Derap langkah kaki yang sangat terburu-buru terdengar jelas
di telinga Evan setelah suara pintu yang terbating dengan keras, membuatnya
berjingkat hingga menumpahkan sedikit kopi yang baru saja dibuatnya.
Ya Tuhan, kapan kebiasaan adiknya membanting pintu itu
akan hilang.
“Elena…” Panggil Evan tanpa sedikitpun mendapatkan perhatian dari
adiknya yang menaiki tangga ke lantai dua dengan raut yang
kacau dan berlari menuju kamarnya. Evan meletakkan cangkir kopi tersebut dan mengikuti adiknya.
“Ele...”
Brak. Terdengar kembali suara pintu yang di banting. Kali
ini pintu kamar yang menjadi pelampiasannya.
Seperti biasa, mungkin ia bertengkar dengan pacar
sialannya itu, pikir Evan. Siapa yang tidak kenal Jonathan Adam? Lelaki yang menempati jajaran teratas lelaki tampan
yang
mungkin bisa disejajarkan dengan Adam Levine atau Adam Young, mengingat nama
mereka sama-sama memiliki
‘Adam’. Tak diragukan lagi prestasi Jonathan yang luar biasa
dalam memikat gadis-gadis yang tak berdosa yang hanya berujung sebagai
permainannya saja, dan anehnya gadis-gadis itu masih berebut untuk mencuri
perhatiannya.
“Elena, apa yang terjadi?” Evan mengetuk pintu bercat putih yang ada di hadapannya.
Kemudian Evan menempelkan telinganya di pintu untuk mendengar ocehan adiknya.
Hening.
Biasanya hal pertama yang akan dilakukan adiknya setelah
membanting pintu kamar adalah berteriak seperti orang gila kemudian membanting
apapun yang dilihatnya. Ya, bakat pemarahnya tak perlu disangsikan lagi menurun
dari siapa, ayahnya yang pemarah dipadukan dengan ibunya yang semaunya,
menciptakan gadis bertempramen buruk semacam Elena.
“Elena, apa kau baik-baik saja?” Evan membuka pintu
perlahan, mengintip adiknya melalui celah pintu yang terbuka. Ia hanya
memastikan bahwa semuanya aman atau sesuatu akan terlempar ke arahnya jika ia
membuka pintu begitu saja.
Dilihatnya gadis itu meringkuk di ranjangnya, memeluk
kedua lututnya. Ada yang tidak beres,
batin Evan. Evan melangkah mendekati adik kembarnya yang berbeda delapan menit
darinya. Gadis itu menatap jendela di samping ranjangnya, wajahnya pucat dan
pandangannya tampak kosong.
“Hei, kenapa kau ini? Kau sakit?” Evan menyentuh kening
adiknya. Dia tidak demam. Evan mengernyitkan dahi, tidak biasanya adiknya
bertingkah seperti ini. Kemudian ia menggoyang lengan Elena untuk mendapatkan
perhatian adiknya itu.
“Kenapa?” Ia menatap adiknya. Mata gadis itu mulai
berkaca-kaca.
“A-aku…
aku…” Ujar Elena gugup. Lidahnya kelu, tak mampu mengatakan apapun dari mulutnya. Yang pasti, ia
berharap ini hanya mimpi buruk dan akan terbangun keesokan harinya.
“Len, jangan membuatku takut.” Untuk beberapa saat Elena terdiam, kemudian bangun dan
berhambur ke dalam pelukan Evan.
“Aku…aku... aku membunuh orang, kak. Apa yang harus kulakukan? A-Aku... aku akan dipenjara.” Teriak Elena histeris dan semakin erat
memeluk lelaki yang merengkuhnya itu. Pelukan itu adalah pelukan ternyaman bagi
Elena, bahkan mengalahkan pelukan ibunya.
Evan menjauhkan tubuhnya dari
pelukan adik kembarnya itu dan mencengkeram erat kedua lengannya. “Apa
maksudmu?” Suaranya
meninggi,
panik mendengar pengakuan Elena.
“Sembunyikan
aku kak,
aku tak ingin dipenjara. Tolong aku.”
“Apa…
dia Jonathan?” Tanya Evan
ragu menyebut nama kekasih adiknya yang terkenal seorang playboy dan disambut gelengan oleh Elena. Sejenak Evan bersyukur, tapi kelegaannya tak bertahan
lama begitu cerita mengalir dari mulut Elena.
Evan mengumpat kesal mendengar
cerita adiknya. Ia tahu adiknya salah, namun ia juga tak ingin gadis itu
berakhir menjadi perawan tua yang membusuk di penjara. Ia mengusap rambutnya
frustasi. Sementara adiknya meringkuk di bawah selimutnya tanpa berhenti
menangis. Ini lebih
buruk dari yang dibayangkannya.
Evan meraih ponsel di sakunya,
kemudian ia mencari sebuah nama di kontak ponselnya.
“Halo…
Iya, aku butuh bantuanmu.”
•••
“Dimana
mobilnya?” Tanya seorang lelaki yang mengenakan hoodie berwarna hitam yang langsung masuk bahkan sebelum Evan mempersilakan lelaki itu
masuk.
“Elena meninggalkan mobilnya di gang
belakang Rachel’s Guesthouse setelah
mengalami kecelakaan di jalanan dekat Sunshine
Mall.”
“Apa
adikmu sadar apa yang dia lakukan itu? Ceroboh.”
“Nick, jangan mengatainya. Ini
adalah saat yang sulit untuknya.”
Pembelaan
Evan membuat Nico tertawa, “Aku tahu. Tapi
adikmu itu memang benar-benar ceroboh. Sudahlah, aku akan mengurusnya.” Ujar Nick yang kemudian duduk di sofa
sambil menggeser layar
ponselnya untuk mencari sebuah nama pada kontak
telponnya.
“Dan, ada mobil di belakang gang Rachel’s Guesthouse. Ganti plat nomornya
sebelum kau membawanya dan tolong urus itu, jangan sampai ada urusan dengan
polisi. Lalu coba kau cari tahu tentang korban kecelakaan di jalan raya sekitar
Sunshine Mall.” Perintah Nico yang diyakini Evan ditujukan kepada kaki
tangannya.
Di
saat seperti ini Evan
merasa sangat beruntung mengenal Nico.
Meski terkadang ia kesal dengan sikapnya yang angkuh dan seenaknya.
Pertama
kali Evan mengenalnya adalah tiga tahun yang lalu, ketika ia magang di sebuah
perusahaan asing yang dijalankan sementara oleh Nico, anak pemilik perusahaan
tersebut. Dalam beberapa hari, telinga Evan akrab dengan perintah konyol lelaki
itu. Seharusnya Evan magang di bagian administrasi, tapi karena ia adalah
satu-satunya pegawai magang di perusahaan itu, maka Nico menjahilinya dengan menjadikan
dia pesuruh di perusahaan.
“Kenapa? Wajahmu seperti
hampir saja mau menangis.” Ujar Nico terkekeh
ketika menatap wajah Evan yang baru masuk setelah Nico memberinya
tugas untuk membelikan jus jeruk dalam waktu lima menit di kantin perusahaan.
Tentu saja dengan ancaman ia tak akan memberinya nilai bagus untuk nilai
magangnya jika ia terlambat.
“Tidak pak. Saya baik-baik
saja.” Jawab Evan nyaris putus asa.
“Wajahmu yang merona itu benar-benar
manis. Seandainya kau adalah perempuan, aku akan menjadikanmu istriku.
Sayangnya kita sejenis. Dan aku bukan penyuka sejenis.”
Tawa iblis itu benar-benar
terngiang-ngiang di telinga Evan. Hingga saat magang berakhir dan nilai magang
untuk kampusnya telah keluar, Evan mendatangi ruangan Nico dan
mengumpatnya dengan kasar.
“Kau
ini kenapa memandangiku seperti itu? Tak perlu berterima kasih padaku, Van. Aku akan mengurus semuanya.
Adikmu akan baik-baik saja. Tolong ambilkan air. Astaga… rumahmu panas sekali.”
“Kau
masih sama saja tuan besar. Tukang perintah!” Evan mendengus kesal.
“Van,
bisakah aku bertemu adikmu itu? Aku perlu menanyainya beberapa pertanyaan.”
“Wawancara?
Kurasa lebih baik kau menemuinya besok, dia sedang kacau, Nick.”
“Tidak…
Ini masalah besar, Van. Kita tak punya banyak waktu. Bisa saja seseorang telah
mencatat nomor plat mobilnya dan melaporkan adikmu ke polisi. Pikirkan itu.”
Evan
mematung mendengar alasan masuk akal Nico.
Bagaimanapun lelaki yang usianya empat tahun lebih tua darinya itu mungkin lebih
tahu apa yang seharusnya dilakukan. Evan melangkah mengetuk pintu kamar Elena. Suara tangis Elena yang nyaris teriak terdengar jauh
lebih jelas saat Evan membuka pintunya.
“Len, ada yang ingin bertemu denganmu.”
“Aku
tak ingin bertemu dengan siapapun, kak.”
Evan
menatap Nico dengan
tatapan kau-lihat-itu? namun Nico tampaknya tak terpengaruh
dengan hal itu. Nico melangkah
untuk mendekati Elena.
“Hai
adik kecil, bagaimana kabarmu? Ayo bangunlah aku perlu bertanya sesuatu
mengenai kecelakaan itu.”
“Kak!”
Teriak Elena
di balik selimutnya.
“Elena, dia akan membantumu.
Bangunlah, aku janji dia tak akan banyak bertanya.” Rayu kakaknya. Ya, itu juga
demi kebaikan gadis itu.
“Kata
siapa? Aku justru ingin menanyakan banyak hal pada adik kecilmu itu, Van.” Goda
Nico ditengah suasana yang terasa
kaku tersebut.
“Nick…”
“Apa
yang ingin kau tanyakan?” Tanya Elena ketus di balik selimutnya.
“Ayolah
adik kecil, jangan jual
mahal.
Bangunlah, kecuali kau ingin mencoba merasakan sel penjara.”
“Nick, jaga ucapanmu!” Evan sedikit
membentak.
“Wow,
kau menakutiku Evan.” Ujar Nico dengan nada yang dibuat-buat. “Cukup. Bangun
adik kecil.”
“Iya iya, aku bangun! Kau benar-benar
membuatku kepalaku pusing!”
Nico tak berhenti memandangi gadis
di hadapannya begitu gadis itu menampakkan wajahnya. Rambut hitamnya tergerai
berantakan, wajahnya memerah karena tak berhenti menangis sejak beberapa waktu
yang lalu. Mata sembapnya membuat gadis itu hanya mampu membuka matanya
beberapa mili. Dan lewat mata Nico,
gadis itu tampak… seksi.
“Kau
ingin tanya apa?” Elena
mengerucutkan bibirnya kesal.
Nico masih tak berhenti
memandanginya, bibir merah Elena tanpa polesan lipstik yang mengerucut kesal tampak menggemaskan. Ini baru pertama
kalinya Nico bertemu
dengan Elena
namun ia tak menyangka bahwa gadis itu begitu mirip dengan dengan Evan, namun
tentu saja gadis itu jauh lebih cantik dari Evan.
“Nick…” Panggil Evan mencoba
menyadarkan Nico yang
tak berkedip memandangi adiknya. Di saat yang sama, Elena melempar bantal pada wajah Nico sekenanya untuk membuyarkan apapun yang ada dalam pikiran lelaki
itu.
“Ada
apa? Apa yang ingin kau tanyakan padaku?” Elena mengulangi pertanyaannya.
“Ah
aku hanya ingin menanyakan kronologi kejadian itu. Apa kau yakin kaulah
penyebabnya? Bukan sebuah kecelakaan tunggal? Jika kau bisa bicara jujur, aku berjanji akan membantumu.”
Gadis
itu terdiam. Air mata kembali menggenang di matanya. Elena beringsut dari ranjangnya
lalu mendekat dan berdiri di hadapan Nico.
Gadis itu menggenggam kedua lengan Nico, menatap mata Nico dengan tajam dan penuh tekad.
“Siapapun
kau, kau harus membantuku. Aku tak ingin masuk penjara. Sembunyikan aku.” Ujar Elena tegas dan memaksa.
Nico mengerutkan dahinya, terkejut dengan tingkah Elena yang bertolak belakang dengan
kakaknya. “Kenapa aku
harus menyembunyikanmu?”
“Karena. Kau. Harus!” Elena menegaskan setiap kata yang
diucapkan tanpa mengalihkan pandangan pada lelaki di hadapannya. Tetapi sesaat
kemudian ekspresi garangnya berubah, air mata kembali menggenangi matanya.
“Orang
itu mengalami kecelakaan karena aku membelokkan mobilku secara tiba-tiba. Ini
salahku. Mungkinkah orang itu meninggal? Apa yang harus kulakukan? Aku tidak
mau dipenjara. Bagaimana jika polisi membawaku lalu mereka menyiksaku di sana?” Elena mengucapkannya dalam satu tarikan nafas. Ia
mengacak rambutnya frustasi dan setengah berteriak.
Gadis
itu tampak benar-benar kacau.
Dalam hati, Nico ingin mendekapnya
untuk memberi kekuatan pada gadis itu, namun Evan telah melemparkan tatapan jangan-sentuh-adikku untuk Nico di
belakang Elena.
Nico hanya membalas Evan
dengan menyunggingkan
senyuman jahil untuk lelaki
itu.
“Tenanglah
adik kecil, aku akan
membantumu. Kupastikan kau tak akan tersentuh masalah apapun. Kau aman
bersamaku.” Tak peduli dengan peringatan Evan, Nico mendekap tubuh gadis di
hadapannya dan hal itu membuat tangisan Elena semakin keras.
Evan bergerak maju, menarik adiknya dari dekapan Nico.
“Sudahlah,
hentikan tangisanmu adik kecil. Hatiku sungguh tersayat mendengar suara
tangismu. Semua akan baik-baik saja. Aku berjanji.”
“Pastikan itu. Jika kau tidak memenuhi janjimu untuk menyelamatkanku,
aku akan membuat perhitungan denganmu.”
•••
Elena POV
Hati
dan pikiranku
sungguh campur aduk. Semuanya terjadi begitu cepat. Kesialan datang
bertubi-tubi hari ini. Jonathan yang mengkhianatiku, polisi yang hendak menilangku, hingga kecelakaan nahas yang terjadi di depanku. Apa yang
harus kulakukan? Jantungku rasanya berdetak terlalu kencang hingga seolah
hendak keluar melewati tenggorokanku, perutku mulas, pikiranku kacau, hatiku
kalut.
Tak
ada lagi yang bisa kuandalkan
kecuali Evan. Aku
tak mungkin bercerita pada ayah yang sibuk berkeliling dunia. Apalagi ibu yang telah memiliki keluarga baru. Harapanku
hanya ada pada Evan dan lelaki yang dia panggil siapa? Rick?
Lick? Nick? Ah ya,
Nick, mungkin begitu jika aku
tak salah mendengarnya.
Sesaat aku sempat mengamati lelaki itu, Wajahnya tampan dengan pakaian kasualnya. Aku
memang sedang dalam masalah yang cukup rumit yang mengganggu hati dan
pikiranku, namun tidak dengan mataku. Mataku masih normal, mampu memutuskan
bahwa Nick adalah lelaki yang tampan, meski mulutnya sangat menjengkelkan.
Tidak. Ini bukan waktunya aku terpesona dengan lelaki
itu. Aku harus memikirkan cara agar aku bisa keluar dari masalah ini. Jonathan
bukan lagi menjadi prioritas utamaku. Satu-satunya yang kuharapkan saat ini
adalah tak ada tuntutan yang akan mengirimku ke dalam sel penjara dan membusuk
hingga menjadi perawan tua.
Pemikiran itu membuatku semakin kacau. Aku berteriak
sekencang-kencangnya, dan tanpa sengaja mataku berserobok dengan sebuah foto. Jonathan
Adam. Lelaki dalam foto itu
tersenyum seolah mengolokku, membuat darahku mendidih. Kuraih foto itu dan
kulempar hingga menjadi puing-puing yang berantakan.
Aku akan membalasmu!
•••
Nico POV
“Sudah
kubilang jangan menyentuhnya bukan.” Evan melipat tangan di dadanya sambil
menatapku geram. Sosok
kakak yang posesif tampaknya.
“Adikmu
cantik.”
“Aku
tahu. Tapi tidak, Nick.
Aku memang berhutang budi karena kau membantu adikku. Tapi aku tak ingin kau menyentuhnya.”
“Ayolah
kak Evan, berikan aku kesempatan untuk membahagiakan adik kecilmu yang manis
itu.” Aku sengaja
memanggilnya ‘kak’ demi mendapatkan izin darinya. Kakak beradik itu sungguh menggemaskan.
“Tidak,
dia baru saja tertimpa musibah yang cukup berat. Belum lagi mantan pacarnya
yang itu tertangkap basah telah mengkhianatinya. Kau harus memahami situasi itu,
tuan besar.”
“Aku
tak akan pernah menyakitinya, Van.”
“Lalu
bagaimana dengan Melina, Ariana, Bianka, Lolita, Diana, Stevy...” Evan mencoba
mengabsen gadis-gadis yang pernah bersamaku.
“Cukup,
semua itu masa lalu, Van. Aku sudah tak berhubungan lagi dengan mereka. Aku…”
Belum sempat aku menyelesaikan
penjelasanku, ponselku yang ada atas meja
berdering. Nama dan foto Ariana terpampang pada layar yang berkedip di atas
meja. Aku yakin Evan melihatnya
karena letaknya lebih dekat dengan Evan dan aku tahu dia akan mengomeliku
seperti ibu-ibu posesif yang melindungi anak gadisnya.
“Ini
tidak seperti yang kau lihat.” Aku mencoba untuk membela diri. Sial! Kenapa Ariana harus menelponku di saat seperti ini!
“Angkat
saja.”
“Tidak.
Aku serius menginginkan adikmu dan aku bersumpah tak akan mengecewakannya.” Aku menghentikan pembelaanku, mencoba menebak-nebak apa
yang akan dikatakan Evan. Tetapi di luar dugaan, ia sama sekali tak
menghiraukanku. “Oke, aku akan pulang sekarang.
Besok akan kuberi tahu perkembangan mengenai kasus ini.”
Aku melangkah keluar, kemudian memasuki mobilku. Ponselku kembali
berteriak-teriak mencari perhatianku. Kuembuskan napas berat melalui mulutku.
Sudah kuputuskan, aku akan meninggalkan mereka semua dan mendapatkan Elena
secepatnya.