KALILA berlari-lari kecil menaiki tangga menuju kamarnya.
Sebenarnya, ia masih memiliki banyak waktu. Tepatnya lima jam lima puluh tujuh
menit lagi sebelum Diego datang menjemputnya pukul setengah lima nanti.
Ini hanya makan malam biasa. Berulang kali Kalila menanamkan mantra itu dalam benaknya. Berusaha untuk
meredakan kepakan di dalam perutnya. Entah mengapa sebagian kecil hatinya
mengharapkan sesuatu yang istimewa dari ajakan Diego kali ini. Mungkin saja
karena ini ajakan makan malam pertama sepanjang perkenalannya dengan lelaki
itu.
Tadi mereka baru saja selesai makan siang seperti biasa
saat ajakan itu terlontar. Yang benar saja? Entah mengapa acara makan siang itu
mulai terdengar seperti rutinitas. Lalu mengapa juga Kalila harus merasa
istimewa dengan ajakan makan malam?
Kalila menampar dirinya secara mental. Matanya terpejam
dengan kepala yang menggeleng. Lalu tiba-tiba saja ia tertegun saat menggenggam
gagang pintu kamarnya yang terasa hangat. Seolah ada seseorang yang baru saja
masuk atau keluar dari kamarnya. Ah, lupakan. Mana mungkin itu terjadi.
Lagipula pintunya masih dalam keadaan terkunci seperti terakhir kali ia
meninggalkan kamarnya sebelum berangkat kuliah tadi pagi. Mungkin ia hanya
terlalu gugup.
Ini hanya makan malam biasa.
Ini hanya makan malam biasa.
Ini hanya makan malam biasa.
Kalila kembali mengulang mantranya sambil membuka lemari
pakaiannya. Ia mengeluarkan satu persatu pakaian terbaiknya. Selain coat
dan parka tentu saja. Tetapi tidak satu pun dari gaun-gaun itu yang
memenuhi ekspektasinya.
Kalila mengerang kesal. Tidak cukup waktu untuk
berbelanja pakaian sekarang. Mata Kalila kembali menimbang-nimbang pada gaun-gaun
yang tergeletak di atas tempat tidurnya.
Oh, ayolah. Ini
hanya makan malam biasa. Kalila memperingatkan dirinya sendiri. Seharusnya
pakaian yang mana saja tidak akan menjadi masalah.
Perdebatan batinnya terputus saat ponsel
Kalila berbunyi nyaring. Cepat-cepat, ia mengeluarkan
ponselnya yang masih berada
dalam
tas yang tadi dibawanya.
Tetapi sayangnya, telepon itu sama sekali tidak menyelamatkannya
dari kebimbangan. Karena jantungnya semakin berdebar lebih cepat saat matanya melirik nama yang
muncul di layar ponsel.
Kalila menarik napasnya dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Ia berdeham pelan sebelum menempelkan
ponsel ke telinga. Oh, semoga
suaranya terdengar biasa saja saat menyapa si peneleponnya.
“Halo?”
“Jangan lupa dengan janji makan kita malam ini,” sambut
suara ramah di ujung sana. Kalila seakan bisa melihat jelas lelaki itu sedang
tersenyum hanya dengan mendengar suaranya. “Aku harap kau tidak sedang
kebingungan memilih pakaian sekarang.”
Sial. Sejak kapan
lelaki ini punya intuisi yang bagus tentang dirinya?
“T-tentu saja tidak,” sanggah Kalila cepat. Ia berharap kebohongannya
tidak tergambar jelas dalam suaranya. “Aku sedang... um, belajar sekarang.”
“Oke, Mahasiswi Teladan,” sahut Diego lantas tertawa
kecil. “Sampai bertemu nanti.”
“Ya, ya. Cepat urus kuliahmu sana!” omel Kalila sambil
memutus sambungan telepon mereka. Detik berikutnya ia sudah merebahkan diri di
atas gaun-gaun yang belum dipilihnya.
***
Diego menyeringai geli menatap sekilas layar ponselnya
sebelum meletakkan benda itu pada jok mobil yang tadi diduduki Kalila. Walaupun
baru saja bertemu, entah mengapa ia merasa rindu mendengar omelan gadis itu
setiap kali ia berhasil menjailinya. Tetapi perasaannya itu harus diredam untuk
sementara waktu. Kalau tidak, ia bisa membuat lecet mobil-mobil lain yang
memadati area parkir fakultasnya ini.
Beruntung, Diego bisa menemukan tempat kosong di samping
sebuah mobil hatchback. Tanpa
menunggu lama, ia langsung memarkirkan mobilnya di sana. Saat keluar dari mobil,
ia baru menyadari seorang lelaki yang sedang berdiri bersandar pada mobil
berwarna silver stone itu.
“Bisa bicara sebentar?” tanya lelaki itu tajam.
“Denganku?” Diego balas bertanya begitu menyadari mobil
ini sama dengan mobil yang melaju di depan Rainbow Cafe tadi.
“Kulihat, kau cukup akrab dengan Kal. Memang ada hubungan
apa di antara kalian?” tanya lelaki itu sambil memasukkan tangannya ke dalam
saku jeans-nya.
“Memang apa urusannya denganmu?” balas Diego menolak
bersikap ramah.
“Kalau kau memang pacarnya, aku akan berhenti
mendekatinya,” jawab lelaki itu sambil melempar tatapan tajam. “Kalau bukan,
aku harap kau menjauhi Kal.”
Diego mendenguskan tawa sebelum memandang lurus pada
lawan bicaranya. “Ya. Aku memang pacarnya.”
***
Kalila mematut dirinya sekali lagi di depan cermin. Midi dress ungu yang dikenakannya mungkin tampak berlebihan untuk sebuah makan malam biasa. Tetapi untuk apa ia memikirkan hal itu? Bukankah tidak
ada seorang pun yang ingin dibuatnya terkesan, kan? Penampilannya malam ini
hanya untuk dirinya sendiri.
Rambut
Kalila yang di-blow
ringan sengaja
dibiarkan tergerai jatuh ke bahunya. Polesan lipstik merah muda pada bibirnya
dengan sentuhan pop purple eyes yang
serasi dengan gaunnya. Ia memilih pump shoes hitam
untuk menggantikan tugas chukka boots kesayangannya.
Seulas senyum hinggap di bibir Kalila saat ia menatap
penampilannya sendiri di cermin. Perfecto.
Mungkinkah
Diego juga akan menganggap
penampilannya
mengagumkan? Seolah
tersadar, detik berikutnya ia sudah menggelengkan
kepala. Untuk apa
ia memikirkan Diego?
Lelaki itu pasti tidak akan peduli.
Kalila tersentak saat ponselnya bergetar dan menampilkan
nama seseorang yang baru saja dipikirkannya. Sambil berusaha mengatur debaran
manis yang nyaris memorakporandakan isi hatinya, ia menjawab panggilan itu.
“Aku sudah di bawah.”
Suara yang dalam itu langsung menyentuh pendengarannya
bahkan sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata sapaan. Buru-buru Kalila
meraih tasnya, memeriksa penampilannya di cermin sekali lagi, dan keluar dari
kamarnya. Sebelum melangkah turun, ia memastikan pintunya sudah terkunci dengan
benar.
Begitu tiba di bawah, Kalila mendapati sebuah mobil sedan sport hitam terparkir di depan pagar
rumah indekosnya. Seorang lelaki dengan kemeja hitam tanpa dasi berdiri angkuh
di samping pintu penumpang. Sebuah senyum atau seringai, Kalila tidak bisa memastikannya,
langsung terbit di sudut bibir lelaki itu begitu ia menyadari kehadiran Kalila.
Lelaki itu bergerak membukakan pintu untuk Kalila dengan
gaya seorang gentleman. Kemudian ia
mengitari kap mobil dan duduk di balik kemudi. Sebelum ia menyalakan mesin
mobil, Kalila menyentuh ringan bahunya.
“Boleh mampir dulu ke suatu tempat?”
***
Kalila dan Diego menapaki hamparan hijau yang luas. Sementara
langit yang berangsur jingga melukiskan senja di ufuk barat. Patung-patung
malaikat dan juga panteon tampak berjajar rapi di antara petak-petak yang
terbagi dan berhiaskan beragam jenis bunga. Sedikit mengingatkan pada taman di
kastel ala Eropa.
Tempat peristirahatan terakhir yang satu ini memang
tampak begitu asri dengan pepohonan hijau yang meneduhkan. Angin bermbus
semilir membawa semerbak aroma bunga. Benar-benar jauh dari kesan suram yang
biasanya melekat pada suasana area pekuburan.
Tanpa banyak bertanya, Diego mengiringi langkah Kalila. Seperti
biasa, penampilan gadis itu lagi-lagi memukau indra penglihatannya. Seolah
tanpa harus bersusah payah, Kalila selalu memiliki daya tarik tersendiri
baginya. Entah karena segenggam perasaan yang merajai hatinya atau gadis itu memang
berniat memikatnya.
Diego tersentak dari lamunannya saat Kalila tiba-tiba
berhenti melangkah di depan sebuah petak berukirkan sebaris nama. Diego
berasumsi itu adalah nama seorang gadis. Kalila meletakkan sekumpulan bunga
Lili putih dalam pot yang dibawanya ke samping nisan. Sekumpulan bunga lainnya
tumbuh subur dalam pot yang berjajar di belakang nisan. Sejenak, Kalila tampak
terdiam dengan kepala tertunduk, sebelum akhirnya wajah cantiknya terdistorsi
seulas senyum sedih.
Begitu mereka sudah kembali duduk di dalam mobil, Diego
tidak bisa lagi menahan pertanyaan untuk meluncur dari bibirnya.
“Siapa itu Evelyn?”
***
Selalu seperti ini.
Perasaan itu selalu saja menghinggapi hati Kalila setiap
kali ia usai berkunjung ke pemakaman ini. Seolah ada secuil bagian dalam
dirinya yang berubah kosong. Rasa sesal yang menggerogoti tanpa mau tahu bahwa
waktu tidak mungkin bisa diputar kembali. Kurang lebih sama dengan perasaannya
saat mengetahui Diego terluka. Tetapi ia bersikap pengecut dan tidak melakukan
apa-apa.
“Siapa itu Evelyn?”
Suara Diego sontak membuyarkan lamunan Kalila. Ia menoleh
dan mendapati lelaki itu tengah menatapnya dengan kening berkerut tanda tanya. Tentu
saja Diego akan bertanya. Itu sangat jelas. Dan ia sendiri juga memang tidak
berniat menyembunyikan apa pun.
“Evelyn... adalah adik kelasku... adik kelas kita dulu.”
Kening Diego semakin mengernyit karena berusaha mengingat
nama yang tidak terlalu familier di telinganya itu. “Kau akrab dengannya?”
Kalila menjawab pertanyaan Diego dengan sebuah gelengan
lemah. “Aku ‘mengenal’ dia bukan dengan cara yang baik. Waktu itu sebelum aku bertemu
denganmu.”
Diego memasang telinganya baik-baik sambil kembali
menjalankan mobil. Pandangan Kalila terpaku sejenak pada area pemakaman yang
mulai menjauh. Sepasang mata gadis itu berubah sendu dan Diego ingin tahu apa
penyebabnya.
Kalila menghela napas berat, bingung harus memulai dari
mana. “Teman-temanku saat itu,” ujarnya dengan hidung berkerut seolah jijik
mendengar kalimatnya sendiri. “Salah satu dari mereka pernah memiliki masalah dengan
Evelyn. Dan entah bagaimana caranya, dia berhasil menularkan kebencian itu pada
orang lain, termasuk aku, hingga membuat kami setuju untuk bergabung dalam
rencananya.
“Tanpa mencoba memahami masalah yang masih samar-samar
itu, kami sengaja mencegat Evelyn di salah satu koridor sekolah yang sepi. Kami
menyeretnya ke kamar mandi, menghujatnya dengan kata-kata kasar, dan melakukan
hal buruk lainnya,” jelas Kalila susah payah, nyaris seperti hendak mengigit
lidahnya sendiri. “Aku tidak pernah melihatnya lagi di sekolah setelah itu.”
Diego meraih tangan Kalila dan menggenggamnya penuh
kelembutan. Seakan-akan ia bisa menyalurkan kekuatan melalui ujung jemarinya.
“Hingga suatu hari, aku tidak sengaja mendengar
percakapan guru tentang murid yang meninggal bunuh diri. Pihak keluarga meminta
sekolah merahasiakan aib itu rapat-rapat,” lanjut Kalila dengan suara tercekat.
“Dan perasaan bersalah menghantuiku dalam-dalam begitu mengetahui itu adalah
Evelyn.”
Perlahan, Diego membawa mobilnya menepi. Ia merasa
kesulitan membagi konsentrasinya pada jalan di depannya atau gadis di
sampingnya.
“Apa kau yakin itu ada hubungannya dengan ‘perkenalan’
kalian waktu itu?“ Susah payah Diego mencoba meminjam pilihan kata yang tidak
terlalu menyinggung perasaan Kalila.
Kalila mengangguk. “Semuanya terlalu kebetulan jika
dikatakan tidak berhubungan.” Sejenak, ia terdiam saat merasakan napasnya
berubah sesak. Begitu bisa kembali bernapas dengan normal, ia melanjutkan,
“Mungkin satu-satunya kebetulan adalah Evelyn meninggal tepat di hari ulang
tahunnya. Seminggu setelah hari ulang tahunku.”
Sejak mengetahui kenyataan itu, Kalila berangsur menjauh
dari kelompok populer itu. Ia tidak ingin lagi terlibat dalam masalah serupa.
Maka, ia menyendiri ke tempat yang paling dihindari teman-temannya;
perpustakaan. Tempat itu terlalu membosankan bagi mereka yang hobi merumpi. Dan
pengkhalwatan itu yang membawanya bertemu dengan Diego.
“Tapi aku tidak menyangka, hal itu terulang lagi padamu.”
Kalila bisa mendengar dengan jelas suaranya yang serak dan nyaris pecah menjadi
isakan air mata.
Sosok Diego yang berlinang darah memenuhi kelopak
matanya. Tidak ada hal lain yang terpikirkan selain kabur dan pindah ke kota di
mana Evelyn dimakamkan. Setiap hari ia datang mengunjungi makam Evelyn. Hingga
setitik pikiran buruk membuatnya berharap bisa ikut mati dan terlepas dari
perasaan bersalahnya.
Kalila tahu benar bahwa ia tidak termaafkan. Evelyn tidak
meninggal karena bunuh diri. Kebodohan Kalila yang sudah membunuh gadis itu.
Diego tidak terluka karena tergelincir saat memanjat pohon maple. Keegoisan
Kalila yang sudah melukai lelaki itu.
“Maafkan aku,” ujar Kalila lagi. “Semua gara-gara aku.”
Tidak perlu menunggu diminta, Diego langsung merengkuh
gadis itu ke dalam pelukannya. Kemudian berulang kali ia mengusap punggung yang
sudah menanggung perasaan bersalah yang mengurung.
***
“Astaga, kau serius kita akan makan malam di sini?” tanya
Kalila dengan nada cemas.
Saat ini Kalila dan Diego sudah berada dalam lift yang
akan mengantar mereka ke lantai teratas hotel bintang lima itu. Begitu
mengetahui restoran macam apa yang mereka datangi, Kalila langsung menyesali
penampilannya. Seharusnya tadi ia mengenakan long dress atau gaun lain yang lebih elegan dan pantas.
“Ya.” Diego mengangguk membenarkan. “Memang kenapa?”
Ah, benar juga. Kalila mengembuskan napas berat.
Bagaimana ia bisa lupa? Bagi Diego—dan mungkin sebagian besar lelaki
lainnya—masalah pemilihan gaun seperti ini bukanlah hal yang penting.
“Lupakan,” gumam Kalila lirih, beberapa detik sebelum
pintu lift terbuka.
Tanpa meminta izin lebih dahulu, Diego langsung
menggenggam tangan Kalila dan menarik gadis itu masuk. Lelaki itu sepertinya
sama sekali tidak peduli dengan badai yang mulai mengaduk perasaan Kalila. Bahkan
dengan kurang ajarnya, lelaki itu malah tersenyum penuh kemenangan.
“Hentikan.”
“Apa?” Diego menghentikan langkahnya dan menatap Kalila
dengan perasaan tidak bersalah.
“Sepertinya kau terlalu menikmati ini,” gerutu Kalila
sambil menggerakkan tangannya yang digenggam Diego. “Lihat, kau sampai
menyeringai begitu.”
“Aku hanya merasa bahagia. Memangnya salah?”
Kalila melirik sekilas pada lelaki di sampingnya. “Aku
yakin kau sudah sering mengajak gadis lain makan malam seperti ini.”
“Jadi kau cemburu?”
“Tidak!” sanggah Kalila cepat.
Diego terkekeh. “Tenang saja, aku tidak akan begitu.”
“Sudah kubilang, ti—“
Seorang pramusaji datang menyambut dan menghentikan
perdebatan kecil itu. Lelaki berdasi kupu-kupu itu mengantarkan Kalila dan
Diego ke meja yang berada di samping sebuah jendela kaca besar. Suasana
restoran itu cukup tenang dengan alunan musik klasik yang memenuhi ruangan. Sama
sekali tidak ada pikuk yang mengganggu pendengaran. Bahkan jarak antar mejanya
membuat para pramusajinya bergerak leluasa.
“Wah, indah sekali.” Kalila berdecak kagum saat melihat
ke luar jendela. Pemandangan langit malam dengan bulan yang bertengger tenang
di hadapannya seperti sebuah lukisan raksasa. Untuk sesaat ia seolah bisa
melupakan segala perasaan yang menghimpit dadanya.
“Sayangnya, restoran ini tidak memiliki balkon,” gumam
Diego sambil ikut melempar pandangan pada apa yang menarik perhatian Kalila di
luar sana.
Kening Kalila mengernyit. Dan ia menatap Diego dengan
wajah bertanya-tanya. “Memang kau kira, orang gila mana yang mau makan malam di
balkon gedung setinggi ini?”
Diego mengangkat bahu. “Mungkin kita bisa bermain Jawab
Tiga Detik sekali lagi? Banyak yang ingin kutanyakan. Oh, dan juga, kau belum menjawab
pertanyaanku waktu itu.”
Punggung Kalila menegak saat teringat pada pertanyaan
yang dimaksud Diego. Tentang mana yang lebih ia sukai: Diego yang dahulu atau
yang sekarang. Tetapi rasanya, bukan saatnya ia menjawab pertanyaan itu.
“Apa itu penting bagimu?” tanya Kalila sambil melipat
lengannya di atas meja.
Diego tidak langsung menjawab. Seorang pramusaji datang
menginterupsi obrolan mereka demi menghidangkan semangkuk yoghurt beku bertabur potongan stroberi dan kiwi.
“Sangat penting,” ucap Diego begitu pramusaji itu undur
diri dari meja mereka. “Jadi, aku bisa menyiapkan banyak hal untuk ulang
tahunmu. Bukan hanya sekadar pemandangan bulan dan semangkuk yoghurt.”
Tanpa dinyana, raut wajah Kalila merona kemerahan
mendengar kata-kata Diego. Entah bagaimana caranya, tetapi sebaris kalimat itu
seolah mampu menyentuh dasar hati Kalila dengan tulus. Seulas senyum bahagia
menghias wajah gadis itu tanpa bisa dicegah.
***
Senyuman itu masih betah bertengger di sekujur bibir
Kalila. Bahkan ketika ia sudah berada di dalam bangunan indekosnya. Langkah-langkahnya
di anak tangga terasa ringan. Tidak sabar untuk segera bertemu hari Sabtu, hari
ulang tahunnya. Hingga tanpa sadar, ia sudah tiba di depan kamarnya.
Saat ia akan mengeluarkan kunci dari dalam tasnya,
ponselnya berdering. ‘My Hero Diego’ tertulis di layar ponselnya. Keningnya
mengernyit. Kapan ia pernah mengubah nama kontak— Ah,
Kalila teringat tadi lelaki itu meminjam ponselnya lalu menggerakan jarinya
pada layar sambil tersenyum. Ya, senyum menyebalkan itu. Senyum yang disukai
Kalila.
Kalila berdeham, lalu menjawab panggilan itu. “Ya?”
“Apa My Lil
Princess sudah tiba di kastelnya yang hangat?”
Senyum Kalila melebar nyaris tertawa, tetapi ia
menahannya dengan mengerucutkan bibir. “Sudah kubilang, hentikan panggilan norak
itu. Dan juga kenapa kau mengganti nama kontakmu?”
Diego tertawa di seberang sana. Sekilas, terdengar bunyi
klakson samar mengiringi suara tawanya. “Karena
aku tahu kau sebenarnya menyukai panggilan norak itu.”
“Hei, hei. Jangan membiasakan diri menyetir sambil
menelepon,” ucap Kalila saat tangannya mengambil kunci dari dalam tas. Tetapi
kunci itu tergelincir dari jemarinya lalu jatuh dengan bunyi gemerincing. “Kau
tahu, kan, itu bahkan sudah diatur dalam undang-undang keselam—“
Dan seketika itu juga Kalila membeku. Lama, gadis itu
terpaku. Seolah ada jerat tidak kasatmata yang membatasi gerakannya. Hingga
akhirnya ia memungut kunci dari atas lantai sambil memerhatikan dengan saksama
apa yang dilihatnya.
“Halo? Lil
Princess?” panggil Diego bingung pada omelan Kalila yang terputus.
Karena gadis itu baru saja menyadari potongan selotip
bening yang tadi sengaja ditempelkannya melintangi kosen dan sudut pintu, satu
sisinya sudah terlepas. Padahal ia bahkan belum menyentuh pintu sama sekali.
Ia menelan ludah. Matanya melirik perlahan ke lorong yang
sepi, seolah takut ada yang mengawasi. Seluruh
lengannya mulai merinding saat ia menyentuh gagang pintu kamar yang terasa
hangat.
“Kalila?” Ia
tidak menghiraukan suara Diego yang berubah panik sekarang. Karena ia juga
tidak kalah panik.
Kali ini, Kalila tidak ragu lagi.
Seseorang sudah memasuki kamarnya.