SEMUA orang
mengenakan pakaian serba putih. Kalila berkali-kali memicingkan matanya. Lampu
kelap-kelip yang berputar dari langit-langit memantul sempurna di atas warna
putih di sekelilingnya. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali ia datang
ke tempat seperti ini.
Acara ini bertajuk ‘Angels
of Heaven’ dengan dress code baju
putih. Bahkan Kalila bisa melihat beberapa orang tampak sangat menghayati
acara. Setidaknya, mata Kalila sudah menangkap tiga orang gadis yang mengenakan
sepasang sayap burung buatan berwarna putih di punggung mereka.
Musik menghentak di penjuru ruangan dengan penerangan
minim itu. Semua orang bergerak di tengah lantai dansa. Tenggelam dalam alunan
nada-nada yang menggoda. Sementara Kalila masih bertahan di tepi ruangan
bersama Erin yang memutuskan tidak ikut turun jika tidak bersama Kalila.
“Kau benar-benar cantik, Kal,” puji Erin sekali lagi di
dekat telinga Kalila. Walau merasa iri, tetapi Erin tidak bisa menyangkal
kenyataan itu. Kalila benar-benar tampak sempurna dalam balutan gaun
berpotongan sabrina yang menggantung
hingga bagian atas lututnya. Ditambah bando yang melingkari kepalanya
berhiaskan tiga helai bulu burung merpati. “Kau seperti bidadari turun dari
kahyangan. Sedangkan aku tampak seperti kuntilanak bangkit dari kubur.”
Erin masih bertanya-tanya kenapa kecantikkan seperti itu
harus disembunyikan di balik bayang-bayang topi. Seolah itu adalah aib
memalukan. Entah mengapa ia tiba-tiba ia teringat pada Valeria. Tapi sepertinya
bukan pilihan yang bijak untuk membahas gadis itu sekarang. Lagi pula Kalila
juga tidak memancing tema untuk membahas Valeria.
Kalila mengernyit mendengar gurauan Erin yang seolah
merasa tidak percaya diri. Padahal kata-katanya itu sama sekali tidak benar.
Gadis itu cantik dengan gaun berpotongan halter
yang menampilkan bahu dan lehernya. “Kau juga cantik, kok.”
Erin tersenyum lalu melirik jam tangannya yang didominasi
warna putih. Detik berikutnya, tanpa peringatan ia sudah menarik Kalila
bergabung di lantai dansa.
“Aku rasa aku tidak bisa,” ucap Kalila nyaris berteriak
di tengah musik. Tetapi Erin langsung menarik tangannya ketika ia hendak pergi.
Erin bergerak luwes selaras dengan irama sambil mendekat
pada Kalila. “Gerakkan saja tangan dan kakimu mengikuti musik.”
Sejujurnya, ini bukan pertama kalinya untuk Kalila. Ia
sudah sering datang ke pesta seperti ini. Tentu saja dengan bantuan seorang di
kelompoknya sehingga mereka bisa masuk walaupun belum cukup umur. Tetapi itu
sudah berlalu. Ia sudah berjanji menghindari acara semacam ini. Ah, andai saja
tadi ia tidak langsung menyetujui ajakan Erin tanpa interogasi yang detail.
Semua ini gara-gara Diego!
Tetapi sudah tidak ada celah untuk mundur. Lelaki itu
juga yang menyarankannya untuk menikmati waktu dengan teman perempuannya. Dan
itu adalah Erin. Mungkin ia juga harus membuka hati untuk dirinya sendiri.
Kapan terakhir kali ia melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri tanpa terikat
rasa bersalah? Mungkin ini adalah saat yang tepat. Lagi pula acara ini hanya
dipenuhi para gadis, jadi sepertinya tidak akan ada masalah.
Kalila memejamkan mata sejenak sebelum kemudian ia
mendapati dirinya tengah mengangkat lengan seperti yang lainnya. Ia memundurkan
kepala dan bergerak seirama alunan musik yang cepat dan merayu.
***
Erin terpukau sejenak menatap Kalila. Ia tidak menyangka
gadis itu bisa berdansa selincah itu. Kalila benar-benar tahu cara bergerak.
Gadis itu mengerti cara menebarkan pesona. Dan Erin menganggumi itu.
Diam-diam Erin bersyukur Elliot tidak melihat semua ini.
Jika tidak, mungkin lelaki itu juga akan terpesona dan benar-benar berpaling
darinya. Ia menelan salivanya yang terasa pahit saat membayangkan hal itu.
“Senang rasanya melihatmu akhirnya bisa rileks,” kata
Erin di dekat telinga Kalila.
Kalila ikut memajukan kepalanya dan membalas, “Terima
kasih sudah mengajakku.”
“Sebentar lagi pintu akan dibuka untuk para lelaki,”
lanjut Erin. Wajah gadis itu dihiasi humor ringan. “Lebih baik kita tetap
bersembunyi seperti ini. Atau kabur ke toilet jika ada yang menganggu.”
“Jadi, ini bukan acara khusus perempu—“
Kata-kata Kalila terpotong saat seseorang membentur
punggungnya. Hingga ia terdorong maju ke arah Erin. Erin sempat menghardik
sekilas pada pelaku di belakang Kalila. Tetapi orang itu langsung menghambur
dalam kerumunan.
“Biarkan saja,” cegah Kalila saat melihat Erin seperti
hendak melompat mencari pelakunya. “Aku tidak apa-apa. Lebih baik kita
bersenang-senang.”
“Tapi gaunmu jadi kotor,” ucap Erin sambil berdecak kesal
dari balik punggung Kalila. “Tunggu di sini, ya. Aku mau ke loker penitipan.”
“Hei, Erin!” seru Kalila. Tetapi seolah tidak mendengar
atau memang sengaja tidak peduli, Erin terus berjalan menjauh.
Ck. Kalila
merasa kesal karena Erin meninggalkannya begitu saja. Seperti inikah yang disebut
‘teman’? Sementara sekeliling Kalila semakin disesaki dengan orang-orang yang
menari penuh kebebasan. Mereka semua mengimpit dan membuatnya terempas tanpa
pertahanan. Hingga tiba-tiba saja ia merasa tubuhnya tertarik ke belakang.
Sebelum menyadari apa yang terjadi, Kalila sudah
merasakan lengan seseorang melingkar di pinggangnya. Aroma alkohol samar-samar
tercium saat orang itu mengendus lekukan antara leher dan bahu Kalila.
“Kau harus membayar kerugianku, Elena,” bisik lelaki itu
yang langsung mengundang ekspresi jijik di wajah Kalila.
Walaupun kaget, tetapi Kalila bergerak cepat membebaskan
diri. Ia berbalik dan bertatapan langsung dengan seorang lelaki yang menatapnya
bingung sekaligus penuh minat.
***
Jonathan Adam menyesap wiskinya lalu mengernyit samar
merasakan minuman itu seperti menyengat rongga mulutnya. Lelaki itu duduk di
bar kecil yang ada di luar ruangan tempat berlangsungnya acara. Ia dan beberapa
lelaki lainnya harus bersabar menunggu untuk dipersilakan masuk dan bertemu
sekumpulan bidadari di dalam sana.
Lelaki itu benar-benar membutuhkan pesta ini.
Bagaimanapun ia harus segera melupakan ekspresi jijik gadis yang menolak
sentuhannya. Gadis yang sudah menghacurkan perabotannya hanya karena memergokinya
sedang bersama gadis lain. Seharusnya gadis itu maklum atau malah bangga
memiliki kekasih seperti dirinya. Sempurna dan dipuja para perempuan.
Mengapa pula gadis itu harus bersikap berlebihan? Bahkan
menatap lelaki setampan dirinya seolah ia adalah seekor siput yang menjijikan.
Bahkan sekarang gadis itu menghilang ditelan
bumi. Gadis itu harus membayar semua kerugian yang dialaminya. Gadis
bernama Elena itu. Mengingat nama itu membuat ia sedikit membanting gelasnya ke
atas meja bar.
Saat itulah tampak tiga orang gadis berpakaian serba
putih menghampirinya. Salah seorang dari mereka langsung menarik perhatiannya.
Gadis dengan rambut dicat pirang.
“Jonathan Adam.” Gadis itu menyebut namanya. Padahal ia
sama sekali tidak merasa kenal dengan mereka. Tetapi itu wajar saja terjadi
untuk lelaki sepertinya.
“Hello, Angels,” sapa Jonathan dengan senyum
penuh rayuan. “Kenapa kalian tidak berada di dalam bersama bidadari lainnya?”
“Apa kau bersama
pasanganmu malam ini?”
“Tentu saja. Dia sudah ada di dalam. Kalian bisa
menemaniku di acara lainnya.”
“Sayang sekali kalau begitu,” ucap Lory dengan ekspresi
kecewa. “Padahal ada seorang gadis yang ingin sekali menemanimu.”
Kening Jonathan berkerut sangsi. “Siapa?”
“Untuk itu... dia memintamu untuk menemuinya di dalam.”
Jonathan tersenyum miring. “Kenapa tidak dia saja yang
mendatangiku?”
“Entahlah,” ujar Jenna yang berdiri di samping Lory.
Tubuhnya yang kurus tampak pas dalam gaun bermodel kemben dengan rok yang mekar
seperti mahkota bunga yang diletakkan terbalik. “Mungkin karena dia tipikal
gadis yang suka jual mahal.”
“Sorry, Angels.” Jonathan menggelengkan kepala.
“Tapi aku tidak tertarik.”
“Kenapa? Kau merasa tidak mampu menaklukan gadis ini?”
Kali ini Lory kembali bersuara. Dagunya terangkat dengan angkuh. Membuat harga
diri Jonathan sedikit terusik.
“Yang benar saja!” bantah Jonathan cepat lantas terkekeh
sinis. “Memang siapa gadis ini?”
“Kalau tidak salah namanya... Elena,” tambah Sharon. Ia
beruntung karena mengetahui informasi penting itu dari seorang temannya.
“Rambutnya pendek di atas bahu.”
Mendengar nama itu seketika membakar semangat Jonathan.
Tunggu—bukankah rambut Elena panjang? Atau gadis itu sengaja memotong rambutnya
sebagai bentuk penyesalan?
“Di mana dia?” tanya Jonathan lantas meneguk habis
wiskinya.
“Mudah saja mengenalinya di sana. Gadis itu mengenakan
gaun bernoda wine di punggungnya.”
Lory menyebutkan ciri-ciri yang dimaksud.
Begitu pintu dibuka untuk para lelaki, Jonathan berjalan
dengan langkah membara ke dalam ruangan acara. Benar saja. Dengan mudah ia
menemukan gadis yang dimaksud.
Gadis itu berjalan sedikit sempoyongan berusaha menembus
kerumunan. Tumpahan wine meninggalkan
motif di bagian punggung gaunnya. Tanpa menunggu lama, Jonathan langsung
bergerak. Ia menarik gadis itu dalam pelukannya diikuti bisikan sensual.
Tetapi apa yang didapatnya malah sebuah penolakkan kasar.
Gadis itu menepis tangannya lalu bergerak menghadap padanya. Tanpa rasa takut,
gadis itu menatapnya tajam dengan sepasang mata cokelat. Saat itulah Jonathan
baru menyadari bahwa itu bukan gadis yang dicarinya.
“Hei, kau bukan Elena! Dasar penipu!” seru Jonathan
dengan kening mengernyit. Tetapi ia tetap mendekat pada gadis yang baru saja
terlepas dari dekapannya. Ia melangkah tegap seolah bangga dengan tubuh atletis
di balik kaus putih polosnya. “Tapi tidak masalah. Kau juga cantik.”
“Menjauh dariku!”
Bukannya gentar, Jonathan malah bersikap ramah dengan
mengulurkan tangannya. Seulas senyum hadir di wajahnya. Jenis senyum yang
sanggup membuat para gadis meleleh bahagia.
“Namaku Jonathan Adam. Kau bisa memanggilku ‘Sweetheart’.”
Tetapi tidak dengan gadis di hadapannya. Gadis itu malah membeku
di tempat. Sementara tangannya menampik tangan Jonathan yang terulur padanya.
“Dalam mimpimu!” teriak gadis itu sambil langsung berbalik hendak menjauh.
Tanpa membuang waktu atas harga dirinya yang terinjak,
Jonathan bergerak cepat menarik rambut gadis itu. Detik berikutnya, tengkuk
gadis itu sudah berada dalam cengkeramannya.
“Bersikaplah yang manis, Sweetheart,” bisik Jonathan dengan geram. Terlihat jelas rahang
lelaki itu yang terkatup karena tersinggung. “Aku mulai muak dengan kegilaan
kalian akhir-akhir ini. Bersikaplah seperti perempuan. Memohonlah untuk
cintaku.”
Baru saja gadis itu berniat melawan, saat tiba-tiba
seseorang membentak di dekat telinga Jonathan. Bahkan orang itu menarik paksa
cengkeramannya.
“Lepaskan dia!”
***
Kalila menghela napas lega saat tengkuknya terbebas dari
cengkeraman lelaki itu. Ia menoleh pada Jonathan yang terlihat kesal. Seseorang
sudah menginterupsi sikap kasar lelaki itu sekaligus menyelamatkan Kalila.
Tidak seperti keramaian di sekitarnya yang bersikap acuh tidak acuh. Padahal
semua itu terjadi di depan mata mereka. Entah tidak ingin ikut campur atau
memang terlalu menikmati acara.
“Hei, hei. Tidak perlu cemburu,” ucap Jonathan lemah
lembut seolah sedang menenangkan singa yang mengamuk.
“Kau menyakitinya, keparat!”
“Tidak pantas seorang gadis berkata seperti itu.”
Jonathan masih melanjutkan sandiwara yang membuat telinga Kalila muak. “Kau mau
menunggu antrean, Sweetheart? Aku
tidak bisa mencium tiga orang gadis sekaligus malam ini. Hanya satu orang yang
akan mendapat kecupanku saat Angel’s Kiss
tengah malam nanti.”
Tanpa peduli pada omong kosong yang terus meluncur dari
bibir lelaki itu, Kalila lantas bergerak menyela di antara seteru itu. “Ayo
kita pergi, Erin!” ujar Kalila sambil menarik tangan penyelamatnya.
Sayangnya, Jonathan bergerak cepat menangkap tangan
Kalila. Ia menarik gadis itu hingga berhadapan dengannya. “Urusan kita belum
selesai, Sweetheart.”
Erin bergerak maju dan menyentak paksa cekalan tangan
Jonathan. Dengan pandangan garang yang masih terkunci pada lelaki di
hadapannya, ia mendesis bernada perintah, “Pergi, Kal!”
Tetapi Kalila bergeming. Ia tidak ingin meninggalkan Erin
menghadapi lelaki seperti ini sendirian.
“Pergi ke toilet, nanti aku akan menyusul,” bisik Erin
begitu menyadari sikap keras kepala Kalila. Ia mendukung kata-katanya dengan
mendorong punggung Kalila menjauh. Cepat-cepat ia mengadang Jonathan yang
hendak maju mengejar Kalila.
“Kenapa kau menyakitinya?” tanya Erin tajam.
“Bukan urusanmu! Minggir!”
“Kau seharusnya merayunya, bajingan!” balas Erin sengit.
“Apa kau sudah kehilangan kemampuanmu memikat perempuan?”
Mata Jonathan melebar terluka. Harga dirinya benar-benar
tercoreng malam ini. Berani-beraninya mereka—para jalang ini—meremehkan
dirinya. “Tutup mulutmu, Jalang!”
“Lihat? Kau bahkan tidak bisa memperlakukanku dengan
baik.”
Seperti dihujani sebaskom es batu, Jonathan seolah
tersadar. Benar. Bukan seperti ini seharusnya. Para gadis selalu berlutut
padanya karena sikap manisnya. Kacau! Semua kacau! Ini pasti gara-gara Elena si
perempuan sial.
“Sekarang dekati dia,” ujar Erin sambil melipat tangan di
depan dada. “Dan bersikaplah seperti seorang gentleman.”
Jonathan tersenyum miring. Alisnya terangkat dengan
antusias. “Aku memang akan melakukannya.”
Erin tersenyum memandang Jonathan yang berjalan mengikuti
arah kepergian Kalila. Selesai sudah tugasnya malam ini. Kaki Erin melangkah
pongah ke arah bar. Ia duduk menyilangkan kaki di kursi tinggi berlapis kulit
imitasi berwarna hitam. Sepertinya perayaan kecil dirasa perlu bagi
pencapaiannya.
“Angel Face,”
ucapnya pada bartender sambil mengacungkan jari telunjuknya.
Seharusnya setelah malam ini, Kalila merasa jera karena
berusaha menjauhkan Elliot darinya. Jika tidak berakhir dalam jeratan Jonathan
Adam, maka ia akan berakhir di tangan Lory dan teman-temannya yang sudah
menunggu di toilet. Yang mana saja tidak menjadi masalah bagi Erin.
Erin mengangguk ringan saat bartender menghadirkan
minuman ke hadapannya. Ia mengulas senyum tipis sebelum menyesap campuran gin, apricot,
dan calvados dalam gelasnya. Gadis
itu menghela napas sambil membayangkan Elliot ada di sampingnya.
***
Kalila berjalan cepat menyeruak di antara kerumunan. Saat
menengok ke belakang, ia melihat Erin masih berdebat dengan lelaki itu. Ia
tidak bisa melihat wajah Erin karena gadis itu memunggunginya. Tetapi ia bisa
melihat jelas ekspresi lelaki itu mengeras di bawah cahaya temaram. Entah apa
yang sudah dikatakan Erin.
Pandangan Kalila kembali ke depan. Ia harus memerhatikan
langkahnya. Sebaiknya ia menunggu Erin di toilet seperti yang diminta gadis
itu. Lagipula lelaki yang tadi tidak akan mengejar mereka ke dalam toilet
wanita.
Sekali lagi, Kalila menoleh ke belakang begitu ia berhasil
keluar dari kerumunan. Tetapi apa yang dilihatnya bukanlah Erin melainkan
lelaki itu mengikutinya. Kalila berjalan lebih cepat melewati deretan sofa hitam
yang sudah dipenuhi senda gurau. Beberapa pasangan bahkan seperti tidak bisa
menahan gairah dan mulai berciuman.
Sepatu hak tinggi yang dikenakan Kalila menganggu
langkahnya. Pergelangan kakinya terasa nyeri setelah kakinya salah melangkah.
Ia bergerak terpincang-pincang sambil berusaha menemukan arah yang benar. Ah,
di saat seperti ini ia benar-benar merindukan chukka boots-nya.
Hingga akhirnya, Kalila menabrak seseorang. Ia mengangkat
kepala dan bernapas lega di tengah aroma alkohol yang menguar di udara. Wajah
itu begitu menenangkan di tengah kegelapan yang disela lampu warna-warni.
Sementara Jonathan seperti mendapat kesempatan begitu
melihat Kalila berhenti berjalan. Tanpa menunggu, ia langsung menarik lengan
gadis itu ke arahnya. Kali ini, ia tidak akan membiarkan gadis itu bersikap
jual mahal. Padahal gadis itu sendiri yang meminta untuk bertemu dengannya.
Bahkan menggunakan nama Elena untuk memancingnya.
Lagi-lagi gangguan datang. Jonathan berdecak kesal saat
seseorang menarik paksa gadis itu hingga menjauh dari hadapannya. Bahkan orang
itu bersikap sok pahlawan dengan memosisikan gadis itu di belakang punggungnya.
“Hei, cari pelacurmu sendiri, Jagoan!” umpat Jonathan sambil
maju menantang. “Dia milikku!”
Dalam gerakan cepat, orang itu malah menangkap lengan
Jonathan dan memuntirnya ke belakang.
Terkesiap dengan perlawanan yang tidak diduganya,
Jonathan mencoba mencari cara lain. “Aku tidak suka memakai kekerasan seperti
ini, Kawan. Tapi gadis itu yang memintaku menemuinya tapi dia malah bersikap
sok jual mahal.”
“Itu tidak benar!” sanggah Kalila. Apa lelaki ini
benar-benar mabuk hingga bisa mengarang cerita seperti itu?
“Jangan menipuku, Jalang!” umpat Jonathan lagi. Kali ini
ia berusaha meronta mencoba meraih Kalila. Tetapi yang didapatnya untuk itu
malah lebih buruk. Cengkeraman di tangannya malah semakin kuat hingga
membuatnya mengaduh.
“Dengar, dia bukan pelacur dan bukan perempuan jalang,”
bisik orang itu tepat di telinga Jonathan. Nadanya sarat akan ancaman yang
tidak main-main. “Begitu kulepaskan tanganmu, enyahlah dari hadapanku.”
Orang itu melepaskan Jonathan seperti janjinya. Dan
dengan bijaksana Jonathan memilih menjauh sebelum ada orang lain yang akan
mempermalukannya malam ini. Ia berjalan dengan umpatan yang masih melompat dari
bibirnya.
Kalila menghela napas lega. Ia sama sekali tidak
menyangka akan mengalami semua ini. Mungkin benar tempat seperti ini sudah
tidak cocok untuknya. Kali ini ia berjanji tidak akan pernah datang ke acara
serupa. Siapa pun yang mengundangnya.
Tiba-tiba seseorang menyampirkan jas berwarna putih di
bahu Kalila, membuyarkan lamunannya. Potongan jas itu tampak maskulin. Jauh
berbeda dengan jas putih para dokter. Dan jas itu juga masih mengandung
kehangatan tubuh pemiliknya.
“Kau baik-baik saja, Lil Princess?” tanya orang itu khawatir.
Kalila menggeleng. “Terima kasih.”
***
Cahaya berpijar dari lampu-lampu gedung yang menjulang
tinggi. Seolah ingin menyaingi gemerlap bintang di langit. Volume kendaraan
yang memenuhi jalan belum juga surut padahal sudah hampir tengah malam.
Tampaknya semua orang benar-benar ingin menghabiskan malam ini seolah tidak ada
hari esok.
“Apa tidak apa-apa kita pergi tanpa berpamitan pada
temanmu?” tanya Diego tanpa mengalihkan pandangan dari jalan di depannya.
“Tidak apa-apa,” jawab Kalila lantas memasukkan ponselnya
ke dalam tas pestanya. “Aku sudah mengirim SMS padanya.”
Bibir Diego menarik seringai yang tidak bisa
disembunyikannya. “Apa itu berarti kita akan menghabiskan malam ini berdua
saja?” tanyanya dengan nada dibuat sensual.
Mata Kalila memelotot lebar. Ia melayangkan pukulan ke
bahu Diego. “Jangan mengucapkan sesuatu seolah kita akan melakukan hal tidak
senonoh!”
Alih-alih mengaduh atau memohon ampun, lelaki itu malah tergelak.
“Hei, masa seperti itu sikapmu pada pahlawan penolongmu?”
Bibir Kalila mencebik mendengar pertanyaan retorik itu. Ia
menyilangkan tangan di depan dada dan melempar pandangan ke luar jendela mobil.
Sementara suara tawa Diego berangsur mereda dan lenyap dari udara.
“Omong-omong, kenapa tadi kau lari?” tanya Diego berusaha
mengganti topik pembicaraan sebelum gondok Kalila berubah sebesar semangka.
“Apa maksudmu?”
“Kalila yang kukenal pasti akan menghadapi orang seperti
itu.” Diego melirik sekilas pada Kalila yang tersenyum tipis. “Bukan lari menghindar
seperti tadi.”
Kalila tertawa kecil seperti menertawakan diri sendiri.
“Jika meladeni orang sinting seperti itu, bisa- bisa aku ikut sinting. Jadi,
lebih baik aku menghindari konflik berkepanjangan.”
Mata Diego melebar takjub. Tidak percaya dengan apa yang
didengarnya. Dan Kalila merasa tidak nyaman ditatap seperti itu. Seolah ia baru
saja mengakui kebenaran bahwa ia adalah alien
dari planet lain.
“Kau sendiri kenapa tiba-tiba muncul di sana? Apa kau...
sengaja mengikutiku?” dakwa Kalila sambil memicingkan mata penuh kecurigaan.
“Yang benar saja!” elak Diego lantas terbahak. “Aku pergi
ke acara itu bersama teman-teman kuliahku.”
Alis Kalila terangkat sangsi. “Kalau kau memang sudah ada
janji, kenapa tadi siang kau mengajakku makan malam?”
“Kau tahu, aku rela membatalkan janji yang lain demi kau,”
ujar Diego lantas tersenyum. “Walaupun sialnya, lagi-lagi aku ditabrak oleh
gadis yang sama.”
“Salahmu sendiri kenapa selalu muncul di saat seperti
itu.”
“Padahal aku lebih berharap mendapat Angel’s Kiss darimu,” gurau Diego dengan senyum usil.
“Dalam mimpimu!”
“Aku baru bisa bermimpi saat aku sedang tidur.” Diego
masih melanjutkan candanya sambil menginjak pedal rem saat lampu lalu lintas
berubah merah. “Kau mau menemaniku?”
“Ayolah!” Kalila mendorong ringan bahu Diego penuh
kekesalan. “Harusnya kau membantuku menikmati malam yang sudah buruk ini.”
“Memang malam seperti apa yang ingin kau nikmati bersamaku?”
tanya Diego dengan seringai yang merahasiakan ribuan makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D