Elena
POV
“Lepaskan
aku! Lepaaaaas!!!” Aku meronta sekuat mungkin. Sialnya dua orang berlengan
kekar yang tidak keren sama sekali itu tampak enggan mengendurkan
cengkeramannya sedikitpun. “Kalian tidak akan membawaku kemana-mana!” Aku
melompat-lompat, bergerak dengan kasar untuk melepaskan diri. Mataku beredar
mencari pertolongan, hingga kutemukan sesosok lelaki yang kucari-cari tengah
duduk bersantai di depan televisi.
“Nick,
tolong aku!” Aku berteriak sekencang yang kumampu hingga tenggorokanku terasa
serak. Tetapi lelaki itu bergeming, perlahan menoleh diiringi senyuman licik penuh
arti yang tersungging di bibirnya.
“Sialan
kau Nick, kau menjebakku! Kau pembohong!” Teriakku meledak-ledak. Sungguh tak
seharusnya aku percaya pada siapapun. Bahkan kini pun aku mulai tak percaya
pada diriku sendiri. Dan kalian lihat akibatnya aku mempercayai diriku untuk
mempercayakan keselamatanku padanya?
“Lihat
saja Nick, aku mengutukmu! Aku bersumpah kau akan menikahi macan betina yang
galak dan akan mencabik-cabik wajahmu!” Sumpah serapah keluar dari mulutku
tanpa aku bisa menghentikannya. Ini terlalu menyakitkan, terlebih saat melihat
lelaki yang kau cintai mengkhianatimu dan menertawakanmu saat polisi
menggiringmu keluar.
Air
mataku lolos tepat saat tawa itu keluar dari mulutnya. Tawanya menggelegar
memenuhi seisi ruangan. Aku bersumpah lelaki itu tertawa seperti iblis hingga
membuatku bergidik ngeri. Tawa itu masih terdengar jelas, meraung-raung dalam
gendang telingaku. Kemudian tawa itu seolah menyelimuti seluruh tubuhku hingga
aku merasa kesulitan untuk bernapas. Dadaku terasa sesak, pandanganku kabur,
lalu beberapa saat kemudian semuanya terasa gelap dan sunyi.
Aku pasti sudah mati.
Aku
membelalakkan mataku saat oksigen terasa memenuhi rongga dadaku. Hidungku
terasa begitu sakit. Tetapi tawa itu kembali menusuk telingaku.
“Selamat
siang, adik kecil.” Sapa seseorang yang tengah duduk bersila di atas ranjang.
Sinar matahari yang menembus jendela kaca di belakangnya, tampak membuat lelaki
itu seperti seorang malaikat yang bersinar—ralat, iblis yang bersinar. Dan
iblis itu telah nyaris membunuhku dengan tangan hangatnya yang memencet
hidungku.
“Apa
yang kau lakukan di kamarku?”
“Membangunkanmu.
Kau berharap apa lagi? Ini sudah nyaris jam dua belas siang lalu kau berteriak
menyumpahiku menikah dengan macan betina. Oh ya ampun, aku sungguh takut.” Ujar
lelaki itu dengan suara yang dibuat-buat.
“Bangun
pemalas!” Lelaki itu berkata sebelum aku mampu mencerna apa yang dikatakannya
tadi. Kemudian ia menarik kedua kakiku hingga menyentuh lantai kayu di bawah
ranjang. “Setengah jam lagi aku menunggumu di bawah untuk makan siang.”
“Baik,
tuan besar.” Nada kesal yang sengaja kutegaskan, kuharap akan menyentil
telinganya. Namun ternyata lelaki itu hanya menyunggingkan senyumnya yang
begitu manis yang mungkin akan membuat gula darahku melonjak jika aku terus
memerhatikannya.
***
Nico
POV
Entah
apa yang ada dalam mimpinya. Bibi Riana mengatakan bahwa gadis itu mengigau.
Lalu ketika aku memasuki kamarnya, ia berteriak-teriak menyumpahiku untuk
menikah dengan macan betina. Mungkinkah macan betina itu dia? Mengingat
sifatnya yang galak itu membuatku tersenyum geli penuh harap. Aku meneguk
segelas jus jeruk yang baru saja dibuatkan oleh bibi Riana. Sebelah tanganku
masih memainkan sebuah gelang yang terbuat dari untaian rantai perak dengan
bandul cantik yang di dalamnya terdapat permata hijau yang tergantung di
sepanjang rantainya.
Beberapa
jam yang lalu aku pergi ke pasar seni yang tak jauh dari rumah. Aku berniat mendatangi
stan lukisan milik teman lamaku, dan aku melihat sebuah stan yang menjual
berbagai perhiasan. Aku teringat pada Elena dan membeli satu untuknya.
“Panas
sekali di sini.” Suara itu terdengar merdu di telingaku. Gadis itu mengenakan
sebuah terusan berwarna hijau muda dengan motif bunga di bagian bawahnya.
Kemudian ia duduk di sampingku.
“Aku
lapar.” Bibirnya mengerucut saat mengatakan itu. Aku masih menyangga daguku
dengan sebelah tangan, masih menatap lekat-lekat wajah gadis itu. Tiba-tiba gadis
itu mendekatkan wajahnya ke wajahku—sangat dekat hingga aku merasakan jantungku
berdetak sangat kencang. Lalu ia menjauh dan terkiki geli. Ya, aku digoda oleh
seorang gadis!
Aku
berdecak kesal saat gadis itu menatapku dengan seringaian jahil di wajah
cantiknya. Kupikir dia akan menciumku!
“Mana mungkin aku menciummu.” Kata gadis itu
tiba-tiba. Lihat, bukankah ia mirip cenayang yang bisa mendengar suara hati?
Benar-benar gadis yang menarik dan multitalenta. Aku menggenggam pergelangan
tangannya saat ia hendak meletakkan gelas jus jeruk milikku yang sempat ia
teguk barusan. Ia menaikkan sebelah alisnya.
“Kenapa
kau tidak mau? Apa harus aku yang mulai duluan?” Aku balas menggodanya dan
semburat kemerahan mulai menjalar di wajahnya. Tak ada sepatah katapun yang
keluar dari mulutnya. Aku tahu pasti dia salah tingkah. Jika tidak, aku yakin
gadis itu akan menyemburkan sumpah serapahnya seperti yang biasa dia lakukan
padaku.
“Aku
punya sesuatu untukmu.” Aku menarik tangan kirinya, kemudian melingkarkan
gelang itu pada pergelangan tangannya. Tampak cantik dan serasi dengan
pakaiannya hari ini. Aku melihat matanya membesar kemudian dilanjutkan dengan
senyumannya yang melebar.
“Cantik
sekali. Ini gratis untukku?”
“Sayangnya
tidak,” Senyumnya memudar digantikan alisnya yang hampir menyatu di atas
matanya. “Suatu hari nanti aku akan meminta bayarannya padamu.”
***
Elena
POV
Aku
masih terus memandangi gelang yang diberikan Nick padaku. Sangat cantik. Entah
apa yang terjadi pada akhirnya kami menjadi semakin dekat, terlebih setelah
pernyataan cintanya beberapa hari yang lalu. Aku menghirup udara pagi yang
masih sejuk, dan berjalan-jalan di sekitar kebun teh yang daunnya masih basah
karena embun. Nick masih tidur dan aku hanya meninggalkan pesan pada bibi Riana
jika Nick mencariku.
Aku
merasa seseorang menepuk pundakku saat aku hendak melewati sebuah jembatan yang
sangat kecil di dekat kebun. Sial, gadis itu!
“Halo,
bukankah kau teman Nico? Aku Leoni.” Ujar gadis itu yang kemudian menyodorkan
tangannya untuk bersalaman. Suaranya yang dibuat-buat membuatku ingin
mencekiknya sekarang juga. Aku muak dengan gadis ini!
“Elena.”
Jawabku singkat, menjabat tangannya agar harga dirinya tak terluka. Aku
mengerutkan kening ketika gadis itu masih tak melepaskan jabatan tanganku dan
spontan aku melirik tangannya.
Wah,
gelang yang sama dengan yang diberikan Nico untukku. Bagaimanapun juga aku tak
suka seseorang memiliki barang yang sama denganku, terlebih gadis di hadapanku
ini.
“Oh,
lihat,” Ia menarik tangan kiriku yang berusaha kusembunyikan. “Nico yang
memberikannya untukmu? Lihat punya kita sama.” Ujar gadis itu girang. Aku
memutar bola mataku, ingin segera terlepas dari jeratan ular berbisa yang
menyebalkan ini.
“Begitulah.”
Aku terang-terangan menunjukkan ketidak sukaanku pada Leoni, tapi tampaknya
gadis itu sama sekali tidak peka. Jika aku jadi dia, aku akan segera pergi saat
lawan bicaraku terlihat keberatan.
“Sungguh?
Pantas saja kemarin dia membeli dua. Ternyata satunya diberikan padamu.”
Ada
banyak alasan mengapa aku membenci gadis itu. Pertama, suara manjanya terlalu
dibuat-buat dan itu membuatku ingin muntah. Kedua, dia sama sekali tidak peka.
Ketiga, dia agresif, terlebih pada Nick dan itu poin yang paling membuatku
benci pada gadis itu. Aku mengembuskan nafas melalui mulutku, sebuah asap tipis
keluar melalui mulutku. Pagi ini dingin, namun hatiku sudah terasa sangat
panas.
“Oh
ya? Nick membelinya bersamamu kemarin?” Kali ini aku mengikuti nada suaranya.
Terlihat riang meski hanya dibuat-buat.
“Tentu
saja, dia mengajakku ke pasar seni.”
“Lihat,
betapa romantisnya Nick. Bahkan saat pergi denganmu, dia masih mengingatku,
Leoni.” Dalam hari aku tertawa saat melihat ekspresi Leoni yang mulai berubah.
“Yah,
mungkin dia hanya sungkan padamu karena dia tidak mengajakmu pergi.”
“Dia
sudah mengajakku, tapi aku yang tidak mau karena aku masih mengantuk. Begitu
dia sampai di rumah, dia membangunkanku dengan kecupan yang lembut, kemudian
dia memakaikan gelang ini di tanganku.” Sungguh aku ingin tertawa saat kalimat
itu keluar dari mulutku. Membangunkan dengan kecupan kubilang? Jika saja Leoni
tahu bahwa saat itu Nico hampir membunuhku. Wajah gadis itu mulai memerah.
Tampaknya emosinya telah mulai naik ke kepalanya, namun ia tetap berusaha
tenang.
“Memang
begitulah Nico. Dia lelaki yang lembut. Mungkin aku sedikit beruntung bertemu
dia lebih dulu. Dan aku yakin dalam hati Nico masih ada aku.”
“Percaya
diri sekali kau.”
“Tentu
saja, kami nyaris menikah jika saja anak kami tidak gugur.”
Seseorang,
tolong tampar aku. Apa yang baru saja kudengar? Anak? Membayangkan Nico
berdekatan dengan seorang gadis saja aku tak mampu, dan sekarang gadis sialan
itu bilang ‘anak’? Aku dapat merasakan tengkukku merinding. Kali ini gadis itu
membuat kemarahanku merangkak menuju puncak.
“Selain
romantis, pengertian, perhatian, Nico juga lelaki yang hebat di ranjang.”
Cukup! Hentikan, sialan!
“Yah,
aku tahu. Dan anak ini,” Aku menyentuh perutku yang sedikit membuncit karena
terlalu banyak makan. “aku pastikan akan menjaganya dengan baik dan kami akan
membangun hidup yang bahagia.”
“Ya,
kecuali aku mampu merebut Nico darimu dan membuatmu menjadi orang tua tunggal.”
Leoni
sudah melebihi batasnya dan aku tak akan lagi memberikan toleransi pada wanita
ini, aku mendekatinya kemudian dengan kasar menarik rambutnya yang tergerai
panjang. Aku yang sedikit lebih tinggi darinya merasa beruntung karena aku
mampu mengintimidasi gadis itu. Aku menarik rambutnya hingga gadis itu
mendongak sambil merintih. Aku mendekatkan bibirku di telinganya.
“Kau,
jika kau masih ingin selamat, jauhi Nico atau aku tak akan segan-segan
menyiksamu jauh daripada ini.” Gertakku dengan gigi yang masih terkatup.
Mungkin
mengintimidasi lawan sudah jadi bakatku sejak di sekolah menengah. Bahkan
seniorku saat kuliah pun enggan mencari masalah denganku atau mereka akan
merasakan akibatnya. Tapi itu dulu, menjelang skripsi aku sudah bertobat. Aku
takut musuh-musuhku akan mengutukku dan membuatku jadi mahasiswa abadi di
kampusku.
“Elena,
lepaskan. Sakit.” Leoni sedikit meronta saat aku menjambaknya semakin kuat. Aku
menyeringai, menikmati rasa sakit gadis itu.
“Kau
pikir aku akan mudah melepaskanmu? Lihat saja nanti. Aku akan membunuhmu jika
kau masih mendekati Nico.” Ancamku yang kemudian melepaskan tanganku saat
seseorang memanggil namaku.
***
Nico
POV
“Elena.”
Aku
melihat gadis itu tampak berbeda. Kilatan kemarahan terlihat jelas di matanya.
“Nick,
tolong aku.” Leoni yang menangis berlari ke arahku kemudian memelukku. Aku tak
membalasnya karena bagiku aku tak punya alasan untuk memeluk orang lain kecuali
Elena.
“Le-o-ni.”
Suara dingin Elena mengalahkan suhu pagi ini di kebun teh. Di satu sisi aku
kasihan melihat Leoni, di sisi lain, aku senang karena Elena tampaknya telah
memberi pelajaran pada gadis manja itu.
“Elena
sudahlah.” Aku mencoba menjauhkan Leoni dariku dan berjalan mendekati Elena.
Namun entah mengapa tatapannya padaku terasa tajam. Aku mengernyit bingung. Aku
yakin Leoni telah mengatakan sesuatu padanya.
“Aku
ingin kembali pada Evan.” Ujar Elena saat aku berdiri di hadapannya. Aku
mengikuti arah pandang Elena yang masih menerawang jauh di belakangku. Leoni,
gadis itu berlari meninggalkan kami. Tiba-tiba Elena melingkarkan kedua
tangannya di pinggangku, ia menyandarkan kepalanya di dadaku. Hening. Namun aku
merasakan pundak gadis itu bergetar. Ia menangis. Aku sepertinya telah
melewatkan bagian penting mereka berdua.
“Kau
kenapa, Elena?”
“Aku
ingin pulang. Se-ka-rang!”
“Tapi
polisi…”
“Aku
tak peduli.” Elena menyela. “Di sini sudah seperti penjara bagiku, terlebih
dengan adanya Leoni, membuatku semakin muak.”
“Kau
cemburu?”
“Aku
ingin pulang!”
Elena
mengusap air matanya dengan kasar. Sejenis air mata yang tumpah karena
kemarahan. Gadis itu menghentakkan kakinya kemudian pergi meninggalkanku.
“Apa
yang dikatakan Leoni?” Aku menyejajarkan langkahku dengan Elena.
“Semuanya.”
“Seperti
apa, misalnya?” Elena tak menjawab pertanyaanku. Ia melirikku sejenak, menatap
ke dalam mataku kemudian berlari ke dalam rumah. Firasatku mulai memburuk,
entah apa yang dikatakan Leoni hingga Elena semarah ini.
Brak.
Pintu
kamarnya sudah terbanting dan itu tandanya setan kemarahan sudah merasukinya.
Kali ini aku harus meminta penjelasan padanya atau semuanya akan semakin kusut
mengingat sifat Leoni yang akan menggunakan cara apapun untuk menapatkanku.
“Elena,
aku masuk.” Aku membuka pintunya, tak peduli ia akan melempar pisau padaku.
Bantal, guling dan selimut tidak lagi ada di tempatnya. Gadis itu sedang murka.
“Jelaskan
padaku.” Aku tak ingin bantahan, aku harus tahu situasi apa yang kuhadapi.
“Apa
lagi? Kau lebih tahu dengan kisahmu.”
“Elena.”
Aku masih mencoba menelan emosiku. Jika ini bukan Elena, aku pasti sudah meledak-ledak
karena ia merajuk dengan cara yang menjengkelkan seperti ini.
“Ini
gara-gara kau.”
“Aku?”
“Ya,
kau pergi mengajak Leoni keluar dan membelikanku gelang yang sama dengannya.”
Oh, bagus. Kemampuan berakting Leoni sama sekali tak surut meski aku sudah lama
aku tak bertemu dengannya.
“Aku
pergi sendiri, dan aku hanya membelikan satu untukmu.”
“Pembohong.”
Aku
mendesah kesal, kenapa gadis ini benar-benar keras kepala dan lebih memercayai
Leoni.
“Aku
bersumpah Elena, kau bisa temui temanku dan bertanya padanya.”
“Kau
masih menyukai Leoni?”
Ya ampun, apa lagi ini?
“Tidak.
Aku hanya mencintaimu, Elena.”
“Leoni,
dia mantan pacarmu? Kalian hampir menikah?”
“Apa
aku sedang diinterogasi sekarang?” Ya Tuhan, aku sudah nyaris putus asa
sekarang dan Elena masih menanyaiku dengan hal-hal yang tidak-tidak. Elena
menyatukan alisnya, simbol bahwa ia harus mendapat jawaban. Aku mengembuskan
napas putus asa.
“Ya.”
“Antar
aku pulang sekarang.” Gadis itu kembali merajuk. Aku membenamkan wajahku pada
kedua telapak tanganku, kemudian menggaruk rambutku yang sama sekali tidak terasa
gatal.
“Elena,
aku memang akan menikahinya, tapi itu tidak terjadi.”
“Tentu
saja, karena anak kalian gugur? Karena itu kalian batal menikah?”
“Lelucon
macam apa ini?” Kesabaranku mulai tak terkendali. “Kau lebih memercayainya dari
pada aku? Gadis pembual itu menurutmu lebih berkata jujur dari pada aku? Kau
keterlaluan, Elena.” Suaraku nyaris berteriak, membuat gadis dihadapanku
terkesiap. Aku memejamkan mataku sejeak, mengatupkan bibirku erat-erat, meredam
emosi yang mulai membuat kepalaku berdenyut.
“Elena,
itukah yang membuatmu mengatakan padanya bahwa kau hamil anaku?” Aku ingin
marah dan tertawa pada saat yang bersamaan ketika teringat Elena menyentuh
perutnya dan mengatakan bahwa kami akan hidup bahagia. Anak? Bahkan untuk
menciumku saja Elena enggan.
Elena
mengangguk lemah, tak berani menatap mataku. Ada kalanya gadis ini tampak
menggemaskan, terlebih saat ia sedang… cemburu. Aku mendekatinya, satu tanganku
menaikkan dagunya, sedangkan tangan yang lain menggenggam jemarinya.
“Aku
tak pernah menyentu Leoni sejauh apa yang kau pikirkan di kepalamu itu, Leoni
hanya masa laluku. Dan sekarang, aku mencintaimu. Percayalah.”
Bersambung…