ERIN menyesap Angel
Face dalam gelas kristalnya. Matanya tersenyum memandang orang-orang yang semakin
asyik menari bersama kebahagiaan hatinya. Tas kecil yang ada di pangkuannya
bergetar samar. Ia meletakkan gelasnya ke atas meja bar demi mengeluarkan
ponsel dari tasnya. Senyumnya semakin melebar tatkala menyadari kabar baik
telah datang. Lebih cepat dari dugaannya.
Kening Erin mengernyit sekilas saat jemarinya bergerak
pada layar ponsel. Dan pergelangan kakinya nyaris patah karena ia melompat
begitu saja dari atas kursi bar yang tinggi. Matanya melebar setelah membaca
pesan yang diterima ponselnya. Ia melangkahkan kakinya melewati orang-orang
yang masih tenggelam dalam euforia.
Erin, maaf. Aku pulang dulu. Semoga malammu menyenangkan.
Dan kedua bola matanya nyaris menggelinding keluar ke tengah lantai dansa. Ia mendapati Jonathan
Adam tengah duduk meriung di salah satu sofa. Sementara gadis-gadis berpakaian
minim dengan tidak tahu malu menempel erat padanya seperti lintah. His, dasar
bajingan! Hidung Erin mengernyit jijik.
Tidak ingin menyiksa kedua matanya lebih lama lagi, Erin bergegas
menuju tempat Lory dan yang lainnya berkumpul. Seperti dugaannya, ia langsung disambut
dengan sangat manis.
“Apa-apaan ini?” Kedua mata Lory yang berlapis kontak
lensa biru terang tampak tidak repot-repot menyembunyikan amarahnya. Tidak
peduli pada beberapa pasangan yang tampak tidak bisa menahan gairah mereka. “Kenapa
kau datang sendiri? Di mana Kancil itu?”
Erin menghela napas panjang. Ia menyandarkan punggungnya
pada dinding koridor yang mengarah pada toilet. Suaranya berbisik perlahan di
udara. “Dia sudah pulang.”
“Dia—apa?”
“Dia sudah pulang,” ulang Erin sedikit lebih keras. Ia
tahu Lory kesal. Tetapi ia juga sama kesalnya. Bagaimanapun, gadis itu memang
seperti duplikat jiwanya yang sempurna.
“Bukankah dia tadi datang bersamamu?”
Erin mengangguk membenarkan. “Mungkin dia pulang naik
taksi.”
“Kenapa kau membiarkannya?”
“Aku sudah menuntunnya agar menuju kemari. Tapi dia malah
kabur pulang,” ucap Erin mengangkat bahu.
Lory mengangkat kedua tangannya lalu menghempaskannya
dengan tidak percaya. Sharon dan Jenna saling melempar pandangan karena
tergemap. “Seharusnya kau bawa dia ke sini dengan tanganmu sendiri,” saran Lory
tanpa ada gunanya.
“Itu tidak semudah mengucapkannya.”
“Sudah, hentikan. Lebih baik kita nikmati dulu acara
malam ini,” lerai Jenna sambil mengambil posisi di antara Lory dan Erin yang
sepertinya hendak memulai peperangan. “Baru kemudian memikirkan cara lainnya.”
***
“Apa kau gila?!”
“Aku tidak gila. Aku hanya lapar, Lil Princess,” ucap
Diego sambil menjauhkan telinganya dari kontaminasi suara Kalila. “Ini
satu-satunya restoran yang buka 24 jam. Nasi goreng cumi-cuminya benar-benar
terkenal.”
Kalila memandang bangunan yang disebut Diego sebagai
restoran itu. Melalui dinding kaca, tampak jelas bahwa tempat itu masih
dipadati pengunjung yang kelaparan. Tempat itu sama sekali berbeda dengan kesan
restoran yang selama ini terpatri di benak Kalila. Tidak ada table manner, semua orang makan sambil
bergurau dengan temannya. Tidak ada pramusaji berdasi kupu-kupu, yang ada hanya
pramusaji bercelemek yang sibuk mengantar pesanan ke meja pelanggan.
Kening Kalila mengernyit samar saat ia membayangkan
dirinya berada di tengah-tengah keriuhan itu. Sepertinya itu tidak akan menjadi
masalah. Tetapi sedetik kemudian ia sudah menggeleng kuat saat imanennya kembali
menguasai.
“Aku juga lapar, tapi aku masih waras,” ujar Kalila galak.
“Mana mungkin aku masuk ke sana dengan pakaian seperti ini?”
Diego menelusuri keseluruhan penampilan Kalila dengan
bantuan cahaya dari restoran dan lampu jalan. Detik berikutnya, seulas senyum jail
terbit di bibir lelaki itu. “Kau benar. Gaunmu terlalu pendek. Aku lebih senang
jika kau tampil seksi hanya di depanku.”
“Sudah kubilang, jangan mengucapkan itu seolah kita akan
melakukan hal tidak senonoh!” Lagi-lagi, telapak tangan Kalila sudah melayang
ke bahu Diego. “Kau saja yang masuk sana! Setidaknya pakaianmu lebih normal.”
Diego tergelak mendengar nada perintah meluncur dari
bibir Kalila. Rasanya seperti kembali ke masa lalu. Gelak Diego lenyap begitu
saja tanpa penurunan nada. Kemudian ia menundukkan wajahnya sedikit dan berucap
dengan suara dalam, “Baik, Yang Mulia.”
***
Saat Diego kembali, Kalila sudah mengambil alih kursi
kemudi. Tanpa berniat memulai perdebatan yang akan menyaingi gemuruh perut
mereka, Diego duduk di samping Kalila dengan dua kotak makanan dan sebotol
besar orange squash di pangkuannya.
“Orange squash?
Sungguh?” komentar Kalila terheran-heran. “Memang tidak ada wine atau wiski begitu? Berapa sih
umurmu, Diego?”
Diego menggedikkan bahu. “Aku tidak mau mengambil risiko
seorang gadis mabuk dan memaksa untuk menciumku lagi.”
Mulut Kalila ternganga tidak bisa memuntahkan kata-kata.
Dengan bantuan penerangan dari luar, Diego bisa melihat rona kemerahan
menjalari wajah Kalila.
“Omong-omong kenapa jas mahalku pindah ke situ?” tanya
Diego sambil menunjuk jasnya yang terbeber di atas pangkuan Kalila.
“Supaya kau tidak melihat lutut dan pahaku selagi aku
menyetir,” jawab Kalila sambil memundurkan mobil meninggalkan area parkir.
“Hei, hei! Pelan-pelan, Lil Princess,” seru Diego panik
saat ia merasakan mobilnya berguncang kuat. Sepertinya gadis ini selalu
menyediakan semacam shock therapy sebelum
membawa mobil lepas landas. “Asal tahu saja, cicilan mobilku belum lunas.”
Kalila tertawa kecil sambil menjalankan mobil dengan
tenang. Ia senang mendengar suara panik Diego daripada komentar usilnya. Lelaki
itu lebih banyak mengucapkan hal menyebalkan daripada yang dahulu.
“Memang kau akan membawaku ke mana?” tanya Diego saat mobil
terus bergerak menuju selatan dan sedikit menanjak di daerah perbukitan,
meninggalkan kepadatan gedung di belakang mereka.
Tetapi Kalila memilih bungkam. Lampu mobil yang
berpapasan dengan mereka membantunya melihat seulas seringai penuh rahasia di bibir
merah stroberi milik gadis itu.
Dengan rona ketakutan palsu di wajahnya, Diego memeluk
dirinya sendiri. “Berjanjilah kau tidak akan melakukan hal tidak senonoh
padaku, Lil Princess.”
***
“Oh, iya. Terus seperti itu,” desah Diego dengan kedua
mata terpejam. “Sedikit ke bawah, ya, di situ—hei,
kenapa berhenti?”
Diego membuka mata dan langsung mendapati Kalila yang
mencebik kesal padanya. Saat ini mereka sedang duduk berdua di atas atap mobil
yang diparkir di bahu jalan yang tidak diaspal. Rerumputan tumbuh liar di
sekitar. Milyaran bintang menghiasi langit malam yang memayungi mereka. Penerangan
yang menyelamatkan adalah lampu-lampu jalan yang menjulang seperti leher
jerapah.
“Aku membawamu ke tempat seindah ini dan kau menyuruhku
menggarukkan punggungmu?!” omel Kalila sambil melepas sepatunya.
“Aku tidak bisa
meraih bagian itu dengan tanganku sendiri,” bela Diego pada ketidakmampuannya.
“Kalau begitu, garuk pakai ini,” saran Kalila sambil
menyodorkan sepatu hak tingginya.
Alis Diego berkerut bingung. “Tapi, kan, sepatumu...
kotor.”
“Tadi kau bilang, bagian belakang gaunku terkena tumpahan
wine? Kalau begitu, sana kotori juga bagian
belakang kemeja putihmu itu.”
Diego menggeleng tegas. “Tidak bisa. Lelaki sepertiku
harus selalu tampil menawan sepanjang waktu. Bagaimana kalau ada perempuan
cantik yang lewat?”
Kalila tersenyum miring terang-terangan mencemooh.
“Perempuan yang lewat di tempat seperti ini paling juga Sadako atau
Kuntilanak.”
“Benarkah? Seperti yang di belakangmu itu?”
Kalila memekik tertahan dan menubruk Diego, mencari
perlindungan. Lelaki itu jatuh telentang di atas atap mobil. Sementara sebagian
tubuh Kalila tengkurap di atas dada lelaki itu. Seperti mendapatkan
kenyamanannya, Diego malah menarik lengan untuk menjadi bantalnya. Sementara
seulas senyum terbit di wajahnya yang menghadap langit malam penuh bintang.
“Sudah kubilang, Lil Princess, jangan melakukan hal tidak
senonoh pada lelaki polos sepertiku.”
Sebaris kalimat itu membantu Kalila menyadarkan imanen yang
sempat terbius aroma tubuh Diego. Aroma ringan yang menenangkan pikiran Kalila
setelah menghadapi malam yang panjang. Tetapi semua itu sudah berakhir begitu
ia mengangkat wajah dan memeriksa sekitarnya, dan langsung sadar sudah tertipu.
“Sial!” umpat Kalila sambil kembali pada posisi duduknya.
“Kau membuatku kaget.”
Diego terkekeh melihat Kalila yang salah tingkah. Ia ikut
kembali duduk. Kali ini botol orange
squash dan kotak makanan membatasi mereka berdua. “Tidak apa-apa, Lil
Princess. Kau boleh memelukku kapan saja.”
Kalila hanya mendecakkan lidah lalu bergumam tanpa
membuka lebar bibirnya. “Dalam mimpimu!”
Diego memilih untuk berhenti bergurau karena perutnya
kembali meraung sedih. “Jadi, kau pilih Nasi Goreng Rendang atau Nasi Goreng
Cumi-cumi?” tawar Diego sambil membuka tutup kotak dan mendorong hidangan itu
ke hadapan Kalila.
Susah payah, Kalila menelan air liurnya agar tidak
menetes. Kedua nasi goreng itu menguarkan aroma bumbu yang begitu seksi dan
menggoda. Tetapi ia bisa mati kelaparan jika terlalu lama mengambil keputusan.
“Aku yang ini saja,” ujar Kalila sambil mengambil nasi
goreng kecokelatan bertahtakan tiga potong daging sapi berlumur bumbu rendang yang
tampak meresap hingga celah terkecil. Sementara ia mengangsurkan nasi goreng
berwarna hitam yang sepertinya berasal dari tinta cumi-cumi. Sebuah cumi-cumi
utuh berbumbu bakar diletakkan di atas nasi yang membukit itu.
Kalila menyuapkan sesendok penuh nasi goreng ke dalam
mulutnya. Rasa yang menyentuh indra pengecapnya seketika membuat kedua matanya
melebar. Ia mengangkat wajah dan menatap Diego. “Astaga. Benar katamu, ini
benar-benar enak.”
Diego terkekeh bangga mendengar Kalila terlalu banyak
mengucapkan kata ‘benar’. “Iya, kan? Apa kubilang. Kau mencicip yang ini?”
Kalila menganggukkan kepala tanpa berpikir. Detik
berikutnya, tangan gadis itu yang menggenggam sendok sudah terulur dan mencuri
sesuap dari Diego. Mata Kalila kembali melebar dengan ibu jari yang terangkat penuh
haru. Seolah ia sangat bersyukur sudah hidup di dunia dan bisa mencecapi rasa
selezat ini.
Sekitar tiga menit berselang dan mereka makan tanpa
suara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga kemudian Diego menyuarakan
pertanyaan yang menjejali otaknya. “Kau sering datang kemari?”
Kalila mengangguk. “Ya. Beberapa kali,” jawab Kalila
singkat. Ia sengaja menyembunyikan fakta bahwa sering terpikirkan untuk melemparkan
diri dari salah satu bukit. Demi menghilangkan perasaan bersalah yang terus
menggelayuti punggungnya. “Kudengar, pemandangan senja di sini sangat cantik.
Walaupun belum banyak yang mengetahuinya.”
“Mau melihatnya bersamaku kapan-kapan?” tawar Diego
begitu ia menelan sesuap terakhir nasi gorengnya.
Kalila tertawa kecil dan mengangkat bahu sebelum
menjawab, “Boleh saja.”
Diego tersenyum puas lalu menyeka sudut bibirnya
menggunakan tisu. Ia meneguk orange
squash langsung dari botolnya. “Aku juga akan mengajakmu pergi makan malam
yang lebih baik dari ini. Maksudku, kita benar-benar duduk di dalam restoran
bukan di atas atap mobilku,” katanya lantas terkekeh.
Kalila ikut terkekeh lalu melipat lututnya di depan dada.
Kepalanya menengadah ke arah langit. “Seperti ini saja sudah cukup untukku.”
“Benarkah?” tanya Diego sangsi sambil memosisikan diri
duduk di samping Kalila.
“Ya.” Kalila mengangguk. Telunjuknya terangkat ke arah
langit. “Restoran bintang lima pun tidak bisa mengalahkan atap bertabur bintang
seperti ini.”
“Kau benar.” Diego menganggutkan kepalanya. “Tapi
sebaiknya aku mengantarmu pulang sekarang. Sudah saatnya Tuan Putri kembali ke
istana.”
Kalila mendesah kecewa saat melihat jam tangannya. Lelaki
itu benar. Entah sejak kapan waktu bergerak secepat ini. Sudah hampir pukul
setengah tiga dini hari.
Diego melompat turun dari atas mobil, diikuti Kalila yang
duduk menggantung kaki hingga tumitnya menempel pada kaca jendela mobil. Ia
mengutip kemasan santapan mereka tadi, botol orange squash yang isinya tinggal setengah, jas milik Diego, dan sepatu
hak tingginya. Ia memberikan barang-barang itu pada Diego yang langsung memindahkannya
ke jok belakang mobil. Lalu Diego meraih pinggang Kalila dan membantu gadis itu
turun.
Setelah membukakan pintu untuk Kalila, Diego memutar dan
duduk di balik kemudi. Ia tidak akan mempertaruhkan nyawa demi membiarkan gadis
itu menyetir di tempat seperti ini. Bisa-bisa mobilnya melompat dan berakhir di
jurang yang menganga di bawah sana.
***
Tanpa menyalakan lampu kamarnya, Kalila membuka pintu
lemari yang sepertinya lupa dikunci karena Erin sudah datang menjemput tadi. Ia
menarik sesuatu dari dalam lemarinya seolah sudah sangat menghafal di mana
benda itu tergantung.
Kalila menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidurnya. Kedua
matanya terpejam, lalu ia menghela napas panjang, berusaha untuk rileks. Tetapi
walaupun ia memejamkan mata, senyum simpul masih bergelayut di wajahnya. Setiap
kali wajah Diego muncul dalam benaknya.
Banyak yang berubah dari lelaki itu. Selain penampilan
fisiknya yang dibentuk pubertas, perangai lelaki itu semakin menyenangkan.
Tidak lagi sekaku dahulu, walaupun sikap usilnya masih saja sulit dihadapi. Entah
apa yang sudah dialami lelaki itu selama mereka terpisah.
Tetapi itu sama sekali bukan masalah bagi Kalila. Bisa
bertemu kembali dengan Diego dan mendapati lelaki itu ternyata tidak menyimpan
dendam padanya, membuat Kalila sangat bahagia. Belum lagi dengan ajakan makan
malam yang akan segera terwujud dalam waktu dekat.
Kalila seolah merasakan angin hangat kembali berembus,
mengalahkan angin musim gugur yang selama ini membekukan hatinya. Hingga
menyisakan pohon maple yang meranggas pilu
untuk tempatnya bernaung. Tetapi kini senyum mengembang di wajah Kalila.
Sementara kantuk semakin merayap mengambil alih tubuhnya yang lelah.
Beberapa detik kemudian, Kalila sudah terlelap dengan
syal rajutan berwarna ungu pupus melingkar di lehernya.
***
Akhirnya, gadis itu tidur juga.
Diam-diam ia mengembuskan napas lega di bawah kolong tempat
tidur yang sempit. Sekali lagi, ia menggoyahkan bagian tepi tempat tidur hanya
untuk memastikan gadis itu benar-benar terlelap. Setelah yakin bahwa keadaan
sudah aman, ia merayap keluar dan mengendap menuju pintu.
Ini benar-benar di luar perkiraannya. Padahal biasanya gadis
itu tidak pernah pulang lebih dari pukul sepuluh malam. Tadi ia sempat mengira
gadis itu sedang pulang ke rumah orangtuanya di luar kota atau semacamnya,
sehingga ia bisa leluasa menjelajah isi kamar gadis itu untuk lebih
mengenalnya.
Sekarang tidak ada jalan lain selain mundur. Atau ia akan
kehilangan kepercayaan dari gadis itu. Dan yang terburuk ia akan dipenjara
karena sudah masuk tanpa izin. Ia bergidik membayangkan hal seburuk itu terjadi
padanya. Lain kali ia harus lebih berhati-hati.
Sebelum keluar, ia berhenti sejenak di samping tempat
tidur. Dibantu cahaya lampu koridor yang menyusup melalui ventilasi di atas
pintu, ia memandang gadis itu. Dengan gaun putih membungkus tubuhnya, gadis itu
terlihat seperti bidadari. Begitu tenang dan jelita.
Secara impulsif, ia menarik selimut untuk gadis itu.
Kemudian dengan tanpa suara, ia memutar kunci lalu keluar mengendap-endap seolah
kakinya hanya seberat kapas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D