SEKUAT tenaga, Kalila menahan kantuk yang menggelayuti
kelopak matanya. Semalaman ia tidak bisa tidur. Sepanjang waktu ia selalu
merasa ada yang mengawasinya. Maka ia menghabiskan waktu dengan memeriksa
setiap sudut kamarnya. Beberapa benda tampak sedikit berubah posisi. Seperti urutan
tatanan buku atau pakaian di lemarinya. Beruntung, tidak ada sesuatu yang
dipasang di kamarnya, seperti kamera tersembunyi atau hal mengerikan lainnya.
Sekarang bukanlah saatnya ia memikirkan itu. Ia harus
berjuang melawan pintu gerbang dunia mimpi yang mengundangnya. Apa pun yang
terjadi, ia tidak boleh tertidur di kelas. Ia harus mendengarkan dosennya. Ia
harus mencatat. Ia harus—
“Kalila!”
Bentakan itu melintasi ruang kelas, menampar pendengaran
Kalila. Seketika itu juga kantuknya lari terbirit-birit menyisakan keringat
dingin yang membasahi kulitnya. Bersama debaran jantungnya yang semakin cepat.
Kalila menghela napas panjang sebelum menjawab tergagap.
“Sa-saya, Pak?”
Sambil membetulkan letak kacamatanya, pria itu melangkah
ke arah tempat Kalila duduk.
“Jadi seperti ini, kelakuan mahasiswi yang katanya diterima
dengan nilai terbaik?” Kata-kata tajam itu meluncur lancar dari pria dengan
rambut yang mulai beruban tipis itu.
Kepala Kalila tertunduk dalam. Kali ini bukan karena
mengantuk, melainkan rasa malu dan penyesalan yang bercampur jadi satu.
“Sudah merasa hebat, ya? Sampai merasa pantas tidur di
kelas saat saya mengajar?” Nada bicaranya datar tetapi telinga Kalila seperti
ditusuk-tusuk.
“Saya mohon maaf, Pak.” Hanya itu yang bisa diucapkan
Kalila.
Dosennya berdecak kesal. “Kuliah saya akhiri. Tapi kalau
sampai hal serupa terjadi lagi, seluruh kelas akan mendapat hukuman.”
Hening. Hanya terdengar suara sepatu pantofel yang menapaki
lantai. Suasana kelas berubah tegang seperti bisokop yang memutar film horor.
Hingga akhirnya dosen mereka meninggalkan kelas, barulah seisi kelas bisa
menghela napas lega. Lantas berbondong-bondong ke luar dari ruangan. Tidak
sedikit yang menggerutu dan mengarahkan kesalahan kepada Kalila.
Sial. Kalila
membenamkan wajahnya ke telapak tangannya yang sedingin es. Kepalanya terasa berdentam-dentam
sekarang. Dan perutnya terasa mual.
“Kau baik-baik saja, Kal?” Suara Elliot terdengar
khawatir. Saat ini hanya tersisa mereka berdua di dalam kelas.
Gadis itu mendongakkan kepalanya sedikit. Matanya
menyipit. Entah mengapa cahaya di sekitarnya terasa sangat menyilaukan.
“Aku baik-baik saja.” Kalila mengangguk ringan sambil
memaksakan seulas senyum. “Terima kasih,
Elliot.”
“Apa ada yang bisa kulakukan unt—“
“Hei, Lil Princess!” Seruan itu menginterupsi tawaran
Elliot.
Serentak, mereka berdua menoleh ke arah pintu. Di sana
tampak Diego yang melangkah memasuki kelas dengan dagu sedikit diangkat.
Sementara tangan kanannya tersuruk ke dalam saku jeans birunya.
“Sudah kubilang, jangan memanggilku seperti itu,” protes
Kalila lemah lantas melirik sekilas ke arah Elliot.
“Memang kenapa? Itu, kan, panggilan sayang kita,” balas
Diego sambil menekankan sepasang kata terakhir dalam kalimatnya. Tanpa disadari
Kalila, kedua matanya saling mengunci tajam dengan lelaki lain di ruangan itu.
Dan bukan merupakan pandangan yang menyenangkan.
Untuk sesaat, Kalila merasakan perubahan suasana yang
berbeda setelah Diego datang. Nyaris sama seperti suasana kelas saat dosen
memarahinya tadi. Tetapi yang ini lebih berat. Seolah ada seutas senar yang
kedua ujungnya ditarik kuat ke arah berlawanan hingga mencapai batas. Dan jika
dipaksakan, senar itu akan putus dan menyakiti siapa pun yang ada di dekatnya.
Tetapi ia tidak ingin ambil pusing. Setahunya, Diego dan
Elliot tidak saling mengenal. Jadi tidak ada alasan bagi mereka untuk saling
bersikap seperti musuh. Kalila menduga itu semacam ritual antara penduduk Mars
dalam pertemuan pertama mereka.
Karena yang ia butuhkan saat ini hanyalah tidur atau
kopi. Ya, secangkir kopi pahit bisa membantunya meredam kepalanya yang seperti
dihimpit batu besar.
“Apa benar dia pacarmu, Kal?” tanya Elliot pada Kalila.
Walaupun matanya sama sekali tidak menatap langsung pada gadis itu.
Kalila mendenguskan tawa. “Dia ini—“
“Hei, hei, Lil Princess. Kau tampak kurang sehat,” sela
Diego di antara jawaban Kalila. “Lebih baik kita segera pergi.”
“Ah, kau benar.” Kalila mengangguk setuju. “Aku butuh
kopi.”
Sudut bibir Diego menyunggingkan seulas senyum
kemenangan. Hanya sedetik. Tetapi Elliot bisa melihat itu sejelas melihat
bintang di malam hari.
Kalila bangkit berdiri. Tas tergantung di bahunya. “Aku
pergi dulu, Elliot. Sampai ketemu.”
Elliot melambaikan tangan sekilas seraya tersenyum.
Kemudian ia terpaku memerhatikan dua punggung yang menjauh itu. Ia tidak bisa
tinggal diam. Karena bagaimanapun, ia harus bisa mendapatkan Kalila dalam
genggamannya.
***
Dari balik sudut dinding yang bersebelahan dengan papan
pengumuman, seseorang memerhatikan kedua orang yang baru saja keluar dari salah
satu ruang kelas. Ia menempelkan diri ke dinding berwarna kuning telur kocok itu,
memastikan dirinya tersembunyi. Dan juga tidak berada dalam jalur yang akan
dilalui orang yang sedang diperhatikannya.
Saat orang itu berjalan menjauh ke arah yang berlawanan,
ia mengembuskan napas panjang. Astaga, dunia ini benar-benar tidak adil.
Dilihat bagaimanapun, gadis itu selalu membuat ia terpukau.
Andai saja ia memiliki segala yang ada di diri Kalila.
Andai saja ia memiliki kekasih seperti kekasih Kalila.
Ah, andai saja ia adalah Kalila.
“Hei, hei! Sedang apa, Kal?”
Sebuah suara riang disertai tepukan di bahu membuatnya
terlonjak kaget. Ia membalikkan badan dengan kedua tangan menempel di dada
kirinya. Jantungnya sekuat tenaga memukulnya dari dalam sana.
“Astaga, Erin,” keluhnya begitu mengenali orang yang
menyapanya.
“Oh?” gumam Erin dengan raut wajah bingung. “Ternyata
kau, Val. Kukira tadi Kal.”
Valeria tidak mengatakan apa-apa. Dan membiarkan Erin
mengamatinya dari atas sampai bawah.
“Penampilanmu... benar-benar mirip Kal,” ucap Erin secara
spontan. “Rambut bob dan chukka boots—“
“Kurasa, itu semua bukan hanya milik Kal,” potong Valeria
ketus. Kedua alisnya nyaris menyatu karena tersinggung mendengar komentar gadis
berpenampilan serba ungu di hadapannya.
“Memangnya dia punya lisensi legal untuk itu? Semua orang bebas memotong rambutnya
dengan gaya apa pun.”
“Ya, ya, memang. Lagipula aku lebih suka kau daripada
Kal,” gumam Erin menanggapi pembelaan diri Valeria yang terkesan berlebihan.
“Sampai-sampai aku merasa lebih baik kalau Kal lenyap saja.”
Valeria tertegun. Entah mengapa, gumaman Erin itu
terdengar mengerikan di telinganya.
“Lalu siapa yang sedang kau perhatikan dari sini? Apa
itu lelaki yang kau sukai?” tuduh Erin
dengan nada bergurau. Nuansa muram yang tadi sudah hilang tidak berbekas. Gadis
itu menjulurkan kepala mencoba melihat ke balik punggung Valeria.
“T-tidak. Bukan siapa-siapa—”
Tepat saat itulah, Erin melihat Elliot keluar dari salah
satu ruang kelas. Dan seketika wajahnya kembali muram.
“Aku harap kau tidak bermaksud merebut Elliot dariku.
Seperti yang dilakukan Kal.” Erin mengatakan itu dengan nada tajam tanpa
repot-repot menatap lawan bicaranya yang kebingungan.
“Elliot? Siapa—“
Tanpa menjawab pertanyaan Valeria yang belum selesai,
Erin sudah berjalan menjauh dengan ekspresi ceria. Setelah beberapa langkah,
gadis itu melambaikan tangannya. Senyum lebar terpasang di bibirnya.
“Elliot!”
Lelaki yang dipanggilnya menghentikan langkah lalu
menoleh. Tetapi tanggapan lelaki bernama Elliot itu tidak mengimbangi sikap
ceria Erin. Bahkan nyaris datar. Mungkin susana hatinya sedang tidak baik
karena kuliahnya barusan.
“Mau makan bareng?”
“Boleh.” Elliot mengangguk menyetujui ajakan itu. Lalu
mereka berdua berjalan beriringan menuju pintu keluar gedung.
Sementara Valeria terpaku di balik persembunyiannya.
Meragukan pernyataan Erin tentang Kalila. Bukankah hidup Kalila sudah sempurna?
Hingga sanggup membuat orang lain iri. Termasuk dirinya.
Lantas, apa mungkin Kalila masih menginginkan milik orang
lain?
***
“Kenapa kau tidak melaporkan itu ke polisi?”
Kalila menggeleng. Ia menggenggam gelas kertas dengan
kedua tangan, lalu menyesap kopi sedikit demi sedikit. “Tidak ada barang
berharga yang hilang atau rusak. Mungkin saja itu hanya pemeriksaan rutin dari
pemilik kos.”
“Tapi itu tidak bisa dibiarkan. Bagaimana kalau kamarmu
dipasangi kamera tersembunyi dan videomu saat sedang berganti pakaian disebar?”
Kalimat itu tentu saja membuat Kalila meirinding. “Jangan
mengatakan hal yang mengerikan begitu.”
“Kau memang harus memikirkan kemungkinan mengerikan
seperti itu.”
Kalila mengangguk. Tanpa diminta, kemungkinan itu sudah
muncul lebih dahulu dalam benaknya. “Semalaman aku sudah memeriksa kamarku. Dan
aku tidak menemukan benda-benda seperti itu,” sahut Kalila sambil mengernyit
membayangkan ada seseorang yang diam-diam mengawasinya.
“Pindah saja ke apartemenku.”
Mata Kalila mendelik mendengar saran itu. Mana mungkin
mereka tinggal seatap—
“Kita bisa menjadi tetangga,” tambah Diego sebelum Kalila
tersedak kopi. “Lagipula aku yakin kau cukup mampu untuk tinggal di tempat
dengan sistem keamanan yang jauh lebih baik.”
Kalila menggeleng. Kehidupan mewah bukan lagi bagian dari
dirinya yang sekarang. Ia takut jika berada berada di tempat yang tinggi, nanti
ia jadi semena-mena pada orang yang berada di tempat yang lebih rendah darinya.
“Aku tidak mau hidup seperti itu lagi.”
Alis Diego terangkat mendengar gumaman Kalila. Tetapi
kemudian ia memilih untuk tidak peduli pada kehidupan seperti apa yang tidak
lagi diinginkan gadis itu. “Lalu, apa rencanamu sekarang?”
Untuk sesaat Kalila terdiam. Gadis itu menyelipkan rambut
ke belakang telinga. “Sebenarnya aku mau meminjam mobilmu. Boleh?”
Kening Diego mengernyit. “Memangnya kau mau pergi ke
mana? Biar kuantar.”
“Jangan,” tolak Kalila sambil menggeleng. “Kau, kan, ada
kuliah setelah ini.”
“Aku bisa bolos. Asal aku bisa memastikan kau tidak
menyetir dalam keadaan seperti ini,” sahut Diego. Tatapannya terkunci pada
wajah pucat dan lingkaran hitam disekeliling mata Kalila.
Wajah Kalila menghangat. Hanya sesaat. Karena detik
berikutnya Diego menyambung kalimatnya dengan ucapan menyebalkan.
“Bukan apa-apa. Aku hanya takut terjadi sesuatu pada
mobilku.”
Kalila mencebik.
“Tenang saja. Aku hanya ingin meminjam mobilmu untuk kamar darurat.”
“Kamar? Maksudmu, kau mau kita—“
“Aku mau tidur,” tukas Kalila cepat. Sebelum Diego
bergurau melebihi batas kesadarannya. “Aku sangat mengantuk, oke? Kepalaku
pusing. Jadi cukup dengan omong kosongmu.”
Alis Diego terangkat satu. “Jadi, begitu caramu meminta
tolong? Sopan sekali, Lil Princess.”
“Jadi, kau mau meminjamkan mobilmu atau tidak?”
“Tentu saja aku mau.”
Kalila mengembuskan napas lega. Otaknya semakin terasa
berat sekarang. Seolah ribuan jarum menancap di dalam kepalanya.
“Tapi dengan syarat kau harus ikut denganku ke suatu
tempat di hari ulang tahunmu. Bagaimana?”
Telunjuk Kalila memijat-mijat keningnya dengan kesal.
Tetapi kemudian ia menganggukkan kepala dengan pasrah.
***
Lory tiba di kampus sepuluh menit sebelum kuliahnya
dimulai. Ia memarkir mobilnya tepat di samping sebuah sedan abu-abu gelap yang
sudah sangat dihafalnya. Mobil miliknya tampak mencolok dengan warna shocking pink yang menarik perhatian.
Sebelum turun, gadis itu sengaja memeriksa penampilannya
di cermin. Ia menambah pulasan merah di bibirnya yang tersenyum lebar. Kemudian
ia meninggalkan mobilnya dengan langkah-langkah ceria menuju sedan di samping
kanan mobilnya.
Lory mahir membuat penampilannya menarik perhatian. Ia mengenakan
blus model terkini, jeans kurus
berwarna biru, stiletto berwarna
serupa warna mobilnya. Terdengar bunyi samar dari tiga buah gelang jade di tangannya setiap kali ia
berjalan.
Tadi sekilas ia sempat melihat jendela mobil itu sedikit
terbuka. Jadi ia berasumsi si pemilik mobil masih berada di dalam. Mungkin saja
Diego sengaja menunggu kedatangannya agar mereka bisa datang ke kelas bersama.
Lory bisa melihat jelas seseorang sedang merebahkan kaki
di jok penumpang bagian belakang. Astaga, romantis sekali. Diego sampai
tertidur karena menunggunya. Lain kali sepertinya ia harus mempersingkat waktu
berdandannya.
Gadis itu merunduk, bermaksud mengetuk jendela mobil. Dan
ia tertegun. Matanya membelalak karena amarah. Benar juga. Sepasang kaki dalam
balutan jeans itu terlalu ramping
untuk ukuran kaki lelaki.
Tetapi dari semua orang di dunia ini, kenapa harus Kancil
Genit itu yang tidur di mobil Diego?
Ingin rasanya Lory berteriak. Memukul keras kaca jendela
mobil itu. Menumpahkan seember penuh tarantula berbisa ke dalam mobil. Menuliskan
kata-kata cacian dengan cat semprot di kap mobil. Atau mungkin membakar dan
mendorong mobil itu jatuh ke dalam jurang yang dalam. Bersama si gadis perebut
itu di dalamnya.
Sedetik kemudian ia tersadar dari bisikan iblis dalam
benaknya. Apalagi mengingat ia selalu kalah jika harus berdebat melawan kancil
licik itu. Tangannya yang tadi membeku di depan jendela mobil, mulai bergerak
dan membentuk kepalan. Ia mendesis sambil kembali menegakkan tubuhnya.
Maka, Lory berbalik dan berjalan menuju pintu
fakultasnya. Setiap langkahnya menghentak
keras karena dibebani emosi. Hingga menarik perhatian orang di
sekitarnya. Atau ia memang sengaja agar orang-orang memerhatikannya. Menyadari bahwa
ia sedang marah. Ia berharap semua orang yang ditemuinya selama perjalanan ke
kelas memiliki hari yang lebih buruk darinya.
“Hei, Lory. Ada apa?” tanya Jenna yang sudah hafal tabiat
buruk temannya itu. Ia dan Sharon sudah tiba di kelas beberapa menit lebih
awal.
Seolah tidak mendengar, Lory malah berdiri di depan kelas
dengan tatapan yang menyapu ruangan. Setelah tidak menemukan apa yang
dicarinya, ia bertanya, “Di mana Diego?”
Jenna dan Sharon kompak mengangkat bahu. “Entahlah. Aku
belum melihatnya.”
“Mungkin belum datang,” tambah Sharon.
“Tapi mobilnya ada di tempat parkir.”
“Lantas, apa itu yang membuatmu kesal?” tanya Jenna masih
dibuntuti rasa ingin tahu.
“Di dalam mobil Diego, ada orang itu.”
Kening Jenna mengerut bingung. “Siapa?”
“Kalila?” tebak Sharon dengan mudah.
Lory hanya menjawab dengan anggukan.
“Lalu, apa kau melakukan sesuatu seperti melabraknya?”
tanya Sharon.
“Atau mencoret-coret mobilnya?” tambah Jenna dengan nada
bergurau.
Kali ini, Lory menggeleng. “Aku ingin.” Sangat ingin. “Tapi aku tidak bisa
melakukannya.”
“Jadi kau sudah menyerah?”
Lory tertawa sinis. Ia melipat tangan di depan dada. “Apa
kau bercanda? Sejak kapan seorang Glorya mengenal kata menyerah? Itu tidak ada
dalam kamusku.”
“Lalu apa yang membuatmu ragu?”
“Itu mobil Diego, tahu? Aku tidak mau melakukan hal buruk
pada mobilnya.”
Tidak ada tanggapan dari kedua gadis di hadapan Lory.
Mereka kompak bungkam. Dan detik berikutnya, ia baru menyadari penyebabnya saat
seseorang datang bergabung ke dalam obrolan mereka.
“Memang ada apa dengan mobilku?”
“Diego,” sapa Lory seceria mungkin. Diikuti senyum
terpaksa dari Jenna dan Sharon. Bahkan, ia mengamit manja lengan lelaki itu.
“Kau sudah datang ternyata. Mau duduk di sebelahku lagi? Seperti biasa?”
Tetapi Diego tidak tertarik dengan pertanyaan itu. “Ada
apa dengan mobilku?”
Hening. Tidak satu pun dari tiga gadis itu yang berani
bersuara. Mereka seketika bungkam di antara hiruk pikuk mahasiswa yang bersenda
gurau menjelang kuliah dimulai.
“Mobilmu, hem,
catnya bagus,” ucap Lory sekenanya. Kurang tepat memang. Tetapi hanya itu yang
bisa terpikirkan oleh otaknya saat ini. Mengalihkan perhatian. “Aku juga mau mengecat
mobilku seperti itu. Bisa kau beri tahu aku salon mobil langga—”
Kata-kata Lory terputus. Tetapi ia bersyukur karena
kedatangan dosennya membuat ia bisa menghindar dari pertanyaan Diego. Walaupun
hanya untuk sementara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D