Jumat, 21 April 2017

Green Eyed - Chapter 14


NICO POV
Mataku menatap nyalang map hijau yang kuperoleh dari Dani sebelum aku sampai ke kantor. Pukul lima pagi aku segera berangkat menuju kantor, setelah Dani menelponku. Ia telah menemukan sesuatu tentang Andre. Hal itu membuatku buru-buru menemuinya. Aku ingin segera mencari jawaban atas rasa penasaranku yang tak henti-hentinya menghantuiku.

Apapun yang ada di dalam map tersebut adalah hasil pencarian Dani mengenai lelaki sialan itu, Andre. Dia menginginkan Elena atau dia memiliki niat tersembunyi, apapun motifnya untuk mendekati Elenaku, aku yakin itu pasti buruk.

Pikiranku kembali melayang pada gadisku. Masih pukul empat pagi dan aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku. Perlahan aku membuka pintu kamar, kulihat gadis itu meringkuk di balik selimut tebal yang mengangatkan tubuhnya. Kulihat jejak-jejak air mata masih tercetak jelas di sudut matanya. Aku mengembuskan napas panjang dengan tenang sebelum mengecup puncak kepala gadis itu.

Aku menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal dengan frustasi. Mengingat wajah murung gadis itu membuatku merasa bersalah. Tanpa membuang waktu lagi aku membuka map hijau yang sejak tadi membuatku tak tenang. Andreas Refiano,  dokter spesialis saraf yang juga mengembangkan berbagai bisnis. Wajah lelaki itu mengingatkanku pada jahanam bernama Jonathan Adam. Biang keladi segala masalah yang dimiliki Elena. Tapi pikiranku bahwa mereka adalah saudara buru-buru ditepis lantaran data Dani menunjukkan bahwa Andre hanya memiliki seorang adik perempuan.

Kembali kuamati lembar demi lembar tulisan rinci yang semakin menarik perhatianku. Lelaki itu ternyata memiliki tunangan yang kini sedang menyelesaikan pendidikan doktor di Australia dan rumornya mereka akan segera melaksanakan pernikahan mereka setelah gadis itu menyelesaikan pendidikannya.

Apakah mungkin lelaki itu akan mengkhianati tunangannya? Apakah ia benar-benar tertarik pada Elena? Segala macam pertanyaan berputar-putar di kepalaku, membuatku memijat ringan kedua pelipisku. Apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan, sungguh membuatku sangat penasaran. Sekelebat perasaan aneh membuatku merinding setelah kutemukan sesuatu yang mungkin saja bisa menjadi benang merah antara semua masalah yang ada.

ELENA POV
Aku bergerak gelisah di atas ranjang berukuran queen size milik Nico. Aku menghirup dalam-dalam aroma yang ia tinggalkan di ranjangnya. Lelaki itu tampaknya benar-benar marah padaku. Semalaman aku menunggu di kamarnya hingga aku tertidur. Kupikir pagi ini ia akan menemuiku setelah ia mengatakan bahwa ia butuh waktu sendiri. Tetapi saat aku terbangun ia sudah berangkat ke kantornya, bahkan lebih pagi dari biasanya.

Aku berteriak kesal sambil melempar bantal Nico yang berakhir membuatku beranjak untuk mengambilnya dan meletakkannya kembali di tempat asalnya. Aku sungguh ingin menyusulnya, tetapi Evan melarangku keluar rumah dengan alasan bahwa aku tak bisa berkeliaran seenaknya, terlebih setelah kejadian kemarin.

Suara notifikasi pesan membuatku berguling ke sisi lain ranjang Nico untuk melihat pesan masuk yang kuharap itu berasal dari Nico.

From : Andre
Hai sweety, bagaimana keadaanmu? Bisakah kita bertemu di luar siang ini?

Aku menghela napas panjang yang berisi kekecewaan. Aku sama sekali tak berharap lelaki ini menggangguku lagi setelah semuanya yang terjadi. Dan apa dia bilang? Dia ingin bertemu denganku?

To : Andre
Aku baik. Bagaimana dengan lukamu? Aku mohon maaf atas sikap Nico kemarin.

Aku sengaja tak memedulikan pertanyaan kedua. Aku takut itu akan menjadi bumerang untukku jika aku masih saja berpegang teguh pada rasa penasaran mengapa lelaki itu ingin bertemu denganku. Pesan balasan segera datang tanpa aku perlu menunggu lama.

From : Andre
Jika kau merasa bersalah atas sikap Nico, kuharap kau bisa menemuiku di Rainbow Café jam 1 siang ini. Ada yang ingin kubicarakan tentang Nico. Aku berencana menuntutnya atas tindak kekerasan jika kau tak datang siang ini. Sampai nanti, sweety.

Pemaksa! Bagaimana jika ia menuntut Nico jika aku tak menemuinya? Lalu bagaimana jika aku lagi-lagi keluar tanpa seizin Nico? Hal itu benar-benar membuat kepalaku berdenyut. Aku memukul kepalaku pelan, mencoba mulai berpikir dengan jernih. Aku menyentuh beberapa angka yang kuhafal di luar kepala pada layar ponselku. Foto Nico yang tersenyum padaku terpampang di layar ponsel lima inci milikku, membuatku buru-buru membatalkan panggilan.

Aku beranjak dari kamar Nico, melangkahkan kakiku menuju dapur di mana ku lihat Evan tengah berkutat dengan microwave yang terletak di sisi kanan dapur.

Aku berdehem, menginterupsi kegiatan Evan hingga ia memberikan sedikit perhatiannya untukku. “Kak, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”

“Apa itu?” Tanya Evan sembari mengalihkan pandangannya kembali menuju microwave.

“Begini, aku perlu keluar…” Evan tampak mencurahkan seluruh perhatiannya padaku, membuat tegang. “Hanya sebentar. Aku perlu izinmu kak.” Lanjutku yang dihadiahi tatapan tidak setuju oleh Evan.

“Ayolah kak, hanya sebentar saja. Aku janji.” Atau Nico akan berurusan dengan polisi nantinya, imbuhku dalam hati.

“Kurasa Nico memang harus benar-benar menghancurkan kepala batumu itu, Elena.” Ujar Evan dengan nada yang terdengar kesal.

“Kakak, aku tahu aku salah. Namun kali ini aku harus menemui Andre. Jika tidak sesuatu yang buruk akan terjadi dan...”

Prang!

Sebuah gelas tergeletak tak berdaya, hancur berkeping-keping, membuat air di dalamnya ikut berleleran membasahi lantai sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Tatapanku beralih menuju lelaki di hadapanku yang kini mengepalkan tangannya dengan erat. Kemudian tangan itu dengan cepat memukul meja makan yang sebenarnya tak memiliki salah sama sekali pada lelaki itu.

“Elena!” Suara yang terdengar penuh amarah membuatku berjingkat. “Kau sadar dengan apa yang kau katakan? Apa tidak cukup kau membuat keributan semalam setelah jelas-jelas Nico melarangmu? Apa kau pikir Nico masih akan tetap menyelamatkanmu jika kau masih saja keras kepala seperti ini? Masalahmu bukanlah masalah sepele, Elena. Jika kau masih seperti ini, lebih baik kita pulang atau serahkan saja dirimu pada polisi!”

Aku yakin Evan sangat marah padaku. Dia bukan tipikal orang yang emosional sepertiku dan tindakannya tadi cukup menunjukkan bahwa ia benar-benar berada di luar kendali. Mungkin Andrelah pemicu emosi para lelaki di rumah ini. Entah mengapa mereka begitu sensitif dengan nama itu.

Aku kembali menuju kamar, menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan untuk menanggapi ajakan Andre. Sering kali aku menonton drama, bahwa jika si perempuan menuruti apapun yang dikatakan oleh si laki-laki lain demi melindungi kekasihnya. Kurasa bukan hal yang salah jika akupun akan bertindak begitu. Tak akan ada yang terjadi padaku jika aku menemui Andre sekali lagi. Jika tidak, kemungkinan Nico yang akan menanggung segalanya. Padahal aku tahu dia melakukannya demi aku.

Aku akan membulatkan tekad. Aku harus menemui  Andre demi Nico karena dia telah melakukan banyak hal untukku. Sekarang giliranku untuk melakukan sesuatu untuknya.
***
Aku mengoleskan sedikit lipstik agar bibirku tak tampak pucat, tak lupa aku mengenakan kaca mata hitamku sebelum taksi sampai di sebuah kafe tempat janji kami bertemu. Aku sudah terlambat lima belas menit, tetapi aku yakin Andre masih akan menungguku.

Ponsel di tasku berteriak-teriak meminta perhatian. Kulihat nomor Andre terpampang di layar ponselku. Dengan gugup aku menggeser ikon hijau di layar.

“Sebentar lagi aku sampai, dokter.” Ujarku sebelum Andre sempat mengucapkan sesuatu.

“Tenang saja, sweety. Aku masih setia menunggumu di sini.” Kekehan Andre justru membuatku kesal. Tanpa menanggapi perkataan Andre, aku menutup telpon dengan segera. Penggoda!

Hanya dalam hitungan menit, taksi sampai di depan pintu kafe yang didominasi warna pelangi itu. Baru kemarin keributan terjadi gara-gara aku. Hal itu membuatku sedikit merasa sungkan kepada pegawai di kafe itu.

Aku melangkah masuk ke dalam kafe dan segera menyeret kursi yang ada di hadapan lelaki yang kini tengah mengenakan kemeja biru yang lengannya dilipat asal sampai ke siku. Lelaki itu mendongak sambil melempar senyumnya lebar hingga membuat matanya yang sipit nyaris terpejam.

“Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan, dokter?” Ucapku langsung tanpa perlu membalas senyuman lebarnya yang kuakui memang memesona.

“Kenapa kau terburu-buru, Elena. Aku hanya ingin memandang wajahmu untuk yang terakhir kali.” Ujar lelaki itu sambil menunjukkan raut wajahnya yang tampak sedih dibuat-buat. “Panggil saja aku Andre.” Imbuhnya sambil berkedip genit. Entah ada berapa wajah yang dimiliki lelaki itu. Ia sangat ahli mengubah ekspresinya. Mungkin bermodalkan wajahnya itu, ia akan menang banyak jika mencoba bermain poker melawan Alexa, si ratu poker.

“Baiklah, Andre. Kau bilang ingin mengatakan sesuatu? Tolong katakan sekarang, karena aku sungguh tak punya banyak waktu.”

“Jangan terburu-buru sweety, sebenarnya ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.” Aku mengernyitkan dahi saat Andre mencoba membuatku penasaran. “Dia teman baikku. Aku ingin mengenalkannya padamu.”

“Untuk apa?” Untuk apa aku perlu mengenal teman-teman lelaki di hadapanku ini? Dia bukan calon suamiku. Akupun tak pernah berpikir akan jadi teman karib lelaki ini.

Pandanganku beralih pada seorang lelaki yang tiba-tiba menyeret kursi dan duduk di samping Andre. Mataku terbelalak menatap lelaki yang mengenakan setelan jas mahal yang melempar senyum sinisnya padaku.

NICO POV
Berulang kali aku mencoba menghubungkan panggilanku pada Elena.  Tetapi ia tak mengangkatnya. Firasatku semakin memburuk ketika lagi-lagi Evan kehilangan Elena untuk kedua kalinya. Kami memutuskan untuk berpencar dan mencari keberadaan si kepala batu itu.

Aku merasa amat sangat geram saat Evan mengatakan bahwa Elena sempat meminta izin untuk menemui Andre. Saat itu Evan menolaknya. Tetapi lagi-lagi si bodoh itu kehilangan adiknya begitu saja.

Ingatanku kembali melayang pada saat aku berulang kali membaca data yang diberikan Dani. Quartz Design. Nama perusahaan yang membuatku menyadari sesuatu. Menurut Dani, Andre memiliki hubungan dekat dengan CEO perusahaan tersebut. Mungkinkah itu alasan Trisia tampak dekat dengan Andre saat semalam aku menghajarnya?

Semakin aku menghubungkan beberapa kejadian yang ada, aku semakin yakin bahwa Andre telah mengetahui sesuatu tentang kecelakaan itu. Dan kemungkinan lelaki itu telak memiliki rencana bersama sahabatnya, Harry.

Ponselku berdering, membuyarkan lamunanku. Foto konyol Evan tersenyum bodoh pada layar ponselku.

“Aku menemukannya di Rainbow Café.” Ujar Evan terburu-buru.

“Baiklah aku…”

“Tapi...” Evan memotong kata-kataku sehingga kuurungkan niatku untuk meletakkan ponselku.

“Ada apa?”

“Firasatku jadi buruk, lelaki itu ada di sini. Aku akan masuk duluan untuk memastikan keadaan Elena. Kau cepatlah kemari.”

Aku melempar ponselku ke bangku penumpang yang ada di sampingku. Menginjak pedal gasku lebih dalam agar segera sampai di tempat tujuan. Aku tahu pasti maksud Evan tentang lelaki itu, dan itulah ketakutan terbesar kami.

Tubuhku terasa kaku saat kusaksikan Evan tengah bersitegang dengan Andre dan seseorang yang tak asing lagi, Harry. Firasatku benar. Mereka berdua telah bersekongkol dan aku lebih mementingkan perasaan untuk menghukum Elena lebih lama dari pada memperingatkannya, hingga semuanya terlambat. Kakiku bagai seonggok beton saat aku memaksa bergerak untuk mendekati meja itu.

“Aku yakin kau salah orang. Adikku tak pernah melakukan hal itu.”

“Tutup mulutmu!” Bentak Harry setelah ia memukul meja di hadapannya. “Dia sudah membunuh adikku. Wanita itu adalah pembunuh! Seharusnya dia mendekam di penjara!”

“Kurasa kau tak perlu mempermalukannya di depan semua orang seperti ini, Harry.” Aku merangkul Elena yang hanya menunduk diam di tempatnya sambil menangis sesegukan. Sementara semua pasang mata tertuju pada keributan ini.

“Apa dia masih punya malu sementara dia terang-terangan mengunjungi kekasih adikku tanpa tahu malu?”

“Kita bisa membicarakan semua ini di tempat lain.” Aku mencoba menenangkan Harry, sementara beberapa kamera ponsel pengunjung kafe telah menyorot pertengkaran kami.

“Untuk apa? Biarkan semua orang tahu bahwa kekasihmu telah membunuh adikku.”

Entah setan apa yang merasukiku, tiba-tiba saja kepalan tanganku menghantam wajah Harry. Lelaki itu tersungkur dan dengan segera ia balas menghantamku. Baku hantam pun terjadi, sementara Evan, Andre dan beberapa pegawai mencoba memisahkan kami. Sejauh yang aku tahu, Elena memang salah, namun lelaki itu tak searusnya mempermalukan Elena dihadapan umum.

Tak berapa lama, tiga orang petugas kepolisian menghampiri kami dan menyerahkan selembar surat yang disodorkan tepat dihadapan Elena. “Anda ditangkap atas tuduhan kelalaian berkendara hingga menyebabkan kematian orang lain.”

Seketika aku merasa tubuhku digodam. Ini sungguh-sungguh bagaikan mimpi untukku. Aku sudah berusaha semampuku untuk menyembunyikan gadis ini dan segalanya sia-sia. Di depan mataku, gadisku—Elenaku, diseret dengan borgol yang mengunci kedua tangannya.

“Elena!” Teriakku memberontak sementara tangan-tangan kekar masih memegang kedua lenganku dengan erat.

ELENA POV
Aku melihat Nico dan Evan yang berusaha menahanku. Meski sesungguhnya aku tak ingin menerima keadaan ini, tetapi aku menyadari bahwa ini adalah hukumanku. Kupasrahkan diriku memasuki mobil polisi yang terparkir tak jauh dari kafe. Beberapa pasang mata tampak memerhatikanku sambil berbisik dan aku yakin mereka sedang membicarakanku—membicarakan Elena yang tengah diseret oleh polisi karena kasus pembunuhan.

Air mataku tak berhenti mengalir sementara mobil semakin melaju meninggalkan Nico dan Evan yang tampak masih beradu dengan Harry. Mataku nyalang menatap borgol yang melingkar di kedua pergelangan tanganku. Hal ini membuatku menyadari bahwa seberapa jauhpun Nico membawaku pergi, seberapa dalampun Evan menyembunyikanku, pada akhirnya bangkai yang coba kusimpan rapat pun tetap akan tercium juga.

Pikiranku kembali pada saat-saat di mana keadaan belum seburuk ini, mungkin memang benar jika seharusnya Nico memecahkan saja kepala batuku ini. Jika saja aku tidak menjadi sok pahlawan. Jika saja aku selalu menuruti apa yang dikatakan Nico dan Evan. Jika saja aku membuang jauh-jauh pikiranku yang keras kepala ini. Namun tetap saja, jika akan tetap menjadi jika kecuali Leo bisa hidup kembali dan memaafkanku karena telah membunuhnya.
***

Ini adalah hal yang sama sekali tak pernah kubayangkan. Menginjakkan kakiku di pengadilan sebagai tersangka. Menantikan vonis hakim di bangku terdakwa. Seorang pengacara hebat telah disiapkan Nico untukku. Tapi apalah artinya seorang pengacara terbaik jika aku masih harus mendekam di balik jeruji besi? Tak akan ada yang berubah.

Aku menatap wajah Nico yang terlihat lelah, tersenyum padaku meski tampak terpaksa. Di sampingnya, Evan pun tak tampak lebih baik. Dan kedua orang itu menderita karenaku. Kuedarkan pandanganku di sekitar tempat duduk, mencoba berharap seseorang yang kunantikan berbaur di bangku penonton persidangan. Mungkin orang tuaku akan berpikir untuk mengunjungiku setelah mereka mendengar kabar pemakamanku.

Sepasang mataku kemudian bertemu dengan sesosok gadis yang baru saja datang bersama dua orang pria yang semuanya kebetulan kukenal. Ketiganya berdiri di pintu ruangan, tampak seperti karakter tokoh film animasi. Trisia dengan wajah datarnya yang tak bisa kupastikan perasaannya, Harry yang menghujamku dengan tatapan sinisnya dan Andre tetap dengan tatapan genitnya.

Waktu berjalan lambat, persidangan berjalan lebih lama dari yang kuduga. Aku tersenyum kecut mendengarkan putusan hakim. Hari ini aku kalah dalam permainan petak umpet yang kuciptakan sendiri. Menyerahkan kebebasanku pada keadilan. Menanti hari yang terus akan berjalan, menanti bulan berlalu, menanti tahun yang akan berganti. Hingga tak akan ada lagi batas yang membuatku terpisah dari Nico, Evan dan orang-orang di sekelilingku.

Bersambung...

Eat. Read. Repeat
Stoples Cerita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D