Anna melemparkan berkas kasus ke atas meja kerjanya dengan kesal. Ia
menghempaskan tubuhnya ke sofa yang nyaman jauh dari meja kerjanya. Jauh dari
berkas-berkas terkutuk itu. Jari telunjuknya yang ramping
mulai memijat pelipisnya yang berkedut.
“Ada apa dengan wajahmu, Anna? Lihatlah alismu nyaris menyatu.”
Tanpa mengangkat wajahnya, Anna hafal benar suara yang mengalun selembut
beledu itu. Suara itu pasti milik sahabatnya yang cantik itu. Tapi kali ini,
suara itu terdengar sumbang bagai jarum yang menusuk–nusuk kepalanya.
“Wajahmu terlihat menyeramkan, Anna.” Liza bergumam khawatir melihat
ekspresi sahabatnya itu. Ia masuk ke ruangan lalu duduk di sofa panjang lalu
diikuti Rick dan juga Hans.
Lelaki yang masuk terakhir itu merupakan seorang intelijen yang bergabung
dalam tim mereka untuk menuntaskan kasus ini. Pembunuhan yang terjadi terhadap
gadis dengan rambut yang dicat pirang memang bukan yang kali pertama ini
terjadi. Sudah terjadi lebih dari lima kasus serupa yang entah mengapa selalu
menjadikan gadis dengan rambut dicat pirang sebagai sasarannya.
Anna membuang mukanya ke arah pintu kantornya yang terbuka. Ketiga orang
rekan kerjanya ini pasti tidak akan mengerti perasaannya. Ia dan rekan-rekannya
baru saja melakukan olah TKP. Tapi kasus yang ia tangani kali ini masih
mengalami jalan buntu. Semua terasa janggal tapi begitu sulit rasanya sel
abu-abu dalam otaknya memunculkan hipotesis yang tajam. Kasus ini seolah
mengabur tanpa bukti yang berarti.
“Jangan terlalu memaksakan dirimu, Anna.” Kali ini Rick yang bersuara.
Tapi Anna memilih untuk tetap diam.
“Lebih baik tenangkan dulu pikiranmu dan kita analisis ini bersama-sama,”
timpal Liza sambil meletakkan sekaleng soda ke atas meja dan mendorongnya ke
arah Anna.
Anna melirik sedikit ke arah kaleng yang ada di hadapannya. Tapi ia masih
saja diam. Rasanya percuma berbicara dengan orang yang tidak memahaminya.
Selama ini Anna selalu bergerak cepat dan memecahkan teka-teki kasus seakurat
mungkin disertai bukti yang kuat. Tapi kasus kali ini benar-benar....
“Apa kita perlu menambah anggota ke dalam tim kita?” usul Liza.
“Tidak!” sergah Anna cepat. “Cukup kita berempat. Semakin banyak anggota
semakin banyak masalah yang akan mempersulit kita untuk mencari titik terang
dalam memecahkan kasus ini.”
Anna meraih kaleng soda di hadapannya lalu menaikkan kedua kakinya ke atas
meja. Hanya Hans yang sedikit terkejut dengan sikap Anna yang seperti itu.
Sementara kedua temannya tampak sudah terbiasa dengan hal tersebut.
Dalam satu tarikan, Anna membuka penutup kaleng menggunakan jari
telunjuknya. Sesaat terdengar suara mendesis yang khas sebelum gadis itu
meneguk minumannya. “Aku merasakan ada banyak kejanggalan dalam kasus ini.”
“Kau benar, Anna,” sahut Liza. “Semua tersebar begitu membingungkan. Salah
satunya... kenapa selalu gadis dengan rambut yang dicat pirang?”
Hans mengangguk setuju. “Sementara gadis dengan rambut pirang alami —yang syukurlah— tidak pernah
menjadi sasaran pelaku. Apakah ini semacam fetish tertentu yang membuat pelaku terobsesi
pada gadis dengan rambut dicat pirang? Lalu berakhir pada tindakan yang kelewat
batas.”
“Mungkinkah ini ada hubungannya dengan salon tempat gadis-gadis itu
mengecat rambutnya?” Tiba-tiba Anna merasa ada setitik cahaya di ujung
pikirannya.
“Sepertinya tidak ada,” jawab Hans. “Aku sudah melakukan penyelidikan
terkait hal itu. Tapi hasilnya nihil. Semua korban itu mengecat rambut mereka
di salon yang berbeda dan merk cat rambut yang berbeda juga.”
Sontak cahaya di pikiran Anna meredup seketika. “Lalu apa sebenarnya yang
melatar belakangi pembunuhan terhadap gadis-gadis muda ini?”
“Mungkin... balas dendam atau persaingan karier,” jawab Rick mengira-ngira.
“Ah, siapa yang menyangka gadis secantik itu memiliki musuh yang kejam,”
sahut Hans dengan nada prihatin.
Rick menganggukkan kepalanya. “Kau benar. Padahal gadis itu seharusnya
lebih pantas berada di pesta mewah
dengan pipi yang bersemu merah muda seperti gaunnya.”
“Tapi bukan sikap prihatin yang harus kita tunjukkan sekarang. Melainkan
secepat mungkin menangkap pelakunya,” ujar Hans.
Anna mendengus kesal. “Sejak awal itulah yang aku pikirkan.”
“Mungkin kita bisa bercakap-cakap dengan tetangga gadis itu?” Liza
memberikan usul.
“Kenapa?” tanya Rick.
“Karena melalui percakapan bisa saja kita menemukan petunjuk lain,” jawab Liza
sambil mengangkat bahunya lalu melirik ke arah Anna. “Kalau kita sering
bercakap-cakap, maka ada banyak hal yang bisa terungkap.”
Anna membenamkan wajahnya di antara kedua telapak tangannya. Sesaat, sebuah
perasaan negatif menelusup ke dalam hatinya. Ia merasa sudah gagal sebagai
seorang detektif. Tapi cepat-cepat ia menggelengkan kepala menolak pemikiran
itu. Secepatnya ia harus memecahkan misteri ini dan melemparkan pelakunya ke
dalam penjara.
Bagaimanapun caranya. Ia harus bisa bergerak lebih cepat. Demi hasratnya
yang selalu haus akan petualangan yang mendebarkan.
***
Anna keluar dari kamarnya sambil mengusap-usap rambut basahnya menggunakan
handuk. Perasaannya lebih baik sekarang. Pancuran air yang mengguyur tubuhnya
membuat ototnya yang kaku terasa kembali lentur. Begitu juga dengan otaknya
yang penat mulai terasa kembali segar.
Setelah mengalungkan handuknya ke leher, Anna ikut bergabung bersama Liza
di meja makan. Selain berada dalam satu profesi, Liza dan Anna juga tinggal
dalam satu flat yang mereka sewa bersama. Mereka memang sudah terbiasa bersama
sejak duduk di kelas sepuluh. Dan terus bersahabat sampai berkuliah di
univeresitas yang sama walaupun di jurusan yang berebeda.
Anna memperhatikan Liza yang tengah duduk memeluk lutut dan tampak sibuk
dengan layar handphone-nya.
Sementara ia sendiri mulai menyalakan laptopnya lalu menyalin data foto dari
kameranya.
“Siapa yang sedang kauperhatikan, Nona Stalker?”
sindir Anna saat melihat Liza tengah mengumbar senyum kepada layar handphone dalam genggaman. Sementara ia sendiri
harus menatap layar laptop yang menampilkan gadis korban pembunuhan yang
diketahui bernama Victoria itu.
Liza tidak langsung menjawab. Gadis itu masih tampak asyik berkutat dengan
layar handphone-nya.
Hingga beberapa detik kemudian ekspresinya berubah lalu berkata, “Melihat blog yang ditulis Rick. Ia baru saja
menulis tentang perjalanannya selama cuti tiga hari yang lalu.”
Anna memutar bola matanya. Lagi-lagi
lelaki itu.
Kira-kira sejak tiga bulan terakhir ini Liza mulai menaruh perhatian
terhadap salah satu rekan kerjanya itu. Semua itu dimulai saat mereka terlibat
dalam kasus yang sama. Di tengah penyelidikan, si pelaku yang merasa tidak
terima atas tuduhan yang disampaikan Liza menyerang secara tiba-tiba.
Beruntung, saat itu Rick yang berada di dekatnya dengan sigap melindungi gadis
itu. Bahkan rela terluka cukup dalam yang bahkan masih membekas hingga
sekarang.
“Tidak bisakah kaulupakan sejenak masalah percintaanmu itu, Liza? Kita
harus memecahkan kasus yang rumit ini sekarang.”
Liza meletakkan handphone-nya di
atas meja. “Kau memang lamban, Anna.”
“Apa?” Mata Anna mendelik mendengar ucapan Liza.
Liza menutupi mulutnya dengan telapak tangan lalu tertawa kecil. “Jangan
tersinggung dulu. Kau memang akan kesulitan menemukan petunjuk jika berpikir
dengan kepala berat dan otak yang panas.”
“Memang apa yang sudah kautemukan dengan otak dingin-mu
itu?” Anna bertanya dengan nada menantang. Satu alisnya terangkat, sedikit
tersinggung dengan kata-kata Liza.
Perlahan Liza menarik kursinya lalu duduk tepat di samping Anna.
Telunjuknya yang lentik menunjuk ke arah layar laptop milik sahabatnya itu.
“Lihatlah gadis ini. Ia terbaring di atas lantai rumahnya dengan riasan
sempurna... gaun dan sepasang sepatu yang... cantik. Seolah ia memang sudah
menunggu kematiannya malam itu.”
Kening Anna mengernyit lalu berkata sengit. “Mana mungkin ada orang yang
bisa mengetahui kapan ia akan meninggal apalagi dengan cara dibunuh.”
“Oh, ayolah! Tentu saja tidak ada, Anna.” Liza memutar bola matanya lalu
mendengus kesal. Sepertinya otak milik Anna benar-benar sudah emncapai batasnya
karena terlalu dipaksa. “Itu berarti pada malam nahas itu, korban sedang
menunggu seseorang datang atau dia sedang bersiap untuk menemui seseorang.”
Punggung Anna menegak seolah ada yang menekan sakelar dan menyalakan bohlam
dalam benaknya. “Kau benar, Liza. Kenapa aku sulit menyadari hal ini?”
“Jadi, dugaan perampokan yang sebelumnya kita bahas sekarang menjadi
gugur,” lanjut Liza. “Sepertinya pelaku adalah orang yang dikenal korban.
Apalagi terbukti tidak ada barang berharga yang hilang dari rumah korban.”
Anna hanya mengganggukkan kepala tanda mengerti. Ia menunggu kalimat Liza
selanjutnya.
“Yang kedua, kenapa pintu rumah gadis itu dalam keadaan terkunci? Begitu
juga dengan jendela dan pintu yang lainnya. Padahal kematiannya sama sekali
tidak direkayasa seperti kejadian bunuh diri. Bukankah itu malah membuang waktu
bagi pelaku? Bisa saja seseorang memergokinya saat sedang mengunci pintu—“
Kata-kata Liza terhenti karena tiba-tiba saja Anna mengangkat tangannya.
“Sebentar, Liza. Bisakah kau menjelaskan lebih perlahan? Telingaku rasanya
berdenging mendengar kalimatmu yang berderet seperti gerbong kereta.”
“Kau benar-benar terlalu memaksakan dirimu, Anna.” Liza mengerutkan kening
dengan khawatir.
“Tidak. Aku hanya sedang lelah.”
“Lelah?” Liza mengerjap heran. “Pergi ke mana semangatmu akan sensasi kotor
ini, Anna? Bukankah ini yang kauinginkan?”
Anna menelan ludahnya yang terasa pahit mendengar sindiran langsung dari
sahabatnya itu. “Aku masih bersemangat. Tentu saja. Hanya saja... kepalaku
terasa pusing sekarang.”
Selama beberapa detik Liza terdiam. Ia memperhatikan wajah Anna yang tampak
pucat. Lalu otak analisisnya menyimpulkan satu hal, “Berapa puluh cangkir kopi
yang kauminum hari ini, Anna?”
Anna mengangkat wajahnya lalu tersipu. Dugaan Liza itu tepat sasaran. Dalam
gerakan lambat, ia mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya ke udara.
Liza menatap Anna dengan kedua alis yang terangkat. Ia tahu benar itu bukan
jawaban final.
“Dua... belas,” jawab Anna lirih.
Mata Liza mendelik dari balik kacamatanya. “Kenapa? Kau tahu itu tidak baik
untuk kesehatanmu.”
“Entahlah, Bu Dokter.” Anna menggedikkan bahunya. “Seperti yang kaulihat.
Tubuhku masih sehat hingga saat ini.”
“Lalu apa yang sudah kaumakan hari ini?”
Anna menggelengkan kepalanya. “Tidak ada.”
Mulut Liza ternganga tidak percaya. “Jadi, hanya kopi?”
“Hem, ya.” Anna tersenyum datar yang tidak menyentuh matanya.
“Tunggu di situ.” Liza meraih handphone tanpa bangkit dari duduknya. “Aku akan
memesan makanan.”
***
Berbeda dengan cuaca mendung yang membayang dua hari sebelumnya. Pagi ini
matahari tampak bersemangat bertengger di langit. Cahaya begitu menghangatkan
sebelum akhirnya menyengat begitu memasuki tengah hari nanti.
Anna memarkirkan mobilnya di pelataran parkir kantor detektif tempat ia dan
Liza bekerja. Kemacetan pagi ini cukup menguras tenaganya. Ia harus berjuang
agar ia dan Liza bisa datang tepat waktu pagi ini.
Liza turun lebih dulu dari mobil. Gadis itu memperhatikan bayangannya yang
terpantul di kaca jendela mobil sebelum memasuki kantor bersama Anna.
“Selamat pagi,” ucap Anna sambil tersenyum kepada gadis yang duduk di
bagian resepsionis. Pikirannya lebih jernih sekarang. Tadi pagi Liza setengah
mati memaksanya untuk sarapan.
“Anna, Liza.” Tiba-tiba terdengar suara Rick saat Anna baru saja memutar handle pintu ruang kerjanya.
“Ada apa, Rick?” Liza bertanya dengan nada yang melenakan.
“Ada kasus baru.”
“Lebih baik kita bicarakan di dalam.” Anna mengajak kedua rekan kerjanya
itu masuk.
Begitu mereka duduk di sofa yang melingkari meja.
“Ada kasus apa? Apakah Hans sudah mengetahui tentang hal ini?” tanya Anna.
“Belum. Hans belum datang ke kantor kita.” Rick menggelengkan kepalanya.
“Ini kasus penculikan.”
“Penculikan?” Kening Anna mengernyit heran. Ia dan Liza saling melempar
tatapan bingung.
“Ini penculikan yang menyerang seorang gadis yang memimpin sebuah majalah fashion.” Rick
meletakkan berkas kasus ke atas meja. “Belum ada media manapun yang mengetahui
peristiwa ini. Kecuali redaksi majalah yang ia pimpin tentu saja.”
“Kenapa?”
“Pihak dari majalah itu sendiri yang melarang keras berita tentang
hilangnya pimpinan mereka. Dan kita tentu saja mau tidak mau harus mengikuti
keinginan tersebut.”
Radar di kepala Anna menangkap sinyal teka-teki yang disukainya. Pasti ada
sesuatu yang berusaha ditutupi mereka. Hanya saja....
“Pasti ada sesuatu. Hingga harus ditutupi seperti itu,” gumam Liza.
“Lalu, kenapa kita yang bertugas menangani kasus ini?” tanya Anna.
Rick mengambil selembar foto yang terselip di antara kertas lalu
mendorongnya ke hadapan Anna dan Liza. “Karena ini.”
Liza dan Anna terbelalak menatap foto yang menampilkan sosok seorang gadis.
Kulitnya wajahnya tampak halus berlapis bedak, hidungnya mancung, alisnya
tampak dibentuk sedemikian rupa, bibirnya penuh dengan lipstik merah menyala,
dan yang menghubungkan gadis itu dengan kasus yang ditangani mereka adalah
warna rambutnya.
Anna mengehempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Lagi-lagi gadis
dengan rambut dicat pirang!