Senin, 17 April 2017

Purple Maple (Empat belas)


ANNA mengemudi dengan tenang, Ia mendengarkan setiap petunjuk arah dari Erin yang duduk di belakangnya. Suara gadis itu pecah dan gemetar. Mungkin karena Diego duduk di sampingnya. Padahal lelaki itu sama sekali tidak melakukan tindakan yang mengintimidasi. Selama perjalanan ia sibuk menghubungi banyak orang melalui ponselnya.

Sampai akhirnya tiba-tiba kalimat Diego terputus. Ia mengakhiri panggilannya dengan kening mengernyit. Erin meminta Anna menghentikan mobil di jalan yang di kenalnya. “Tunggu... bukankah ini indekos Kalila?”

Erin mengangguk cepat. Punggungnya menegang setiap kali mendengar suara Diego. “Tapi Val tinggal di sana,” jawab Erin sambil menunjuk rumah di seberang indekos Kalila. “D-dia memang terobsesi pada Kal. Bahkan meniru penampilan Kal. Kurasa dia sudah sinting. Jadi mungkin saja, kan, kalau dia berusaha melenyapkan Kal.”

Ingatan tentang seorang gadis bergaya seperti Kalila muncul dalam benaknya. Saat itu Diego tidak terlalu memerhatikan ke mana gadis itu pergi setelah meninggalkan indekos Kalila.

“Cepat temui dia,” perintah Diego. “Sekarang!”

Erin tersentak langsung keluar dari mobil. Tetapi Anna masih terpaku. Ia memandang Diego dengan raut wajah khawatir.

Tetapi lelaki itu mengartikan lain. “Tenang saja. Aku tidak akan kabur.”

Tidak sampai sepuluh menit berlalu sejak Erin dan Anna meninggalkan mobil, kedua gadis itu sudah kembali. Dan sayangnya, Valeria tidak ada bersama mereka.

“Kami hanya bertemu pemilik kos. Katanya, Valeria sudah pindah kos beberapa hari yang lalu.” Anna langsung menjelaskan. Sementara Erin kembali duduk meringkuk di samping Diego.

Diego melayangkan tinjunya ke punggung jok di hadapannya, melampiaskan emosinya. Tidak hanya Erin yang terkejut hingga tubuhnya seolah menyusut, Anna juga tidak menyangka Diego akan bereaksi seperti itu.

“Antar aku ke rumah sakit. Lalu aku akan ikut ke kantormu.”

“Tidak,” tolak Anna cepat. “Sebaiknya kau pulang saja ke apartemenmu.”

Ekspresi Diego mengeras. “Tapi aku harus memastikan keadaan Kalila.”

“Kau terlihat buruk, Diego. Kau butuh tidur,” ucap Anna acuh tidak acuh. “Serahkan penyelidikan padaku dan Liza. Kau harus istirahat.”
***

Senada dengan Anna, orang tua Kalila juga terus mendesaknya untuk pulang dan beristirahat. Ayahnya berjanji akan segera meneleponnya jika ada perkembangan dari keadaan Kalila. Maka dengan enggan, Diego berpamitan kepada kedua orang tua Kalila.

Di depan pintu ruang tempat Kalila terbaring, Diego menarik napas dalam-dalam dan bau rumah sakit yang dibencinya membuat dadanya terasa sesak. Tetapi bagaimanapun perasaan bencinya, ia merasa enggan untuk meninggalkan bangunan serba putih itu. Karena di sanalah Kalila berada.

Sejak kecelakaan yang menimpa Kalila, Diego tidak mampu merasakan apa pun selain dingin yang membelenggunya. Seolah jutaan jarum es menusuk sekujur tubuhnya. Bahkan otaknya pun terasa membeku sehingga sulit digunakan untuk berpikir. Sementara tubuhnya hanya bergerak begitu saja tanpa ia sadari. Persis seperti robot yang bergerak sesuai perintah. Seperti malam ini, ia tidak ingat kapan ia membawa dirinya sendiri pulang ke apartemen.

Begitu sadar, Diego sudah berbaring di atas tempat tidurnya. Matanya menatap nyalang ke langit-langit kamar. Tubuhnya tidak mau beristirahat seperti yang diharapkan. Sesekali, ia memeriksa ponselnya yang sedang mengisi daya, hanya untuk memastikan tidak ada pesan atau panggilan yang terlewat.

Hingga akhirnya, saat jarum jam hampir menyentuh jam tiga pagi, Diego terlelap. Dan tiga jam kemudian, dering ponsel meraungi telinganya. Tersentak, ia langsung duduk sambil menjawab telepon. Matanya terpejam paksa karena menantang cahaya matahari yang masuk melalui jendelanya yang tidak tertutup tirai.

“Halo?”

Diego, bisa kau ke kantorku sekarang?

Itu bukan telepon dari orang tua Kalila seperti yang dinantikannya. Melainkan dari Anna. Gadis yang sudah seperti kakaknya sendiri. Detektif tomboi yang membuat Diego tertarik mengambil kuliah tentang hukum.

Kita sudah menemukan Valeria,” sambung Anna lagi tanpa menunggu jawaban Diego.
***

“Di mana dia?” tanya Diego begitu Anna menyambutnya turun dari mobil.

“Ada di ruanganku.”

“Bagaimana kau menemukan dia?” tanya Diego saat mereka berjalan beriringan memasuki kantor.

Anna tidak langsung menjawab. Ia memilih menghentikan langkahnya untuk menjelaskan. “Tadi aku berniat menemuimu di rumah sakit, tapi aku melihat seseorang yang berdiri di seberang jalan. Selama beberapa menit, dia terus memandang lurus ke arah bangunan. Aku menunggu tapi dia tidak melakukan apa pun. Tingkah lakunya tampak mencolok, jadi aku menghampirinya

“Tunggu, siapa ‘seseorang’ yang kau maksud?”

“Dia. Valeria,” jawab Anna. “Orang itu sangat mirip dengan foto yang ditunjukkan Erin. Jadi, aku mengajaknya kemari. Dan dia menurut begitu saja. Walaupun, yah, dia terus saja bungkam. Tidak mau menjawab pertanyaan apa pun. Sekali pun Erin yang mengajaknya bicara.”

Diego mengernyitkan kening. Tetapi ia kembali melanjutkan langkah. Yang sedetik kemudian kembali dihentikan Anna.

“Aku mengatakan ini padamu agar kau bisa menjaga emosi dan jangan bersikap keras padanya. Atau dia tetap tidak akan mau bicara.”

“Aku mengerti, Anna,” jawab Diego sambil melepaskan genggaman Anna di lengannya. Lalu ia bergegas menuju sebuah pintu dengan gantungan kayu bertuliskan Anna & Liza. Tanpa repot-repot mengetuk, ia membuka pintu itu. Dan langsung disambut tatapan tiga orang gadis.

Liza membetulkan letak kacamatanya, lalu mengangguk mempersilakan Diego masuk. Erin langsung menundukkan kepala. Dan seorang gadis dengan gaun terusan bermotif bunga-bunga, berdiri dari duduknya di sofa untuk mendatangi Diego.

“Diego?” bisik gadis itu lirih. Rambutnya yang dikeriting tampak bergoyang-goyang setiap kali ia melangkah. Lalu tanpa dinyana, tiba-tiba ia memeluk Diego. “Val merindukanmu.”

Diego terpaku. Begitu juga Liza dan Erin.

“Bisa kita bicara berdua saja?” tanya Valeria sambil mendongak dengan wajah memelas.

Dengan isyarat mata, Diego meminta Liza dan Erin untuk meninggalkan ruangan. Dan begitu pintu tertutup, Valeria buru-buru melepaskan pelukannya. Sebelum lelaki itu mendorongnya dengan jijik.

“Maaf aku memelukmu.” Takut-takut, Valeria berbisik.

“Jadi, kau... orang yang membobol kamar Kalila?”

Wajah Valeria pias seketika mendengar kalimat Diego yang tanpa basa-basi itu. “Ya. Selama beberapa waktu, kukira aku bisa menjadi seperti Kal. Tapi ternyata aku salah. Kal membuatku menyadari bahwa tidak semua hal sesempurna kelihatannya. Jadi, yah, aku mulai kembali mencintai diriku sendiri sebelum aku benar-benar kehilangan jati diriku.”

Diego mengangguk setuju. “Lalu apa yang kau lakukan di depan rumah sakit?”

“Kemarin aku tidak sengaja melihatmu keluar dari rumah sakit itu.” Ekspresinya berubah sedih. “Dan aku jadi berpikir bahwa sesuatu yang buruk terjadi pada Kal.”

“Ya.” Diego menelan ludahnya yang terasa pahit. “Dia mengalami kecelakaan yang parah.”

Raut wajah Valeria berubah ngeri. “Padahal hari itu... aku sudah berusaha memperingatkannya. Tapi Kal tidak mau mendengar. Aku melihat

“Apa yang kau lihat?” potong Diego tidak sabar.

Valeria memeriksa jendela lalu menutup tirainya. Setelah memastikan semua aman, ia menarik Diego menjauh dari pintu. Lalu ia menarik keluar gumpalan kertas dari dalam tasnya.

“Sebenarnya hari itu aku mau memberikan ini pada Kal,” ucapnya pada Diego yang langsung sibuk membongkar lembaran foto yang sudah kusut itu. Tetapi gambarnya sudah tidak lagi terlihat jelas.

Diego mengernyit. “Apa kau tidak punya salinan foto ini?”

Valeria mengangguk. “Aku sudah menyalin videonya ke sini,” ucapnya sambil menyodorkan ponsel.

Diego menekan tombol play. Mobil Kalila terparkir di antara mobil lainnya. Lalu tiba-tiba datang seseorang dengan gerak-gerik mencurigakan. Diego memicingkan mata. Gambarnya memang tidak terlalu jelas dan sedikit bergetar. Tetapi ia bisa melihat postur tinggi dan ramping orang itu. Dan dengan mudah, ia mengenali bajingan itu.

“Kau lihat, sepertinya dia mendatangi mobil Kal untuk melakukan hal buruk.”

Diego mengangguk. Ekspresinya mengeras. Dan sekarang, keparat, aku yang akan mendatangimu.
***

Gadis itu duduk bersandar sambil memeluk lutut. Pandangannya kosong. Raganya nyata, tetapi jiwanya entah ada di mana. Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian menyakitkan itu terjadi. Dan selama itu pula ia hanya terus mengurung diri di kamar. Ia menolak makan, juga tidak mau bicara. Satu-satunya hal yang mampu dilakukannya dengan benar hanyalah bernapas.

Pintu kamarnya kembali diketuk. Ia tetap bergeming. Mungkin itu ibunya, ayahnya, atau salah seorang dari belasan pelayan rumahnya yang terus saja menyuruhnya makan. Tetapi suara lembut yang mengikuti bunyi ketukan selanjutnya, ternyata mampu menghancurkan dinding es yang melingkupinya. Dengan langkah kikuk, ia bergerak membukakan pintu. Dan begitu pintu terbuka, ia mendapati kakaknya berdiri di sana. Lengkap dengan ransel usangnya.

Ia ingin bersorak saat mendapati kakaknya yang sudah hampir satu setengah tahun bersekolah di luar negeri akhirnya pulang demi dirinya. Tetapi ia tidak bisa. Senyum dan tawa sudah meninggalkannya.

Kakaknya berusaha tetap tersenyum seperti biasa. Walaupun penampilan adiknya benar-benar lebih buruk dari dugaannya. Kedua matanya bengkak. Pipinya tirus. Kulitnya pucat. Tetapi bagaimanapun, itu adalah adik yang disayanginya. Mereka nyaris berbagi segala hal bersama. Hingga tidak ada lagi rahasia di antara mereka.

‘Apa kabarmu, Adik kecil?’ Ia selalu memanggil adiknya seperti itu. Walaupun sebenarnya usia mereka hanya terpaut satu tahun.

Tetapi adik kecilnya tidak menjawab.

Dan ia tidak kuasa mendesak. Maka ia hanya mampu menuntun adiknya kembali ke kamar. Mereka duduk di tepi tempat tidur berseprai merah muda, warna kesukaan adiknya.

‘Aku membawa donat matcha dan jus stroberi kesukaanmu,’ ucapnya sambil membongkar ranselnya. ‘Kau pasti suka.’

Adiknya hanya menjawab dengan anggukan kecil. Tetapi itu sudah lebih dari cukup. Ia membukakan tutup botol minuman dan adiknya menerima dengan tangan gemetar. Dan ia melakukan itu secara berulang selama seminggu penuh. Membawakan makanan kesukaan adiknya, menyelimuti adiknya saat tidur. Hingga akhirnya kondisi adiknya tampak membaik.

Mengetahui perkembangan itu, membuat kekhawatiran kedua orang tua mereka sedikit berkurang. Malam itu, pasangan suami istri itu kembali menemui putri mereka setelah sekian lama.

‘Jadi, kapan kau akan kembali ke sekolah?’ tanya ayahnya. ‘Kakakmu juga tidak bisa terus menerus berada di sini untuk mengurusmu. Dia harus kembali ke sekolah.’

Putri mereka tetap bungkam.

‘Jangan terus diam, Sayang,’ sambung ibunya. ‘Bukankah kau sendiri yang ingin sekolah di sana agar bisa tinggal bersama nenekmu?’

Lima belas menit kemudian, mereka sudah keluar dari kamar dengan tangan hampa. Tidak satu pun kata terucap dari bibir anak mereka.

Dan keesokan paginya, sang kakak sudah siap dengan kue ulang tahun untuk memberi kejutan pada adiknya. Tetapi malah ia yang terkejut saat menemukan adiknya sudah terbujur kaku. Terlalu banyak obat tidur yang ditelan adiknya. Hingga tanpa perlu menunggu hasil pemeriksaan dokter, ia tahu adiknya sudah pergi untuk selamanya.

Setelah pemakaman adiknya, ia nekat mengendarai mobilnya menuju sekolah adiknya. Dua jam perjalanan ia lalui dengan air mata yang tidak berhenti mengalir. Yang hanya mampu disembunyikan kacamata hitam.

Begitu tiba di gerbang sekolah elite itu, ternyata bel pulang sekolah sudah berbunyi. Tidak banyak siswa yang masih tinggal di sekolah. Perhatiannya terpaku pada seorang gadis yang tampak  kesal menunggu jemputannya yang belum juga datang. Melihat dari penampilan seragamnya yang tidak terlalu menaati perturan sekolah, sepertinya gadis itu cukup ‘berkuasa’ atau setidaknya mengerti gosip seputar lingkungan sekolahnya.

Tanpa disangka-sangka, gadis itu langsung bangkit dari duduknya. Seolah menyambut ia yang turun dari mobil sedan dua pintu itu. Senyum lebar penuh minat tergambar di wajah gadis itu.

‘Hei, boleh temani aku mengobrol?’ Ia melontarkan basa-basi. ‘Aku sedang menunggu teman.’

Gadis itu mengangguk. ‘Silakan,’ ucapnya lantas kembali duduk dan menepuk tempat di sebelahnya. ‘Aku juga sedang menunggu dijemput.’

Ia membuka pembicaraan mereka dengan hal-hal yang umum. Hingga perlahan-lahan menuju ke arah yang diingkannya.

‘Apa di sini sering terjadi hal seperti pemalakan atau bullying?’

Kening gadis itu mengernyit miris. ‘Se-sepertinya tidak ada.’

‘Oh, baguslah. Karena aku sangat membenci hal seperti itu,’ ucapnya. ‘Maka dari itu aku melakukan studi tentang hal ini. Kukira di sini ada semacam geng atau orang yang sok berkuasa dan suka menindas orang lain. Jadi kau bisa menjadi narasumberku.’

‘Oh... kalau yang seperti itu ada.’

Got you!  ‘Oh, ya? Siapa namanya?’

‘Namanya... Kalila.’ Gadis itu menjawab dengan polosnya.

Ia langsung mengingat-ingat nama itu dalam benaknya. ‘Apa dia atau gengnya baru-baru ini melakukan sesuatu pada murid lain?’

Hem... ya. Kalau tidak salah, nama cecanak itu Emily, Felin, atau Evelyn begitu.’

Jawaban itu seperti sebuah tinju di dadanya. ‘Apa ada korban lain?’

‘Seingatku, cuma itu.’

‘Baiklah. Kalau begitu, terima kasih, ya, hem, siapa namamu?’

Gadis itu memasang senyum manis. ‘Namaku Sharon.’
***

Sharon tidak menyangka. Gara-gara sopirnya yang bodoh terlambat menjemputnya dengan alasan ban mobil bocor, ia jadi bisa bertemu dengan seseorang yang luar biasa.

Pertanyaan orang itu membuat ingatan Sharon terpanggil ke kejadian beberapa minggu yang lalu. Saat itu seorang cecunguk menabrak dan menumpahkan susu ke seragam mahalnya. Ia tidak bisa menerima permintaan maaf begitu saja. Cecunguk itu harus diberi pelajaran setimpal.

Maka Sharon mengajak teman-teman gengnya untuk menyeret cecunguk itu ke kamar mandi. Ia menjambak rambut dan menampar anak itu biar jera. Dan terakhir, ia menyirami seragam anak itu dengan setengah ember air pel sebagai ganti seragamnya yang kotor. Teman-teman yang lain mendukungnya. Tentu saja, semua menghormatinya. Semuanya kecuali si sombong Kalila.

Tetapi Sharon tidak mau menunjukkan dominasinya di depan orang tadi. Karena sepertinya ia bukan tipikal orang yang menyukai gadis yang tegas. Jadi, tidak masalah, kan, kalau Sharon meminjam nama Kalila? Lagi pula Kalila memang ada di sana. Walaupun gadis itu selalu sibuk dengan kata-katanya. ‘Teman-teman, hentikan!’ atau ‘Sharon, ini sudah cukup!’. Dasar sok suci!

Oh, iya, siapa tadi nama lelaki itu? Scott, Elliot, atau Charlotte? Entahlah. Sharon bisa menanyakannya saat mereka bertemu kembali.
***

Seluruh jendela di ruangan itu tertutup tirai tebal berwarna abu-abu nyaris hitam. Sementara semua saklar lampu dalam posisi off. Satu-satunya sumber cahaya adalah televisi yang tengah menayangkan berita kecelakaan sebuah mobil mahal berwarna ungu. Aroma wiski dan mie instan basi menggumpal di udara. Siapa pun yang berada di ruangan itu pasti merasa mual.

Walaupun itu tidak berlaku untuk seseorang yang terdiam seperti kentang di atas sofa. Meja di hadapannya penuh dengan botol-botol wiski kosong dan gelas karton bekas mi instan. Penampilannya berantakan. Kulitnya kering. Wajahnya pucat. Matanya nanar. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian yang sama dengan lima hari yang lalu. Selama beberapa hari ini, Elliot hidup seperti itu.

Ia sama sekali tidak ingat nama ataupun rupa orang yang sudah memberinya informasi tentang orang yang menindas Evelyn. Tetapi ia sama sekali tidak pernah melupakan nama orang yang sudah menyebabkan kematian adiknya itu. Kalila.

Dengan membawa dendam itu, Elliot kembali ke Amerika untuk menyelesaikan sekolahnya. Itu adalah bentuk tanggung jawabnya untuk pendidikan yang diinginkan ayahnya. Ia juga tidak ada niat untuk mengecewakan kedua orang tuanya yang sedang bersedih karena kepergian adiknya.

Dan setelah lulus, alih-alih melanjutkan kuliah di negara adidaya itu, ia memilih untuk pulang. Ayahnya menentang keputusannya tentu saja. Bagi ayahnya, seorang lelaki harus hidup mandiri dan menuntut ilmu di tempat terbaik.

Untuk pertama kalinya, Elliot tidak menghiraukan ucapan ayahnya. Semuanya demi membayar lunas kematian Evelyn.

Dengan segala kuasa dan koneksi yang dimiliki keluarganya, ia berhasil mendapatkan info terbaru tentang Kalila. Ia juga berhasil ditempatkan di kelas dan universitas yang sama dengan gadis itu. Tanpa membuang waktu, ia langsung melancarkan serangan dengan mendekati Kalila. Sialnya, gadis itu cukup sulit untuk didapatkan. Belum lagi, muncul gadis bernama Erin yang menarik perhatiannya. Karena entah bagaimana, Erin mengingatkannya pada Evelyn.

Elliot berusaha fokus pada tujuannya. Ia mengabaikan segala hal. Termasuk perasaannya. Bahkan ia dengan teganya, meletakkan anting Erin di dalam mobil Kalila. Agar jika polisi mencurigai ada yang tidak wajar dari kecelakaan itu, ia tidak akan menjadi tersangka utama.

Dan setelah rencananya berhasil. Lalu sekarang apa?

Selama berhari-hari, itulah yang selalu Elliot tanyakan pada dirinya sendiri. Karena setelah semua ‘pengorbanannya’, ia sama sekali tidak merasa bahagia. Ia juga tidak merasa puas. Atau bangga karena berhasil membalaskan dendam pada orang yang sudah menyebabkan kematian adiknya.

Yang ada ia justru merasa hampa. Seolah ada lubang besar di dalam dadanya yang kosong. Dan sedikit demi sedikit penyesalan memenuhi ruang kosong itu.

Tetapi untuk apa lagi ia menyesal? Kalila sudah mengalami kecelakaan seperti yang diinginkannya. Itulah yang ia lihat di televisi. Bahkan mungkin sekarang gadis itu sedang sekarat atau mungkin sudah bertemu Evelyn di akhirat.

Saat Elliot hendak menenggak isi botol wiskinya lagi, ia mendengar pintu apartemennya digedor kuat berkali-kali .
***

Kegelapan masih membelenggunya. Hanya menyisakan rasa sakit. Lengannya. Kepalanya. Sekujur tubuhnya terasa seperti ditusuk-tusuk sekaligus membara. Perlahan, ia mencoba menggerakkan kelopak matanya agar terbuka, tetapi ia tidak bisa.

Mungkin ia sudah mati.

“Hai, Lil Princess.”

Telinganya menangkap suara yang dikenalnya. Tetapi kenapa suara itu terdengar seperti kesakitan? Seolah orang itu bisa merasakan apa yang dirasakan Kalila saat ini.

“Tidurlah walau hanya lima menit, Nak. Ini sudah jam 3 dini hari.”

“Tidak apa-apa,” tolak Diego keras kepala. “Aku tidak mau menginggalkan Kalila.”


“Pelakunya sudah tertangkap. Setidaknya kau harus memberi tubuhmu istirahat.”

Suara itu! Suara yang sangat ia rindukan. Samar-samar terdengar juga tangis tersedu-sedu, di belakang percakapan antar dua lelaki berbeda usia itu. Dan Kalila yakin itu suara tangis ibunya. Papa dan Mama ada di sini bersamanya.

Sekuat tenaga ia mencoba meraih kesadaran. Ia mencoba. Terus mencoba. Lagi-lagi kegelapan menenggelamkannya. Ia melawan. Ia ingin bertemu Diego. Ia ingin bertemu orang tuanya. Tubuhnya menentangnya. Dan ia ditarik semakin dalam hingga kembali tidak sadarkan diri.

“Kenapa dia belum bangun juga?”

Suara itu membuat kegelapan di sekitar Kalila sedikit memudar. Tetapi ia belum bisa mengenali waktu. Ia hanya mampu mendengarkan suara-suara di dekatnya.

“Kalila mengalami luka yang cukup parah di kepalanya. Tapi itu tidak menganggu kinerja otaknya. Dia akan segera bangun. Kita hanya harus memberinya waktu sampai dia siap.”

“Bagaimana dengan lukanya yang lain, Dokter?” Itu suara Papa.

“Semuanya berangsur membaik. Rusuknya yang memar dan tulang kakinya yang retak sedang dalam proses pemulihan. Kita berharap Kalila bisa sembuh secepatnya.”

Suara dokter itu terdengar tenang. Sangat tenang. Seperti alunan musik yang membuat Kalila kembali dalam kegelapan.

Kepalanya seperti ditekan kuat-kuat. Nyeri. Kemudian, saat rasa sakit itu menembus kegelapan dan menariknya. Ia dibawa pada rasa sakit yang lain. Ia menjerit, tetapi suaranya tidak keluar.

Kegelapan lenyap dan digantikan cahaya putih terang. Sebuah ruang putih yang asing. Terdengar bunyi bip yang bising. Kepala dan dadanya terasa nyeri. Selebihnya, ia mencoba menggerakkan anggota tubuhnya. Ia memekik senang saat tangannya yang diinfus memberi respon. Tetapi suaranya terhambat. Kemudian ia mencoba memutar kepalanya. Dan sekali lagi ia bersyukur karena kepalanya bergerak sesuai keinginannya.

Kalila terbaring di tempat tidur dengan besi pengaman di salah satu sisi. Di sisi yang lain, Diego tengah tertidur. Lelaki itu duduk di samping tempat tidurnya. Kepalanya berbantalkan lengannya yang terlipat. Perlahan, Kalila kembali menggerakkan tangannya. Ia mengusap lembut kepala lelaki itu.

Diego terjaga dengan terkejut. Ia berdiri dengan cepat, hingga tangan Kalila terjatuh kembali ke atas tempat tidur. Tubuhnya membeku. Mulutnya ternganga. Matanya yang dikelilingi garis menghitam terbelalak. Dan beragam perasaan lega dan tidak percaya berkelebat cepat di sana.

Susah payah, Kalila mencoba tersenyum dengan slang terpasang di mulutnya. Ia hanya ingin memberi tanda pada Diegodan dirinya sendiribahwa ini bukan mimpi.

“Lil Princess?” Suaranya tersedak sekaligus merasa lega. Lelaki itu meraih dan menggenggam tangan Kalila yang tadi mengusap rambutnya. Dan saat itulah Kalila merasa dirinya melayang-layang, hingga semua sakit berangsur menghilang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D