Keluarga, haruskah yang dinamakan keluarga adalah orang yang memiliki
darah yang sama? Jika aku bisa memilih, aku akan memilih untuk
dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang damai, bukan ditengah kekacauan ini.
Aku tak akan mengelak jika aku dianggap turut andil dalam kekacauan ini. Aku
cukup tahu diri dengan tidak menganggap diriku sebagai satu-satunya malaikat
dalam keluargaku.
Kurasa siapapun akan keberatan jika
dihadapkan pada ayah yang tukang judi, ibu yang menjadi simpanan beberapa
pejabat tinggi negara, adik laki-laki yang menjadi buronan lantaran aksi
perampokan bank negara beberapa minggu yang lalu.
Apa yang bisa kubanggakan saat
orang lain menanyakan status sosial dan pekerjaan orang tuaku? Apakah aku harus
mengatakan bahwa ayahku investor sebuah perusahaan dengan saham yang bercecer
dimana-mana? Atau ibuku yang merupakan istri pejabat negara? Tidak, bahkan
ketika aku memuliakan pekerjaan mereka, tak akan ada sedikitpun perhatian
mereka. Keegoisan dalam keluargaku bagaikan sebuah pembatas tak kasat mata yang
menjadikan kami bagai orang lain yang terikat dalam seutas tali yang disebut
keluarga.
Aku menggesekkan kakiku pada tanah,
menuliskan huruf acak untuk mengisi waktu. Sepuluh menit telah berlalu sejak
aku memutuskan duduk di bangku bercat putih itu. Seseorang yang kutunggu tak
juga muncul batang hidungnya. Aku masih memerhatikan sepatu biru tua milikku
yang masih bergerak gelisah. Kemudian sepasang sepatu berwarna merah berhenti
tepat di hadapanku.
Mataku bergerak naik memerhatikan
pemilik sepatu tersebut dengan efek slow
motion yang mendramatisir. Rambut merahnya menjuntai panjang hingga ke
pinggangnya. Tampak kontras dengan terusan putih yang dikenakannya.
“Maaf, aku terlambat, Angga.” Ujar
gadis itu dengan senyum menawan di wajahnya. Ini adalah hal kedua yang kusukai
darinya setelah kecantikannya. Linda, anak direktur utama perusahaan asuransi
terbesar se-Asia. Pencapaian yang luar biasa ditengah keharmonisan keluarga
seperti yang aku impikan selama ini.
“Tidak apa-apa, Linda. Kau tampak cantik
dengan pakaian putih itu.” Aku tersenyum menatap matanya yang berbinar.
Apa yang bisa kudefinisikan dari
warna putih selain murni, bersih atau suci? Jika putih adalah keluarga Linda,
maka hitam adalah keluargaku. Entah kapan aku bisa hidup damai dalam kesucian
dan kemurnian dari sebuah keluarga.
Aku menggamit jemari Linda,
melangkah sejajar menuju suatu tempat yang telah kami sepakati. Merasakan
deruan angin yang membawa ombak menghantam karang. Kami duduk di sebuah tebing
membiarkan cipratan-cipratan air laut membasahi tubuh kami.
“Aku tak pernah merasa sedamai ini.”
Ujar Linda sambil memejamkan matanya.
“Aku senang kau menikmatinya.” Aku
mengeratkan genggamanku pada jemari Linda.
Pakaian kami semakin basah, hingga
aku memutuskan untuk membawa Linda menjauh. Namun sayang, keadaan yang tidak
menguntungkan membuat Linda terpeleset hingga terjatuh.
“Linda!!” Teriakku saat gadis itu
terjun bebas dan menghantam karang di bawah sana. Seketika pakaian Linda
berubah warna semerah darah. Aku mengusap wajahku gelisah lalu berlari untuk
mencari pertolongan.
***
Linda, gadis itu telah pergi.
Tetapi, tak ada alasan yang membuatku terpuruk dalam kesedihan selama
berbulan-bulan. Aku menyesap secangkir kopi, kemudian seorang gadis menarik
kursi dan duduk di hadapanku.
“Apa kau sudah lama menunggu?”
Tanya gadis itu sambil meletakkan tasnya di atas meja.
“Tidak, Risty. Kau akan mengajakku
kemana hari ini?”
“Aku ingin membeli pakaian. Ayahku
memberi ini kemarin.” Kata gadis itu sambil menunjukkan sebuah kartu kredit unlimited. Tak heran, ayahnya yang
merupakan konglomerat begitu mencintai anak semata wayangnya.
“Beruntung sekali hidupmu.” Ujarku
sambil tersenyum senang.
Kami memilih sebuah mall untuk
menjadi tujuan Risty berbelanja. Sudah tiga jam kami berputar-putar dengan
delapan kantong belanja yang memenuhi kedua tanganku.
“Aku lelah, Risty.” Ujarku yang
semakin mirip pembantu daripada seorang pacar.
“Tunggu, Angga. Ini yang terakhir.
Bagus, tidak?” Tanya Risty sambil menunjukkan sebuah kemeja tanpa lengan
berwarna putih.
Aku mengangguk, “Bagus. Aku ingin
mengajakmu ke suatu tempat besok sore. Pakailah kemeja itu.”
***
Sore ini, Risty terlebih dulu
menungguku. Sebuah kemeja putih dipadukan dengan celana bermotif bunga menambah
kesan modisnya. Aku menggandengnya menuju tempat favoritku, tak jauh dari
tempat kami bertemu.
Aku berdiri di atas tebing,
menyaksikan Risty yang berdiri membelakangiku dan berpose layaknya patung
Christo Redentor.
“Aku sangat beruntung bisa
menyaksikan ini.” Kata gadis itu dengan suara riang.
“Kau dipenuhi keberuntungan,
sayang.” Balasku yang kemudian menyentuh pundaknya.
Namun entah mengapa gadis itu
justru terjun bebas ke bawah sana, hingga suara teriakannya terhenti tepat saat
darah memancar di sekitar tubuhnya.
“Risty!!” Teriakku saat menyadari
tubuh gadis itu telah tergeletak di bawah sana. Aku berbalik, untuk mencari
pertolongan, namun seseorang berdiri menghalangi langkahku.
“Minggir, aku harus mencari
pertolongan.” Ujarku berusaha menghindari tatapan menyelidik seorang gadis di
hadapanku.
“Untuk apa? Bukankah kau sengaja
melakukannya?” Tanya gadis itu.
“Sengaja? Untuk apa? Jangan
berbicara yang tidak-tidak.”
“Aku sudah mengamatimu sejak
setahun yang lalu. Kau membawa empat gadis berbeda dengan akhir seperti ini.”
Aku tercengang menatap gadis itu, “Aku
tak mengerti, apa maksudmu?”
“Aku tahu semuanya. Aku anak
penjaga tempat ini. Dan sejak kau membawa teman ketigamu, aku menjadi yakin
betul bahwa kau adalah orang yang sama yang mendorong gadis-gadis itu. Tapi aku
masih tak mengerti dengan tujuanmu.”
Aku menggertakkan gigi menahan
amarah yang hampir menguasai diriku. Aku tak menyangka bahwa tindakanku
seceroboh ini. Aku yakin betul tak seorangpun ada di tebing saat aku mendorong
mereka.
“Aku benci melihat mereka bahagia.”
Ujarku dengan suara berat. “Mereka hanya anak manja, aku benci melihat mereka.”
“Lantas mengapa kau mendekati
mereka?”
“Aku hanya ingin melampiaskan apa
yang kurasakan selama ini. Harus mengandalkan diri sendiri untuk bertahan
hidup. Bahkan, kelaparan meski ada makanan di depan mataku. Kau tahu kenapa?
Karena keluargaku dipenuhi amarah dan keegoisan. Yang menjadi milik mereka tak
akan pernah menjadi milikku. Aku menyesal harus dilahirkan dalam kekacauan itu.
Dan aku benci melihat gadis-gadis sombong itu begitu mudahnya mendapatkan apa
yang mereka mau dari keluarga mereka!”
“Kau hanya iri. Tapi tidak
seharusnya kau melakukan semua itu.” Ujar gadis itu yang lagi-lagi menyulut
emosiku.
“Kau tidak akan mengerti!” Hardikku
seraya mencengkeram kerah kemeja ungu miliknya. “Jangan ikut campur dengan
urusanku atau kau akan berakhir sama dengan mereka.” Aku menyeret gadis itu ke
ujung tebing, bersiap mendorongnya agar jiwanya tenang menemani Risty di bawah
sana.
“Silahkan jika kau mau
melakukannya, Angga.”
Mataku terbelalak menatap gadis
yang balik menajamkan pandangannya padaku. Mengapa ia mengetahui namaku? Aku
tak pernah merasa pernah mengenal gadis ini sebelumnya. Aku melonggarkan
cengkeramanku, mencoba menggali ingatan tentang gadis di hadapanku.
“Siapa kau?” Tanyaku penasaran.
“Apa kau tak mengingatku?” Kata
gadis itu sambil mengernyitkan dahinya. Aku menatap wajahnya yang berkulit
pucat dan rambut pirang gelapnya yang melambai-lambai diterpa angin.
Aku hanya menggeleng. Ingatan
payahku tak cukup mampu menunjukkan siapa gadis itu.
“Aku mengerti apa yang kau rasakan.”
Ujar gadis itu lagi. “Aku juga sama buruknya denganmu.”
“Tidak. Kau tidak tahu apapun.”
“Keluargaku hancur setelah ayahku
sakit parah dan meninggal, kemudian ibuku meninggalkanku dan adikku karena
hidup kami yang tak lagi sama. Lalu aku...” mata gadis itu tampak berkaca-kaca
saat memberikan jeda pada ceritanya, “Aku meninggalkan adikku di sebuah stasiun
saat ia masih sangat kecil. Menanggalkan segala tanggung jawabku dan menghilang.
Hingga penjaga daerah tebing ini mengangkatku sebagai anak.”
Tiba-tiba secercah ingatan mulai
menyentuh ingatanku. Beberapa tahun yang lalu, aku duduk di pinggiran tebing.
Lalu kulihat seorang gadis kecil menangis sambil memeluk lututnya. Gadis bergaun
merah yang menerawang jauh, menatap matahari senja yang nyaris ditelan lautan.
Dia berkata bahwa dia telah
melakukan dosa besar, dia telah membuang adiknya, satu-satunya keluarga yang
bisa diharapkannya. Saat itu, aku mengaitkan jari kelingkingku dengan miliknya.
Aku berjanji untuk membantunya mencari adik kecilnya. Aku ingat, saat itu aku
juga berjanji padanya untuk menjadi keluarganya. Namun aku melupakan janjiku
dan meninggalkan gadis itu sendiri.
“Rossa...”
“Aku senang kau mengingatku, kak.”
Gadis itu tersenyum lebar, kemudian
memelukku dengan erat hingga membuatku nyaris terjatuh. Sejenak, hatiku luluh
karena gadis kecil, satu-satunya orang yang menganggapku keluarga itu kini
telah tumbuh menjadi gadis jelita yang masih setia dengan janjinya.
“Jangan lakukan itu lagi, aku akan
tetap menjadi keluargamu. Mari kita mulai segalanya dari awal. Mengubah segalanya
menjadi yang terbaik dari yang terbaik. Kita akan lalui semua ini bersama-sama,
kak.”
Kurasa racun di otak dan hatiku terlalu
pekat, bahkan seorang malaikat semurni Rossa, tak akan mampu mengubah diriku yang
terlanjur penuh dosa ini. Aku menarik bibirku, memandangi gadis di hadapanku yang
mulai berurai air mata. Mungkin aku bisa mencobanya.
***
Langit senja memancarkan semburat kemerahan,
menjadi latar pemandangan seorang gadis bergaun hitam dengan rambut pirang gelap
alami yang tergerai indah. Gaun panjangnya berkibar diterpa angin, menampakkan kaki
telanjangnya yang menapak di atas tebing yang biasa kusinggahi. Aku mematri langkahku,
memerhatikan sosok yang mulai membuatku bimbang.
“Apa yang kau lakukan disitu? Kemarilah,
kak.” Suara lembut gadis itu membelai telingaku, menyadarkan lamunan hampa yang
sedari tadi mengganggu aktivitasku.
“Kau sendiri?” Aku mulai melangkah,
menyejajarkan diriku di sampingnya. Gadis itu tumbuh dengan baik. Bahkan tingginya
sudah nyaris melampaui bagian bawah telingaku.
“Aku hanya mengamati senja. Bukankah
senja terlihat romantis?”
“Kurasa begitu. Kenapa kau memakai pakaian
seperti itu? Anginnya sangat kencang.” Aku melepaskan jaket berwarna putih yang
kukenakan, kemudian memakaikannya pada Rossa untuk menutup pundak telanjangnya.
“Kurasa kau sedang memikirkan sesuatu.
Apa kau tidak ingin membaginya denganku?” Tanya gadis itu dengan tatapan menyelidik.
“Aku sudah tak bisa membersihkan jiwaku
yang telah pekat dengan kebencian. Tangan ini bahkan telah menghilangkan banyak
nyawa. Aku merasa tak pantas lagi untuk menginjakkan kakiku di bumi.”
Aku merasa sangat berputus asa. Rossa
telah mengajariku banyak hal selama beberapa hari terakhir, dan itu membuatku menyadari
bahwa aku adalah manusia terburuk yang pernah menghirup udara di bumi. Aku bahkan
merasa tak seorangpun yang akan mampu menarikku dari lubang hitam yang terus mengisap
tubuhku.
“Apa yang kau katakan?”
“Mungkin aku tak bisa lagi menepati
janjiku padamu. Teruslah berjuang untuk menemukan adikmu. Maafkan aku, Rossa.”
Aku memeluknya, merasakan kehangatan
tubuhnya yang juga menghangatkan hatiku, mencairkan air mataku yang telah lama membeku.
Aku bahkan tak mampu mengucapkan apa yang ingin kuucapkan. Lidahku terasa kelu meski
untuk mengucapkan sepatah kata.
Menurut semua orang, aku adalah bagian
terburuk dari yang paling buruk. Tetapi dia mengajariku bahwa yang terburuk justru
mampu memberikan yang terbaik bahkan lebih dari yang paling baik. Aku melangkah
mundur, menjauhkan tubuhku sebelum keteguhanku runtuh. Mengurai senyum terakhirku
untuknya. Untuk malaikat kecilku.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D