tidak punya, aku bisa membelikannya untukmu. Kau suka model yang
seperti apa?”
“Tidak perlu,” tolak Kalila cepat begitu ia memiliki
kesempatan untuk bicara. “Aku punya, kok.”
“Oke, oke. Kalau
begitu nanti aku telepon lagi,” ucap Erin sebelum memutus sambungan telepon
mereka.
Kalila menghela napas berat. Ia mengetukkan ujung
ponselnya pada keningnya. Sekarang entah mengapa ia merasa menyesal sudah menyetujui ajakan Erin. Tetapi ini bukan sepenuhnya
salah Kalila, kan? Ia memandang tajam pada lelaki yang duduk di balik kemudi
itu, seolah meminta pertanggungjawaban. Bagaimanapun, Diego mengambil cukup
banyak andil dalam keputusannya.
Tetapi lelaki itu malah memasang tampang tidak bersalah. “Tidak
ada salahnya, kan, sesekali menghabiskan waktu dengan teman perempuanmu.”
***
“Kalau begitu, sampai ketemu nanti malam,” ujar Erin lalu
meletakkan ponselnya ke atas meja di depannya.
Saat ini, Erin sedang menikmati kehangatan di kepala dan
tengkuknya. Rambutnya yang sudah di-creambath
kini berbalut handuk. Dan menerima kehangatan dari mesin steam yang mirip helm astronot itu.
Sambil menunggu, jemari Erin terus sibuk membolak-balik
halaman majalah di pangkuannya. Ia tersenyum kecil saat membaca Ciri-ciri Ketika Perempuan Jatuh Cinta
dalam majalah Belleza edisi bulan lalu. Sekilas ia mengangkat wajah pada cermin
di hadapannya. Saat itulah matanya
menangkap sosok yang mengalihkan senyumnya.
Orang itu begitu mudah dikenali karena coat panjang berwarna khaki yang dikenakannya. Sekali pun ia
sedang berdiri memungungi Erin dan menghadap ke bagian kasir salon. Tampaknya,
gadis itu baru saja melakukan perawatan untuk rambut hitam lurus berpotongan bob-nya. Dugaan Erin dibuktikan ketika
terdengar suara yang menjelaskan apa yang harus dihindari setelah melakukan smoothing rambut.
“Baik. Terima kasih,” balas orang itu dengan ramah.
Suara itu mengundang kernyitan di antara alis Erin. Ia
memang mengenal suara itu. Tetapi itu bukan suara Kalila. Apalagi ia baru saja berbicara
dengan gadis itu di telepon.
Astaga, apa ia sudah terlalu sering memikirkan Kalila
akhir-akhir ini? Erin merutuk dalam hati. Ia mengusap-usap keningnya, mencoba
menghapus kerutan yang hadir di sana. Memang ada berapa juta orang di dunia ini
yang memiliki gaya rambut dan mengenakan coat
seperti itu? Pasti Kalila bukan satu-satunya di dunia ini.
Sedetik kemudian, orang itu bergerak meninggalkan kasir.
Menampilkan sekilas profilnya kepada Erin. Tanpa membuang waktu, ia memicingkan
mata dan menajamkan pandangannya. Dan begitu mengenali orang itu, ia tergemap
dengan kedua alis terangkat.
Tunggu... bukankah itu... Valeria?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D