Cuaca pagi ini sangat
cerah—ketika sinar matahari masuk melalui celah tirai kamar Trisia, Trisia
beringsut dari tempat tidurnya, meraih sandal merahnya dan bergegas menuju
dapur untuk menyeduh secangkir kopi untuk menyambut pagi yang menyenangkan.
Sambil melantunkan syair lagu
kesukaannya, Trisia menyiapkan kopi untuk Tomi sebelum lelaki itu bangun. Sejak
dua hari yang lalu tampaknya Tomi telah kembali menjadi lelaki yang dicintainya
dahulu. Lelaki itu tak lagi menyakitinya. Justru semalam Tomi telah meminta
maaf pada Trisia.
Setelah secangkir kopi panas
selesai disiapkan, Trisia segera menuju kamar Tomi untuk membangunkannya. Tapi
ia tak menemukan Tomi di kamarnya dan suara-suara berisik justru terdengar
jelas di kamar sebelah. Setelah itulah segala sesuatu tampak tidak beres.
Sambil membawa secangkir kopi di tangannya, Trisia bergegas menuju asal suara
yang berasal dari kamarnya.
"Kenapa bisa tak ada makanan
disini?" Teriak Tomi sambil menendang salah satu kursi di kamar Trisia.
"Persediaan kita habis, Tom.
Aku akan membelinya sepulang aku kerja nanti."
"Lalu aku sarapan apa? Aku
harus kuliah Tris. Kau pikir aku tak perlu makan?" Tomi meradang karena
tak puas pada jawaban Trisia.
"Aku sudah bilang, bukan?
Aku akan membelinya nanti, Tom. Kau bisa membeli sesuatu sebelum kau ke kampus.
Minumlah ini." Trisia menyodorkan secangkir kopi yang dibuatnya dengan
penuh cinta untuk Tomi.
"Aku tak butuh kopi
Trisia." Tomi menampik kopi tersebut hingga terjatuh dan berceceran ke
lantai. "Aku lapar! Aku butuh makan, bukan kopi!"
"Sudahlah Tom, ada apa sih
denganmu? Kupikir kau sudah benar-benar berubah. Ternyata kau masih sama
saja!" Nada Trisia sedikit meninggi. Rasa kecewa menjalar dalam hatinya,
membuat matanya berair.
Plak.
Sebuah tamparan menjadi sarapan
Trisia pagi ini. Meski ini bukan kali pertama Tomi menamparnya, tapi pagi ini
Tomi benar-benar telah menyakiti hatinya. Air matanya tak mampu lagi terbendung
ketika dengan kasar Tomi membanting pintu kamar Trisia dan meninggalkannya
sendiri di kamarnya.
***
Paginya benar-benar menjadi buruk
dalam sekejap. Dengan mata yang sembap dan suasana hati yang buruk, Trisia
memaksakan diri untuk pergi ke kantin. Ia hanya perlu berharap untuk tidak
bertemu Tomi sepanjang jam kerjanya di kantin atau suasana hatinya akan
bertambah lebih buruk lagi.
"Katakan padaku mengapa
kulihat Tomi asyik bermain-main dengan gadis-gadis itu sedangkan kau menekuk
wajahmu sepanjang hari?" Tanya Vany yang berdiri tepat di samping Trisia
yang sedang mencuci piring.
"Tidak apa-apa. Seperti
biasa, Van." Ujar Trisia singkat. Baginya, bercerita sama seperti
mengungkit kemarahan yang telah berusaha ia pendam. Ia masih perlu waktu untuk
bercerita.
"Kupikir aku akan
mendapatkan berita bagus pagi ini," Gerutu Vany cemberut.
"Memangnya kau mau berita
apa?"
"Em... Mungkin, 'Van, aku
sudah putus dengan Tomi' atau sejenisnya." Vany menirukan gaya bicara
Trisia, membuat gadis itu sedikit tersenyum mendengar celotehan sahabatnya itu.
"Kapan kau putus? Dia tidak baik untukmu Tris."
"Van, kau tahu alasanku.
Gara-gara aku, dia diusir orang tuanya. Aku merasa bertanggung jawab untuk
itu."
"Dia laki-laki, kau boleh
saja meninggalkannya. Perbuatannya tak bisa dimaafkan, dia..."
"Van..." Trisia
memotong ucapan sahabatnya. "Cukup. Aku tak ingin melanjutkan itu."
Ia tahu apa yang dikatakan sahabatnya itu benar, tapi bagaimanapun juga rasa
bersalah masih menghantui Trisia.
"Tris, coba pikir, dia
terlalu sibuk mencoreng kertas putihmu dengan tinta hitamnya. Bahkan penghapus
pun tak akan mampu mengembalikannya. Kau terlalu berharga untuknya,
kau..."
"Trisia, ada yang ingin
bertemu denganmu." Teriak sang pemilik kantin memotong ucapan Vany. Trisia
mengerutkan dahi menatap Vany sementara Vany hanya mengangkat pundaknya sambil
menggeleng. Trisia bergegas menghentikan aktivitasnya, buru-buru ia melepaskan
celemeknya dan menemui pemilik kantin.
"Itu." Ujar pemilik
kantin menunjuk seorang lelaki muda yang bertampang cerdas dengan kacamata yang
membingkai matanya. Setelan jas berwarna abu-abu membalut tubuhnya dan matanya
tertuju pada sebuah ponsel yang ada di genggamannya.
"Selamat siang, saya Trisia.
Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Trisia yang tampaknya sempat membuat
lelaki tersebut terkejut.
"Ah, selamat siang. Saya
Denis dari perusahaan Quarts Design." Ujar lelaki itu sambil
menyerahkan sebuah kartu nama berwarna putih dengan semburat kehijauan
bertuliskan Denis Dirganata. "Tujuan saya datang kemari, saya ingin
menawarkan pekerjaan dengan gaji besar untuk anda, nona Trisia."
"Pekerjaan bergaji besar
untukku? Apakah mungkin anda salah orang?" Tanya Trisia heran. Terasa tak
masuk akal seseorang yang tak dikenalnya tiba-tiba datang dan menawarkan
pekerjaan bagus. Apalagi Trisia bukanlah gadis yang menonjol dalam
lingkungannya.
"Apakah saya sedang
berbicara bersama nona Trisia Arissandy?"
"I... Iya. Lalu kalau boleh
tahu, pekerjaan apa yang harus saya lakukan?" Trisia mulai tertarik.
"Asisten CEO Quarts
Design."
***
Asisten CEO? Pekerjaan seperti
apa itu?
Langit sudah hampir gelap ketika
Trisia membersihkan meja-meja kantin. Tawaran menggoda untuk menjadi asisten
CEO terus menerus berputar dalam kepala Trisia. Tapi ia masih harus memikirkan
dengan matang sebelum melepaskan pekerjaannya sebagai pegawai kantin dan
mungkin juga pekerjaannya sebagai pelayan café.
"Apa yang kau
pikirkan?" Vany menepuk pundak Trisia sehingga membuat gadis itu terkejut.
"Tidak. Aku hanya memikirkan
tawaran tadi siang."
"Terima saja. Di perusahaan
mungkin kau akan mendapatkan gaji minimal dua kali lipat dari pekerjaanmu di
kantin Tris. Dan mungkin saja bosmu akan menyukaimu dan..."
"Vany, hentikan. Ini bukan
film romantis seperti yang ada di kepalamu. Kau kenapa belum pulang?"
"Kuliah terakhirku baru saja
selesai. Sebentar lagi kau ke Rainbow Café?"
"Tidak. Ini adalah
anniversarry ke dua puluh lima pemilik café. Jadi cafe tutup
hari ini."
"Kalau begitu kau harus ikut
denganku ke suatu tempat."
***
"Katakan padaku kenapa aku
harus setuju untuk kau dandani seperti ini?" Gerutu Trisia ketika melihat
pantulan dirinya dalam cermin yang berukuran besar di kamar Vany. Sebuah mini
dress berwarna hijau zamrud yang senada dengan warna matanya membalut pas tubuh
langsing Trisia. Panjangnya gaun yang hanya menutup tiga per empat pahanya
membuat gadis itu terus-menerus menarik-narik bagian bawah gaunnya.
"Hentikan Tris, jika kau
lakukan itu, gaunku akan robek." Ujar Vany sambil membubuhkan eyeshadow pada kelopak matanya.
"Tapi ini terlalu pendek
untukku Van."
"Ini sempurna Tris. Kau akan
mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Tomi malam ini." Vany
memberikan sentuhan terakhir pada bibirnya. Lipstik pink yang senada dengan
pakaiannya membuat Vany tampak begitu cantik malam ini.
"Kita mau kemana dengan
pakaian seperti ini?" Tanya Trisia yang masih penasaran. Vany hanya
menjawab pertanyaan Trisia dengan seulas senyum kemudian menarik tangan Trisia
menuju mobil miliknya.
Seperti biasa, mereka harus
bergelut dengan kendaraan yang saling berebut lintasan. Namun itu sudah menjadi
hal wajar bagi masyarakat ibukota, termasuk Trisia dan Vany. Cukup lama
kendaraan mereka merayap, hingga sampailah ke sebuah jalan yang menurut Trisia
berbeda dari jalanan ibukota pada umumnya.
Jalanan yang lebar dan cukup
lenggang mengingat ini masih di pusat kota, pohon-pohon peneduh dan beberapa
rumah yang sepertinya baru saja dipugar menempati sisi kanan dan kiri jalan.
Sekitar seratus meter dari rumah yang terletak di sisi kanan jalan terdapat
sebuah restoran Jepang dengan tulisan "Peko-Peko"
yang super besar di bagian atas restoran. Kemudian ketika menengok sebelah
kiri, sebuah toko yang menjual benda-benda seni mampu menarik perhatian Trisia.
Beberapa menit kemudian, setelah
melewati sebuah tikungan yang cukup tajam, Vany memarkirkan mobilnya ke sebuah
halaman yang cukup luas untuk sebuah pelataran rumah di ibukota. Banyak mobil
dan motor berjajar di pelataran rumah besar bercat abu-abu itu.
"Apakah ada pesta?"
Trisia menyebarkan pandangannya di sekeliling tempat yang terasa asing baginya.
Vany masih bungkam dan hanya melempar senyum jahil untuk membuat penasaran
sahabatnya itu.
Sementara Vany berjalan dengan
anggun di depan Trisia melewati pelataran rumah, Trisia justru masih sibuk
memandangi sekitarnya dengan tatapan kagum. Lampu-lampu kecil menghiasi
pohon-pohon cemara yang berjajar di sisi kanan dan kiri bagian dalam pagar,
mirip seperti pohon natal namun dalam jumlah banyak. Dua orang berkemeja gelap
yang dipadukan dengan celana bahan dengan warna senada tengah asyik
bercengkrama di depan pintu lebar yang tertutup rapat.
Vany mendorong pintu tersebut,
kemudian sebuah anak tangga menuju ke atas dan kebawah terlihat, begitu mereka
memasuki ruangan yang minim perabot dengan lantai yang dilapisi karpet bermotif
abstrak. Kemudian Vany melanjutkan langkahnya menuju tangga yang mengarah ke
bawah. Trisia yang memang dilahirkan dengan gen penasaran yang berlebihan masih
terus menanyakan apa yang akan mereka lakukan di tempat ini.
"Aku tak tahu apa Tomi
pernah mengajakmu ke tempat ini atau tidak. Tapi, semoga malam ini kau
mendapatkan keberuntunganmu." Vany yang sengaja diam akhirnya membuka
mulut. Tangan kanannya meraih gagang pintu, kemudian mendorong pintu tersebut
hingga terbuka. Begitu terkejutnya Trisia ketika sorot cahaya lampu berwarna
biru dan merah menyentuh wajahnya secara bergantian hingga Trisia memicingkan
matanya karena cahaya yang menyilaukan.
Musik-musik bertempo cepat
disertai suara riuh orang-orang yang mencoba mengalahkan dentuman musik sungguh
memekakkan telinga. Vany menggandeng sahabatnya, membelah kerumunan orang yang
menari-nari di atas lantai dansa menuju ke sebuah meja yang berada di sisi
kanan lantai dansa.
Vany memesankan minuman untuk
Trisia, karena ia yakin betul Trisia belum pernah menginjakkan kaki di sebuah
club malam semacam ini. Tak perlu menunggu lama, pelayan membawakan dua gelas
minuman berwarna merah.
"Kau mau berdansa?"
Tanya Vany setelah meneguk minumannya. Trisia hanya menggeleng tanpa memandang
Vany. Ini benar-benar hal yang baru bagi Trisia. Matanya tak berhenti
berkeliling untuk menyaksikan segala yang ada dalam tempat itu.
"Baiklah. Tunggu sebentar,
aku mau ke toilet. Kau mau ikut?" Tawar Vany pada sahabatnya yang
tampaknya sedang tenggelam dalam pikirannya.
"Tidak. Aku tunggu di sini
saja."
Cukup lama Vany meninggalkan
Trisia, rasa bosan mulai bergeriliya dalam diri Trisia. Mata cantiknya justru
semakin jeli mengamati keadaan sekelilingnya hingga matanya terpaku pada
seorang lelaki. Lelaki yang begitu dikenalnya tengah menyelipkan wajahnya
diantara leher dan pundak seorang gadis berambut pirang, sedangkan kedua
tangannya mendarat pada pinggang gadis itu. Perasaan marah dan jijik bercampur
aduk dalam diri Trisia. Dengan langkah tegas, ia berjalan mendekati lelaki itu.
Plak.
Sebuah tamparan mendarat sempurna
di pipi kanan lelaki itu hingga wajahnya memerah. "Tomi, apa yang kau
lakukan bersama jalang ini? Menjijikkan!" Bentak Trisia yang kemudian
melangkah mundur dan siap untuk berbalik. Namun sayang, Tangan Tomi terlebih
dahulu menarik ikatan rambut Trisia hingga ia terpaksa mengurungkan niatnya
untuk pergi.
Aku pasti mati! Pikir Trisia. Ia tahu benar
bagaimana kelakuan Tomi padanya. Bukan hal mustahil jika Tomi akan mengeluarkan
pisau lipat yang selalu ia simpan dalam jaketnya dan menyayat tubuh Trisia.
Trisia terus meronta hingga seseorang datang menepuk pundak Tomi.
"Sebagai seorang lelaki apa
pantas kau lakukan hal seperti itu pada seorang gadis? Lepaskan dia."
Bersambung