Jantungku berdetak hebat. Aku sudah berusaha
menginjak remku sedalam mungkin. Tapi sepertinya lagi-lagi dewi fortuna tak
berpihak kepadaku. Aku saling melempar pandang dengan gadis di sampingku yang
juga terpaku menatapku.
“Apa itu tadi?” Gumamku yang kemudian disambut
gelengan pelan oleh gadis di sampingku. Sesaat teriakan seorang lelaki mencuri
perhatian kami. Lalu kami turun untuk menyaksikan apa yang sedang terjadi. Aku
ragu gadis itu masih hidup saat melihat kondisinya.
“Trisia, bangun!” Seorang lelaki berkaus hitam
yang ada di hadapanku menepuk pelan wajah gadis yang tergeletak itu
berkali-kali. Namun gadis itu tak juga menunjukkan tanda-tanda akan bangun.
“Maafkan kami. Dia tiba-tiba berada di tengah
jalan.” Ujar Elena terbata-bata. Aku bahkan tak mampu mengatakan apapun. Aku
terpaku menatap darah yang mengalir membasahi jalanan, sementara lelaki itu
sama sekali tak menggubris Elena. Tanpa mengatakan sepatah katapun pada kami,
lelaki itu mengangkat tubuh kurus gadis itu, membawanya ke sebuah mobil hitam
yang terparkir tak jauh dari situ.
“Nick, ayo kita ikuti mobil itu.” Elena menarik
tanganku, namun kakiku terasa kaku. Sepertinya otak dan hatiku memiliki pikiran
yang berbeda. Aku cukup sadar dengan kondisi macam apa aku berada. Tapi
entahlah, aku sedang tidak yakin pada diriku sendiri.
“Nick!” Gadis di sampingku sedikit mengeraskan
suaranya. Apa dia pikir aku sudah tuli hingga membuatnya berteriak begitu
kerasnya di telingaku?
“Ah kau ini bertingkah seperti orang idiot!”
Bentak Elena yang kemudian mendorongku menuju bangku penumpang, kemudian ia
berputar menuju bangku kemudi dan menginjak gasnya untuk mengejar mobil hitam
yang hampir hilang dari pandangan kami.
“Nick, kau baik-baik saja?” Tanya Elena saat
aku tak juga membuka mulutku. Beginikah yang dirasakan Elena saat itu?
“Aku baik-baik saja. Apakah orang itu baik-baik
saja?”
“Entahlah. Jika kita bisa menemukannyadi rumah
sakit, mungkin kita akan tahu keadaannya.”
Aku bisa saja meminta Dani—kaki tanganku—untuk
menyelidiki gadis itu, tapi aku bahkan tak tahu apa yang sedang kupikirkan
sekarang. Mungkin kalian juga pernah merasakannya? Seperti otakmu menghilang
secara tiba-tiba dan tak ada perasaan bersalah sedikitpun yang bergelayut di
hatimu. Rasanya seperti jiwaku meninggalkan ragaku ke suatu tempat dan bisa
dikatakan aku merasa kosong.
Aku melihat mobil itu berbelok ke sebuah rumah
sakit dan Elena masih berusaha agar tidak kehilangan jejak. Kulihat lelaki itu
membopong gadis yang ia panggil Trisia tadi dan menidurkannya di sebuah brankar
yang dibawa oleh beberapa orang perawat.
Entah kapan Elena turun, ia membuka pintu di
sampingku dan menarikku keluar. Ia menarik tanganku menuju pintu UGD yang tak
jauh dari tempat parkir. Aku mengedarkan pandanganku, mencari-cari kemana lelaki
itu membawanya. Dan kulihat lelaki itu duduk dengan membenamkan wajahnya pada
telapak tangannya.
“Kau mau kesana?”
***
Elena
POV
Aku memerhatikan Nico yang sedari tadi memilih
bungkam. Aku merasa Nico sedang berada di dunia lain. Ia linglung dan aku yakin
dia tak menyadari pertanyaanku barusan. Mata lelaki itu lurus menatap seseorang
yang ada beberapa meter di hadapan kami.
Aku tak perlu menunggunya, aku penasaran.
Kuhampiri lelaki itu dan meninggalkan Nico yang masih mematung dan berkutat dengan
pikirannya.
“Bagaimana dengannya? Sungguh kami minta maaf,
kami benar-benar tidak sengaja.” Aku tak yakin aku harus mengatakan ini. Namun
apapun konsekuensinya aku akan menerimanya. Lihat, aku bahkan lupa pada
masalahku sendiri yang sebesar gunung itu.
Lelaki itu tak juga menengadahkan kepalanya.
Namun kulihat tangannya bergerak untuk mengusap wajahnya. Dia menangis. Mungkin
gadis itu adalah seseorang yang berarti untuknya.
“Maafkan aku.”
“Aku tahu bukan kalian yang salah.” Ujar lelaki
itu. Ia tersenyum, namun aku tahu itu hanya senyum yang dipaksakan. Mataku
beralih pada Nico yang mendekat ke arahku.
“Mengapa dia seperti itu? Dia bisa saja
membahayakan keselamatan yang lainnya.” Aku mendengar nada Nico yang terkesan
menyalahkan. Lelaki ini benar-benar tak mengarti situasi.
“Aku meminta maaf pada kalian atas namanya. Dia
sedang dalam kondisi yang kurang baik. Permisi.”
Aku tahu pasti lelaki tersinggung. Bagaimanapun
juga dia sedang mengalami musibah saat ini. Aku mendesah, menatap manusia keras
kepala di sampingku. Aku meraih tangannya yang mengepal kuat. Raut wajahnya tak terbaca dan membuatku
sedikit takut.
“Kau mau disini atau pulang?” Tanyaku pada
lelaki yang beberapa menit terakhir ini lebih memilih diam. Tanpa mengucapkan
sepatah katapun dari mulutnya ia melingkarkan tangannya di sekitar pinggangku,
kemudian membimbingku untuk keluar. Sesaat aku mengedarkan pandanganku, mencari
sosok lelaki berkaus hitam yang tiba-tiba saja menghilang. Namun aku tak
melihatnya. Mungkin lain kali aku akan menjenguk gadis itu.
***
Kami bertiga duduk bersama. Ya, bertiga. Evan
sedang duduk tepat di hadapan Nico, melipat tangannya, menatapku dan Nico
secara bergantian. Kami semua membisu. Aku berusaha mereka-rekaapa yang sedang
terjadi, hingga Evan berdehem untuk mencairkan suasana kaku yang menyelimuti
kami.
“Kenapa kalian di sini?” Pertanyaan itu bukan
untuk ‘kami’, tapi lebih tertuju pada Nico.
“Adikmu merindukanmu.” Jawab Nico ringan.
Mungkin jika aku di posisi Evan, aku akan marah, menunjuk wajah Nick sambil
mengumpat kasar. Tetapi aku yakin, Evan jauh lebih sabar dari pada aku. Hanya
saja, aku khawatir ini akan menyulut kemarahan Evan.
Seumur hidup aku hanya dua kali melihat Evan
marah. Pertama saat orang tua kami bercerai, kedua saat mantan pacarnya
memakiku di depan umum. Dan itu sangat mengerikan. Bahkan untuk beberapa hari
aku tak berani mendekatinya karena aura kelam di sekitarnya tampak tak mudah
surut begitu saja.
“Kau tahu situasinya tidak memungkinkan.
Apalagi di rumah ini.” Ujar Evan dengan suaranya yang terdengar putus asa.
“Aku tahu, aku sudah menyiapkan tempat. Sebuah
aparteman untuk Elena.”
“Apa?” Tanyaku dan Evan bersamaan. Entah kapan
lelaki itu mengurusnya. Aku bahkan tak pernah tahu bahwa dia telah menyiapkan
sebuah apartemen untukku.
“Aku sudah memikirkan semuanya, Evan.
Tenanglah. Aku sudah berjanji padamu, bukan bahwa aku akan menjaga Elena.”Nico
menggenggam sebelah tanganku yang terasa dingin. Entah mengapa, setiap sentuhan
dari tubuhnya selalu membuatku hangat, bahkan tatapan matanya padaku pun
membuat hatiku juga terasa hangat. Kadang aku curiga pada lelaki tampan ini,
apakah dia memang seorang manusia atau dia adalah salah satu spesies sejenis
Jacob Black.
Evan berdehem, membuyarkan lamunanku tentang
Jacob Black. Namun mataku masih tak bisa terlepas dari jeratan mata coklat yang
memabukkan itu.
“Elena.” Suara Evan seolah menyadarkanku dari
hipnotis lelaki di sampingku. Evan menatapku tajam. Sangat tajam bak trisula
Dewa Siwa yang siap menghujamku. “Apa bisa kau jelaskan apa artinya ini?”
Lanjutnya.
Entahlah aku harus mulai dari mana. Sebelumnya
aku tak pernah sungkan pada Evan setiap aku menceritakan pacar baruku padanya.
Tapi berbeda kali ini. Kali ini lelaki yang mencuri hatiku adalah seseorang
yang juga dikenal oleh Evan.
“Seperti yang kau lihat, kak.” Ujarku ragu. Aku
bisa melihat rahangnya mengeras. Dan aku pastikan dia tak setuju pada hubungan
kami, sama halnya denganku dan Vano dulu.
Evan mengembuskan napasnya seolah beban
beratnya baru saja menguap bersamaan dengan napasnya. Aku merasa seperti
seorang tersangka yang menanti hukumanku dibacakan oleh hakim. Aku tahu pada
akhirnya Evan akan membiarkanku, tapi tanpa persetujuannya sering kali itu
membuatku kurang beruntung.
“Aku sudah menduganya.” Nadanya terdengar
lelah. “Aku sudah memperingatkanmu Nick dan tampaknya kau tak peduli.” Evan
menatap Nick tajam yang dibalas Nick dengan anggukan sombongnya. Tentu saja,
Nick tak akan peduli dengan peringatan orang lain.
“Karena sudah kubilang padamu bahwa aku
menginginkan Elena.” Senyum Nick mengembang, menatap mataku dan membawaku
menuju dunia lain yang hanya ada kami berdua di dalamnya. Telingaku mendadak
tuli, hanya bisa mendengar suara Nick. Begitu juga mataku, aku hanya bisa
melihat Nick dan kebun bunga yang terhampar luas mengelilingi kami. Mungkin aku
sedang mabuk.
***
Nico
POV
Kurebahkan tubuhku di sofa panjang yang ada di
rumah Elena. Evan sudah menyuruhku pulang, namun aku tak ingin jauh dari Elena.
Saat kukatakan aku akan mengantar Elena ke apartemen, sepertinya Evan ragu akan
membiarkanku membawa adiknya tengah malam seperti ini.
Aku memainkan ponselku, menghapus beberapa foto
dan kontak gadis-gadis yang sering menghubungiku. Aku sudah memutuskan tak akan
lagi menghubungi mereka. Aku akan meninggalkan mereka hanya untuk Elena.
Elenaku.
Aku tersenyum membayangkan gadis itu kini
menjadi milikku meski aku belum bisa memiliki dia sepenuhnya. Pidato panjang
Evan tentang ‘menjaga adiknya’ hanya berlalu begitu saja di telingaku, karena
tanpa pidatonya, aku tahu apa yang harus kulakukan. Dia tak perlu mengguruiku.
Sebuah pesan masuk, mengagetkanku yang tengah sibuk membayangkan Elena.
Hai
sayang, kau masih sibuk? Aku merindukanmu. Telpon aku secepatnya ya.
Jantungku seolah berhenti untuk beberapa detik.
Bianka. Model seksi majalah fashion
ternama. Salah satu teman kencan yang berpotensi menghabiskan seluruh uangku
bahkan uang ayahku, mengingat dia pernah menggoda ayahku saat masih menjalin
hubungan denganku. Tapi karena dia cantik, aku memaafkannya. Itu cerita lama,
mungkin sebelum mengenal… Ariana atau Lolita? Mungkin aku mengenal Lolita lebih
dulu.
Tapi kini, aku memilih untuk menutup semua masa
laluku, begitu juga dengan pesan itu. Aku memilih untuk menghapusnya sebelum
perang dunia ketiga mengharuskanku menjadi korban tewas karena amukan macan
betina yang beringas itu.
“Kenapa tidak dibalas?” Suara seorang gadis
yang sangat kukenal membuatku berjingkat. Aku mengedarkan pandanganku, namun
tak seorangpun yang dapat kutangkap dengan mataku. Aku berhalusinasi. Mungkin
karena rasa takutku. Nico takut? Aku
bahkan mulai tak yakin dengan keberanianku.
“Siapa yang kau cari?” Suara itu terdengar jelas
di telingaku saat aku kembali merebahkan tubuhku. Aku memutar kepalaku,
menangkap sosok gadis yang berjongkok di samping sofa. Aku mulai khawatir
dengan posisinya yang seperti itu, ia akan membaca pesan Bianka tadi. Tapi
kekhawatiranku tampaknya sudah terjawab begitu melihat alisnya yang menyatu dan
bibirnya yang mengerucut. Tatapan matanya seolah menyampaikan pesan tersirat
penuh ancaman.
“Ti… Tidak… Apa yang kau lakukan di situ,
sayang?” Aku menarik tangannya, membawanya untuk duduk di sampingku. Aku mengecup
puncak kepalanya sambil tak henti-hentinya berdoa agar gadis itu tidak salah
paham.
“Sayang, Bianka merindukanmu.” Ujar Elena
dengan nada manja yang dibuat-buat. Aku sedang dalam posisi tersudut dan aku
menyalahkan Bianka untuk ini. Aku sengaja tidak pernah menghubunginya untuk
memutuskan hubungan dengannya, dan dari sekian banyaknya hari, kenapa dia
memilih malam ini untuk mengirimkan pesan sialan itu padaku?
“Mungkin itu salah sambung, sayang.” Aku meraih
pundaknya, memeluknya dengan erat. Oke, sejauh ini tidak ada tanda-tanda Elena
akan mengeluarkan mantra mematikannya untukku.
“Dia pacarmu?” Tanyanya penuh selidik. Aku
masih tak melepaskan pelukanku padanya. Sengaja. Aku takut menatapnya.
“Bukankah pacarku adalah kau?” Suaraku mantap,
terdengar sangat meyakinkan.
“Awas saja jika kau berani macam-macam.
Kupastikan kau hanya akan menjadi seonggok daging untuk makanan anjing liar.”
Ancaman Elena tidak sepenuhnya membuatku takut, karena aku yakin dia tak akan
setega itu. Tapi ada hal lain yang membuatku khawatir, dia meninggalkanku.
“Sungguh Elena, aku akan menepati janjiku.
Tidak akan ada orang lain di antara kita. Aku janji padamu. Kau bisa lakukan
apapun padaku jika aku mengkhianatimu.”
Senyuman yang cukup lebar menghiasi wajah cantik
Elena. Dalam hati aku bersyukur bahwa dia tidak akan mengamuk untuk malam ini.
Ya setidaknya malam ini di mana aku sedang berada di atap yang sama dengan
Evan. Aku menyusuri wajah Elena dengan telunjukku. Mengamati setiap senti
wajahnya. Alisnya yang rapi, mata hitamnya yang sedikit sipit, bulu matanya
yang lentik, hidungnya yang mancung serta bibirnya. Bibirnya yang mungil dan
merah tanpa polesan lipstik.
Ibu jariku mengusap bibirnya yang lembut. Aku
mendekatkan wajahku pada wajahnya, bibirku memaut bibirnya perlahan. Elena
memejamkan matanya, menikmati ciuman lembut yang kuberikan padanya. Kurasakan
ia membalas ciumanku, kedua tangannya melingkar di leherku. Aku menciumnya
semakin dalam. Saat rasa nyaman mulai menelusup di hatiku, ponsel sialan di
atas meja itu berdering memekakkan telingaku.
“Sialan!” Gerutuku pada ponsel yang terus berdering
tak tahu diri itu. Elena menjauhkan wajahnya dariku. Ia mencoba mengatur
napasnya yang tidak teratur. Wajahnya merona, membuatku ingin kembali
menciumnya.
Aku meraih ponselku, membaca nama penelpon yang
terpampang di layar ponselku. Sherly.
Ya ampun, apa lagi ini. Sekilas aku menatap Elena yang lagi-lagi mulai
cemberut. Oh, ayolah, ini hanya sekretarisku di kantor ayah.
“Ya.”
“Selamat malam, sayang.” Ujar Sherly dengan
nada cerianya. Jantungku terasa dipilin di dalam dada. Aku kembali melirik
gadis di sampingku. Gadis itu tampaknya sudah siap menerkamku begitu nanti aku
menutup telpon.
“Bersikaplah sopan, Sher.” Aku menjaga agar
nadaku terdengar tegas. Untuk Sherly maupun Elena.
“Uh, kau sangat galak akhir-akhir ini, sayang.
Ayahmu besok ada rapat dengan klien baru. Tapi beliau terbang ke Australia tadi
sore. Beliau memintaku untuk menghubungimu agar kau bisa menggantikannya.”
Sialan, tua bangka itu lagi-lagi seenaknya.
“Baiklah.” Aku menanggapinya singkat, kemudian
mematikan daya ponselku. Aku tak ingin malam ini menjadi lebih buruk dari ini.
“Rupanya cara sekretaris menyapamu di kantor
cukup mengesankan.” Sindir Elena yang sepertinya mencuri dengar dari percakapan
kami.
“Aku bisa jelaskan, sayang. Ini tidak seperti
yang kau kira.” Aku kembali merayunya dengan cara yang sama. Tetapi tampaknya
itu tak berhasil, karena gadis itu beringsut dengan kesar dan menunjuk wajahku
dengan jemarinya yang lentik.
“Kau… Aku besok akan mengikutimu ke kantor. Dan
lihat apa yang bisa kulakukan.”
“Tapi sayang,”
“Tidak ada tapi-tapian.” Bentak Elena yang
kemudian meninggalkanku ke lantai dua.
Baiklah, Nico, tampaknya sebuah perang dunia
ketiga akan dimulai!