Pagi
ini, Elena bangun lebih pagi dari biasanya. Setelah mandi, ia mengintip Nico
yang masih tertidur di sofa. Mengingat seorang gadis—ralat, dua orang gadis
menyebutnya dengan panggilan ‘sayang’ membuatnya geram. Elena kembali ke kamar,
memilih pakaian apa yang akan ia kenakan untuk ke kantor Nico. Oh, Elena bahkan
tidak tahu apa nama dan di mana letak
kantornya.
Sebuah
terusan berwarna peach tanpa lengan
yang akan dipadukan dengan sebuah blazer sempat menarik perhatian Elena. Tapi
tidak, itu terlalu pendek. Kembali ia mencari-cari pakaian yang tepat dan
nyaman untuk digunakan. Elena mendesah frustasi melihat sekian banyak pakaian
di lemari yang sama sekali tidak menarik perhatian. Akhirnya dengan putus asa ia
meraih sebuah blue jeans yang dipadukan
dengan kemeja putih berkerah China.
Elena
membubuhkan bedak tipis dan lipstik yang terkesan natural, kemudian mengikat
rambutnya seperti ekor kuda. Elena mengernyit saat ada suara gaduh yang
tiba-tiba senyap. Ia segera berlari ke luar kamar untuk memastikan apa yang
terjadi.
“Nico!”
Teriak Elena saat melihat lelaki itu mengendap-endap untuk keluar dari rumah.
Ia melihat punggung Nico menegak, kemudian perlahan Nico berbalik untuk melihat
Elena.
“Kau
mau kabur?” Hardik Elena yang membuat Evan terkikik melihatnya.
“Tidak
Elena, aku hanya mau pulang untuk berganti pakaian. Nanti aku akan menjemputmu
lagi.” Ujar Nico santai.
“Tidak.
Kau tunggu sebentar, aku akan mengambil tasku.” Tatapan mengancam Elena membuat
Nico meneguk ludahnya. “Kak, awasi dia. Awas jika dia sampai kabur.” Elena
memperingatkan Evan, kemudian kembali ke kamarnya.
“Sialan! Matilah aku.” Gumam Nico yang
mendapat perhatian dari Evan.
“Ada
apa sebenarnya?” Tanya Evan penasaran. Jarang-jarang ia melihat si tuan besar
itu bernyali ciut seperti ini.
“Kemarin
Sherly menelpon secara ‘tidak sopan’.” Nico menegaskan suaranya pada dua kata
terakhir, “dan Elena akan membuat perhitungan.” Lanjut Nico yang ditanggapi
kekehan geli oleh calon kakak iparnya itu.
“Ayo,
aku sudah siap.” Teriak Elena dengan sepatu hitam bertumit tingginya yang
beradu dengan lantai.
“Selamat
berjuang, bro.” Evan menepuk pundak Nico
untuk memberinya semangat. Ia tahu betul bagaimana sifat posesif adiknya.
***
Elena
POV
Untuk
pertama kalinya aku menginjakkan kakiku di sebuah perusahaan yang sangat besar
ini. D’Royale Inc. Aku pernah lewat di depan perusahaan itu beberapa kali, tapi
aku tak terlalu memerhatikannya. Bangunan megah dengan eksterior yang indah,
membuatku berdecak kagum saat memerhatikannya dengan saksama. Ditambah lagi bos
tampan yang berjalan di sampingku, membuatku bangga bisa berjalan bersamanya.
Sesaat
aku memerhatikan Nico yang biasanya bergaya kasual tiba-tiba tampak maskulin
dalam balutan jas mahal dan sepatu mengkilatnya. Pantas saja sekretaris itu
berlaku genit padanya. Aku memerhatikan sekeliling perusahaan tersebut.
Karyawan tampak meluangkan waktunya untuk memandangi kami yang berjalan
beriringan.
Ha, lihat, aku adalah pasangan
bos kalian! Gumamku bangga dalam hati.
Lift
sampai di lantai tujuh, aku mengedarkan pandanganku untuk mencari sekretaris
genit itu.
“Dimana
perempuan itu?” Tanyaku mendesak.
“Siapa
maksudmu?” Jawab Nico berpura-pura hingga aku menghadiahkan tatapan jawab-aku-sekarang padanya. “Oke, oke…
ikuti aku.” Aku menghentikan langkahku. Membuat Nico juga berhenti beberapa
langkah di depanku.
“Kita
jaga jarak. Kau masuklah duluan.” Ya, ini strategi. Aku ingin melihat seperti
apa perempuan itu bersikap jika ia tak melihatku bersama dengan Nico. Nico
mengangguk, kemudian berjalan dengan tegang. Sebentar lagi akan kuberi
pelajaran pada perempuan itu!
“Selamat
pagi pak Nico.” Suara genit gadis itu menusuk telingaku. “Lama aku tidak
melihatmu.” Gadis itu menyangga dagunya dengan sebelah tangannya. Oke, darahku
sudah mulai mendidih, dan jika gadis itu berani macam-macam, aku akan
menghajarnya. Bisa kulihat Nico mencari-cariku, namun aku bersembunyi di suatu
tempat yang tak terjangkau olehnya.
“Ayo,
sebentar lagi pertemuannya, aku akan
menyiapkan semuanya.” Gadis itu mulai mengikuti Nico menuju ke ruangannya. Sialan! Aku menghentakkan langkahku,
ingin segera membuka pintu yang baru saja ditutup oleh gadis genit itu. Aku
tidak rela Nico berada satu ruangan dengannya.
Aku
membuka pintu dengan kasar, melihat sebelah tangan Nico yang digenggam oleh
gadis itu. Aku tak akan menyalahkan Nico untuk ini, posisinya lebih
menguntungkan jika gadis itu yang merayunya. Dan aku yakin Nico tak akan
macam-macam karena ia tahu aku bersamanya.
“Apa
yang kau lakukan dengan suamiku?”
Apa?
Suami kubilang? Ah biar saja, Nico juga pernah melakukannya padaku saat
kejadian pemerasan tempo hari. Gadis itu mengernyit, menatap Nico dengan penuh
tanya.
“Tidak
mungkin.” Gadis itu menggeleng pelan. Dan gelengannya semakin membuat darahku
mendidih.
“Kau…
kubilang lepaskan tanganmu darinya!” Aku menyentak tangan gadis itu, dan
mendorongnya untuk menjauh dari Nico.
“Elena…”
Aku mendengar Nico menyebut namaku dan entah mengapa bagiku itu seperti
pembelaan untuk sekretaris genitnya itu. Aku berbalik dan menatap tajam Nico,
lelaki itu hanya mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.
Ini belum selesai!
***
Nico
POV
Aku
duduk di kursi kebesaranku, aku memeriksa berkas-berkas yang sudah bertumpuk di
meja sambil sesekali menatap Elena yang berkacak pinggang mengintimidasi Sherly.
Mereka berdua sama-sama berkepala batu dan tak satupun mau mengalah.
“Dasar
genit, penggoda suami orang!” Hardik Elena menimpali kalimat pedas Sherly.
“Oh
ya? Aku bahkan tidak yakin kalian menikah. Nico tak pernah berkata apapun
padaku.” Sherly berbicara dengan nada sarkastis sambil melipat kedua tangannya
di depan dada.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat di wajah Sherly, membuatku terkesiap. Elena menarik
kerah kemeja Sherly dan mengacungkan telunjuknya tepat di wajah gadis itu. Aku
ragu harus melerai mereka atau membiarkan urusan para gadis itu berlanjut.
“Kau…”
“Jaga
bicaramu, Sherly. Kau tidak pantas berbicara seperti itu pada istri atasanmu.”
Akhirnya aku memilih bicara dari pada
muncul korban pembunuhan di kantorku. Kemudian esok harinya, ‘Sekretaris
D’Royale Inc ditemukan tewas di ruangan bosnya’ akan menjadi headline di setiap surat kabar. Oke, dan
kini aku percaya, Elena tak pernah main-main dengan kata-katanya, termasuk
menjadikanku sebagai makanan anjing liar.
“Nah,
kau dengar itu?” Ujar Elena dengan senyum kemenangan yang dihadiahi pelototan
oleh Sherly. “Sekarang sudah jelas bukan? Dan kau, jaga sikapmu.”
Kulihat
wajah Sherly berubah, mungkin campuran malu dan marah. Kemudian ia meninggalkan
kami begitu saja. Sungguh aku ingin meminta maaf pada gadis itu. Aku memang
selalu menghindarinya karena ia begitu agresif dan itu sangat menggangguku.
Namun setidaknya dengan kejadian ini, gadis itu akan memahami posisinya. Entah
apa yang dipikirkan ayahku dengan tetap mempekerjakan gadis ini, tentu saja
kecuali karena fakta bahwa dia cantik.
“Apa
dia memang seperti itu padamu?”
“Begitulah.
Dan terima kasih kau sudah mengakui dirimu sebagai istriku di depannya. Aku
akan secepatnya mengabulkan semua itu.” Aku mengecup pipinya, menghadirkan
semburat kemerahan di wajah cantiknya.
“Baiklah
istriku, aku harus menghadiri pertemuan dulu. Tunggu di sini.”
***
Elena
POV
Sebentar
lagi aku akan mati kebosanan di sini. Tak ada hal berarti yang bisa kulakukan.
Aku beranjak meninggalkan kantor Nico setelah mengirimkan pesan padanya bahwa
aku akan pulang. Aku berjalan malas, menyilangkan kakiku mengikuti garis
lantai. Semua mata tertuju padaku, namun aku tak peduli. Mungkin si sekretaris
genit itu sudah menyebarkan gosip ke seluruh perusahaan.
Aku
memilih taksi meski Nico memintaku untuk membawa mobilnya. Agendaku panjang.
Aku harus menjemput Nico jika aku menggunakan mobilnya dan aku tidak mau
acaraku terganggu. Aku ingin belanja, ke salon, membeli novel, lalu… ke rumah
sakit.
Rumah sakit.
Entah
mengapa aku penasaran dengan keadaan gadis itu. Bagaimanapun juga aku takut
kalau-kalau gadis itu bernasib sama dengan seseorang yang kutabrak beberapa
waktu yang lalu. Mungkin aku ingin sedikit bertanggung jawab pada gadis itu
sebagai bentuk tanggung jawabku pada orang yang meninggal karenaku.
Taksi
membawaku ke sebuah rumah sakit yang kudatangi kemarin. Aku melangkah menuju
resepsionis, menanyakan tentang sedikit informasi yang kuketahui tentang gadis
itu. Kemudian resepsionis menyebutkan ruangannya.
Jasmine 208.
Aku
mengintip sedikit pada kaca di sisi pintu yang memang difungsikan untuk itu.
Tak ada seorangpun yang ada di ruangannya. Aku memberanikan diri untuk masuk.
Aku mengintip nama pasien yang tertulis pada ranjang, Trisia Arissandy. Gadis
itu tampak kurus, wajah tirusnya begitu pucat. Perban melingkar pada tangan
kirinya. Selebihnya, semua tampak baik-baik saja.
“Trisia,
maafkan kami.” Gumamku pada gadis itu. Aku tahu ia tak mendengarku, dan aku
berharap dia memang tak mendengarku. Aku terus memandangi wajahnya, rasa
bersalah kembali bergelayut di hatiku. Aku tengah merapikan selimut yang
menutupi tubuhnya ketika seseorang berdehem di belakangku.
“Ada
yang bisa kubantu?” Suara maskulin itu membuatku menegang. Aku memutar tubuhku,
kemudian mataku bertemu dengan seorang lelaki yang mengenakan kemeja merah hati
yang memandangku dengan penuh pertanyaan.
“Maaf, aku hanya ingin menjenguknya.” Aku mengamati ekspresinya yang datar dan aku menelan ludahku dengan susah payah. “Maafkan kami atas kejadian kemarin. Em… bagaimana kondisinya?”
“Seperti
yang kau lihat.” Kata lelaki itu santai, kemudian berjalan melewati ranjang dan
berdiri di sisi lain. “Hanya retak di tangan kirinya dan luka pada bagian
belakang kepalanya. Sekarang dia tertidur karena obat.”
Aku
bisa melihatnya. Dan syukurlah gadis itu tidak separah yang kukira mengingat bagaimana
darah bercucuran di tempat kejadian kemarin. Tapi tunggu… kepala bagian
belakang? Apakah itu tidak berdampak pada ingatannya? Semacam hilang ingatan
seperti di drama seri picisan setiap sore yang selalu tidak sengaja kutonton.
“Apakah
itu tidak mempengaruhi ingatannya? Em… maksudku, seperti di drama-drama,
kecelakaan yang melibatkan kepala akan mempengaruhi… ingatannya.” Ucapku ragu.
Lelaki itu hanya menaikan sebelah alisnya, membuatnya terlihat… tampan. Oh,
tidak, apa aku baru saja terpesona pada lelaki selain Nico? Dia akan membunuhku
nanti!
“Kuharap
itu terjadi padanya. Tapi sayangnya tidak.” Kata lelaki itu yang membuatku
memelototkan mataku secara berlebihan untuknya. Apa-apaan ini? Dia ingin gadis
itu melupakannya?
“Kenapa
dia… em… mengapa kau berharap seperti itu? Bukankah kau… mencintainya? Ah,
maksudku kalian tampak seperti pasangan. Maaf jika aku salah.” Oh, Elena, apa
kau sedang mengusik pribadi mereka sekarang?
“Kau
melihat bahwa aku mencintainya?”
Tentu saja. Orang buta juga
bisa melihatnya! “Begitulah, terkadang orang lain
cukup mampu melihatnya dari caramu menatapnya.”
“Mungkin
begitu, tapi dia adalah kekasih adikku.” Aku mendadak menghentikan napasku saat
lelaki itu tersenyum kecut menatap gadis yang tengah terbaring itu. Elena bodoh! “Adikku mengalami
kecelakaan beberapa minggu yang lalu, dan dia tewas. Itu berdampak pada kondisi
psikologis Trisia. Saat aku lengah, dia akan mencoba melakukan aksi bunuh diri
seperti kemarin. Untuk itu aku tidak menyalahkan kalian, dan aku minta maaf.”
Kecelakaan
beberapa hari yang lalu? Meninggal? Tiba-tiba firasat buruk menghantuiku.
“Dimana
terjadinya kecelakaan itu?” Aku penasaran. Bahkan rasa penasaranku seolah lebih
besar dari alam semesta.
“Sunshine
Mall.”
Deg. Dua
kata tersebut seolah mampu membuatku mati berdiri. Bagaimana tidak? Aku tak
yakin ada kecelakaan lainnya di situ selama aku sedang dalam misi ‘kabur’. Dan
benarkah aku yang menjadi penyebab utama rusaknya kebahagiaan mereka?
“Kenapa?
Kau baik-baik saja?” Tanya lelaki itu membuyarkan lamunanku.
“Aku
baik-baik saja.” Jawabku mencoba tenang. “Baiklah, kurasa aku harus pergi. Aku
masih ada urusan.” Pamitku yang ditanggapi dengan senyuman oleh lelaki itu.
Lututku
terasa lemas begitu aku keluar dari ruangan itu. Aku berjalan tertatih dan
bertumpu pada dinding. Aku merasa seseorang telah menggodam kepalaku. Mengapa
aku harus menemui gadis itu?
***
Nico
POV
Berulang
kali aku mencoba menghubunginya. Tetapi ponselnya selalu berada di luar
jangkauan. Entah kemana perginya gadis itu. Aku sempat menghubungi Evan untuk
menanyakan keberadaan adiknya, tapi ia pun tak tahu dimana adiknya. Aku
mengusap kepalaku kesal.
Pertemuan
yang cukup panjang itu membuatku lelah, ditambah lagi dengan sekretaris cerewet
yang berulang kali menanyakan pertanyaan yang sama padaku, disusul dengan
hilangnya Elena. Baiklah, ini memang baru tiga jam sejak terakhir kali aku
bertemu Elena. Ini mungkin berlebihan, tapi aku merasa ada sesuatu yang
mengganjal hatiku.
Aku
memutuskan untuk mencari Elena. Tepat saat aku hendak meraih gagang pintu,
pintu itu terbuka dengan kasar sehingga mengenai tubuhku. Sial! Saat aku hendak menegur tersangka yang menyakitiku, seseorang itu justru melingkarkan tangannya di
leherku, memelukku dengan erat.
“Elena…”
“Nick,
aku sudah menghancurkan hidupnya.” Ujar Elena di tengah tangis sesegukannya.
Aku mengernyit tak mengerti. Kemudian aku membimbingnya menuju sofa dan
mendengarkan ceritanya. Siapa sangka kebetulan tak masuk akal ini akan
menghampiri kami? Mimpi buruk itu seolah kembali lagi menghantui Elena. Membuat
luka lamanya kembali terbuka.
Bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D