Duk.. Duk.. Duk.. Duk..
Suara
langkah sepatu berhak tinggi menggema di sepanjang lorong gedung di lantai dua.
Semua mata memperhatikannya, bahkan tak jarang mereka menoleh dua kali ketika
berpapasan dengannya. Rok mini lima belas senti di atas lutut yang mengekspos
kaki jenjangnya, kemeja merah menyala tanpa lengan, tas jinjing bermerk Prada yang mengkilat, rambut ikal
panjang berwarna pirang tergerai indah, lipstik yang senada dengan kemeja dan
kaca mata hitam melengkapi penampilannya yang begitu mencolok di lantai kedua
sebuah perusahaan desain arsitektur.
Tatapan
kagum, iri, bahkan geli dari para pegawai ditujukan pada wanita itu. Wanita
salah kostum. Langkahnya terhenti di depan dua orang pegawai yang tengah
menatapnya sinis sambil berbisik-bisik satu sama lain. Diangkatnya kacamata
hitam yang sedari tadi menutup mata indahnya. Tatapan angkuh dan mengintimidasi
yang memancar dari kedua mata indahnya membuat kedua pegawai itu segera
menyingkir dari hadapannya. Kembali dilangkahkan kakinya menuju ruangan yang
berada di ujung lorong.
Meja
sekretaris di depan ruangan tersebut kosong. Tanpa ragu ia melangkah membuka
pintu yang ada di hadapannya. Begitu romantis. Dua sejoli dihadapannya sedang berpelukan
erat dengan bibir yang saling berpagut mesra. Entah berapa lama mereka
melakukannya sehingga tak memperhatikan bahwa seseorang tengah memperhatikan
mereka. Wanita itu menyilangkan kedua tangannya, menikmati pertunjukan
didepannya.
“Belum
selesai juga?” Tanya wanita itu dengan nada jijik. Kedua sejoli itu terkesiap, segera
melepaskan diri.
“Amanda,
ini tidak seperti yang kau lihat. Kau salah paham.” Sang pria berusaha
meyakinkan Amanda dengan menggenggam kedua tangannya.
“Oh..
Aku salah lihat? Maafkan aku sayang, mungkin ada gangguan di mataku.” Kata
Amanda dengan nada sedih. Sedetik kemudian, ekspresi muak kembali terpasang di
wajahnya. “Kau benar-benar brengsek! Dan kau, jalang, segera kemasi barangmu,
ajukan surat pengunduran diri saat ini juga! Kalian menjijikkan.”
Amanda
memutar tubuhnya, meninggalkan ruangan tersebut tanpa lupa membanting pintu
untuk menunjukkan kemurkaannya. Dia begitu geram melihat kekasihnya tengah
bermesraan dengan sekretaris jalang itu tepat di depan matanya. Suara langkah
terburu buru terdengar menggema di belakang wanita itu.
“Amanda,
tolong dengarkan aku. Aku ingin kau mendengarkan penjelasanku sebentar.” Amanda
menghentikan langkahnya mendengar suara parau kekasihnya. Ditatapnya pria yang
kini berada di hadapannya. Wajahnya pucat pasi dan suara paraunya terdengar
begitu gugup.
“Tiga
menit.” Ucap Amanda tak acuh. Hening. Pria itu seolah kehilangan suaranya.
Mulutnya terbuka, kemudian tertutup kembali bagai seekor ikan yang kehabisan
nafas. Pandangan mengintimidasi putri pemilik perusahaan desain arsitektur
tersebut nampaknya memang selalu membuat nyali lawan bicaranya menciut. Tak
ingin membuang-buang waktunya, Amanda melangkah meninggalkan pria tampan
dihadapannya.
“Amanda..
Tunggu Amanda. Aku.. Aku..” Pria itu terbata-bata, tidak tahu harus mengatakan
apa pada kekasih yang telah tiga bulan bersamanya. Ia menggigit bibirnya,
menyesali tindakan bodohnya yang dapat mengancam karirnya sebagai seorang
arsitek.
“Kita
akhiri semuanya disini. Jika kau khawatir tentang karirmu, tenang saja. Aku tak
akan mengatakannya pada ayah. Hanya saja, rasanya begitu menjijikkan jika
perusahaan ayahku kau gunakan untuk hal yang tidak bermoral seperti itu.” Tegas
Amanda. Pria itu kembali bungkam, tubuhnya membeku oleh mulut pedas Amanda. Beberapa
pasang mata sibuk memperhatikan sinetron sesaat antara putri pemilik perusahaan
dengan arsitek tampan ternama.
***
Amanda
mendatangi toko buku langganannya yang terletak tak jauh dari perusahaan
ayahnya. Wajahnya yang masih begitu kacau sedikit tersembunyi berkat kacamata
gelap yang dikenakannya. Gadis itu selalu dapat membuat orang lain memberikan
perhatian lebih padanya karena penampilannya yang selalu glamor. Beberapa rak
buku favoritnya telah ia lewati begitu saja tanpa melirik sedikitpun. Kakinya
yang jenjang masih terus melangkah dengan anggun menaiki tangga menuju ke
lantai dua.
“Riiiiik..
Eriiiiiik..” Teriak Amanda serak. Tanpa menunggu lama, seorang pria tampan
mengenakan setelan kaos hitam dan jeans belel dengan rambut yang berantakan keluar
dari sebuah ruangan. Tanpa bergeming, pria itu merentangkan kedua tangannya
sambil tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tanpa ragu Amanda
berhambur kedalam pelukan pria itu. Tangisnya yang telah ia tahan demi menjaga
imejnya dihadapan semua orang akhirnya meledak dalam pelukan pria itu. Pria itu
mengusap pelan punggung Amanda untuk menenangkannya.
Amanda
tak pernah sungkan menunjukkan suasana hatinya pada Erik. Karena Erik telah
mengetahui segala kelemahannya. Bagaimapun juga, ia adalah wanita. Seberapa
tangguh pun ia mengenakan topeng untuk menutupi segala kelemahannya, topeng
tetap memiliki celah. Dan Erik telah menemukan celah tersebut.
Setelah
Amanda tenang, disodorkannya segelas air dingin di hadapan Amanda. Pria itu
tertawa melihat wajah Amanda yang kacau dengan mata sembab yang masih basah. Ia
mengangkat kedua kakinya ke atas sofa, kemudian ia menyangga dagunya dengan
sebelah tangan yang bertumpu pada lututnya.
“Jadi,
bukankah ini sudah yang ke lima kalinya dalam setahun ini?” Tanya pria tampan pemilik
toko buku langganan Amanda tersebut. Amanda mengangguk murung. Diteguknya
setengah gelas air dihadapannya untuk mendinginkan hatinya.
“Kenapa
akhirnya selalu seperti ini? Kapan akan ada lelaki yang tulus mencintaiku?” Air
mata mengalir membasahi wajah cantiknya. Ia kembali menangis sesenggukan mengingat
deretan mantan kekasihnya yang selalu berkhianat padanya. Parasnya yang cantik
dan anggun, auranya yang berani sering kali membuat para pria menggilainya dan
bertekuk lutut padanya. Namun meski begitu, rasa-rasanya tak ada satupun dari
mereka yang benar-benar mencintai Amanda. Mereka hanya memburu kecantikan dan
kekayaan yang dimiliki oleh Amanda.
Tawa
terpingkal-pingkal justru keluar dari mulut Erik. Jika membayangkan perkenalannya
dengan wanita dihadapannya tiga tahun yang lalu saat pertama ia membuka toko
bukunya, ia tak akan pernah menyangka bahwa wanita sombong yang menggunakan
mulut pedasnya untuk mencela tokonya adalah wanita yang sedang sesenggukan
dihadapannya. Alis Amanda mengkerut, tak terima atas tawa yang muncul dari
mulut Erik.
“Jangan
salah paham, aku hanya teringat masa lalu. Bagaimana bisa wanita angkuh
sepertimu selalu menangis seperti ini setelah dikhianati oleh pacarmu.”
“Harusnya
seseorang perlu mengkhianatimu agar kau tahu bagaimana rasanya dikhianati.”
Nada bicara Amanda semakin meninggi karena kesal.
“Sudahlah.
Aku tahu rasanya. Cuci wajahmu. Make upmu
benar-benar berantakan.” Seru Erik sambil melemparkan handuk ke pangkuan
Amanda.
“Tapi
aku tidak membawa make up untuk memperbaikinya lagi.” Rengek Amanda manja.
“Kau
cantik tanpa make up.” Erik
melemparkan seulas senyum menawannya sebelum menuruni tangga untuk mengecek
toko buku miliknya di lantai bawah. Semburat kemerahan menghiasi wajah cantik
Amanda. Seulas senyuman pun tersungging di bibir merah Amanda.
***
Duk.. Duk.. Duk.. Duk..
Kembali
langkah sepasang sepatu hak tinggi mengetuk lantai kedua perusahaan desain
arsitektur tersebut. Kali ini bukan rok mini dengan penampilan mencolok seperti
biasa yang membuat para pegawai memperhatikan wanita itu. Setelan celana jeans
belel dengan kemeja putih, rambut pirang yang diikat ekor kuda, make up tipis
dengan lipstik pink segar menghiasi
bibirnya. Tentunya hal ini dipandang sebagai sesuatu yang aneh karena ini
bukanlah hal biasa, putri pemilik perusahaan tersebut berpenampilan sederhana
meski tetap dengan pembawaannya yang angkuh dan mengintimidasi.
Brak
Meja
sekretaris yang dipukul oleh Amanda, membuat sekelilingnya memberikan perhatian
penuh pada Amanda.
“Kenapa
kau masih disini? Bukankah aku sudah menyuruhmu pergi?” Tanya Amanda pada
sekretaris yang berdiri kaku menundukkan kepala. “Dasar jalang tak tahu malu!”
Tangan Amanda sudah hampir melayang ke wajah sekretaris tersebut. Namun sebuah
tangan besar menghentikannya.
“Apa
yang kau lakukan?” Bentak seorang pria yang berdiri di belakang Amanda.
“Oh,
Alvin sayang, sang pangeran menyelamatkan gadis jalangnya?” Sindiran sinis
terlontar dari mulut Amanda.
“Amanda,
kau tidak bisa melakukan ini.” Bisik Alvin geram.
“Tentu
saja aku bisa melakukan apapun disini. Termasuk membuat kalian berdua dipecat
dari perusahaan ini.” Kesombongan merajai hati Amanda. Pengkhianatan mereka
berdua benar-benar telah membuatnya murka. “Sekarang kembalikan credit cardku. Aku tak akan rela kau
menghamburkan uangku bersama gadis jalang itu.” Perintah Amanda. Ragu-ragu
Alvin mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam. Kemudian dengan cepat
disahutnya kartu tersebut oleh Amanda. Tanpa banyak bicara, Amanda segera
meninggalkan tempat tersebut dengan beberapa padang mata yang masih melekatkan
pandangan mereka padanya.
***
Diraihnya
sebuah novel terjemahan tebal dari rak buku yang berada di dekat meja kasir.
Kemudian ia membaca sekilas blurb
yang ada di sampul belakang novel tersebut. Lalu dirobeknya plastik segel novel
tersebut. Seorang pegawai baru, bersiap untuk menegurnya namun Erik melarang.
Dari kejauhan Erik bersandar pada dinding dengan tatapan lurus memperhatikan
wanita yang memiliki penampilan lain hari ini.
“Namanya
Amanda kalau tidak salah. Iya, putrinya Pak Irwan kan?” Kata seorang wanita
dengan setelan pakaian kerja seraya membolak-balik sebuah buku resep.
“Iya,
kasihan. Dikhianati pak Alvin sama sekretarisnya. Mukanya judes sih. Pantes
cowok pada kabur. Kalau aku jadi cowok juga aku pasti milih sekretaris itu.
Cantik, ramah, kalem lagi” Sahut temannya sambil tertawa.
Erik
yang memang memiliki pembawaan tenang hanya mendengarkan kedua wanita itu
berceloteh sambil matanya tetap mengawasi reaksi Amanda. Wanita itu berdiri
mematung. Pandangannya kosong menatap rak buku dihadapannya. Erik sangat paham tentang rapuhnya hati wanita
angkuh yang selalu mengisi hatinya. Ia segera mengambil langkah merengkuh
pinggang wanita itu dan membawanya ke lantai dua.
Suasana
hening tercipta di dalam ruangan temaram di lantai dua. Matahari senja
menelusup samar dari balik tirai. Amanda menaikkan kedua kakinya ke sofa,
menenggelamkan wajahnya di antara lututnya. Isakan tertahan terdengar begitu
pelan oleh Erik yang duduk di sampingnya. Tak banyak yang bisa ia ucapkan
karena ia bukanlah tipe pria pembual yang lihai merangkai kata-kata. Cukup lama
terjebak dalam suasana hening untuk mendengar isak tangis gadis yang dicintainya
itu, membuat Erik berpikir ia harus melakukan sesuatu.
“Sudahlah,
jangan dengarkan mereka. Yang mereka katakan itu tidak benar.” Erik mencoba
menghibur.
“Tapi
mereka memang benar. Aku judes. Sampai sekarang tak ada pria yang benar-benar
mencintaiku.” Amanda tak lagi dapat menahan tangisnya. Agaknya rasa kesal dalam
hatinya mulai meluap. Erik menggenggam tangan Amanda untuk memberikan sedikit
rasa tenang padanya. Karena Amanda tak dapat membendung lagi kesedihannya, ia
berhambur memeluk Erik dan berteriak dengan kencang untuk melepas rasa
kesalnya.
“Kecilkan
suaramu, bodoh! Pegawai dan pelanggan bisa berpikir yang tidak-tidak” Bisik
Erik sambil menggoyang bahu Amanda.
“Tidak
mau! Mereka semua brengsek! Mereka hanya mengincar fisik dan hartaku. Jika
selalu seperti ini kapan aku menikah? Aku ingin menikah! Aku tak mau jadi
perawan tua!” Amanda berteriak, meronta seperti seorang anak kecil yang
kehilangan bonekanya. Erik pun merengkuhnya dalam sebuah ciuman lembut yang
dalam untuk membungkam mulut Amanda.
“Aku
yang akan menikahimu.” Tukas Erik serius. Amanda seolah kehilangan suaranya.
Jantungnya berdebar kencang mengingat segala sesuatu yang serba mendadak.
Amanda membeku menatap pria dihadapannya yang tak pernah disangkanya akan begitu
berani.
“Mengapa
kau mau menikahiku?” Tanya Amanda begitu mendapatkan kembali suaranya meski
serak dan terbata-bata.
“Karena
aku mencintaimu. Tak peduli bagaimana angkuhnya dirimu, keras kepalamu, mulut
pedasmu, rapuhnya hatimu, aku mencintaimu. Bagaimanapun orang lain memandangmu,
selama itu adalah kau, aku akan tetap mencintaimu.” Erik menatap lekat-lekat
mata bulat Amanda untuk meyakinkannya.
Kedatangan
Amanda memang telah merubah pandangan Erik tentang wanita. Erik begitu paham
dengan arti sebuah pengkhianatan. Begitu menyakitkan. Namun Amanda begitu kuat
oleh sebuah pengkhianatan yang bertubi-tubi setelah tiga tahun Erik mengenalnya
dan itu telah menumbuhkan sesuatu dalam hati Erik. Sesuatu yang membuatnya
selalu ingin melihatnya bahagia, melindunginya bahkan memilikinya.
Setiap
kali Amanda menangis di pelukan Erik karena pengkhianatan yang dilakukan
kekasihnya, saat itu pula dorongan untuk memilikinya semakin kuat. Namun Amanda
yang selalu berdampingan dengan pengusaha muda maupun orang-orang sukses
lainnya, membuat Erik menahan diri mengingat dia hanya pengusaha sebuah toko
buku. Tetapi, ia tak bisa lagi berlama-lama membiarkan wanita yang dicintainya
itu tersakiti oleh orang lain.
“Kupikir
kau tak pernah memiliki rasa itu untukku.” Mata sembab Amanda nampak berbinar. “Ekspresimu
selalu datar. Aku tak pernah bisa menebak perasaanmu.” Amanda memberi jeda. “Apakah
ini nyata?” gumam Amanda meyakinkan.
“Ini
nyata Amanda. Mungkin ini bukan saat yang tepat, tapi apakah kau mau menikah
denganku?” Digenggamnya tangan Amanda dengan erat seolah tak ingin
melepaskannya. Amanda mengurai senyum di bibirnya.
“Tentu
saja, Erik.” Jawab Amanda mantap.
Sekian
lama ia nantikan, Erik, pria mandiri yang selalu mendapatkan hatinya sejak
pertemuan pertamanya. Pria yang selalu dapat memberikan kedamaian di hatinya.
Pria yang dapat menerima segala kelemahannya. Dan dialah pria yang telah
ditakdirkan Tuhan untuknya.
TAMAT