ELENA POV
Aku
tak akan mampu menerima keyataan bahwa Evan meninggalkanku. Aku terduduk lemas
menatap dokter yang sedang berusaha mendapatkan Evan kembali. Aku merasa
seperti berada dalam mimpi, suara riuh di sekitar tempatku berdiri pun tak
mampu ku dengar, seolah tuli dan bisu di
saat yang bersamaan.
“…
Lena… Elena…” Suara Nico perlahan merebut perhatianku. “Apa kau baik-baik
saja?”
Aku
menatap Nico, berusaha mendapatkan kesadaranku sepenuhnya. “Apakah kakak akan
baik-baik saja?”
“Tentu,
kami sudah mendapatkannya kembali, Elena. Kau tidak perlu khawatir.” Sahut
Andre yang tiba-tiba berdiri di sampingku. Wajah lelaki itu tampak letih dengan
dahinya yang berkeringat. “Tapi tenang
saja, kau tak perlu berterima kasih padaku. Aku adalah dokter terbaik di rumah
sakit ini, kau bisa percaya padaku.”
Mau
tak mau aku pun menyunggingkan sedikit senyumku pada dokter yang sangat percaya
diri ini. “Tentu saja aku akan mempercayaimu.”
“Bagus. Emm... Elena, aku ingin mengajakmu makan malam, malam ini. Apa kau
keberatan?” Ujar Andre sambil melirik Nico.
“Tentu
saja dia keberatan. Kupikir kau cukup cerdas untuk memahami situasi ini.
Bukankah kau bilang kau dokter terbaik di rumah sakit ini?” Sahut Nico dengan
suara tegas.
Aku
menatap Nico yang mengerutkan dahinya hingga membuat alis tebalnya nyaris menyatu.
Aku segera menurunkan senyumku karena firasatku mulai memburuk. Aku bergantian menatap Nico yang semakin
meruncingkan pandangannya dan Andre yang menyeringai.
“Maafkan
aku, tetapi kau tahu situasinya seperti apa sekarang, bahkan untuk makan saja
aku tak berselera. Aku meminta pengertianmu.” Ujarku mencoba memecahkan
keheningan yang mencekam ini. “Mungkin lain kali saja.”
“Tentu.
Aku akan menghubungimu nanti.” Andre mengedipkan sebelah matanya padaku dan aku
yakin hal itu membuat Nico semakin gusar.
“Untuk
apa kau bilang lain kali? Seharusnya kau katakan saja kalau kau juga ingin
makan denganya!”
Ku
tatap Nico yang sedang menggerutu sambil melirik tajam ke arahku. Aku sedang
tidak dalam kondisi yang cukup tangguh untuk mendebat pembicaraannya. Aku
menghela nafasku lelah, menyisipkan rambutku ke belakang telinga, kemudian
berbalik menuju ke ranjang tempat Evan tertidur.
Wajahnya
tampak pucat degan lebam-lebam biru di sekitar wajahnya. Dahi, tangan dan kaki
kanannya terbalut perban yang cukup tebal. Aku yakin itu akan membuatnya tak
nyaman. Kugenggam tangan kirinya yang terasa dingin. “Bangunlah, kak, bukankah kau
bilang kau masih akan melindungiku?”
Ingatkanku
kembali melayang pada saat kami duduk di sekolah dasar. Saat itu teman-teman
kami berkumpul di halaman belakang sekolah. Mereka bersorak, saling mendukung
jagoan mereka. Bisa kupastikan mereka tengah beradu untuk memenangkan sesuatu.
Hal itu membuatku bersemangat untuk bisa mendukung salah satu dari mereka.
“Ayo
kita lihat, Silvia.” Seruku sambil menyeret Silvia yang ada bersamaku.
“Tunggu…
tunggu… Jangan, Len, aku takut. Kita bilang saja pada bu guru.” Tolak Silvia
takut. Aku tahu bahwa perempuan yang memiliki tahi lalat di sudut matanya itu
memang anti kekerasan. Dia begitu lembut hingga terkadang membuatku tak bisa
mengajaknya untuk menemaniku di saat seperti ini.
“Ya
sudah kalau takut, aku akan melihatnya sendiri.” Aku meninggalkan Silvia. “Awas,
beri jalan, princess mau lewat!”
Teriakku membelah keramaian teman-teman yang bergerombol.
“Giant… Giant… Giant!!!” Seru sebagian
besar siswa yang bertaruh untuk kemenangan Giant,
yang kutahu adalah nama panggilan salah seorang siswa senior bertubuh besar. Kemudian
samar-samar kudengar minoritas suara menyerukan nama Evan untuk bertahan
sehingga membuatku semakin kuat untuk menerobos tubuh-tubuh yang jauh lebih
besar dariku.
Mataku
terbelalak saat kulihat Evan tersungkur kesakitan. Akupun semakin kuat mendorong
kerumunan itu hingga aku sampai tepat di belakang Giant. Aku melepaskan
sepatuku dan melempar kepala Giant dengan sepatu.
“Hei,
bocah gendut! Apa yang kau lakukan pada kakakku?” Teriakku setangguh wonder women.
“Wah…
Princess kita sudah datang teman-teman.
Hei, kau itu anak perempuan. Jangan ikut-ikut dengan masalah laki-laki. Nanti
kau kena pukul.” Giant memperingatkan.
“Kau
memukul kakakku, akan kulaporkan kau pada bu guru.” Teriakku sambil melempar
sebelah sepatuku pada wajah Giant. Aku berlari menghampiri Evan, membantunya
untuk berdiri. “Kakak kenapa tidak membalas? Ayo berdiri.”
Saat
aku hendak membantu Evan berdiri, tiba-tiba seseorang mendorongku hingga aku
terjerembap ke tanah. Saat itu Evan bangkit dan segera melempar tinjunya pada
Giant.
“Kenapa
kau melukai perempuan? Jangan ganggu adikku atau aku akan menghajarmu!”
Aku
mengingatnya dengan jelas saat aku menangis keras karena lututku berdarah. Guru
kemudian datang dan membubarkan gerombolan. Sedangkan Evan yang panik bergegas
menggendongku yang sedang menangis meski aku merasakan bahwa kakinya sendiri
terluka.
“Meski
mama dan papa tidak ada, aku akan selalu melindungimu, Elena. Aku berjanji.”
***
NICO
POV
Dia
memejamkan matanya yang tampak mengeluarkan air mata. Mungkin ia tengah
bermimpi buruk dalam tidurnya. Aku memerhatikan kakak beradik yang tampak
saling melindungi itu. Terkadang aku berpikir, jika saja adik perempuanku masih
hidup, dia akan tumbuh seperti Elena. Mungkin akupun akan melindunginya
semampuku, sama seperti aku melindungi Elena.
Terkadang
sendiri membuatku sangat kesepian. Ibu dan adikku meninggalkanku bertahun-tahun
yang lalu dalam sebuah kecelakaan mobil. Sempat pada suatu ketika aku menyesali
kehidupanku. Hingga sampai saat ini aku penasaran, apa yang membuatku tetap
hidup, sedangkan kecelakaan itu merenggut orang-orang yang kusayangi, ibu dan
adikku.
Mereka
bilang kita dapat merubah nasib, tapi tidak dengan takdir. Namun bagiku, apapun
yang telah kita lakukan, itulah takdir kita. Meski saat itu aku berusaha
menyelamatkan ibu dan adikku, tak akan ada yang berubah. Pada akhirnya aku
tetap akan sendiri. Di saat seperti inilah, aku tahu betapa pentingnya orang
terdekat yang akan mendampingi kita.
Jemari
Evan perlahan bergerak dan membangunkan Elena yang telah tertidur cukup lama.
“Kakak…”
Elena berseru girang, kemudian memencet tombol yang berfungsi untuk memanggil
perawat. Dalam hitungan detik, seorang perawat memasuki kamar dengan
terburu-buru disusul oleh seorang... dokter.
“Apakah
ada perkembangan, Elena?” Tanya dokter sialan itu sambil menyentuh tubuh Evan
dengan stetoskopnya.
“Jarinya
bergerak.”
“Kenapa
kau di sini?” Entah mengapa kehadiran lelaki itu membuatku sangat kesal, bahkan hanya
mendengar namanya membuatku ingin memuntahkan lahar panas.
“Kau
harus percaya padaku. Sudah kubilang, bukan, bahwa aku ini adalah dokter
terbaik. Kakakmu sekarang berada dalam kondisi stabil. Sebentar lagi dia akan
membuka matanya. Kondisinya akan pulih dengan cepat.” Lelaki itu menyentuh bahu
Elena tanpa memedulikan pertanyaanku.
“Kurasa
kau harus memperbaiki saraf di telingamu.” Aku benci melihat mereka melakukan
kontak fisik. Tidak, ini bukan karena aku cemburu berlebihan. Tetapi kurasa
dokter sialan itulah yang berlebihan. Dia hanya dokter. Di mana ada dokter yang
megajak adik pasiennya kencan, padahal dengan jelas ia tahu adik pasiennya itu
bersamaku. Lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan kehadiranku.
“Apa
kau sedang mengatakan sesuatu?” Dokter sialan itu akhirnya mulai mendengarku.
“Aku
bertanya padamu apa yang kau lakukan di sini?”
“Aku
melakukan tugasku sebagai seorang dokter terbaik di rumah sakit ini.” Nada
suaranya terdengar mengejek, ditambah dengan tatapan menghina yang melukai
harga diriku. Jika saja situasi ini menguntungkanku, aku akan menghajar lelaki
ini hingga dia yang akan terbaring di ranjang menggantikan Evan.
“Jika
kau merasa menjadi yang terbaik, maka lakukanlah segalanya dengan baik,
termasuk jadilah dokter yang profesional.” Aku meraih tangan Elena, menariknya
menjauh dari lelaki itu.
“Tawaranku
masih berlaku, Elena. Aku akan menghubungimu jika saatnya sudah tepat.” Lelaki
itu menatap Elena dengan senyuman yang hangat, kemudian senyuman itu berganti
seringaian saat dia menatapku sebelum meninggalkan kamar Evan.
Jemariku
mengepal dengan erat, menahan amarah yang rasanya semakin sulit ku bendung.
Elena menyentuh jemariku, berusaha untuk mengurai kepalan tangan yang membuat
buku-buku jariku memutih. Aku yakin ia tak menyadari betapa marah diriku saat
ini. Aku mengacak rambutku, menoleh lemas ke arahnya dan menyandarkan kepalaku
yang terasa sangat berat di bahu Elena.
“Tenanglah,
aku tak akan memedulikannya. Aku hanya membutuhkannya untuk penyembuhan Evan.
Hanya itu.”
“Aku
tahu. Aku yakin padamu. Tetapi tingkah lelaki itu membuatku sangat kesal.
Mungkin sebaiknya kau pulang, aku akan menjaga Evan.”
Elena
menggeleng. “Bagiku kau dan Evan adalah orang-orang yang penting, aku tak akan
meninggalkan kalian.” Usapan tangan kecil Elena di punggungku membuat amarahku
sedikit demi sedikit mereda. “Apalagi kau tak akan bisa menjamin keamanan dan
kedamaian di kamar ini jika kau bertemu dengan dokter Andre.” Lanjut Elena
terkekeh.
Elena POV
Wajah
lusuh dan kemeja kusut itu membuat penampilannya tampak berantakan. Lelaki itu
tampak sangat lelah karena beberapa hari ini ia hampir tak pernah tidur di
rumah. Ia selalu datang ke rumah sakit sepulang kerja dengan alasan ia tak
ingin melihat dokter Andre menggodaku saat ia tak bersamaku.
Hari
sabtu pagi yang seharusnya disambut dengan cuitan ceria burung gereja justru
disambut dengan percikan air hujan yang membasahi kaca jendela kamar Evan.
Sudah lebih dari dua jam hujan tak kunjung reda. Dinginnya udara di luar
membuat Nico enggan bergerak dari dalam selimut hangat yang membuatnya meringkuk seperti bayi.
Evan
tersenyum memandangi Nico yang sesekali mengigau meski jam sudah menunjukkan
pukul delapan pagi. “Seharusnya dia bisa menghabiskan akhir pekannya dengan
beristirahat di rumah.”
“Semalam
aku menyuruhnya pulang, tetapi tetap saja dia menolak karena khawatir mengenai
dokter Andre.”
“Aku
juga merasa janggal dengan cara dokter itu menatapmu. Mungkin dokter itu
memiliki perasaan kepadamu, dan aku yakin hal itu akan membuat Nico gusar.”
“Di
pagi yang dingin seperti ini, rupanya kalian sudah membuatku panas dengan
membicarakan lelaki itu ya.” Ujar Nico yang mulai beranjak dari sofa tempatnya
tidur. Nico berusaha membuka matanya
yang mungkin masih terasa berat.
“Tidak
sayang, cepatlah mandi, lihat kau sama sekali tidak keren.” Aku mencoba
menggoda lelaki tampan yang tampak menolak segala kegiatan apapun di pagi yang
dingin ini. Namun tanpa perlawanan, langkah malas lelaki itu menuntunnya menuju
toilet, setidaknya untuk membasuh wajahnya.
Tepat
setelah pintu toilet tertutup, pintu kamar terbuka, seorang dokter umum
penanggung jawab Evan dan dua orang suster datang untuk mengecek kondisi Evan.
Tak lama kemudian seseorang dengan kemeja keemasan yang tampak cocok dengan
kulit putihnya masuk ke dalam kamar.
“Selamat
pagi dokter Andre.” Sapa dokter umum yang ku ketahui bernama dokter Rio
tersebut. Lelaki itu tak menggunakan jas
putih kebesarannya kali ini, sehingga ia tak tampak seperti seorang dokter,
justru seperti seorang artis yang mengesankan.
“Selamat
pagi. Bagaimana keadaanmu sekarang?” Tanya dokter Andre pada Evan.
“Sangat
baik. Aku justru berharap agar bisa pulang hari ini juga.”
“Tentu
saja, jika kau merasa lebih baik, dokter Rio akan mengeluarkanmu dari sini
secepat mungkin.” Ujar dokter Andre dengan senyuman menawannya. “Elena, aku
ingin bicara denganmu, bisa keluar sebentar?”
Aku
mengernyitkan dahi, mencoba menerka hal sepenting apa yang akan dikatakan oleh
dokter Andre hingga ia memintaku untuk bicara secara pribadi. Aku memilin-milin
jemariku gugup, entah karena apa. Mungkin karena Nico. Entah apa yang akan Nico
pikirkan jika saat ia keluar dari toilet aku tak berada di sana, dan entah apa
yang akan dilakukannya jika ia tahu bahwa aku pergi bersama lelaki ini.
“Hmm…”
Andre berdehem, memecah keheningan yang tercipta saat kepalaku bergulat dengan
pemikiran tentang Nico. “Tampaknya
pacarmu itu setiap hari berada disini ya.”
Aku
mengangguk pelan. Lelaki itu menghela nafas, senyum miring di bibirnya seolah
ingin menunjukkan bahwa ada sesuatu yang salah tentang keberadaan Nico. “Apa
ada yang salah dengan itu?”
“Tidak,
hanya saja aku ingin mengatakan bahwa selama ini aku menyukaimu.”
“Selama
ini? Kurasa delapan hari kakakku dirawat di rumah sakit ini bukanlah waktu yang
cukup untuk kau bisa memutuskan bahwa kau menyukaiku, dokter Andre.”
“Tidak,
bukankah sudah kubilang aku sering melihatmu di rumah sakit ini sebelumnya? Dan
lagi aku tak perlu membutuhkan waktu lebih lama dari delapan hari untuk dapat
memutuskan bahwa aku menyukaimu.”
“Terima
kasih atas perasaanmu kepadaku, tetapi kau tahu, aku menyukai orang lain.”
“Aku
tidak memaksamu untuk balas menyukaiku, hanya izinkan aku untuk tetap
menyukaimu. Dan aku akan senang jika kau memberiku kesempatan untukku agar selalu dapat bersamamu.”
Aku
terkesiap mendengar pernyataan tiba-tiba itu. Meski Evan sudah memperingatkan
padaku mengenai hal itu sebelumnya, namun aku masih tak ingin percaya. Bahkan
aku sama sekali tak mengaggapnya serius.
Aku
menarik nafas yang panjang, aku membutuhkan banyak tenaga dan oksigen untuk
menanggapi percakapan canggung ini.
“Sebaiknya kau berhenti bercanda. Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya
kau ucapkan di lorong rumah sakit.”
“Begitukah?
Apakah kita harus memulainya dengan makan malam bersama?”
“Tidak,
bukan itu maksudku. Maksudku….”
“Elena.”
Suara itu membuatku hampir terlonjak dari tempatku berdiri. Dengan cemas aku
menoleh untuk menatap pemilik suara yang terdengar dingin itu. “Apa yang kau
lakukan?” Tanyanya kemudian. Kutatap wajah dingin pria memesona yang berdiri
di belakangku.
Aku
menelan ludah, aura dingin yang dipancarkan lelaki itu tampak membuatnya begitu
menyeramkan. “Tidak. Nick. Aku…”
“Tidak
ada, dia tidak melakukan apapun. Aku hanya memintanya untuk memberi kesempatan
padaku. tetapi dia menolakku.” Andre mencoba menjelaskan. “Tapi aku tak akan
menyerah, aku akan berusaha lebih keras, Elena.” Lanjutnya.
Bisa
kulihat dengan jelas bagaimana rahang Nico mengetat menahan amarah dengan
tangan terkepal kuat, seakan hendak melayangkan tinjunya. Kilat penuh
kebencian tampak jelas di mata gelap Nico.
Dengan sigap aku menarik lengan Nico sebelum perperangan terjadi,
“Sudalah. Ayo bicara di dalam.”
“Kau…
sudah kuperingatkan padamu untuk berhenti mendekati Elena. Aku akan membuat
perhitungan denganmu!” Ancam Nico.
***
NICO
POV
Di pagi yang
dingin ini aku begitu merasa membara. Hanya sebentar saja aku meninggalkan
Elena untuk mencuci wajahku, lelaki sialan itu telah mencuri Elenaku. Aku
mengintip pada celah pintu yang terbuka, dan aku mendengarkan pembicaraan
mereka.
“Terima
kasih atas perasaanmu kepadaku,” Aku meyakinkan diriku sendiri bahwa apa yang
kudengar adalah suara Elena. “tetapi kau tahu, aku menyukai orang lain.”
Lanjutnya.
Bagus,
dasar pria tidak tahu diri. Aku sudah memperingatkannya berkali-kali untuk
menjauhi Elena, tapi tampaknya dia sama sekali tak mengindahkan peringatanku.
Entah apa yang dipikirkan lelaki itu, tapi dia terlalu terang-terangan untuk
perasaannya.
Aku
terus mendengarkan sejauh mana percakapan mereka tentang sesi pernyataan cinta
ini. “Sebaiknya kau berhenti bercanda.
Ini bukanlah sesuatu yang seharusnya kau ucapkan di lorong rumah sakit.” Ujar
Elena tegas.
Segera
kuterobos pintu dan berdiri tepat di belakang Elena. Lelaki sialan itu
menatapku sejenak dan memberikan seringaian untukku. “Begitukah? Apakah kita
harus memulainya dengan makan malam bersama?”
“Tidak,
bukan itu maksudku. Maksudku….”
“Elena.”
Kupotong pembicaraan mereka sehingga tatapan mereka berdua terfokus ke arahku. “Apa
yang kau lakukan?” Kutatap Elena dan lelaki itu bergantian. Lelaki itu melempar
seringai penuh hinaan kepadaku. Sungguh aku ingin menghancurkan wajahnya saat
ini juga.
“Tidak
ada, dia tidak melakukan apapun. Aku hanya memintanya untuk memberi kesempatan
padaku. tetapi dia menolakku.” Lelaki itu mencoba menjelaskan. “Tapi aku tak
akan menyerah, aku akan berusaha lebih keras, Elena.”
Aku
tak pernah memiliki kesabaran yang cukup untuk menghadapi lelaki ini. Aku pun
mengepalkan tanganku dan bersiap untuk melemparkan tinju untuknya. Tetapi di
saat yang sama, Elena menarik tanganku.
“Ayo
bicara di dalam.” Seru Elena menarikku menuju ke kamar Evan.
***
Evan
menatap kami penasaran, seolah ia memiliki daftar pertanyaan yang cukup panjang
untuk kami. Elena membuka lemari es dan menuangkan segelas air dingin yang
kemudian ia berikan padaku.
“Untuk
apa?”
“Minumlah.”
Kata Elena singkat. Aku tahu dari nada suaranya bahwa ia sedang kesal saat ini.
Tapi aku yakin rasa kesalnya itu tak akan melebihi rasa kesalku melihat mereka
berduaan di lorong tadi.
“Yang
benar saja, pagi yang dingin ini kau menyuruhku meminum ini?”
“Aku
yakin kau kepanasan. Apa perlu kau kudinginkan dengan air ini kusiramkan ke
tubuhmu? “
“Elena,
jaga bicaramu.” Sahut Evan. “Sebenarnya apa yang terjadi?”
“Nico
hampir saja memukul dokter Andre di depan tadi.”
“Karena
aku tidak suka mereka memiliki sesi pernyataan cinta tanpa sepengetahuanku.”
Aku yakin Evan akan berpihak padaku, mengingat kami dilahirkan dalam jenis yang
sama. “Begitukah? Apakah kita harus memulainya dengan makan malam bersama?” Aku
mencoba menirukan suara lelaki sialan itu.
Evan
mengernyit, “Tunggu… Elena, apakah itu artinya kau sedang mencoba melakukan
sesuatu dengan dokter itu?”
“Tidak
kak, aku bersumpah.” Elena membela diri. “Nick, kenapa kau berkata seperti itu?
Dia menyatakan perasaannya padaku, tapi aku menolaknya karena aku menyukaimu.
Itu yang kukatakan padanya.”
“Lalu
ada apa dengan makan malam bersama?” Tanyaku berpura-pura penasaran meski aku
sudah mendengar hampir seluruh percakapan mereka.
”Saat
itu aku sedang canggung dan tak tahu harus berkata apa. Lalu aku mengatakan
padanya untuk tidak bercanda di lorong rumah sakit. Dan dia membalasnya dengan
kata-kata seperti itu.” Elena menjelaskan dengan terbata-bata. Kulihat wajahnya
mulai memerah dan air mata mulai membasahi matanya. Ia mengusap dengan cepat
air matanya yang belum sempat menuruni pipinya. Dan hal itu membuatku sedikit
melunak.
Aku
beranjak dari tempat dudukku dan memeluk tubuh Elena. Aku menyadari mungkin
memang aku sudah keterlaluan. Aku tahu apa yang terjadi namun aku masih saja
menuntut penjelasan dari gadis itu.
“Maafkan
aku. Aku mempercayaimu, Elena.”
“Tapi
tidakkah kau merasakan sesuatu yang aneh pada dokter itu?” Tanya Evan menyela.
Aku mengernyit untuk mencari tahu maksud perkataan Evan. “Menurutku dia terlalu
kentara dalam menunjukkan perasaannya. Maksudku, dia tampak sengaja membuatmu
marah meski kau berada di dekat Elena. Aku tak tahu apa tujuan dia sebenarnya,
tapi apakah kau yakin jika lelaki itu hanya menyukai Elena seperti kau
menyukainya?”
“Aku
tidak mengerti maksudmu, kak.” Elena yang tampak penasaran mulai membuka suara.
“Entahlah
aku merasa memiliki firasat yang aneh. Aku tak menjanjikan itu buruk, hanya saja
aku merasa dia sangat janggal.”
“Apakah
itu semacam dia seperti dokter gadungan?” Aku semakin tertarik dengan topik
ini.
“Tidak,
bukan seperti itu, aku rasa dia memang seorang dokter tapi kupikir dia memiliki
maksud yang lain. Entalah, sebaiknya kau waspada, Elena.”
Bersambung…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D