ANNA mengemudi dengan tenang, Ia mendengarkan setiap
petunjuk arah dari Erin yang duduk di belakangnya. Suara gadis itu pecah dan
gemetar. Mungkin karena Diego duduk di sampingnya. Padahal lelaki itu sama
sekali tidak melakukan tindakan yang mengintimidasi. Selama perjalanan ia sibuk
menghubungi banyak orang melalui ponselnya.
Sampai akhirnya tiba-tiba kalimat Diego terputus. Ia
mengakhiri panggilannya dengan kening mengernyit. Erin meminta Anna
menghentikan mobil di jalan yang di kenalnya. “Tunggu... bukankah ini indekos
Kalila?”
Erin mengangguk cepat. Punggungnya menegang setiap kali
mendengar suara Diego. “Tapi Val tinggal di sana,” jawab Erin sambil menunjuk
rumah di seberang indekos Kalila. “D-dia memang terobsesi pada Kal. Bahkan
meniru penampilan Kal. Kurasa dia sudah sinting. Jadi mungkin saja, kan, kalau
dia berusaha melenyapkan Kal.”
Ingatan tentang seorang gadis bergaya seperti Kalila
muncul dalam benaknya. Saat itu Diego tidak terlalu memerhatikan ke mana gadis
itu pergi setelah meninggalkan indekos Kalila.
“Cepat temui dia,” perintah Diego. “Sekarang!”
Erin tersentak langsung keluar dari mobil. Tetapi Anna
masih terpaku. Ia memandang Diego dengan raut wajah khawatir.
Tetapi lelaki itu mengartikan lain. “Tenang saja. Aku
tidak akan kabur.”
Tidak sampai sepuluh menit berlalu sejak Erin dan Anna
meninggalkan mobil, kedua gadis itu sudah kembali. Dan sayangnya, Valeria tidak
ada bersama mereka.
“Kami hanya bertemu pemilik kos. Katanya, Valeria sudah
pindah kos beberapa hari yang lalu.” Anna langsung menjelaskan. Sementara Erin
kembali duduk meringkuk di samping Diego.
Diego melayangkan tinjunya ke punggung jok di hadapannya,
melampiaskan emosinya. Tidak hanya Erin yang terkejut hingga tubuhnya seolah
menyusut, Anna juga tidak menyangka Diego akan bereaksi seperti itu.
“Antar aku ke rumah sakit. Lalu aku akan ikut ke
kantormu.”
“Tidak,” tolak Anna cepat. “Sebaiknya kau pulang saja ke
apartemenmu.”
Ekspresi Diego mengeras. “Tapi aku harus memastikan
keadaan Kalila.”
“Kau terlihat buruk, Diego. Kau butuh tidur,” ucap Anna
acuh tidak acuh. “Serahkan penyelidikan padaku dan Liza. Kau harus istirahat.”
***
Senada dengan Anna, orang tua Kalila juga terus mendesaknya
untuk pulang dan beristirahat. Ayahnya berjanji akan segera meneleponnya jika
ada perkembangan dari keadaan Kalila. Maka dengan enggan, Diego berpamitan
kepada kedua orang tua Kalila.
Di depan pintu ruang tempat Kalila terbaring, Diego
menarik napas dalam-dalam dan bau rumah sakit yang dibencinya membuat dadanya
terasa sesak. Tetapi bagaimanapun perasaan bencinya, ia merasa enggan untuk
meninggalkan bangunan serba putih itu. Karena di sanalah Kalila berada.
Sejak kecelakaan yang menimpa Kalila, Diego tidak mampu
merasakan apa pun selain dingin yang membelenggunya. Seolah jutaan jarum es
menusuk sekujur tubuhnya. Bahkan otaknya pun terasa membeku sehingga sulit
digunakan untuk berpikir. Sementara tubuhnya hanya bergerak begitu saja tanpa
ia sadari. Persis seperti robot yang bergerak sesuai perintah. Seperti malam
ini, ia tidak ingat kapan ia membawa dirinya sendiri pulang ke apartemen.
Begitu sadar, Diego sudah berbaring di atas tempat
tidurnya. Matanya menatap nyalang ke langit-langit kamar. Tubuhnya tidak mau
beristirahat seperti yang diharapkan. Sesekali, ia memeriksa ponselnya yang
sedang mengisi daya, hanya untuk memastikan tidak ada pesan atau panggilan yang
terlewat.
Hingga akhirnya, saat jarum jam hampir menyentuh jam tiga
pagi, Diego terlelap. Dan tiga jam kemudian, dering ponsel meraungi telinganya.
Tersentak, ia langsung duduk sambil menjawab telepon. Matanya terpejam paksa
karena menantang cahaya matahari yang masuk melalui jendelanya yang tidak
tertutup tirai.
“Halo?”
“Diego, bisa kau ke
kantorku sekarang?”
Itu bukan telepon dari orang tua Kalila seperti yang
dinantikannya. Melainkan dari Anna. Gadis yang sudah seperti kakaknya sendiri. Detektif
tomboi yang membuat Diego tertarik mengambil kuliah tentang hukum.
“Kita sudah
menemukan Valeria,” sambung Anna lagi tanpa menunggu jawaban Diego.
***
“Di mana dia?” tanya Diego begitu Anna menyambutnya turun
dari mobil.
“Ada di ruanganku.”
“Bagaimana kau menemukan dia?” tanya Diego saat mereka berjalan
beriringan memasuki kantor.
Anna tidak langsung menjawab. Ia memilih menghentikan
langkahnya untuk menjelaskan. “Tadi aku berniat menemuimu di rumah sakit, tapi
aku melihat seseorang yang berdiri di seberang jalan. Selama beberapa menit,
dia terus memandang lurus ke arah bangunan. Aku menunggu tapi dia tidak
melakukan apa pun. Tingkah lakunya tampak mencolok, jadi aku menghampirinya—“
“Tunggu, siapa ‘seseorang’ yang kau maksud?”
“Dia. Valeria,” jawab Anna. “Orang itu sangat mirip
dengan foto yang ditunjukkan Erin. Jadi, aku mengajaknya kemari. Dan dia menurut
begitu saja. Walaupun, yah, dia terus saja bungkam. Tidak mau menjawab
pertanyaan apa pun. Sekali pun Erin yang mengajaknya bicara.”
Diego mengernyitkan kening. Tetapi ia kembali melanjutkan
langkah. Yang sedetik kemudian kembali dihentikan Anna.
“Aku mengatakan ini padamu agar kau bisa menjaga emosi
dan jangan bersikap keras padanya. Atau dia tetap tidak akan mau bicara.”
“Aku mengerti, Anna,” jawab Diego sambil melepaskan
genggaman Anna di lengannya. Lalu ia bergegas menuju sebuah pintu dengan
gantungan kayu bertuliskan Anna & Liza. Tanpa repot-repot mengetuk, ia
membuka pintu itu. Dan langsung disambut tatapan tiga orang gadis.
Liza membetulkan letak kacamatanya, lalu mengangguk
mempersilakan Diego masuk. Erin langsung menundukkan kepala. Dan seorang gadis
dengan gaun terusan bermotif bunga-bunga, berdiri dari duduknya di sofa untuk
mendatangi Diego.
“Diego?” bisik gadis itu lirih. Rambutnya yang dikeriting
tampak bergoyang-goyang setiap kali ia melangkah. Lalu tanpa dinyana, tiba-tiba
ia memeluk Diego. “Val merindukanmu.”
Diego terpaku. Begitu juga Liza dan Erin.
“Bisa kita bicara berdua saja?” tanya Valeria sambil
mendongak dengan wajah memelas.
Dengan isyarat mata, Diego meminta Liza dan Erin untuk
meninggalkan ruangan. Dan begitu pintu tertutup, Valeria buru-buru melepaskan
pelukannya. Sebelum lelaki itu mendorongnya dengan jijik.
“Maaf aku memelukmu.” Takut-takut, Valeria berbisik.
“Jadi, kau... orang yang membobol kamar Kalila?”
Wajah Valeria pias seketika mendengar kalimat Diego yang
tanpa basa-basi itu. “Ya. Selama beberapa waktu, kukira aku bisa menjadi
seperti Kal. Tapi ternyata aku salah. Kal membuatku menyadari bahwa tidak semua
hal sesempurna kelihatannya. Jadi, yah, aku mulai kembali mencintai diriku
sendiri sebelum aku benar-benar kehilangan jati diriku.”
Diego mengangguk setuju. “Lalu apa yang kau lakukan di
depan rumah sakit?”
“Kemarin aku tidak sengaja melihatmu keluar dari rumah
sakit itu.” Ekspresinya berubah sedih. “Dan aku jadi berpikir bahwa sesuatu
yang buruk terjadi pada Kal.”
“Ya.” Diego menelan ludahnya yang terasa pahit. “Dia
mengalami kecelakaan yang parah.”
Raut wajah Valeria berubah ngeri. “Padahal hari itu...
aku sudah berusaha memperingatkannya. Tapi Kal tidak mau mendengar. Aku melihat—”
“Apa yang kau lihat?” potong Diego tidak sabar.
Valeria memeriksa jendela lalu menutup tirainya. Setelah
memastikan semua aman, ia menarik Diego menjauh dari pintu. Lalu ia menarik
keluar gumpalan kertas dari dalam tasnya.
“Sebenarnya hari itu aku mau memberikan ini pada Kal,”
ucapnya pada Diego yang langsung sibuk membongkar lembaran foto yang sudah
kusut itu. Tetapi gambarnya sudah tidak lagi terlihat jelas.
Diego mengernyit. “Apa kau tidak punya salinan foto ini?”
Valeria mengangguk. “Aku sudah menyalin videonya ke
sini,” ucapnya sambil menyodorkan ponsel.
Diego menekan tombol play.
Mobil Kalila terparkir di antara mobil lainnya. Lalu tiba-tiba datang seseorang
dengan gerak-gerik mencurigakan. Diego memicingkan mata. Gambarnya memang tidak
terlalu jelas dan sedikit bergetar. Tetapi ia bisa melihat postur tinggi dan
ramping orang itu. Dan dengan mudah, ia mengenali bajingan itu.
“Kau lihat, sepertinya dia mendatangi mobil Kal untuk
melakukan hal buruk.”
Diego mengangguk. Ekspresinya mengeras. Dan sekarang, keparat, aku yang akan mendatangimu.
***
Gadis itu duduk bersandar sambil memeluk lutut.
Pandangannya kosong. Raganya nyata, tetapi jiwanya entah ada di mana. Tiga hari
sudah berlalu sejak kejadian menyakitkan itu terjadi. Dan selama itu pula ia
hanya terus mengurung diri di kamar. Ia menolak makan, juga tidak mau bicara.
Satu-satunya hal yang mampu dilakukannya dengan benar hanyalah bernapas.
Pintu kamarnya kembali diketuk. Ia tetap bergeming.
Mungkin itu ibunya, ayahnya, atau salah seorang dari belasan pelayan rumahnya
yang terus saja menyuruhnya makan. Tetapi suara lembut yang mengikuti bunyi
ketukan selanjutnya, ternyata mampu menghancurkan dinding es yang
melingkupinya. Dengan langkah kikuk, ia bergerak membukakan pintu. Dan begitu
pintu terbuka, ia mendapati kakaknya berdiri di sana. Lengkap dengan ransel
usangnya.
Ia ingin bersorak saat mendapati kakaknya yang sudah
hampir satu setengah tahun bersekolah di luar negeri akhirnya pulang demi
dirinya. Tetapi ia tidak bisa. Senyum dan tawa sudah meninggalkannya.
Kakaknya berusaha tetap tersenyum seperti biasa. Walaupun
penampilan adiknya benar-benar lebih buruk dari dugaannya. Kedua matanya
bengkak. Pipinya tirus. Kulitnya pucat. Tetapi bagaimanapun, itu adalah adik
yang disayanginya. Mereka nyaris berbagi segala hal bersama. Hingga tidak ada
lagi rahasia di antara mereka.
‘Apa kabarmu, Adik kecil?’ Ia selalu memanggil adiknya
seperti itu. Walaupun sebenarnya usia mereka hanya terpaut satu tahun.
Tetapi adik kecilnya tidak menjawab.
Dan ia tidak kuasa mendesak. Maka ia hanya mampu menuntun
adiknya kembali ke kamar. Mereka duduk di tepi tempat tidur berseprai merah
muda, warna kesukaan adiknya.
‘Aku membawa donat matcha
dan jus stroberi kesukaanmu,’ ucapnya sambil membongkar ranselnya. ‘Kau pasti
suka.’
Adiknya hanya menjawab dengan anggukan kecil. Tetapi itu
sudah lebih dari cukup. Ia membukakan tutup botol minuman dan adiknya menerima
dengan tangan gemetar. Dan ia melakukan itu secara berulang selama seminggu
penuh. Membawakan makanan kesukaan adiknya, menyelimuti adiknya saat tidur. Hingga
akhirnya kondisi adiknya tampak membaik.
Mengetahui perkembangan itu, membuat kekhawatiran kedua
orang tua mereka sedikit berkurang. Malam itu, pasangan suami istri itu kembali
menemui putri mereka setelah sekian lama.
‘Jadi, kapan kau akan kembali ke sekolah?’ tanya ayahnya.
‘Kakakmu juga tidak bisa terus menerus berada di sini untuk mengurusmu. Dia
harus kembali ke sekolah.’
Putri mereka tetap bungkam.
‘Jangan terus diam, Sayang,’ sambung ibunya. ‘Bukankah kau
sendiri yang ingin sekolah di sana agar bisa tinggal bersama nenekmu?’
Lima belas menit kemudian, mereka sudah keluar dari kamar
dengan tangan hampa. Tidak satu pun kata terucap dari bibir anak mereka.
Dan keesokan paginya, sang kakak sudah siap dengan kue
ulang tahun untuk memberi kejutan pada adiknya. Tetapi malah ia yang terkejut
saat menemukan adiknya sudah terbujur kaku. Terlalu banyak obat tidur yang
ditelan adiknya. Hingga tanpa perlu menunggu hasil pemeriksaan dokter, ia tahu
adiknya sudah pergi untuk selamanya.
Setelah pemakaman adiknya, ia nekat mengendarai mobilnya
menuju sekolah adiknya. Dua jam perjalanan ia lalui dengan air mata yang tidak
berhenti mengalir. Yang hanya mampu disembunyikan kacamata hitam.
Begitu tiba di gerbang sekolah elite itu, ternyata bel
pulang sekolah sudah berbunyi. Tidak banyak siswa yang masih tinggal di
sekolah. Perhatiannya terpaku pada seorang gadis yang tampak kesal menunggu jemputannya yang belum juga
datang. Melihat dari penampilan seragamnya yang tidak terlalu menaati perturan
sekolah, sepertinya gadis itu cukup ‘berkuasa’ atau setidaknya mengerti gosip
seputar lingkungan sekolahnya.
Tanpa disangka-sangka, gadis itu langsung bangkit dari
duduknya. Seolah menyambut ia yang turun dari mobil sedan dua pintu itu. Senyum
lebar penuh minat tergambar di wajah gadis itu.
‘Hei, boleh temani aku mengobrol?’ Ia melontarkan
basa-basi. ‘Aku sedang menunggu teman.’
Gadis itu mengangguk. ‘Silakan,’ ucapnya lantas kembali
duduk dan menepuk tempat di sebelahnya. ‘Aku juga sedang menunggu dijemput.’
Ia membuka pembicaraan mereka dengan hal-hal yang umum.
Hingga perlahan-lahan menuju ke arah yang diingkannya.
‘Apa di sini sering terjadi hal seperti pemalakan atau bullying?’
Kening gadis itu mengernyit miris. ‘Se-sepertinya tidak
ada.’
‘Oh, baguslah. Karena aku sangat membenci hal seperti
itu,’ ucapnya. ‘Maka dari itu aku melakukan studi tentang hal ini. Kukira di
sini ada semacam geng atau orang yang sok berkuasa dan suka menindas orang lain.
Jadi kau bisa menjadi narasumberku.’
‘Oh... kalau yang seperti itu ada.’
Got you! ‘Oh, ya? Siapa namanya?’
‘Namanya... Kalila.’ Gadis itu menjawab dengan polosnya.
Ia langsung mengingat-ingat nama itu dalam benaknya. ‘Apa
dia atau gengnya baru-baru ini melakukan sesuatu pada murid lain?’
‘Hem... ya. Kalau
tidak salah, nama cec—anak itu Emily, Felin, atau Evelyn begitu.’
Jawaban itu seperti sebuah tinju di dadanya. ‘Apa ada
korban lain?’
‘Seingatku, cuma itu.’
‘Baiklah. Kalau begitu, terima kasih, ya, hem, siapa namamu?’
Gadis itu memasang senyum manis. ‘Namaku Sharon.’
***
Sharon tidak menyangka. Gara-gara sopirnya yang bodoh
terlambat menjemputnya dengan alasan ban mobil bocor, ia jadi bisa bertemu dengan
seseorang yang luar biasa.
Pertanyaan orang itu membuat ingatan Sharon terpanggil ke
kejadian beberapa minggu yang lalu. Saat itu seorang cecunguk menabrak dan menumpahkan
susu ke seragam mahalnya. Ia tidak bisa menerima permintaan maaf begitu saja.
Cecunguk itu harus diberi pelajaran setimpal.
Maka Sharon mengajak teman-teman gengnya untuk menyeret
cecunguk itu ke kamar mandi. Ia menjambak rambut dan menampar anak itu biar
jera. Dan terakhir, ia menyirami seragam anak itu dengan setengah ember air pel
sebagai ganti seragamnya yang kotor. Teman-teman yang lain mendukungnya. Tentu
saja, semua menghormatinya. Semuanya kecuali si sombong Kalila.
Tetapi Sharon tidak mau menunjukkan dominasinya di depan
orang tadi. Karena sepertinya ia bukan tipikal orang yang menyukai gadis yang
tegas. Jadi, tidak masalah, kan, kalau Sharon meminjam nama Kalila? Lagi pula
Kalila memang ada di sana. Walaupun gadis itu selalu sibuk dengan kata-katanya.
‘Teman-teman, hentikan!’ atau ‘Sharon, ini sudah cukup!’. Dasar sok suci!
Oh, iya, siapa tadi nama lelaki itu? Scott, Elliot, atau
Charlotte? Entahlah. Sharon bisa menanyakannya saat mereka bertemu kembali.
***
Seluruh jendela di ruangan itu tertutup tirai tebal
berwarna abu-abu nyaris hitam. Sementara semua saklar lampu dalam posisi off. Satu-satunya sumber cahaya adalah
televisi yang tengah menayangkan berita kecelakaan sebuah mobil mahal berwarna
ungu. Aroma wiski dan mie instan basi menggumpal di udara. Siapa pun yang
berada di ruangan itu pasti merasa mual.
Walaupun itu tidak berlaku untuk seseorang yang terdiam
seperti kentang di atas sofa. Meja di hadapannya penuh dengan botol-botol wiski
kosong dan gelas karton bekas mi instan. Penampilannya berantakan. Kulitnya
kering. Wajahnya pucat. Matanya nanar. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian
yang sama dengan lima hari yang lalu. Selama beberapa hari ini, Elliot hidup
seperti itu.
Ia sama sekali tidak ingat nama ataupun rupa orang yang
sudah memberinya informasi tentang orang yang menindas Evelyn. Tetapi ia sama
sekali tidak pernah melupakan nama orang yang sudah menyebabkan kematian
adiknya itu. Kalila.
Dengan membawa dendam itu, Elliot kembali ke Amerika
untuk menyelesaikan sekolahnya. Itu adalah bentuk tanggung jawabnya untuk
pendidikan yang diinginkan ayahnya. Ia juga tidak ada niat untuk mengecewakan kedua
orang tuanya yang sedang bersedih karena kepergian adiknya.
Dan setelah lulus, alih-alih melanjutkan kuliah di negara
adidaya itu, ia memilih untuk pulang. Ayahnya menentang keputusannya tentu
saja. Bagi ayahnya, seorang lelaki harus hidup mandiri dan menuntut ilmu di
tempat terbaik.
Untuk pertama kalinya, Elliot tidak menghiraukan ucapan
ayahnya. Semuanya demi membayar lunas kematian Evelyn.
Dengan segala kuasa dan koneksi yang dimiliki
keluarganya, ia berhasil mendapatkan info terbaru tentang Kalila. Ia juga
berhasil ditempatkan di kelas dan universitas yang sama dengan gadis itu. Tanpa
membuang waktu, ia langsung melancarkan serangan dengan mendekati Kalila.
Sialnya, gadis itu cukup sulit untuk didapatkan. Belum lagi, muncul gadis
bernama Erin yang menarik perhatiannya. Karena entah bagaimana, Erin
mengingatkannya pada Evelyn.
Elliot berusaha fokus pada tujuannya. Ia mengabaikan
segala hal. Termasuk perasaannya. Bahkan ia dengan teganya, meletakkan anting
Erin di dalam mobil Kalila. Agar jika polisi mencurigai ada yang tidak wajar
dari kecelakaan itu, ia tidak akan menjadi tersangka utama.
Dan setelah rencananya berhasil. Lalu sekarang apa?
Selama berhari-hari, itulah yang selalu Elliot tanyakan
pada dirinya sendiri. Karena setelah semua ‘pengorbanannya’, ia sama sekali
tidak merasa bahagia. Ia juga tidak merasa puas. Atau bangga karena berhasil
membalaskan dendam pada orang yang sudah menyebabkan kematian adiknya.
Yang ada ia justru merasa hampa. Seolah ada lubang besar
di dalam dadanya yang kosong. Dan sedikit demi sedikit penyesalan memenuhi
ruang kosong itu.
Tetapi untuk apa lagi ia menyesal? Kalila sudah mengalami
kecelakaan seperti yang diinginkannya. Itulah yang ia lihat di televisi. Bahkan
mungkin sekarang gadis itu sedang sekarat atau mungkin sudah bertemu Evelyn di
akhirat.
Saat Elliot hendak menenggak isi botol wiskinya lagi, ia
mendengar pintu apartemennya digedor kuat berkali-kali .
***
Kegelapan masih membelenggunya. Hanya menyisakan rasa
sakit. Lengannya. Kepalanya. Sekujur tubuhnya terasa seperti ditusuk-tusuk
sekaligus membara. Perlahan, ia mencoba menggerakkan kelopak matanya agar
terbuka, tetapi ia tidak bisa.
Mungkin ia sudah mati.
“Hai, Lil Princess.”
Telinganya menangkap suara yang dikenalnya. Tetapi kenapa
suara itu terdengar seperti kesakitan? Seolah orang itu bisa merasakan apa yang
dirasakan Kalila saat ini.
“Tidurlah walau hanya lima menit, Nak. Ini sudah jam 3
dini hari.”
“Tidak apa-apa,” tolak Diego keras kepala. “Aku tidak mau
menginggalkan Kalila.”
“Pelakunya sudah tertangkap. Setidaknya kau harus memberi
tubuhmu istirahat.”
Suara itu! Suara yang sangat ia rindukan. Samar-samar
terdengar juga tangis tersedu-sedu, di belakang percakapan antar dua lelaki
berbeda usia itu. Dan Kalila yakin itu suara tangis ibunya. Papa dan Mama ada
di sini bersamanya.
Sekuat tenaga ia mencoba meraih kesadaran. Ia mencoba.
Terus mencoba. Lagi-lagi kegelapan menenggelamkannya. Ia melawan. Ia ingin
bertemu Diego. Ia ingin bertemu orang tuanya. Tubuhnya menentangnya. Dan ia
ditarik semakin dalam hingga kembali tidak sadarkan diri.
“Kenapa dia belum bangun juga?”
Suara itu membuat kegelapan di sekitar Kalila sedikit
memudar. Tetapi ia belum bisa mengenali waktu. Ia hanya mampu mendengarkan
suara-suara di dekatnya.
“Kalila mengalami luka yang cukup parah di kepalanya. Tapi
itu tidak menganggu kinerja otaknya. Dia akan segera bangun. Kita hanya harus
memberinya waktu sampai dia siap.”
“Bagaimana dengan lukanya yang lain, Dokter?” Itu suara Papa.
“Semuanya berangsur membaik. Rusuknya yang memar dan
tulang kakinya yang retak sedang dalam proses pemulihan. Kita berharap Kalila
bisa sembuh secepatnya.”
Suara dokter itu terdengar tenang. Sangat tenang. Seperti
alunan musik yang membuat Kalila kembali dalam kegelapan.
Kepalanya seperti ditekan kuat-kuat. Nyeri. Kemudian,
saat rasa sakit itu menembus kegelapan dan menariknya. Ia dibawa pada rasa sakit
yang lain. Ia menjerit, tetapi suaranya tidak keluar.
Kegelapan lenyap dan digantikan cahaya putih terang. Sebuah
ruang putih yang asing. Terdengar bunyi bip yang bising. Kepala dan dadanya
terasa nyeri. Selebihnya, ia mencoba menggerakkan anggota tubuhnya. Ia memekik
senang saat tangannya yang diinfus memberi respon. Tetapi suaranya terhambat. Kemudian
ia mencoba memutar kepalanya. Dan sekali lagi ia bersyukur karena kepalanya
bergerak sesuai keinginannya.
Kalila terbaring di tempat tidur dengan besi pengaman di
salah satu sisi. Di sisi yang lain, Diego tengah tertidur. Lelaki itu duduk di
samping tempat tidurnya. Kepalanya berbantalkan lengannya yang terlipat.
Perlahan, Kalila kembali menggerakkan tangannya. Ia mengusap lembut kepala lelaki
itu.
Diego terjaga dengan terkejut. Ia berdiri dengan cepat,
hingga tangan Kalila terjatuh kembali ke atas tempat tidur. Tubuhnya membeku.
Mulutnya ternganga. Matanya yang dikelilingi garis menghitam terbelalak. Dan
beragam perasaan lega dan tidak percaya berkelebat cepat di sana.
Susah payah, Kalila mencoba tersenyum dengan slang
terpasang di mulutnya. Ia hanya ingin memberi tanda pada Diego—dan
dirinya sendiri—bahwa ini bukan mimpi.
“Lil Princess?” Suaranya tersedak sekaligus merasa lega. Lelaki
itu meraih dan menggenggam tangan Kalila yang tadi mengusap rambutnya. Dan saat
itulah Kalila merasa dirinya melayang-layang, hingga semua sakit berangsur
menghilang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D