NICO
POV
Mataku
menatap nyalang map hijau yang kuperoleh dari Dani sebelum aku sampai ke
kantor. Pukul lima pagi aku segera berangkat menuju kantor, setelah Dani
menelponku. Ia telah menemukan sesuatu tentang Andre. Hal itu membuatku
buru-buru menemuinya. Aku ingin segera mencari jawaban atas rasa penasaranku
yang tak henti-hentinya menghantuiku.
Apapun
yang ada di dalam map tersebut adalah hasil pencarian Dani mengenai lelaki sialan
itu, Andre. Dia menginginkan Elena atau dia memiliki niat tersembunyi, apapun
motifnya untuk mendekati Elenaku, aku yakin itu pasti buruk.
Pikiranku
kembali melayang pada gadisku. Masih pukul empat pagi dan aku sama sekali tak
bisa memejamkan mataku. Perlahan aku membuka pintu kamar, kulihat gadis itu
meringkuk di balik selimut tebal yang mengangatkan tubuhnya. Kulihat
jejak-jejak air mata masih tercetak jelas di sudut matanya. Aku mengembuskan
napas panjang dengan tenang sebelum mengecup puncak kepala gadis itu.
Aku
menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal dengan frustasi. Mengingat wajah
murung gadis itu membuatku merasa bersalah. Tanpa membuang waktu lagi aku membuka
map hijau yang sejak tadi membuatku tak tenang. Andreas Refiano, dokter spesialis saraf yang juga mengembangkan
berbagai bisnis. Wajah lelaki itu mengingatkanku pada jahanam bernama Jonathan
Adam. Biang keladi segala masalah yang dimiliki Elena. Tapi pikiranku bahwa
mereka adalah saudara buru-buru ditepis lantaran data Dani menunjukkan bahwa
Andre hanya memiliki seorang adik perempuan.
Kembali
kuamati lembar demi lembar tulisan rinci yang semakin menarik perhatianku.
Lelaki itu ternyata memiliki tunangan yang kini sedang menyelesaikan pendidikan
doktor di Australia dan rumornya mereka akan segera melaksanakan pernikahan
mereka setelah gadis itu menyelesaikan pendidikannya.
Apakah mungkin lelaki itu akan
mengkhianati tunangannya? Apakah ia benar-benar tertarik pada Elena?
Segala macam pertanyaan berputar-putar di kepalaku, membuatku memijat ringan
kedua pelipisku. Apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan, sungguh membuatku
sangat penasaran. Sekelebat perasaan aneh membuatku merinding setelah kutemukan
sesuatu yang mungkin saja bisa menjadi benang merah antara semua masalah yang
ada.
ELENA POV
Aku
bergerak gelisah di atas ranjang berukuran queen
size milik Nico. Aku menghirup dalam-dalam aroma yang ia tinggalkan di
ranjangnya. Lelaki itu tampaknya benar-benar marah padaku. Semalaman aku
menunggu di kamarnya hingga aku tertidur. Kupikir pagi ini ia akan menemuiku
setelah ia mengatakan bahwa ia butuh waktu sendiri. Tetapi saat aku terbangun
ia sudah berangkat ke kantornya, bahkan lebih pagi dari biasanya.
Aku
berteriak kesal sambil melempar bantal Nico yang berakhir membuatku beranjak
untuk mengambilnya dan meletakkannya kembali di tempat asalnya. Aku sungguh
ingin menyusulnya, tetapi Evan melarangku keluar rumah dengan alasan bahwa aku
tak bisa berkeliaran seenaknya, terlebih setelah kejadian kemarin.
Suara
notifikasi pesan membuatku berguling ke sisi lain ranjang Nico untuk melihat
pesan masuk yang kuharap itu berasal dari Nico.
From : Andre
Hai sweety, bagaimana keadaanmu? Bisakah kita bertemu di luar siang
ini?
Aku
menghela napas panjang yang berisi kekecewaan. Aku sama sekali tak berharap
lelaki ini menggangguku lagi setelah semuanya yang terjadi. Dan apa dia bilang?
Dia ingin bertemu denganku?
To : Andre
Aku baik. Bagaimana dengan
lukamu? Aku mohon maaf atas sikap Nico kemarin.
Aku
sengaja tak memedulikan pertanyaan kedua. Aku takut itu akan menjadi bumerang
untukku jika aku masih saja berpegang teguh pada rasa penasaran mengapa lelaki
itu ingin bertemu denganku. Pesan balasan segera datang tanpa aku perlu
menunggu lama.
From : Andre
Jika kau merasa bersalah atas
sikap Nico, kuharap kau bisa menemuiku di Rainbow Café jam 1 siang ini. Ada
yang ingin kubicarakan tentang Nico. Aku berencana menuntutnya atas tindak
kekerasan jika kau tak datang siang ini. Sampai nanti, sweety.
Pemaksa!
Bagaimana jika ia menuntut Nico jika aku tak menemuinya? Lalu bagaimana jika
aku lagi-lagi keluar tanpa seizin Nico? Hal itu benar-benar membuat kepalaku
berdenyut. Aku memukul kepalaku pelan, mencoba mulai berpikir dengan jernih.
Aku menyentuh beberapa angka yang kuhafal di luar kepala pada layar ponselku.
Foto Nico yang tersenyum padaku terpampang di layar ponsel lima inci milikku,
membuatku buru-buru membatalkan panggilan.
Aku
beranjak dari kamar Nico, melangkahkan kakiku menuju dapur di mana ku lihat
Evan tengah berkutat dengan microwave yang
terletak di sisi kanan dapur.
Aku
berdehem, menginterupsi kegiatan Evan hingga ia memberikan sedikit perhatiannya
untukku. “Kak, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
“Apa
itu?” Tanya Evan sembari mengalihkan pandangannya kembali menuju microwave.
“Begini,
aku perlu keluar…” Evan tampak mencurahkan seluruh perhatiannya padaku, membuat
tegang. “Hanya sebentar. Aku perlu izinmu kak.” Lanjutku yang dihadiahi tatapan
tidak setuju oleh Evan.
“Ayolah
kak, hanya sebentar saja. Aku janji.” Atau
Nico akan berurusan dengan polisi nantinya, imbuhku dalam hati.
“Kurasa
Nico memang harus benar-benar menghancurkan kepala batumu itu, Elena.” Ujar
Evan dengan nada yang terdengar kesal.
“Kakak,
aku tahu aku salah. Namun kali ini aku harus menemui Andre. Jika tidak sesuatu
yang buruk akan terjadi dan...”
Prang!
Sebuah
gelas tergeletak tak berdaya, hancur berkeping-keping, membuat air di dalamnya
ikut berleleran membasahi lantai sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Tatapanku
beralih menuju lelaki di hadapanku yang kini mengepalkan tangannya dengan erat.
Kemudian tangan itu dengan cepat memukul meja makan yang sebenarnya tak
memiliki salah sama sekali pada lelaki itu.
“Elena!”
Suara yang terdengar penuh amarah membuatku berjingkat. “Kau sadar dengan apa
yang kau katakan? Apa tidak cukup kau membuat keributan semalam setelah
jelas-jelas Nico melarangmu? Apa kau pikir Nico masih akan tetap
menyelamatkanmu jika kau masih saja keras kepala seperti ini? Masalahmu
bukanlah masalah sepele, Elena. Jika kau masih seperti ini, lebih baik kita
pulang atau serahkan saja dirimu pada polisi!”
Aku
yakin Evan sangat marah padaku. Dia bukan tipikal orang yang emosional
sepertiku dan tindakannya tadi cukup menunjukkan bahwa ia benar-benar berada di
luar kendali. Mungkin Andrelah pemicu emosi para lelaki di rumah ini. Entah
mengapa mereka begitu sensitif dengan nama itu.
Aku
kembali menuju kamar, menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan untuk
menanggapi ajakan Andre. Sering kali aku menonton drama, bahwa jika si
perempuan menuruti apapun yang dikatakan oleh si laki-laki lain demi melindungi
kekasihnya. Kurasa bukan hal yang salah jika akupun akan bertindak begitu. Tak
akan ada yang terjadi padaku jika aku menemui Andre sekali lagi. Jika tidak,
kemungkinan Nico yang akan menanggung segalanya. Padahal aku tahu dia
melakukannya demi aku.
Aku
akan membulatkan tekad. Aku harus menemui
Andre demi Nico karena dia telah melakukan banyak hal untukku. Sekarang
giliranku untuk melakukan sesuatu untuknya.
***
Aku
mengoleskan sedikit lipstik agar bibirku tak tampak pucat, tak lupa aku
mengenakan kaca mata hitamku sebelum taksi sampai di sebuah kafe tempat janji
kami bertemu. Aku sudah terlambat lima belas menit, tetapi aku yakin Andre masih
akan menungguku.
Ponsel
di tasku berteriak-teriak meminta perhatian. Kulihat nomor Andre terpampang di
layar ponselku. Dengan gugup aku menggeser ikon hijau di layar.
“Sebentar
lagi aku sampai, dokter.” Ujarku sebelum Andre sempat mengucapkan sesuatu.
“Tenang
saja, sweety. Aku masih setia
menunggumu di sini.” Kekehan Andre justru membuatku kesal. Tanpa menanggapi
perkataan Andre, aku menutup telpon dengan segera. Penggoda!
Hanya
dalam hitungan menit, taksi sampai di depan pintu kafe yang didominasi warna
pelangi itu. Baru kemarin keributan terjadi gara-gara aku. Hal itu membuatku
sedikit merasa sungkan kepada pegawai di kafe itu.
Aku
melangkah masuk ke dalam kafe dan segera menyeret kursi yang ada di hadapan
lelaki yang kini tengah mengenakan kemeja biru yang lengannya dilipat asal
sampai ke siku. Lelaki itu mendongak sambil melempar senyumnya lebar hingga
membuat matanya yang sipit nyaris terpejam.
“Apa
yang sebenarnya ingin kau bicarakan, dokter?” Ucapku langsung tanpa perlu
membalas senyuman lebarnya yang kuakui memang memesona.
“Kenapa
kau terburu-buru, Elena. Aku hanya ingin memandang wajahmu untuk yang terakhir
kali.” Ujar lelaki itu sambil menunjukkan raut wajahnya yang tampak sedih
dibuat-buat. “Panggil saja aku Andre.” Imbuhnya sambil berkedip genit. Entah
ada berapa wajah yang dimiliki lelaki itu. Ia sangat ahli mengubah ekspresinya.
Mungkin bermodalkan wajahnya itu, ia akan menang banyak jika mencoba bermain
poker melawan Alexa, si ratu poker.
“Baiklah,
Andre. Kau bilang ingin mengatakan sesuatu? Tolong katakan sekarang, karena aku
sungguh tak punya banyak waktu.”
“Jangan
terburu-buru sweety, sebenarnya ada
seseorang yang ingin bertemu denganmu.” Aku mengernyitkan dahi saat Andre
mencoba membuatku penasaran. “Dia teman baikku. Aku ingin mengenalkannya
padamu.”
“Untuk
apa?” Untuk apa aku perlu mengenal teman-teman lelaki di hadapanku ini? Dia
bukan calon suamiku. Akupun tak pernah berpikir akan jadi teman karib lelaki
ini.
Pandanganku
beralih pada seorang lelaki yang tiba-tiba menyeret kursi dan duduk di samping
Andre. Mataku terbelalak menatap lelaki yang mengenakan setelan jas mahal yang
melempar senyum sinisnya padaku.
NICO POV
Berulang
kali aku mencoba menghubungkan panggilanku pada Elena. Tetapi ia tak mengangkatnya. Firasatku
semakin memburuk ketika lagi-lagi Evan kehilangan Elena untuk kedua kalinya.
Kami memutuskan untuk berpencar dan mencari keberadaan si kepala batu itu.
Aku
merasa amat sangat geram saat Evan mengatakan bahwa Elena sempat meminta izin
untuk menemui Andre. Saat itu Evan menolaknya. Tetapi lagi-lagi si bodoh itu
kehilangan adiknya begitu saja.
Ingatanku
kembali melayang pada saat aku berulang kali membaca data yang diberikan Dani.
Quartz Design. Nama perusahaan yang membuatku menyadari sesuatu. Menurut Dani,
Andre memiliki hubungan dekat dengan CEO perusahaan tersebut. Mungkinkah itu
alasan Trisia tampak dekat dengan Andre saat semalam aku menghajarnya?
Semakin
aku menghubungkan beberapa kejadian yang ada, aku semakin yakin bahwa Andre
telah mengetahui sesuatu tentang kecelakaan itu. Dan kemungkinan lelaki itu
telak memiliki rencana bersama sahabatnya, Harry.
Ponselku
berdering, membuyarkan lamunanku. Foto konyol Evan tersenyum bodoh pada layar
ponselku.
“Aku
menemukannya di Rainbow Café.” Ujar Evan terburu-buru.
“Baiklah
aku…”
“Tapi...”
Evan memotong kata-kataku sehingga kuurungkan niatku untuk meletakkan ponselku.
“Ada
apa?”
“Firasatku
jadi buruk, lelaki itu ada di sini. Aku akan masuk duluan untuk memastikan
keadaan Elena. Kau cepatlah kemari.”
Aku
melempar ponselku ke bangku penumpang yang ada di sampingku. Menginjak pedal
gasku lebih dalam agar segera sampai di tempat tujuan. Aku tahu pasti maksud
Evan tentang lelaki itu, dan itulah
ketakutan terbesar kami.
Tubuhku
terasa kaku saat kusaksikan Evan tengah bersitegang dengan Andre dan seseorang
yang tak asing lagi, Harry. Firasatku benar. Mereka berdua telah bersekongkol
dan aku lebih mementingkan perasaan untuk menghukum Elena lebih lama dari pada
memperingatkannya, hingga semuanya terlambat. Kakiku bagai seonggok beton saat
aku memaksa bergerak untuk mendekati meja itu.
“Aku
yakin kau salah orang. Adikku tak pernah melakukan hal itu.”
“Tutup
mulutmu!” Bentak Harry setelah ia memukul meja di hadapannya. “Dia sudah
membunuh adikku. Wanita itu adalah pembunuh! Seharusnya dia mendekam di
penjara!”
“Kurasa
kau tak perlu mempermalukannya di depan semua orang seperti ini, Harry.” Aku
merangkul Elena yang hanya menunduk diam di tempatnya sambil menangis
sesegukan. Sementara semua pasang mata tertuju pada keributan ini.
“Apa
dia masih punya malu sementara dia terang-terangan mengunjungi kekasih adikku
tanpa tahu malu?”
“Kita
bisa membicarakan semua ini di tempat lain.” Aku mencoba menenangkan Harry,
sementara beberapa kamera ponsel pengunjung kafe telah menyorot pertengkaran
kami.
“Untuk
apa? Biarkan semua orang tahu bahwa kekasihmu telah membunuh adikku.”
Entah
setan apa yang merasukiku, tiba-tiba saja kepalan tanganku menghantam wajah
Harry. Lelaki itu tersungkur dan dengan segera ia balas menghantamku. Baku
hantam pun terjadi, sementara Evan, Andre dan beberapa pegawai mencoba
memisahkan kami. Sejauh yang aku tahu, Elena memang salah, namun lelaki itu tak
searusnya mempermalukan Elena dihadapan umum.
Tak
berapa lama, tiga orang petugas kepolisian menghampiri kami dan menyerahkan
selembar surat yang disodorkan tepat dihadapan Elena. “Anda ditangkap atas
tuduhan kelalaian berkendara hingga menyebabkan kematian orang lain.”
Seketika
aku merasa tubuhku digodam. Ini sungguh-sungguh bagaikan mimpi untukku. Aku
sudah berusaha semampuku untuk menyembunyikan gadis ini dan segalanya sia-sia.
Di depan mataku, gadisku—Elenaku, diseret dengan borgol yang mengunci kedua
tangannya.
“Elena!”
Teriakku memberontak sementara tangan-tangan kekar masih memegang kedua
lenganku dengan erat.
ELENA POV
Aku
melihat Nico dan Evan yang berusaha menahanku. Meski sesungguhnya aku tak ingin
menerima keadaan ini, tetapi aku menyadari bahwa ini adalah hukumanku.
Kupasrahkan diriku memasuki mobil polisi yang terparkir tak jauh dari kafe.
Beberapa pasang mata tampak memerhatikanku sambil berbisik dan aku yakin mereka
sedang membicarakanku—membicarakan Elena yang tengah diseret oleh polisi karena
kasus pembunuhan.
Air
mataku tak berhenti mengalir sementara mobil semakin melaju meninggalkan Nico
dan Evan yang tampak masih beradu dengan Harry. Mataku nyalang menatap borgol
yang melingkar di kedua pergelangan tanganku. Hal ini membuatku menyadari bahwa
seberapa jauhpun Nico membawaku pergi, seberapa dalampun Evan menyembunyikanku,
pada akhirnya bangkai yang coba kusimpan rapat pun tetap akan tercium juga.
Pikiranku
kembali pada saat-saat di mana keadaan belum seburuk ini, mungkin memang benar
jika seharusnya Nico memecahkan saja kepala batuku ini. Jika saja aku tidak
menjadi sok pahlawan. Jika saja aku selalu menuruti apa yang dikatakan Nico dan
Evan. Jika saja aku membuang jauh-jauh pikiranku yang keras kepala ini. Namun
tetap saja, jika akan tetap menjadi jika kecuali Leo bisa hidup kembali dan
memaafkanku karena telah membunuhnya.
***
Ini
adalah hal yang sama sekali tak pernah kubayangkan. Menginjakkan kakiku di
pengadilan sebagai tersangka. Menantikan vonis hakim di bangku terdakwa.
Seorang pengacara hebat telah disiapkan Nico untukku. Tapi apalah artinya
seorang pengacara terbaik jika aku masih harus mendekam di balik jeruji besi?
Tak akan ada yang berubah.
Aku
menatap wajah Nico yang terlihat lelah, tersenyum padaku meski tampak terpaksa.
Di sampingnya, Evan pun tak tampak lebih baik. Dan kedua orang itu menderita
karenaku. Kuedarkan pandanganku di sekitar tempat duduk, mencoba berharap
seseorang yang kunantikan berbaur di bangku penonton persidangan. Mungkin orang
tuaku akan berpikir untuk mengunjungiku setelah mereka mendengar kabar
pemakamanku.
Sepasang
mataku kemudian bertemu dengan sesosok gadis yang baru saja datang bersama dua
orang pria yang semuanya kebetulan kukenal. Ketiganya berdiri di pintu ruangan,
tampak seperti karakter tokoh film animasi. Trisia dengan wajah datarnya yang
tak bisa kupastikan perasaannya, Harry yang menghujamku dengan tatapan sinisnya
dan Andre tetap dengan tatapan genitnya.
Waktu
berjalan lambat, persidangan berjalan lebih lama dari yang kuduga. Aku
tersenyum kecut mendengarkan putusan hakim. Hari ini aku kalah dalam permainan
petak umpet yang kuciptakan sendiri. Menyerahkan kebebasanku pada keadilan.
Menanti hari yang terus akan berjalan, menanti bulan berlalu, menanti tahun yang
akan berganti. Hingga tak akan ada lagi batas yang membuatku terpisah dari
Nico, Evan dan orang-orang di sekelilingku.
Bersambung...
Eat. Read. Repeat
Stoples Cerita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D