DESAHAN napas Kalila memburu dalam setiap tarikan oksigen
ke paru-parunya. Kedua lututnya terasa lemas seperti agar-agar, hingga
membuatnya tidak mampu berdiri dengan benar. Ia menelan ludah susah payah sambil
bibirnya kembali mengerang tertahan.
“Aku tidak bisa melakukan ini.”
“Ayolah, Lil Princess.” Suara Diego mengalun penuh rayuan
setan. “Aku akan melakukannya dengan lembut.”
“Sungguh?” tanya Kalila lemas.
Diego mengangguk meyakinkan, hingga membuat Kalila
mengangkat bahu pasrah. Ia memutuskan untuk berhenti berlari untuk kabur. Dan
begitu pertahanan gadis itu lengah, ia langsung melesakkan jemarinya dalam
balutan bedak tabur di dalam mangkuk yang digenggamnya. Kemudian kesepuluh
jemari itu mencoreng kasar wajah Kalila. Hingga gadis itu berteriak kesal
karena Diego mengingkari kata-katanya tadi.
“Ah, sial kau, Diego!” umpat Kalila jengkel sambil
mengusap-usap wajahnya yang dipenuhi bubuk putih. “Tadi kau bilang akan
melakukannya dengan lembut.”
“Jangan mudah memercayai lawanmu, Lil Princess. Dunia ini
kejam!” elak Diego diikuti tawa iblis yang membuat Kalila geram. Lelaki itu
tetap tertawa seolah tidak peduli bahwa sekarang waktu menunjukkan pukul tiga
dini hari.
Bagaimana tidak? Kalila kalah telak dalam permainan poker
melawan Diego. Lelaki itu bergitu mudah memasang ekspresi datar. Sementara
Kalila tidak bisa menutupi ekspresi wajahnya ketika ia mendapat kartu jelek dan
menyeretnya dalam kekalahan. Sekarang ia harus menerima kekalahan dengan wajah berlumur
bedak, sementara Diego terbahak atas kemenangannya.
“Berhenti tertawa!” bentak Kalila dengan kekesalan yang
memuncak. Kekalahan bukanlah hal yang mudah untuk gadis seperti dirinya.
“Tunjukkan di mana kamar mandinya.”
“Buat apa? Jangan cuci wajahmu. Kau lebih cantik seperti
itu, Lil Princess,” kata Diego di sela tawanya yang berderai. “Ayo kita lanjut
bermain!”
“Tidak! Aku tidak akan sudi bermain poker sialan itu lagi
denganmu,” ujar Kalila sambil mendecakkan lidah. Ia mengacak-acak tumpukan
kartu yang berlimpap di atas meja, lalu menghentakkan kakinya memasuki dapur. Kemudian
membasuh wajahnya di keran tempat mencuci piring.
Begitu kembali ke ruang tengah, Kalila mendapati Diego
tidak berada di ruangan itu. Tanpa menolehkan kepalanya, ia melirik cepat ke
penjuru ruangan. Ia mencoba mencari lelaki itu tanpa terlihat panik sama
sekali. Kemudian matanya menangkap pintu kaca yang mengarah ke balkon dalam
keadaan terbuka.
Kalila berjalan perlahan dan waspada. Takut kalau Diego
muncul tiba-tiba untuk mengejutkannya lalu memulai kembali tawa iblisnya.
Beruntung, kekhawatirannya tidak terjadi. Karena ternyata lelaki itu tengah
berbaring santai di atas salah satu sun
lounger rotan yang diletakkan berhimpitan di balkon apartemen. Kepalanya
menengadah langsung ke arah pemandangan langit malam.
“Oh, hai, Lil Princess,” sapa Diego begitu menyadari
kehadiran Kalila. Seulas senyum tulus menghiasi wajah lelaki itu. Detik
berikutnya ia menepuk-nepuk sun lounger
di sampingnya, memberi tanda agar Kalila berbaring di sampingnya.
Tanpa keraguan seperti sebelumnya, Kalila menurut dan
merebahkan dirinya di atas sun lounger.
Memandang pada titik-titik kecil yang bersinar samar di atas kanvas hitam.
“Kau ingin kita bermain apa sekarang?”
“Apa pun selain poker.”
“Hem,” gumam Diego
sambil menimbang-nimbang dalam hati. Sesekali kening lelaki mengernyit dan
matanya menyipit. Hingga muncul satu usulan yang menurutnya terbaik. “Bagaimana
kalau... Jawab Tiga Detik? Kau tahu, kan, menjawab cepat di antara dua pilihan
yang diajukan lawan.”
“Boleh,” sahut Kalila setuju. “Kau atau aku yang lebih
dulu bertanya.”
“Kau saja,” jawab Diego dengan bibir berkedut jail. “Aku
mencoba mengalah kali ini.”
Sial. Kalila
mengumpat dalam hati. Ternyata lelaki ini masih saja sempat mengolok-oloknya.
Lihat saja! Kalila yakin ia tidak akan kalah kali ini. Tetapi semakin Kalila
mencoba mencari pertanyaan yang sulit dipilih, ia malah menanyakan pilihan
paling sederhana.
“Siang atau malam?”
“Siang,” jawab Diego tanpa kesulitan lantas ganti
bertanya. “Bulan atau matahari?”
“Bulan.” Kalila tersenyum karena bisa menjawab cepat. “Teh
atau kopi?”
“Kopi. Susu atau yoghurt?”
“Yoghurt.
Tindik atau tato?”
“Tato. Bantal atau guling?”
“Guling. Pantai atau gunung?”
“Hem...
gunung.” Diego menjawab sedikit bingung karena sebenarnya ia menyukai keduanya.
Tanpa menyadari bahwa Kalila menyeringai senang mendengarnya kebingungan. “Syal
atau topi?”
“Syal,” jawab Kalila cepat. Terlalu cepat hingga nyaris
seperti gumaman.
“Kenapa syal? Bukankah setiap hari kau selalu mengenakan
topi?” Rasa penasaran Diego menyela giliran pertanyaan Kalila.
“Diam dan terus saja bermain, Jagoan. Atau kau dianggap
kalah karena terlalu banyak tanya,” sahut Kalila ketus. Terang-terangan menolak
untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia malah melontarkan pilihan
terlalu mudah yang langsung disesalinya. “Piano atau biola?”
“Piano.” Diego menjawab tanpa berpikir. “Buket bunga atau
kebun bunga?”
“Kebun bunga. Menara Eiffel atau—“
“Kenapa kebun bunga?”
Kalila mendengus. Ini terakhir kalinya ia menoleransi rasa
penasaran lelaki itu. “Karena bunga tanpa akar itu menyedihkan, Mr. Quidnunc.
Sekarang jawab saja pertanyaanku. Menara Eiffel atau Big Ben?”
“Big Ben,” jawab Diego singkat lantas menghela napas panjang.
“Aku yang sekarang atau aku yang dulu?”
Kalila menelan ludahnya yang terasa pahit. Dan ia
langsung menyadari kekalahannya kali ini, ketika ia kehilangan tiga detiknya
yang berharga.
***
“Rileks saja, Lil Princess. Aku tidak akan memangsamu
hidup-hidup.” Diego bergumam geli. Ia sudah tidak tahan berada dalam keheningan
yang memerangkap mereka dalam perjalanan menuju kampus.
Kalila melempar pandangannya keluar jendela mobil. Ia
menarik rapat topinya, mencoba menghindarkan ketegangan yang masih memancar
jelas dari sekujur tubuhnya. Mengapa ia harus merasa canggung hanya karena satu
pertanyaan itu?
Tadi Diego melompat senang begitu tiga detik terlewat
tanpa jawaban dari Kalila. Sementara ia tetap tertegun dan sama sekali tidak
menghindar saat Diego mencorengkan bedak ke wajahnya. Lelaki itu mengakhiri
permainan mereka begitu saja dan mempersilakan Kalila untuk beristirahat di
tempat tidurnya. Sementara Diego sendiri tidur di sofa bilberry-nya.
“Aku tahu kau pasti bingung mendengar pertanyaanku tadi.
Tapi lupakan saja. Anggap aku tidak pernah bertanya. Itu hanya bagian dari
permainan yang kumenangkan,” tambah Diego lantas terkekeh bangga. Tadi ia
menyadari benar perubahan sikap Kalila setelah pertanyaan itu meluncur dari
bibirnya.
“Aku tidak sedang memikirkan itu,” gumam Kalila perlahan.
Lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Aku hanya khawatir akan
terlambat sampai ke kampus.”
“Itu tidak akan terjadi,” ucap Diego penuh percaya diri.
“Aku ini adalah pengemudi yang hebat.”
Untuk membuktikan kata-katanya, Diego menginjak pedal gas
sambil menggerakkan setirnya memasuki celah-celah sempit di antara kendaraan
yang memadati jalanan di bawah sinar matahari yang cukup terik hari ini. Tidak
menghiraukan reaksi Kalila yang langsung mencengkeram kuat sabuk pengamannya.
Mata gadis itu terpejam. Sementara hatinya merapalkan doa keselamatan diri.
***
Elliot duduk di salah satu kursi panjang yang diletakkan
di depan gedung fakultas. Sebuah buku yang memuat materi kuliahnya siang ini,
terbuka di pangkuannya. Ia membaca dengan tekun, walau sesekali ia menyempatkan
waktu untuk melirik sekitarnya. Lalu kembali membaca saat seseorang yang
dicarinya tidak terlihat.
“Hai!” sapa seseorang sambil menepuk ringan bahu Elliot
dan membuat lelaki itu menoleh.
Elliot menoleh dan tersenyum. Ia memandang dari ujung
kepala hingga ujung kaki untuk mengutip penampilan gadis yang duduk di
sampingnya. Ikat rambut, jam tangan, kemeja, rok, tas, dan sepatunya semua
dalam warna yang senada.
“Jadi, tema hari ini
pink, ya?”
“Tingtong!
Tepat sekali!” seru gadis itu sambil mengacungkan dua ibu jarinya dengan ceria.
Tetapi detik berikutnya bibir gadis itu tampak mengerucut saat menunjukkan
kesepuluh jemarinya kepada Elliot. “Kuteks pink-ku
habis. Yang ada hanya magenta.”
Elliot melirik lalu mengernyit bingung. Ia yakin tidak
ada masalah dalam penglihatannya, tetapi warna itu terlihat sama saja di mata
Elliot. “Itu juga bagus. Warna apa saja cocok denganmu, Erin,” ujar Elliot
kemudian, berusaha menutupi pengetahuan sempitnya tentang nama-nama warna.
Erin tersenyum dan menggigit bibir bawahnya sekilas. Ia
harus mengalihkan perhatian sebelum tubuhnya bergerak sendiri untuk memeluk
lelaki berlesung pipit ini. “Kau sedang belajar?”
Elliot mengangguk. “Ya. Sedikit.”
Elliot sadar, jika ingin mendekati gadis yang pintar,
maka ia harus banyak membaca untuk mengimbangi. Atau setidaknya ia harus banyak
belajar agar terlihat pintar. Sehingga tidak akan ada ketimpangan dalam setiap
topik pembicaraan mereka nanti.
“Apa kau sudah makan siang?” tanya Erin menunjukkan
perhatiannya.
“Belum,” jawab Elliot lantas menggelengkan kepala.
“Mungkin nanti setelah kuliah.”
“Kebetulan sekali kalau begitu,” ucap Erin menyembunyikan
perasaan senangnya dengan sia-sia. Tanganya merogoh sesuatu dari dalam tas dan
menyodorkannya pada Elliot. “Tadi aku sempat memasak sedikit. Makanlah. Supaya
kau tidak terlambat makan siang.”
Sepasang mata Elliot tampak antusias menatap kotak makan
di tangan Erin. Aroma telur dan keju menguar samar dari balik kotak berwarna pink atau magenta itu. Benar-benar
menggugah selera makannya.
“Oh, oh, itu Kal.” Tiba-tiba Erin bergumam dan
mengurungkan niat untuk membuka kotak makannya. Gadis itu mengangkat tangan
hendak menyapa Kalila yang sedang berjalan menuju pintu utama gedung. Tetapi
ada tangan lain yang menurunkan tangannya kembali ke pangkuan.
“Kenapa?” tanya Erin bingung.
“Tolong jangan terlihat dekat denganku jika ada Kal,”
jawab Elliot dengan ekspresi serius. Seolah binar ramah yang tadi menghias
wajah lelaki itu hanya ada dalam mimpi Erin.
“Memang kenapa?”
Elliot memutar bola matanya, seolah enggan
mengucapkannya. “Dia sepertinya tidak terlalu suka.”
Setelah berkata begitu, Elliot sudah melangkah cepat
menyambut Kalila dengan senyum yang masih menjadi milik Erin beberapa saat yang
lalu. Lelaki itu meninggalkan Erin tertegun dengan tangan lemas menggenggam
kotak makan. Sementara hatinya dipenuhi berbagai macam spekulasi.
***
Sepasang mata Kalila perlahan terbuka satu persatu saat
merasakan mobil sudah berhenti melaju. Begitu mendapati semuanya masih dalam
keadaan utuh, gadis itu menghela napas lega. Ia juga sudah bisa kembali
merasakan debaran jantungnya.
“Lihat, kita tiba sepuluh menit lebih cepat,” ujar Diego
sambil memandang jam tangannya dengan bangga. “I’m your hero, Lil Princess.”
“Hero? Hero jidatmu!” omel Kalila dengan
kekesalan yang menguap ke atas kepalanya. “Kau nyaris membunuhku, Diego.
Astaga. Jangan pernah lagi kau mengemudi seperti itu.”
Diego tersenyum senang. Sama sekali tidak terpengaruh
dengan omelan Kalila yang masih uring-uringan. Ia memandang gadis itu dengan
sepasang mata yang bebinar rindu.
“Apa kau lihat-lihat?” Sepasang mata cokelat terang
Kalila memelotot galak.
“Aku lebih senang mendengarmu mengomel sepanjang hari,
Lil Princess,” ujar Diego sambil mengurai senyum yang lebih manis daripada tiga
ton gula batu. “Ketimbang melihatmu terdiam seperti patung hanya karena
pertanyaan bodoh yang satu itu.”
Kalila kembali menunduk, sengaja menyembunyikan wajah di
bawah bayang-bayang topinya.
“Asal kau tahu, yang mana pun aku. Baik yang dulu atau pun
sekarang, selalu menyimpan namamu di hati dan pikiranku, Lil Princess.”
***
Diego menghentikan mobilnya dengan mulus di area parkir
gedung Fakultas Hukum. Ia turun dari mobil dengan berbagai senyum yang hinggap
dan pergi di sudut bibirnya. Sikapnya itu tentu saja mengundang perhatian
beberapa gadis yang berpapasan dengannya. Menimbulkan kesalahpahaman yang
membuat para gadis itu berpikir senyuman itu ditujukan untuk mereka.
Tetapi tidak seorang pun yang berani menunjukkan rasa
senang secara terang-terangan. Mereka hanya mengangguk kikuk menjawab senyum
Diego. Tanpa berniat balas tersenyum apalagi memberanikan diri untuk menyapa.
Karena sudah menjadi rahasia umum jika seorang gadis dengan rambut dicat pirang
bertanduk ifrit bisa muncul dari mana saja jika mengetahui seseorang mencoba
menyainginya untuk mendekati Diego.
“Diego!”
Sapaan khas diikuti hentakan hak sepatu di lantai
langsung terdengar begitu Diego memasuki pintu utama gedung. Suara itu langsung
membuat gadis-gadis lain menyingkir dengan cepat. Malas terseret dalam urusan
absurd yang membuang waktu.
“Ke mana saja, sih?” tanya Lory lantas mengamit lengan
Diego dengan manja. “Kemarin kau menghilang begitu saja. Kau membolos kuliah
kemarin siang dan juga pagi ini. Yang paling parah, kau tidak menjawab telepon
dan SMS-ku. Aku mengkhawatirkanmu, kau tahu?”
“Ada sesuatu yang harus kuurus,” jawab Diego sekenanya.
Tetapi tetap berusaha bersikap ramah. Dalam hati, ia berharap itu cukup untuk
menjawab pertanyaan Lory. Sehingga gadis itu tidak perlu menerornya dengan
berbagai pertanyaan lain.
Sebenarnya, Diego merasa jemu dengan perhatian Lory yang
berlebihan kepadanya. Tetapi ia membiarkan saja gadis itu beredar di
sekitarnya. Dan berharap semoga Lory cepat bosan dan pergi dengan senang hati.
Sialnya, gadis itu masih juga tidak sadar diri. Sementara Diego tidak bisa
bersikap buruk dengan mengusir Lory dari hadapannya. Ia tidak akan mampu.
Karena ia tahu benar bagaimana rasa sakit yang akan timbul setelah itu.
“Setidaknya kau harus memberi kabar padaku.” Lory
memberengut dengan bibir merah menyala.
“Oke,” jawab Diego sambil tersenyum sopan.
“Omong-omong, kenapa kau datang lebih cepat?” tanya Lory
sambil mengangkat tangan Diego. untuk melihat jam tangan yang terpasang di
tangan lelaki itu. Alih-alih melihat miliknya sendiri. “Kuliah, kan, baru
dimulai jam tiga.”
Diego tersenyum sekilas saat teringat pada wajah Kalila
beberapa saat sebelum gadis itu turun dari mobilnya. “Aku hanya ingin mampir ke
perpustakaan dulu.”
“Oh.” Bibir Lory membulat kecewa saat jawaban yang
diharapkannya ternyata tidak menjadi kenyataan. Dalam dunia harapannya, ia
melihat Diego berkata bahwa lelaki itu sengaja datang lebih cepat hanya untuk
bertemu Lory. Seperti apa yang dirasakannya selama ini. Kehadiran lelaki itu
dengan senyum yang menawan serupa ekstrak papaver
somniferum bagi hari-hari Lory. “Apa kau sudah makan siang?”
“Sudah.” Diego menjawab sambil bersusah payah menahan
tawa kecilnya. Benaknya memutar ulang sosok Kalila yang tadi menggerakkan
sendoknya dengan kikuk seperti robot.
Lory memutar otaknya sekali lagi. Ia masih ingin berada
di dekat Diego. Sekaligus ingin menghindari tempat tujuan lelaki itu yang
dianggapnya membosankan. Tempat di mana ada larangan untuk bersuara. Padahal ia
perlu mengobrol banyak dengan Diego.
“Mau kubelikan kopi?”
“Hem... boleh.”
Jawaban itu mengundang helaan napas Lory. Setidaknya ia
bisa memiliki banyak waktu sebelum ikut terjebak dalam keheningan perpustakaan
hingga jam kuliah mereka tiba.
“Kalau begitu, setelah ke kantin aku akan menyusulmu ke
perpustakaan,” pamit Lory lantas disambut anggukan kepala Diego.
***
Lory menghela napas berat saat mendapati suasana kantin
yang padat siang ini. Para jiwa yang kelaparan tumpang-tindih duduk
mengelilingi meja, berjuang mengisi perut mereka. Beruntung, stan yang menjual
kopi tampak lengang. Hanya ada sekitar tiga orang berwajah kusut yang sedang
mengantri, menanti kafeina cair itu mengisi kembali semangat mereka.
Tetapi ini lebih baik daripada ruangan penuh buku yang hanya
membuat Lory mengantuk. Ia juga masih tidak habis pikir mengapa Diego lebih
suka menghabiskan waktu di perpustakaan alih-alih nongkrong di kafe. Apa lelaki
itu hanya ingin mendengarkan musik klasik yang mendominasi ruang suara di
antara limpapan buku-buku?
Lory tidak cocok dengan tempat seperti itu. Ia lebih
cocok berada di tengah keramaian dan menjadi pusat perhatian. Untuk
memperlihatkan pada dunia betapa cantik dirinya. Dan hanya lelaki setampan
Diego yang pantas bersanding dengannya.
Yang Lory tidak habis pikir, mengapa lelaki itu masih
suka bermain tarik-ulur dengannya? Padahal kode yang diperlihatkannya sudah
seperti melihat bintang di malam hari. Sangat jelas. Tetapi ia tidak keberatan
untuk menunggu sebelum mengambil langkah selanjutnya.
Langkah Lory berhenti seketika di depan pintu kantin.
Kakinya yang berbalut wedges denim
itu berhenti menghentak lantai. Matanya tidak sengaja menangkap sosok yang
tengah berjalan keluar dari gedung Fakultas Ekonomi. Akhir-akhir ini, sensor
penglihatannya terhadap bangunan itu memang meningkat tajam setelah kejadian
tempo hari.
Maka, Lory mengambil langkah menjauhi kantin, melupakan
sejenak tentang kopi. Ia mengubah haluan dan bergerak cepat mendekati orang
itu. Jemari dengan kuku dicat berwarna indigo itu mengetuk perlahan bahu gontai
di hadapanya.
Orang itu menoleh dengan malas. Tetapi begitu ia melihat
Lory, ekspresi suram yang menaunginya perlahan sirna. Bahunya menegak dengan
kening yang mengernyit karena sedang menggali ingatan. Sebuah nama muncul di benaknya,
dan bibirnya langsung menyuarakan nama itu.
“Lory!” serunya lantas meraih bahu Lory dan menempelkan
pipi mereka secara bergantian. “Astaga, aku tidak menyangka bisa bertemu
denganmu di sini.”
“Sudah kuduga, kau benar-benar Erin,” balas Lory takjub
setelah ritual cium pipi kanan-cium pipi kiri di antara mereka sudah selesai.
“Tadi aku sempat ragu. Rambutmu berbeda.”
“Oh, ini?” Erin menarik sejumput rambut keriting
gantungnya ke depan hidung. “Aku mengeritingnya sedikit. Dan mengecatnya.
Walaupun tidak seberani pilihanmu.”
“Tapi brunette
cocok denganmu, Erin. Kau tampak lebih cantik dan segar.”
“Terima kasih,” balas Erin sambil menepuk ringan lengan
Lory. “Tapi kau selalu jadi yang tercantik. Apalagi rambut pirang itu membuatmu
semakin percaya diri.”
Lory tertawa kecil mendengar pujian yang dilontarkan
Erin. Detik berikutnya ia sudah mendekat maju dan berbisik di dekat telinga
Erin. “Sepertinya kita tidak bisa mengobrol lebih lama di sini. Kau sadar, kan,
para lelaki mulai mencuri pandang ke arah kita?”
Erin memutar pandangan dan mendapatkan bukti dari
kata-kata Lory. Beberapa lelaki tampak melirik penuh gengsi ke arah mereka.
Walaupun ada juga yang cukup berani melemparkan senyum saat mata mereka
bersitatap dengan mata Erin.
“Benar, benar,” balas Erin sambil tersenyum miring.
“Sebaiknya kita pindah mengobrol di tempat yang lebih nyaman. Kafe mungkin? Kau
ada tempat yang recommended?”
Lory mengetuk dagunya dengan jari telunjuk. “Bagaimana
kalau Rainbow Cafe?”
***
“Wah, wah, Rainbow Cake pesananmu benar-benar cantik.”
Erin berkomentar lantas menyeruput jus stroberi dalam gelas tinggi di
hadapannya. Tetapi yang diajak bicara justru terang-terangan tidak
mendengarkan. Gadis itu malah celingukan memerhatikan seluruh penjuru kafe.
Erin mencebik dalam hati. Gadis itu masih juga belum
berubah rupanya. Sama seperti dahulu. Selalu merasa jadi yang lebih cantik dan
lebih baik.
Sejak dahulu, Erin sadar benar bahwa ia mudah sekali
menarik kekaguman orang-orang di sekitarnya. Parasnya yang cantik dengan mudah
membuat banyak lelaki menyatakan cinta kepadanya. Tetapi ia bersikap sangat
pemilih dan menolak semua lelaki yang menurutnya tidak menarik. Erin merasa
dirinya sangat berharga dan satu-satunya di dunia.
Sampai akhirnya ia bertemu Lory.
Mereka bertemu pertama kali saat berada di kelas yang
sama dalam sebuah lembaga bimbingan belajar. Dan baru kali itu, Erin menemukan
seseorang yang tampak seperti duplikat jiwanya yang sempurna. Hanya saja aura
mengintimidasi yang dimiliki Lory, tidak ada dalam diri Erin. Itulah yang
membedakan mereka berdua. Maka, Erin tidak menampilkan rasa persaingannya
secara terang-terangan. Ia memilih menjadi sekutu Lory. Mereka sering pergi
bersama setelah jam bimbingan belajar usai. Membahas tentang perawatan
kecantikan, tren fashion terbaru,
atau membicarakan gosip terhangat seputar aktor tampan Hollywood.
“Apa, sih, yang kau cari?” tanya Erin sambil menyentuh
lengan Lory. Ia mulai kesal karena tidak diperhatikan.
Kali ini sepertinya, Erin berhasil menarik perhatian Lory
yang akhirnya berhenti celingukan. “Waktu itu aku pernah melihat seorang
pelayan yang memiliki mata hijau. Seperti orang Eropa.”
“Kau yakin itu bukan lensa kontak?”
“Sepertinya bukan, karena itu kelihatan asli. Makanya,
aku ingin tahu pendapatmu,” jawab Lory lantas menyesap espresso-nya. “Tapi itu tidak penting sekarang.” Lory mengibaskan
tangannya di udara. “Omong-omong, sudah lama, ya, rasanya kita tidak nongkrong
cantik seperti ini.”
Kepala Erin mengangguk setuju. “Benar, benar. Terakhir
kali sepertinya... tiga hari sebelum ujian akhir.”
Tidak seorang pun di antar mereka yang berniat
melanjutkan hubungan setelah berpisah dari lembaga bimbingan belajar itu.
Begitu jadwal les mereka berakhir, maka pertemanan mereka juga ikut berakhir.
Lory dan Erin memang terlihat akrab di permukaan. Padahal jauh di dalam hati,
mereka adalah rival abadi. Itu yang membuat Erin tidak menyangka, Lory mau
merepotkan diri untuk menyapanya tadi.
“Jadi, kau kuliah di Fakultas Ekonomi, ya?”
Erin mengangguk. Telapak tangannya menangkup gelas dengan
permukaan yang dipenuhi titik-titik air, yang kemudian mengantarkan sensasi
dingin pada kulit gadis itu. “Jurusan Manajemen.”
“Oh,” gumam Lory tidak terlalu peduli. Tidak terlalu
penting di jurusan apa Erin kuliah. Bukan itu tujuannya menyapa teman lamanya
itu. “Apa kau mengenal seorang gadis tinggi... bermata cokelat....”
Kepala Erin dimiringkan ke salah satu sisi. Keningnya
mengeryit mencoba memahami deskripsi terbata-bata yang diucapkan Lory. Erin
bisa menebak bahwa siapa pun gadis yang dimaksud Lory, pasti bukanlah seseorang
yang dikenal Lory. Mungkin hanya seseorang yang tidak sengaja berpapasan dengan
Lory di jalan, tetapi karena suatu hal—yang biasanya sepele—orang itu
sudah mengundang rasa jengkel Lory.
“Hem... matanya
berwarna cokelat terang dan...” Lory mengetuk-ngetuk dagunya, seolah ada tombol
pengingat tertanam rahasia di sana. “Sepertinya sering mengenakan topi.”
Erin mengutip deskripsi itu dalam kepalanya. Dan dalam
sekejap otaknya menerbitkan sebuah nama yang paling sesuai untuk deskripsi itu.
Atau itu hanya efek karena ia terus memikirkan gadis itu dalam beberapa menit
terakhir?
“Apa dia mengenakan coat
atau parka seperti dalam katalog musim gugur?”
Lory mengangguk untuk membenarkan.
Perasaan ragu berangsur menghilang dari hati Erin. “Apa
itu... Kal? Maksudku, Kalila.”
“Kalila?” ulang Lory seolah ingin menghafal nama itu
dengan baik. “Apa dia terlihat seperti tidak memiliki sepatu selain chukka boots?”
Tidak salah lagi. “Iya, iya. Itu dia,” jawab Erin sambil menunjuk sesuatu di udara. “Pasti
Kalila yang kau maksud.”
“Ck. Jadi, nama
Kancil Genit itu Kalila,” gumam Lory geram, lalu memandang ke luar jendela
kafe. Mendadak deretan pohon di pinggir jalan tampak begitu menyebalkan.
“Kancil Genit?” tanya Erin mulai merasa tertarik. Pasti
ada sesuatu yang penting hingga Lory memberikan epitel kesayangan untuk orang
yang spesial itu. “Memang ada apa?”
Lory mengembalikan tatapannya ke hadapan Erin. Wajah
gadis itu tampak lebih menyeramkan sekarang. Gurat kekesalan mencuat dengan
jelas tanpa berniat untuk bersembunyi.
“Kancil Genit bernama Kalila itu,” ucap Lory sambil
menyebut nama itu penuh kebencian. “...mencoba menarik perhatian pacarku dengan
cara yang licik.”
“Pacar?” tanya Erin heran, sedikit merasa lucu. “Sejak
kapan kau menyebut seorang lelaki dengan sebutan ‘pacar’? Dulu kuingat kau
masih sering menyebut ‘cecunguk’ atau ‘curut’. Apa kali ini kau serius? Jadi,
kau sudah menemukan tambatan hatimu?”
Lory berdecak kesal lantas mendenguskan tawa angkuh.
Walaupun rona malu tidak bisa ditutupinya dengan bedak setebal apa pun. “Ralat,
maksudku ‘cecunguk yang sedang dekat denganku akhir-akhir ini’. Tapi kita
sama-sama tahu, kan, menaklukkan hati cecunguk itu semudah membalikkan telapak
tangan,” kata Lory sambil memperagakan ucapannya dengan membalikkan telapak
tangan di hadapan Erin. “Cecunguk yang satu ini hanya sedang bermain jual mahal
saja. Tinggal menunggu waktu, dia akan merangkak di bawah telapak kakiku.”
Erin diam-diam memutar bola matanya mendengar omong
kosong Lory. Selalu begitu. Gadis ini terlalu gengsi untuk mengakui bahwa ia
sedang jatuh cinta. Mungkin bagi Lory yang terbiasa dicintai, perasaan itu
terkesan menjijikan.
“Jadi, dalam hal ini, Kal tiba-tiba terlibat dalam
kedekatan kalian?”
“Ini bukan ‘tiba-tiba’, Erin. Aku yakin Kancil Genit itu
sengaja,” ujar Lory lalu menyuapkan rainbow cake ke mulutnya. “Dan sialnya, dia
berhasil. Aku pernah melihat Die—cecunguk itu pergi menuju fakultasmu. Pasti mereka
bertemu diam-diam di sana.”
Erin mengetukkan ujung kukunya dengan ritme yang teratur
di atas meja. “Kalau begitu, kita berada di situasi serupa.”
“Apa maksudmu?” tanya Lory dengan pandangan lurus ke arah
mata Erin yang berkilat sinis.
“Aku juga sedang dekat dengan seorang lelaki belakangan
ini,” jawab Erin memulai ceritanya. “Tapi tiba-tiba lelaki itu memintaku
menjauh kalau ada Kal di dekat kami. Aku jadi mengira-ngira, apa yang sudah
dikatakan Kancil Genitmu itu kepada Elliot.”
Lory mengangkat dagunya sambil mempertahankan
pandangannya yang saling mengunci dengan teman lamanya itu. Entah mengapa untuk
urusan semacam ini, mereka begitu mudah untuk saling mengerti. Seolah hanya
dengan tatapan mata, mereka bisa saling membaca hati lawan bicaranya. Itu
terbukti dengan seringai manis yang tersungging bersamaan di bibir kedua gadis
itu. Sebelum salah satu dari mereka kembali bersuara.
“Mungkin kita perlu bekerja sama untuk memberi Kancil itu
sedikit pelajaran.”
***
Lory tiba kembali di kampus tujuh menit sebelum kuliah
dimulai. Ia memutuskan untuk langsung menuju ke kelasnya di lantai tiga. Dan
seperti dugaannya, lelaki yang ada di pikirannya saat ini sudah duduk di dalam
kelas bersama segelintir orang yang hanya menjadi figuran. Bagi Lory, hanya
Diego satu-satunya lelaki yang berhak masuk di bingkai pandangnya.
“Maaf, ya. Aku pergi terlalu lama,” ujar Lory dengan
kedua alis nyaris menyatu penuh sesal.
Diego mengangkat perhatian dari ponsel dalam
genggamannya, lalu menyimpan benda itu ke dalam saku. Seulas senyum simpul
muncul di bibir lelaki itu. Entah karena sesuatu yang ditampilkan layar
ponselnya atau karena senang melihat kedatangan Lory. Dan Lory lebih memercayai
dugaan yang kedua.
Seperti biasa, Lory langsung mengambil tempat duduk tepat
di samping Diego. Ia meletakkan gelas kertas berisi kopi yang dijanjikannya ke
atas meja lelaki itu. Tidak lupa, disertai senyuman yang paling memikat.
“Silakan, kopimu.”
“Terima kasih,” ujar Diego lantas membuka tutup gelas itu
dan menyesap isinya.
Lory menumpukan sikunya ke atas meja untuk menyangga pipinya
dengan telapak tangan. Matanya memerhatikan secara saksama setiap gerakan yang
diambil Diego. Bagaimana detik-detik bibir lelaki itu bersentuhan dengan bibir
gelas, membuatnya tanpa sadar menahan napas.
Lelaki ini masih saja melanjutkan permainan jual
mahalnya. Lory yakin benar bahwa Diego hanya berpura-pura tidak peduli padanya.
Padahal jauh di dalam hati Diego, ia pasti bertanya-tanya ke mana Lory pergi
tadi. Tetapi ia hanya memilih diam alih-alih bertanya langsung. Apa Diego takut
dianggap sebagai lelaki posesif, huh?
“Ada apa?” tanya Diego sambil menjilat sisa kopi di
bibirnya. “Kenapa melihatku seperti itu?”
“Eh?” Lory gelagapan karena tertangkap basah sudah
mencuri pandang ke arah Diego. Semburat merah menyebar cepat di bawah blush on yang dipoleskannya tadi pagi.
Cepat-cepat ia mengalihkan perhatian dengan mengambil buku dari dalam tas.
“Tidak apa. Aku hanya ingin cerita bahwa tadi aku bertemu dengan seorang teman
lama. Kami keasyikkan mengobrol di kafe.”
“Oh.” Diego menggedikkan bahunya sekilas lalu kembali
meminum kopinya. “Baguslah kalau begitu.”
Lory mengernyit bingung mendengar tanggapan Diego yang
menurutnya dingin seolah tidak peduli. Oh, oh... jangan-jangan Diego mengira
temannya itu seorang lelaki? Dan apa itu membuat Diego cemburu? Sepasang mata
Lory berbinar-binar senang karena spekulasinya sendiri.
“Temanku perempuan, kok. Jadi kau tidak perlu khawatir.”
Memang apa yang perlu dikhawatirkan? Diego bergumam dalam hati, lalu sekali lagi menyesap
kopinya tanpa suara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D