KALILA melangkah memasuki area kampus dengan earphone yang menyumbat telinga, melantunkan
musik-musik penuh semangat. Beberapa kali ia hampir tidak kuasa menahan diri
untuk tidak menggerakkan tubuhnya. Ia ingin menarikan suasana hatinya yang saat
ini sangat bertolak belakang dengan langit mendung di atas sana.
Mungkin saja itu adalah efek dari telepon dari Diego yang
menderingkan ponselnya pagi ini. Lelaki itu mengajaknya pergi makan siang lagi
hari ini. Kalila sudah mencoba menolak. Tetapi lelaki itu lagi-lagi
mengingatkan janji Kalila untuk melakukan-apa-pun-demi-menebus-perasaan-bersalahnya.
Jadi, yah, apa oleh buat. Ia tidak
punya pilihan lain selain setuju, kan?
“Pagi, Kal,” sapa Erin sambil menyejajarkan langkahnya
dengan Kalila.
“Pagi,” Kalila balas menyapa sambil melepas earphone-nya. Senyum lebar terlihat
jelas di wajahnya. Tidak ada bayang-bayang topi yang menutupi sebagian
wajahnya. Hari ini ia memilih untuk mengenakan sweter rajutan bertudung untuk
membungkus sebagian kepalanya. “Oh, ya, sekali lagi aku minta maaf karena
pulang lebih dulu. Lelaki itu tidak melakukan hal buruk padamu, kan?”
Erin bisa melihat raut sesal dan khawatir berkelebat di
sepasang mata cokelat terang itu. Tetapi ia tidak peduli dan hanya menggeleng.
“Dia hanya semacam bajingan pengecut,” katanya sambil tertawa kecil.
“Syukurlah,” ucap Kalila sambil ikut tertawa. Ia lega
semuanya baik-baik saja. Bagaimanapun, gadis ini sudah melindunginya kemarin.
Jadi, seharusnya bisa dipastikan Erin juga bisa menjaga dirinya sendiri. “Kau
juga ada kuliah pagi?”
Erin menggeleng. Anting dengan hiasan berbentuk bintang
yang menyembul keluar dari sela-sela rambutnya yang dicat cokelat ikut
bergoyang. “Aku juga mau ke kelasmu dan mengantarkan ini untuk Elliot,” jawabnya
sambil mengangkat sebuah tas kecil berwarna biru serupa rok biku-biku yang
dikenakan gadis itu.
Kalila tersenyum senang hingga menyentuh matanya. “Wah,
kau pacar yang sangat perhatian rupanya.”
Alis Erin terangkat. Apa
Kalila bermaksud menyindirnya? Hubungannya dengan Elliot terus saja jalan
di tempat karena gadis ini tidak menyukai kedekatan mereka. Dasar hipokrit!
“Pagi, teman-teman,” sapa seseorang yang bergabung
bersama mereka saat hendak menaiki tangga menuju lantai dua.
“Pagi, Val,” balas Kalila dan Erin nyaris bersamaan. Mereka
menoleh dan mendapati Valeria tersenyum ramah. Sebuah jepit berhiaskan bunga
krisan bertengger di kepalanya.
Erin bersiul samar. “Rambut baru, Val?”
Valeria tampak tersipu sambil memainkan ujung rambut
berpotongan bob-nya. “Iya. Aku
memotongnya sedikit. Cocok atau tidak?”
“Cocok, cocok. Kau terlihat lebih segar,” puji Erin lantas menepuk bahu Kalila yang berjalan di
tengah. “Iya, kan, Kal?”
Kalila mengerjap sekali, melenyapkan kerutan di antara
alisnya. Ia mengangguk setuju pada pendapat Erin. Ia masih tertegun pada
sesuatu yang mengusiknya. Hanya perasaannya saja atau parka biru dongker yang
dikenakan Valeria memang mirip dengan miliknya yang berwarna terakota?
Valeria tersenyum simpul. “Sudah lama, ya, kita tidak
pernah berkumpul bertiga seperti ini?”
Kepala Erin menganggut-anggut setuju. “Benar, benar. Apa
kita perlu menjadwalkan makan siang bertiga hari ini?”
“Ide bagus,” sahut Valeria setuju.
“Oh, sepertinya aku tidak bisa. Aku sudah telanjur
membuat janji lain,” tolak Kalila sambil meringis masam.
“Wah, sayang sekali,” desah Valeria kecewa.
“Tenang, tenang. Kita bisa pergi lain kali,” ucap Erin lantas
tertawa menenangkan. “Kau ada jadwal kuliah pagi juga, Val?”
“Eh? Oh, tidak. Aku akan ke... perpustakaan,” jawab
Valeria sedikit tergugu.
Kening Kalila mengernyit. Ia melihat jam tangannya yang menunjukkan
pukul tujuh tepat. Tinggal sepuluh menit lagi sebelum kuliah dimulai. “Tapi
perpustakaan masih tutup jam segini.”
“T-tidak apa-apa, aku akan menunggu,” jawab Valeria
lantas tersenyum rikuh. Kemudian punggungnya menegak ketika teringat sesuatu
dan langsung merogoh tasnya. “Kal, aku ingin mengembalikan ini.”
Kalila menatap tangan Valeria yang terulur padanya.
Tangan itu menggenggam topi yang sejenis dengan topi yang biasa dikenakan
pemain bisbol. Ia menerima kembali benda itu. Topi miliknya yang pernah dibawa
oleh Valeria tempo hari.
“Terima kasih, Val,” ujar Kalila sambil tersenyum.
Valeria menatap heran hingga kedua alisnya terangkat. “Kau
tidak marah padaku, Kal?”
Kening Kalila berkerut bingung. Ia menoleh sekilas
meminta petunjuk dari Erin. Tetapi gadis itu hanya mengangkat bahu dan
menggeleng. “Kenapa harus marah?” tanyanya kemudian.
“Yah, kupikir
kau akan marah karena aku merebut topimu waktu itu,” jawab Valeria lirih.
Kalila menepuk akrab bahu Valeria seraya tertawa kecil.
“Tidak apa-apa. Lagi pula kau sudah mengembalikannya,” tukas Kalila lantas
mengangkat topinya. “Sudah, ya. Aku ke kelas dulu.”
Valeria hanya mengangguk patuh. Ia menatap Kalila dan
Erin yang berjalan menjauh ke arah koridor yang berlawan arah dengan tujuannya.
Sementara jemarinya perlahan bergerak dan menyentuh bahunya yang tadi ditepuk
Kalila.
***
Elliot sedang berdiri di dekat jendela kelas yang
mengarah langsung pada taman kampus di bawah sana. Ia memerhatikan suasana yang
cukup lengang pagi ini. Titik-titik embun yang menggantung pada dedaunan membantu
ia untuk bernapas sedikit lebih lega. Lalu, seolah memiliki radar di atas
kepalanya, ia menoleh bersamaan dengan Kalila yang memasuki kelas.
Elliot berputar untuk langsung menyambut Kalila. Tidak
lupa, ia memasang senyum terbaiknya pagi ini. “Pagi, Kal.”
“Pagi,” sahut Kalila seraya membalas senyum Elliot.
“Itu... aku sudah menyiapkan tempat duduk untukmu,” kata
Elliot sambil menunjuk kursi di baris ketiga yang selalu menjadi posisi
teraman. Tidak terlalu di belakang hingga dikira bermalas-malasan, tetapi juga
tidak terlalu di depan hingga harus selalu menjadi sasaran dosen.
Kalila melirik sekilas pada tempat yang ditunjuk Elliot. Tas
lelaki itu tergeletak di atas salah satu meja yang bersisian.
“Terima kasih, tapi aku ingin duduk di depan hari ini,”
elak Kalila lantas menempati kursi yang paling dekat dengan meja dosen. “Omong-omong,
ada yang menunggumu di luar.”
Kening Elliot mengernyit. “Siapa?”
“Temui saja langsung,” jawab Kalila sambil menggerakkan
dagu untuk menunjuk ke arah pintu kelas yang terbuka. Bibir gadis itu mengulum
senyum simpul.
Elliot menurut. Ia melangkahkan kaki ke luar kelas dan
langsung mendapati Erin yang bersandar pada dinding koridor. Gadis itu
tersenyum sambil melambaikan tangan padanya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Elliot begitu
mereka berdiri berhadapan.
Erin mengangkat tas berisi kotak bekal yang dibawanya.
“Aku ingin mengantarkan sarapan untukmu.”
Elliot menatap tas itu lantas tersipu, mengundang senyum
lebar di wajah Erin. Hingga tiba-tiba saja lelaki itu menarik lengannya menuju
ujung koridor dan berbelok pada tangga darurat.
“Kau tadi datang bersama Kal?”
Erin mengangguk membenarkan fakta yang ditanyakan Elliot.
“Sudah kubilang, kan, jangan terlihat terlalu dekat
denganku kalau ada dia—”
“Memang kenapa?” potong Erin cepat. “Apa pentingnya sih
perasaan Kal untukmu?”
Elliot menghela napas lalu mengembuskannya kuat. “Bukan
perasaan Kal yang kupikirkan, tapi perasaanmu. Aku tidak ingin merusak
pertemanan kalian.”
Mata Erin memicing sangsi mendengar suara Elliot yang
hanya terdengar seperti basa-basi. “Kau bohong!” dakwa Erin sambil menatap
kedua mata yang dipujanya itu. “Kal bukan temanku. Dan sebaiknya kau mengaku
saja jika memang menyukai Kal. Jangan berputar-putar seperti ini.”
“Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?”
“Kau menyukai Kal. Itu yang kulihat selama ini.” Erin
menyilangkan tangannya di depan dada. Ia melempar pandangannya sejenak ke arah
lain sebelum kembali menatap kedua mata Elliot. “Tapi sebaiknya kau menyerah.
Kal sudah punya pacar.”
Alis Elliot terangkat, merasa tertarik dengan informasi
yang baru didengarnya. “Pacar? Siapa?” desisnya sambil berharap Erin sedang
berbohong. Karena jika itu memang benar, berarti kesempatannya untuk mendekati
Kalila akan tertutup.
Erin menunduk ragu menatap kukunya yang dicat serupa
warna langit. Mungkin bisa dikatakan ini adalah pengkhianatannya kepada Lory.
Tetapi mulut Erin sudah tidak bisa dihentikan. Lagi pula mereka berdua memang tidak
pernah bersumpah setia sehidup semati.
“Siapa, Erin?” tanya Elliot lagi karena gadis di
hadapannya masih bergeming.
Tidak ada jalan lain. Ini satu-satunya bidak yang harus
digerakkan Erin untuk membuat Elliot menyerah dan berpaling padanya. Ia akan
menyebutkan nama cecunguk yang dicintai Lory itu kepada Elliot.
“Diego. Namanya Diego.”
***
Tidak semudah itu Elliot memercayai kata-kata Erin.
Maka, setelah kuliah pertama selesai, Elliot memilih
untuk tidak terlalu menempel pada Kalila. Ia membiarkan Kalila bergerak bebas.
Tetapi ia tetap berada cukup dekat untuk memerhatikan gadis itu.
Tidak ada yang istimewa dari aktivitas Kalila. Ia pergi
membeli kopi, meminjam buku di perpustakaan, dan duduk menghabiskan waktu di
taman kampus tanpa lelaki mana pun yang bisa dicurigai sebagai pacarnya. Gadis
itu juga menjawab panggilan di ponselnya dengan wajar. Tanpa kata-kata mesra
atau sikap sok manis yang memuakkan.
Hingga tiba-tiba saja Kalila bangkit dari kursi taman dan
berjalan menuju sebuah mobil hitam yang baru saja berhenti. Seorang lelaki bertubuh
tegap keluar dari mobil itu lalu saling melempar senyum dengan Kalila. Lelaki
itu bergerak memutar dan membukakan pintu untuk Kalila.
Tanpa menunggu lama, Elliot bergerak dari balik pintu
kaca gelap yang menjadi persembunyiannya. Ia bergegas menuju mobilnya di tempat
parkir, berniat mengikuti mobil itu.
Ternyata lelaki itu tidak membawa Kalila pergi terlalu
jauh. Mobil sedan sport itu berhenti di area parkir sebuah
kafe bernuansa pelangi. Elliot memilih untuk menghentikan mobil di seberang
jalan untuk memerhatikan. Kalila dan lelaki itu memilih duduk di teras kafe
yang diteduhkan kanopi warna-warni. Dari dalam mobilnya, Elliot bisa melihat
mereka berdua tampak asyik berbincang dan tertawa.
Elliot mencengkeram roda kemudinya untuk menyalurkan
emosi negatifnya. Bagaimana bisa ia kecolongan seperti ini? Ini tidak boleh
dibiarkan!
Sekali lagi, Elliot melempar tatapannya pada Kalila yang
tersenyum pada pramusaji yang mengantarkan buku menu ke meja mereka. Kemudian
ia memutar kuncinya dengan kasar lalu menjalankan mobil yang mesinnya meraung.
***
Bunyi decitan mobil yang lewat di depan kafe langsung
menarik perhatian para pengunjung. Termasuk Diego dan Kalila. Gadis itu
menggeleng-gelengkan kepala, menyayangkan sikap ugal-ugalan pengemudi hatchback berwarna silver stone itu. Seharusnya orang-orang menjalani tes psikologi
terlebih dahulu sebelum mendapat surat izin mengemudi.
“Apa kau kenal orang itu, Lil Princess?”
“Siapa?” Kalila balas bertanya tanpa mengalihkan
perhatian dari buku menu.
“Lelaki yang mengendarai mobil tadi.”
Kening Kalila mengernyit saat benaknya mencari sosok yang
familier dengan mobil itu dalam benaknya. Tetapi kemudian, ia menggeleng untuk
menjawab Diego.
“Memang kau tidak pernah melihat mobil seperti itu di
area parkir fakultasmu?”
“Entahlah.” Kalila menggidikkan bahu. “Aku tidak pernah
naik mobil ke kampus. Jadi, jarang bertemu seseorang di area parkir. Memang
kenapa, sih?”
“Tidak apa-apa.” Diego menggeleng. “Kukira dia temanmu.
Karena cara menyetirnya sama buruknya denganmu.”
“Apa maksudmu?” Kalila mengangkat satu alisnya karena
tersinggung. “Aku tidak pernah menyetir hingga membuat ban berdecit seperti
itu.”
Diego menumpukan sikunya pada meja, memandang kekesalan yang
berkelebat di mata cokelat terang itu. Sepasang mata yang semakin hari semakin
ekspresif. Seperti diri gadis itu tiga tahun lampau.
“Memang tidak pernah,” aku Diego membenarkan. “Tapi kau
selalu membuat mobil melompat pada gerakan pertama.”
Kalila tergeragap. Alisnya mengernyit kesal. “Itu kan...
karena kau terus-terusan membuatku kesal. Seperti sekarang!”
“Kalau begitu, lain kali jangan membuat mobil melompat
saat sedang kesal. Kau saja yang melompat padaku.” Diego menyeringai jenaka
sambil membuka lebar kedua lengannya. “Aku akan selalu siap menangkapmu.”
Kalila melipat lengannnya di atas meja. Senyum manis
terlukis di bibir gadis itu. Ia mencondongkan tubuhnya ke arah Diego yang duduk
di hadapannya. “Dalam mimpimu!” ucapnya tajam dengan mata yang memelotot.
Senyum palsunya beberapa detik lalu juga lenyap.
Diego terkekeh geli mendapat tanggapan seperti itu. Ia
sama sekali tidak menyangka bahwa Kalila begitu mudah digoda seperti ini. Kalau
tahu begini, seharusnya ia melakukannya sejak dahulu.
Bibir Kalila mencebik setiap kali derai tawa Diego
membelai telinganya. Bagaimana lelaki ini bisa begitu tidak berperasaan? Apa
Diego tidak mengerti jika setiap gurauannya selalu menghadirkan debaran samar
yang mengguncang rongga dada Kalila?
Merasa jengah, Kalila bangkit dengan cepat. Terdengar
bunyi berderak saat ia mendorong kursi dengan bagian belakang lututnya. Diikuti
lenyapnya suara tawa Diego.
“Hei, jangan pergi, Lil Princess!” cegah Diego panik dan
langsung mengundang senyum samar berkedut di bibir Kalila.
“Bukan urusanmu! Dan berhenti memanggilku seperti itu!”
balas Kalila galak.
“Tapi kau belum menyebutkan pesananmu.”
***
“Sial. Kenapa tadi kita ke kafe ini, sih?” Lory
bersungut-sungut. Ia mengacak-acak Rainbow Cake di hadapannya seolah kue itu
sudah melakukan kesalahan yang membuat ia kehilangan minat.
Jenna tertawa kecil lalu menyesap teh lemon hangatnya. “Aku
tidak menyangka. Ada juga lelaki yang tidak bisa kau taklukkan.”
“Apa maksudmu, huh?” Lory mencebik kesal. Ia setengah
membanting garpunya ke atas piring hingga terdengar bunyi berdenting. Komentar yang
dilontarkan Jenna malah membuat hatinya semakin panas.
“Kau kesal karena pemandangan di teras kafe, kan?” tebak
Jenna sambil menunjuk ke dinding kaca yang menampilkan bagian luar kafe.
Pemandangan yang dimaksud Jenna tampak sangat jelas dari tempat duduk mereka di
tengah bangunan kafe.
“Tidak,” elak Lory tanpa merepotkan diri menoleh pada
arah yang ditunjuk Jenna. “Kue ini rasanya mengerikan.”
Jenna menahan gelaknya atas kebohongan Lory. Itu Rainbow
Cake khas Rainbow Cafe yang selalu berhasil menggagalkan diet Lory. Memang
semengerikan apa rasanya sekarang hingga membuat gadis itu cemberut begitu?
Sengaja, Jenna menyenggol lengan Sharon dengan sikunya. Tetapi
gadis di sampingnya itu bergeming. Matanya seolah terkunci pada sosok pasangan yang
menghancurkan mood baik Lory siang
ini.
Tiba-tiba saja gadis bersweter salem itu bangkit dari
duduknya. Tampak ada sedikit perdebatan kecil dengan lelaki yang duduk
bersamanya. Tetapi kemudian gadis itu berbalik melangkah memasuki kafe.
Saat itulah, Sharon menyentuh tangan Lory di atas meja.
Begitu matanya bersitatap dengan sepasang mata Lory yang bertanya, ia hanya
menjawab dengan lirikan mata yang maknanya langsung dimengerti Lory.
***
Kendalikan dirimu, Kalila!
Kalila menepuk-nepuk kedua pipinya seolah ingin membantu
dirinya sendiri agar tersadar. Ia tidak boleh terus-terusan seperti ini. Terus-terusan
mudah terpancing oleh semua gurauan Diego. Atau ada baiknya setelah ini ia
menyarankan mereka untuk bertemu di perpustakaan saja? Seperti tiga tahun yang
lalu. Mungkin dengan begitu, lelaki itu akan lebih jinak dan mudah dihadapi.
Terdengar suara pintu terbuka saat Kalila membungkuk dan
menyalakan keran wastafel dan membasuh tangannya. Melalui ekor mata, entah
mengapa ia merasa seseorang yang baru masuk itu sengaja berdiri mengintimidasi
di dekatnya. Ia memilih untuk tetap menunduk pura-pura tidak mengerti. Atau
berharap tatapan tajam itu bukan ditujukan untuknya. Walaupun nyatanya, hanya
ada mereka berdua di sini.
“Sekarang mengaku saja kalau kau tertarik pada Diego.”
Kalila menoleh sekilas ketika mendengar nama Diego
disebut. Tetapi sedetik kemudian ia malah mengeringkan tangannya di bawah uap
panas yang berembus secara otomatis. Sama sekali tidak memedulikan gadis loudspeaker yang bersandar pada dinding
toilet sambil menyilangkan tangan di depan dada.
“Hei, aku bicara padamu!” Gadis pirang palsu itu
menyentak kasar bahu Kalila hingga kini mereka berdiri berhadapan. “Jadi benar,
kan, kau tertarik pada Diegoku?”
“Apa maksudmu?” sahut Kalila sambil ikut menyilangkan
tangannya defensif.
“Aku lihat akhir-akhir ini kau sering bersama Diego. Sejujurnya
ada hubungan apa di antara kalian?”
“Apa pun hubungan kami, kurasa aku tidak harus
menjelaskan padamu.”
“Jangan membuatku kesal, ya.” Suara gadis itu sarat akan
ancaman. “Aku paling tidak suka dengan Kancil genit sepertimu yang senang
merayu pacar orang.”
“Tunggu.” Kalila mengangkat telapak tangannya ke depan
wajah gadis yang tiba-tiba melabraknya itu. “Apa kau yang bernama Lory?”
Sesaat kening gadis itu tampak berkerut bingung. Mungkin
ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kalila memiliki sedikit informasi tentang
dirinya.
“Ya,” jawabnya angkuh. Seolah sudah sewajarnya jika semua
orang mengenalnya. “Dari mana kau tahu?”
“Oh.” Bibir Kalila membulat konklusif. “Diego yang
mengatakannya padaku dan dia bilang tidak ada hubungan apa-apa di antara
kalian.”
Ekspresi Lory mengeras. Otaknya seolah membeku di ujung
kalimat Kalila. “Itu hanya karena dia malu.”
“Maksudmu, dia malu punya pacar sepertimu?”
Lory mengerjap beberapa kali. Mulutnya ternganga menerima
serangan balasan yang tidak terduga. “Lupakan saja. Memang kau sendiri punya
hubungan apa dengan Diego?”
“Tidak ada apa-apa,” jawab Kalila enteng.
“Kalau begitu jangan dekat-dekat lagi dengan Diego.”
Kalila mendengus geli. “Kalau untuk itu, bilang saja
langsung pada orangnya. Karena selama ini dia yang selalu mendekatiku lebih
dulu.”
“Jangan sombong dulu, ya.” Lory memperingatkan Kalila
sambil mengangkat telunjuknya. “Apa menurutmu Diego yang menyukaimu? Diego
memang baik pada semua orang. Jadi jangan salah paham.”
“Mungkin saja kau yang salah paham pada sikap baik Diego,”
sahut Kalila sambil menyurukkan kedua tangan ke dalam saku sweternya.
Rasanya Lory selalu mati kata jika berhadapan dengan
gadis ini. Tetapi ia tidak boleh kalah. Waktunya tidak tepat untuk itu.
“Apa kau menyukai Diego?”
Kalila menatap tajam pada Lory. Ia mencoba menerka apa
maksud dari pertanyaan yang dilontarkan padanya itu. Tetapi kemudian ia sadar.
Untuk apa ia menjawab jujur tentang perasaannya pada gadis loudspearker di hadapannya?
Maka, Kalila memilih untuk menggeleng dengan tegas.
Seringai kemenangan mulai berkedut di ujung bibir Lory. “Baguslah
kalau kau tidak menyukai Diego. Jadi, menjauhlah.”
“Tidak mau.”
“Huh?”
“Aku tidak mau menjauhi Diego hanya karena orang
sepertimu. Aku hanya akan menjauh ketika aku ingin menjauh atau Diego sendiri
yang memintaku untuk menjauh. Yang jelas, keputusan bukan di tanganmu.”
Urat kekesalan mencuat jelas di kening Lory. Tetapi ia
harus bisa mengendalikan diri di tempat seperti ini. “Menjauhlah. Selagi aku masih
meminta baik-baik,” ucapnya dengan rahang terkatup rapat.
“Berhenti bersikap pengecut seperti ini.” Kalila
melangkah maju dan berdiri bersisian dengan Lory hingga bahu kiri mereka
bertemu. “Kalau memang merasa mampu, taklukkan hati Diego dan bawa dia menjauh
dariku.”
Setelah berkata begitu, Kalila membuka pintu dan
meninggalkan Lory yang terpaku. Benar-benar keterlaluan! Bagaimanapun gadis itu
harus mendapat ganjarannya.
***
“Apa ada sesuatu yang mengganggumu?”
Kalila tersentak samar dan menolehkan kepalanya. “Hem?”
Diego mengangkat alis lalu kembali berkonsentrasi
menjalankan mobilnya menuju indekos Kalila. “Apa ada sesuatu yang
mengganggumu?” tanyanya sekali lagi.
Kalila mengangkat bahu. “Tidak ada.”
“Kalau begitu kenapa kau tidak mendengarkanku sejak
tadi?” tuduh Diego. “Apa kau bertemu seseorang yang lebih menarik dariku di
kafe?”
Tentu saja Kalila bertemu seseorang tadi. Tetapi itu sama
sekali berbeda dengan apa yang dipikirkan Diego. Diam-diam, ia memandang wajah
Diego dari samping. Sedikit-banyak ia mencoba mencari kebenaran tentang
perkataan lelaki itu tempo hari. Atau haruskah ia bertanya sekali lagi?
Sedetik kemudian, Kalila sudah menggeleng kuat untuk
mengusir keraguaannya. “Memang tadi apa yang kau katakan?”
Diego menoleh sekilas dengan alis berkerut. Kemudian ia
berkata dengan nada enggan. “Kubilang, aku tidak sabar menunggu akhir pekan ini
untuk mengajakmu makan malam. Bagaimana kalau malam ini?”
Belum sempat Kalila menyuarakan jawabannya, Diego sudah
menyambung kembali kalimatnya.
“Tapi tadi kulihat sepertinya kau tidak tertarik dengan
ajakanku, jadi mungkin lebih baik kubatalkan saja.”
Kalila tertawa kecil mendengar Diego merajuk. “Malam ini
juga tidak apa-apa. Untuk apa menunggu akhir pekan?”
Diego mengerjap bingung. “Apa kau lupa? Akhir pekan ini,
kan, ulang tahunmu.”
“Ah, benar juga,” ujar Kalila lantas tertawa. Bagaimana
bisa ia lupa? “Jadi, jam berapa kau akan menjemputku nanti?”
“Jam setengah lima,” jawab Diego sambil menghentikan
mobilnya di depan rumah indekos yang ditinggali Kalila. “ Jadi, aku bisa
bersiap setelah kuliahku selesai jam tiga.”
Kalila melirik jam tangannya. Setidaknya tersisa tiga jam
untuknya mempersiapkan diri. Ia mengangguk setuju yang langsung membuat Diego
tidak bisa menahan senyumnya.
“Oh, iya,” ucap Kalila sambil melepas sabuk pengamannya.
“Apa benar kau tidak berniat balas dendam padaku?”
Diego menyeringai geli mendengar pertanyaan yang
tiba-tiba muncul kembali dari bibir gadis itu. “Kalau kau memang mengharapkan
aku membalas dendam, maka aku akan melakukannya dengan sesuatu yang tidak akan
terpikirkan olehmu,” pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D