Kalila mendongak, memandang takjub sekumpulan bunga
wisteria yang menggantung di atas kepalanya. Bunga-bunga itu berwarna putih,
violet, dan ungu. Semuanya kompak bermekaran dan membentuk terowongan panjang
yang indah. Seolah sedang menuntunnya ke alam mimpi.
Diego berada di belakang, mendorong kursi rodanya. Kalila
memang sudah diperbolehkan pulang. Beberapa perbannya sudah dilepas. Tetapi kakinya
masih tidak kuat berdiri maupun berjalan. Jadi, ia akan membutuhkan kursi roda
sampai ia dinyatakan benar-benar sembuh. Berdua, mereka menyusuri keindahan itu
tanpa banyak bicara. Hingga akhirnya mereka tiba di ujung terowongan.
Tetapi mimpi indah itu ternyata belum berakhir.
Dua orang berseragam seperti pramusaji restoran—lengkap
dengan dasi kupu-kupu berwarna ungu—datang menyambut dan menunjukkan sebuah meja yang sudah
disiapkan untuk mereka. Meja itu berbentuk bundar dengan taplak satin sewarna
lavendel berada di antara dua kursi yang berhadapan. Kursi-kursi itu memiliki sandaran
tinggi yang dipenuhi ukiran. Seperti kursi yang biasanya berada di istana. Dan
semua itu ditata di bawah naungan pergola yang juga berhiaskan bunga wisteria.
Saat masih tersihir dengan pemandangan di hadapannya, tiba-tiba
Kalila memekik kaget saat merasakan tubuhnya melayang. Dengan mudah, Diego menggendong
dan mendudukkannya di salah satu kursi yang dilapisi beledu bewarna ungu gelap
itu.
“Lil Princess seharusnya duduk di kursi untuk Tuan Putri,”
bisik lelaki itu di telinganya.
Wajah Kalila menghangat. “Terima kasih.”
“Terima kasih untuk apa?” tanya Diego begitu ia duduk di
kursinya.
Dan saat itulah Kalila baru menyadari bahwa kedua pramusaji
tadi sudah menghilang. Bersama dengan kursi rodanya. Sengaja memberi ruang
privasi untuk mereka berdua.
“Terima kasih untuk semuanya. Tempat ini sangat indah,”
jawab Kalila lalu menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya. Udara yang terasa
segar dan membawa harum bunga wisteria. Ia juga bersyukur masih diberi kesempatan untuk
berterima kasih pada Valeria. “Dan terima kasih kau sudah bersedia
mengantarkanku menemui Elliot.”
“Justru aku yang heran, setelah apa yang baj—bajaj itu
lakukan padamu, kau malah berbaik hati menjenguknya di penjara.”
“Apa?” Kalila mengernyit, berusaha menahan tawanya.
Tetapi ia takut sudah salah mendengar. “Bajaj?”
“Yah, aku tidak mau berkata kasar di depanmu,” jawab
Diego sambil mengangkat bahu.
Baru kemudian Kalila melepaskan tawanya. “Jangan
membencinya. Elliot melakukan itu karena kasih sayangnya yang terlampau besar
pada Evelyn. Kau lihat sendiri, kan, dia menangis dan meminta maaf. Aku yakin
dia sudah menyesali perbuatannya. Lagi pula karena kecelakaan itu, aku jadi
sadar bahwa hal terpenting adalah orang-orang yang kucintai.”
Itu benar adanya. Orang tuanya sepakat untuk membagi
tugas untuk mengurus bisnis mereka dan menemani Kalila di
rumah secara bergantian. Dan itu berlaku seterusnya bahkan setelah Kalila
sembuh total. Ia juga sudah tidak mau lagi menyembunyikan perasaannya kepada
lelaki di hadapannya.
“Apa aku termasuk di dalam orang-orang itu?” tanya Diego
sambil menatap langsung sepasang mata cokelat terang milik gadis di hadapannya.
Gadis itu tersipu, menghindari pandangannya. Tetapi detik
berikutnya, ia menjawab dengan anggukan. Dan juga senyuman.
“Omong-omong, aku tidak menyangka kau masih menyimpan
itu.”
Kalila menyentuh benda yang dimaksud Diego. Syal ungu
pupus pemberian Diego di malam yang nahas itu. Yang selalu menghangatkannya
saat tidur. Yang tetap membuat ia mampu mengingat semua kesalahannya di masa
lalu.
“Tentu saja. Aku tidak punya alasan untuk membuangnya.”
“Tapi kurasa syal dan bunga kurang sesuai kalau dipadukan
bersama.” Sekarang Diego mengerti mengapa Kalila memilih syal dibanding topi.
Kalila memandang bunga-bunga di sekelilingnya. Penuh nuansa musim semi. Sementara ia berpenampilan seperti hendak menghadapi musim dingin. “Biar
saja.”
“Aku punya sesuatu yang jauh lebih baik daripada syal
buluk itu.” Diego meletakkan sebuah kotak persegi panjang ke atas meja, lalu
mendorongnya perlahan ke hadapan Kalila. “Mungkin ini terlambat, tapi lebih
baik daripada tidak. Jadi, selamat ulang tahun, Lil Princess.”
Mata Kalila terbelalak heran sekaligus senang. Ia menatap
bergantian antara kotak di atas meja dan lelaki di hadapannya. Lelaki yang
masih saja penuh dengan kejutan. Kalila membuka hadiahnya dan mendapati sebuah
kalung berliontin batu ametis di dalam kotak itu. Liontin itu berbentuk daun maple.
“Oh, cantik sekali.” Entah sudah berapa kali matanya
melihat keindahan hari ini.
“Biar kupasangkan,” ucap Diego sambil mendahului Kalila
untuk mengambil kalung itu dari kotaknya. Lelaki itu bangkit dan berpindah ke
samping kanannya. Lalu melepaskan syal yang melingkari leher gadis itu. “Sebenarnya
aku merencanakan makan bersamamu di bawah pohon maple berdaun ungu yang tumbuh lebat di hari ulang tahunmu. Tapi
sekarang semua daunnya sudah gugur. Jadi, aku hanya bisa memberimu ini.”
“Terima kasih, My Hero Diego,” ucap Kalila dengan tersipu.
Terjadi keheningan selama Diego memasangkan kalung itu di
leher Kalila. Ia bisa merasakan dingin dari ujung jemari lelaki itu yang
menyentuh sekilas tengkuknya. Tetapi entah mengapa justru membuat kedua pipinya
terasa hangat. Bahkan dengan posisi tubuh yang memunggungi Diego, ia bisa
merasakan daya tarik yang kuat di antara mereka berdua. Diam-diam, dalam hati
Kalila bersyukur Diego tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Karena ia yakin,
segala perasaannya tergambar jelas di sana.
Setelah selesai memasangkan kalung itu, Diego tidak
langsung kembali ke tempat duduknya. Kedua tangannya bertumpu pada tepi meja
dan lengan kursi, tubuhnya menunduk ke arah Kalila.
Kalila menggigit bibirnya. Gawat. Ia tidak akan tahan berada dalam suasana canggung seperti
ini. Apa sih yang lelaki itu inginkan?
“Oh, ya, waktu itu kau bilang ada sesuatu yang ingin kau
katakan langsung padaku? Apa itu?” tanya Kalila berusaha mengalihkan
keheningan.
Diego tidak langsung menjawab. Lelaki itu tertegun,
mencoba mengingat. Tetapi detik berikutnya, ia menyeringai. Lalu merunduk lebih
rendah. Lebih dekat pada Kalila.
“Aku ingin mengatakan bahwa apa pun perasaan yang ada di
hatiku, kau selalu ada di sana.”
Tubuh Kalila yang tadinya membeku langsung menghangat
ketika Diego berbisik di telinganya. Ia menolehkan kepalanya pada Diego. Hingga
ia bisa merasakan napas lelaki itu di pipinya. “Hanya itu yang ingin kau
katakan?”
Diego mengangguk. “Dan aku juga selalu berharap jika
suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi, aku ingin menjadi orang yang pantas
bagimu. Yang bisa kau banggakan di depan teman-temanmu. Kalau tidak bisa
menjadi pasanganmu, setidaknya aku bisa menjadi temanmu.” Ia menatap kedua mata
gadisnya. “Terdengar sinting, kan?”
Kalila menggeleng. “Kau selalu pantas. Aku saja yang
bodoh.”
“Lupakan masa lalu, Lil Princess.” Diego menyibak sedikit
rambut Kalila yang sudah mulai kembali tumbuh. Setelah sebelumnya dicukur untuk
mempermudah proses pengobatan lukanya. Ada sebuah luka memanjang dari bagian
atas kepala hingga ke dekat telinga kanannya. “Lagipula sekarang kita punya
luka serupa. Yang tidak dimiliki pasangan lain.”
Kening Kalila mengernyit. Untuk menjawab pertanyaan tanpa
suara itu, Diego meraih tangan Kalila. Lalu ia membuat gadis itu menyentuh
bekas lukanya yang tersembunyi di balik helai-helai rambutnya.
“Malam itu, aku mendapatkan luka ini. Mirip seperti luka
milikmu.”
Ekspresi Kalila berubah ngeri. Perasaan bersalah melumuri
wajahnya. “Aku sungguh-sungguh minta maaf... atas segala kebodohanku.”
Bukannya marah atau merasa kesal, Diego malah
menggerakkan kepalanya sedikit hingga pipinya berada di depan wajah Kalila.
“Ungkapkan maafmu di sini,” gurau Diego sambil menyentuh pipinya sendiri dengan
telunjuk.
Kenapa harus begini? Kalila menelan ludah. Ia beringsut mundur
tetapi sandaran kursi membatasi geraknya. Sekujur tubuhnya berubah tegang.
Karena sejujurnya, ia belum pernah mencium laki-laki selain ayah dan kakeknya.
Dan sekarang... Diego?
Tetapi sedetik berikutnya, Kalila sudah memajukan
wajahnya sedikit demi sedikit ke pipi Diego. Sementara kedua tangannya mencengkeram
erat kedua lengan kursi.
Beberapa senti sebelum bibirnya menyentuh pipi Diego,
tanpa disangka, lelaki itu malah menggerakkan kepalanya menghadap Kalila.
Sehingga bibir mereka yang bersentuhan. Walaupun hanya sedetik.
Diego langsung menegakkan tubuhnya. Sambil memasang
seringai untuk menyembunyikan gemuruh yang mengguncang rongga dadanya. “Hem,
apa ini rasa anggur? Oh, bukan. Mungkin wine? Karena ini memabukkan,”
gumamnya tanpa berani menatap Kalila.
Sementara Kalila masih terpangah dengan pipi semerah
tomat. Karena ia menyadari bahwa Diego baru saja mencuri ciuman pertamanya.
Ciuman pertama mereka.
PURPLE MAPLE – TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D