NICO POV
Aku
terus memikirkan apa yang dikatakan oleh Evan beberapa hari yang lalu. Apa yang
sebenarnya diinginkan oleh Andre? Sejak Evan keluar dari rumah sakit, kupikir
dia akan berhenti menghubungi Elena. Tetapi ia tetap saja memenuhi janjinya
untuk terus merebut hati Elena. Ini sedikit membuatku gusar. Kupikir bukan
sedikit, tapi sangat.
Aku
teringat kejadian kemarin sore ketika aku mengantar Elena untuk mengemas
pakaian Evan di rumahnya. Sebuah sedan mewah berwarna hitam yang mengkilat
terparkir di halaman rumah Elena. Elena melayangkan pandangan penasaran
kepadaku dan kubalas dengan menaikkan bahu sebagai pertanda bahwa akupun tak
mengetahui pemilik mobil itu.
“Apa
kau keberatan jika kau turun untuk melihat siapa itu?” Tanya Elena gugup. Aku
yakin pikirannya berkecamuk sambil menebak-nebak siapa pemilik mobil itu,
mengingat statusnya yang sedang berada dalam pelarian. Aku mengangguk, membuka
pintu mobil dan segera berlari kecil untuk mendatangi seseorang yang terlihat
tengah memencet bel berkali-kali.
“Ada
yang bisa kubantu?” Tanyaku pada seorang lelaki yang mengenakan kemeja bergaris
vertikal berwarna biru gelap yang masih sibuk memandangi pintu kayu bercat
putih yang tak kunjung terbuka itu.
“Ah…
Aku ingin…”
“Apa
yang kau lakukan di sini?” Sungguh suatu kejutan yang tak pernah ku harapkan.
Aku tak tahu bagaimana bisa dokter sialan itu bisa sampai ke sini. Aku
penasaran apakah dia semacam lelaki sinting penuh obsesi yang menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan Elenaku.
“Bertemu
dengan Elena. Memangnya apa yang kau harapkan dengan kedatanganku kemari?”
Tukasnya santai sambil menyisir bagian atas rambutnya dengan jari-jarinya.
Mataku
menelisik si sinting di hadapanku. Memang dengan pakaian rapinya ia tak tampak
sedang melakukan kunjungan pasien. Tetapi kenyataan bahwa ia datang untuk
mengunjungi gadisku, itu membuatku geram.
“Elena
tidak ada di rumah. Sebaiknya kau pulang, sialan!”
Lelaki
itu memiringkan kepala, pandangan matanya beralih ke suatu tempat sambil
menaikkan alisnya. “Sepertinya Elenamu itu ingin bertemu denganku.” Mata licik
lelaki itu kembali terfokus padaku.
“Dokter
Andre. Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Elena yang tiba-tiba berdiri di
sampingku.
“Aku
ingin melakukan kunjungan pasien. Apa kakakmu di rumah?”
Apakah
dia sedang bermain-main denganku? Sekarang dia mengatakan bahwa kedatangannya
untuk kunjungan pasien?
“Wah,
kurasa baru kali ini ku lihat ada kunjungan pasien seperti ini.” Elena memasang
senyuman manisnya, membuatku semakin kesal. Elena menyadari bahwa jariku
terkepal kuat saat ia mencoba menyentuh tanganku.
“Nick,
bersabarlah.” Bisik Elena. Aku berusaha mati-matian untuk menahan diri agar
tidak terbawa emosi lebih dalam lagi dari ini. Jika tidak, aku yakin akan
berakhir menjadi seorang kriminal karena
menghabisi nyawa lelaki itu.
“Tentu
saja, karena Evan adalah salah satu pasienku yang penting. Apa kau tidak akan
mengizinkanku untuk masuk?” Nada suara penuh percaya diri itu membuatku muak.
Elena meremas tanganku, tampaknya mencoba meminta persetujuan.
“Sebaiknya
kau pulang sebelum aku benar-benar akan menghajarmu dan…”
“Maaf,
tetapi aku sedang meminta izin pada Elena. Kurasa tuan rumah lebih berhak
menentukan.”
“Kakakku
tidak ada di rumah.”
“Kalau
begitu, izinkan aku menikmati secangkir kopi sebentar. Aku sudah jauh-jauh
datang kemari, Elena.”
Aku
diam menatap Elena yang tampak bingung. Ia menatapku seakan meminta izin, namun
aku hanya membuang muka. Aku merasa geram. Jika saja Elena mengiyakan mungkin
aku akan benar-benar marah.
“Hanya
sebentar, karena aku akan pergi bersama Nico.” Aku bisa mendengar getaran pada
suara Elena. Aku yakin dia tahu dia telah membuat keputusan yang salah. Elena menatapku
sejenak sebelum melangkah menuju rumahnya. Seulas senyum yang tersungging di
bibir lelaki sialan itu, berganti menjadi seringaian saat Elena telah masuk ke
dalam rumah.
Sialan!
***
ELENA
POV
Aku
melihatnya duduk di kursi makan, diam tak acuh sambil memainkan game di
ponselnya. Aku sadar aku telah membuat keputusan yang salah, dan aku bertaruh
saat ini Nico benar-benar marah padaku. Aku meletakkan segelas air dingin dan
sepiring apel kupas, namun ia sama sekali tak menatapku.
“Nick…”
Aku mencoba mengalihkan perhatiannya. Aku menghela nafas, kemudian aku meraih
sebelah tangannya yang tengah sibuk memainkan ponselnya. “Kau marah padaku?”
Hening.
Nico
hanya melirikku sejenak, melepaskan genggamanku. Kemudian ia menelan sepotong
apel dan mendorongnya dengan air dingin yang telah kusiapkan di sebelahnya. Aku
memutar sedikit kursi yang ada di sampingnya, lalu memerhatikannya yang makan tanpa
memedulikan kehadiranku. Aku benci diabaikan. Kucoba menguasai diri, kemudian
bangkit dari kursi dan kurasakan kakiku tersandung kaki meja hingga membuatku
terjungkal.
“Elena.” Teriak Nico yang akhirnya memerhatikanku. Aku
tersenyum senang, namun senyum itu buru-buru kuhilangkan sebelum Nico melihat
wajahku yang tertutupi oleh rambut. Ini bukan kulakukan dengan sengaja, aku
sungguh-sungguh. Mungkin karena perasaan kesalku membutakan mata kakiku.
“Sudahlah
aku tak apa. Kau lanjutkan saja permainanmu, tak perlu memedulikanku. Aku akan
menemui Andre sebentar.”
Sengaja.
Itu adalah bentuk protes karena sikap Nico yang tak acuh padaku. Tapi sesaat
kemudian kurasakan genggaman Nico pada bahuku semakin mengeras sampai akhirnya
ia melepaskanku dan segera berdiri. “Aku akan mengemas pakaian Evan.”
Lagi-lagi
aku menyesal dengan keputusanku. Seharusnya aku tahu bahwa kata-kataku keluar
di saat yang tidak tepat. Aku bangkit menggunakan lengan, lalu mengusap lututku
yang terasa sakit.
“Apa
yang terjadi, Elena?” Suara seseorang membuatku berjingkat kaget.
“Ah,
tidak, hanya sedikit kecelakaan kecil.”
“Apa
kau baik-baik saja?” Andre memasang raut wajah khawatirnya sambil melangkah
mendekatiku.
“Sungguh
aku baik-baik saja. Dokter, aku harus mengemas
barang. Jadi aku tak bisa menemanimu menghabiskan kopi.” Aku melempar senyum
palsu. Aku sangat berharap lelaki itu menyadari betapa aku terganggu atas
kedatangannya. Gara-gara dia, Nico pun mengabaikanku.
“Ngomong-ngomong,
di mana Evan? Bukankah dia harusnya beristirahat?”
“Dia
ada di rumah Nico.”
Lelaki
itu mengernyit bingung. “Kenapa? Bukankah di sini cukup nyaman?” Ujar Andre
melempar pandangan ke sekeliling rumah.
“Ada
suatu alasan yang membuat dia tidak berada di sini. Aku rasa hal itu tak perlu
dijelaskan, dokter. Maafkan aku, tapi aku harus bergegas. Kau bisa pergi
setelah menghabiskan kopimu.”
Kutatap
raut kecewa yang terpasang pada wajah Andre. Aku yakin aku telah menyakitinya,
tetapi aku tak peduli. Dia sudah menggangguku. Mengganggu ketenangan kami.
“Baiklah
jika aku mengganggu.” Andre menghela napas. “Aku akan datang lain kali saat kau
tidak sibuk Elena.”
Lelaki
itu memutar langkahnya setelah melempar senyumnya padaku. Kutatap kepergiannya
hingga ia menghilang dibalik pintu yang ditutup dengan sedikit keras. Aku
menghela napas lega, kemudian menyusul Nico yang tengah berada di kamar Evan.
Kakiku
membawaku menaiki tangga secepat yang aku bisa. Pintu itu sedikit terbuka,
sementara lelaki itu merebahkan tubuhnya dengan sebelah tangan yang menutupi
kedua matanya.
“Nick…”
Aku mendekati ranjang dan mencoba mengusik ketenangannya. Nico tidak menengok.
Lagi-lagi ia mengabaikanku.
“Nico!”
tegurku dengan nada suara yang seoktaf lebih tinggi. Aku merasa jengkel karena
sikap Nico yang kuanggap kekanak-kanankan.
Nico
melirikku dengan tajam sebelum ia duduk, “Kenapa kau ke sini? Bukannya kau
punya tamu yang seharusnya kau urus?”
Aku
tahu lelaki itu sedang cemburu. Tetapi bagaimanapun aku mencoba berpikir dengan
kepala dingin, kecemburuannya tetap saja membuatku kesal. “Aku mengusirnya.” Aku
menekankan dua kata itu untuk memperjelas keadaan.
Aku
beranjak, membuka lemari dua pintu milik Evan dan memasukkan beberapa
pakaiannya ke dalam sebuah tas berukuran besar. Mataku menatap cermin yang
terpasang di lemari, pantulan wajah Nico yang tampak kesal terpantul pada cermin
itu. “Dan kau, apa yang kau lakukan? Seingatku kau mengatakan padaku untuk
mengemas pakaian kakak.”
“Aku
tidak tahu apa saja yang dibutuhkan Evan. Jadi aku beristirahat dulu. Apa kau
menikmati waktumu bersama dokter sialan itu?”
Sejenak
seringaian tipis dari bibirku melintas di pantulan
cermin. “Apa kau cemburu?”
Nico
terdiam.
“Nick,
mataku bisa saja menatap lelaki lain, mulutku bisa saja tersenyum pada lelaki
lain. Aku tetap saja manusia biasa seperti perempuan pada umumnya. Tetapi di
luar itu semua aku bersungguh-sungguh tak satupun laki-laki yang akan
menggantikan posisimu, Nick.”
Nico
mencebik, berusaha menyembunyikan senyumnya. “Apa kau bisa mempertanggung
jawabkan kata-katamu itu?”
“Tentu
saja, sayang.”
Selagi
aku sibuk melipat pakaian Evan, Nico mendekatiku, melingkarkan kedua tangannya kepada
tubuhku. Kurasakan nafas hangatnya menyisir puncak kepalaku. Aku berbalik dan pandangan
kami saling bertemu. Satu tangannya terangkat untuk menangkup pipiku, kemudian menarik
kepalaku hingga wajah kami mendekat satu sama lain. Perlahan bibir lembutnya
mendarat dengan lembut di bibirku. Ia menciumku dengan lembut, membuat
jantungku berdebar hebat.
NICO POV
“Firasatku
aneh.” Ujar Evan saat aku menceritakan tentang kedatangan dokter itu tempo hari
ke rumahnya.
Aku
mengusap wajahku gelisah. Untuk kesekian kalinya aku menggeram dan meremas
rambutku dengan kasar mengingat percakapan kami semalam mengenai dokter sialan
itu. Aku menggapai-gapai ponselku di atas nakas, Jari tanganku kemudian
menghubungi salah satu kontak. Nomor seseorang yang sedari tadi terpikir olehku.
“Halo.”
Sapa seseorang setelah telepon terhubung.
“Dani,
apa kabar?” Sapaku kepada Dani, orang kepercayaanku sejak aku menggantikan
jabatan ayah di perusahaan.
“Baik.
Apa yang bisa kubantu?” Tanya Dani langsung. Ini memang sifatnya. Dani bukanlah
orang yang suka bertele-tele. Ia adalah orang yang langsung, cepat tanggap,
akurat dan rapi. Karena itulah aku selalu mempercayainya sebagai tangan
kananku.
“Aku
ingin kau mencari tahu tentang spesialis saraf bernama Andre yang bekerja di Ravenia
Hospital. Tolong secepatnya kau beri tahu tentang segala yang kau temukan
tentang lelaki itu.”
“Tentu.”
Ujar Dani yang kemudian memutus sambungan telpon.
Aku
kembali menghempaskan tubuhku saat kudengar seseorang mengetuk pintu kamar.
Tanpa persetujuanku, seseorang membuka pintu dan mengintip ke dalam. Aku tak
dapat menahan senyum ketika mendapati seseorang yang bersembunyi di balik pintu
dengan mata genitnya yang berkedip-kedip.
“Apa
yang kau lakukan? Masuklah, Elena.”
Elena
hanya bergeming. Dari raut wajahnya, aku yakin dia ingin mengatakan sesuatu.
Aku menunggu beberapa saat, namun tak ada satupun kata yang keluar dari
mulutnya. Mata Elena mengerjap sejenak, kemudian ia memasang senyum ramah. Hal
itu membuatku sedikit bingung, karena ia tak kunjung membuka mulutnya.
“Ada
apa?” Sekali lagi aku bertanya karena tak mendapatkan jawaban apapun dari mulut
Elena.
“Trisia
mengajakku bertemu nanti malam,” Ujar gadis itu ragu. “Apa kau akan
mengizinkanku pergi?”
“Trisia?
Gadis yang pernah kutabrak waktu itu?” Nada suaraku yang sedikit meninggi
disambut anggukan penuh keraguan oleh Elena. Aku menarik napas dalam, menyadari
bahwa membentak Elena bukanlah pilihan yang tepat.
“Elena,
sudah kukatakan berkali-kali, jangan pernah berhubungan dengan gadis itu. Kau
lebih tahu seberapa beresikonya hubungan kalian. Situasi ini juga bukanlah
situasi yang tepat jika kau berkeliaran di luar sana.”
“Ini
tidak akan lama, Nick. Aku hanya membutuhkan waktu setidaknya tiga puluh menit,
tidak, akan kuusahakan hanya lima belas menit. Dia bilang dia ingin bercerita
tentang sesuatu padaku.”
“Sebaiknya
kau ingat aku telah berkali-kali memperingatkanmu, Elena.”
“Tapi
Nick….”
Brak!
Aku
membanting pintu kamarku, meninggalkan Elena yang belum sempat menyelesaikan
kata-katanya. Aku perlu mendinginkan pikiranku. Aku mempercepat langkahku
menuju dapur untuk mengambil segelas air dingin dari lemari es.
“Kau
seperti akan memakan gelas itu. Apa yang terjadi?” Suara Evan yang berbaring di
sofa sambil menonton televisi sempat mengagetkanku.
Setelah
menghabiskan segelas air, aku kembali mengisi gelasku dan membawanya menuju
tempat Evan berada. Kuhempaskan tubuhku ke sofa setelah meletakkan gelas di
atas meja.
“Adikmu
menjengkelkan!” Gumamku geram yang disambut senyuman oleh Evan.
“Apa
dia melakukan sesuatu yang aneh lagi?” Kata Evan sambil memerhatikan seekor
ular yang tengah menelan seekor kelinci di televisi.
“Benar.
Dia berkata akan bertemu Trisia malam ini.”
“Atau
Andre?” Sahut Evan terkikik yang kemudian membuatku melotot ke arahnya.
Bagiku,
keduanya—baik Trisia maupun Andre—sama-sama memiliki resiko jika Elena mencoba
bertemu dengan mereka. Seingatku, Dani pernah mengatakan bahwa kakak dari
korban tabrak lari Elena masih berusaha mendapatkan tersangka yang membunuh
adiknya. Jika Elena berada di sekitar Trisia, aku khawatir dia akan menyadari
siapa Elena. Setelah itu terjadi, semuanya akan menjadi sangat buruk untuk
Elena.
Begitupun
lelaki sialan itu, keberadaannya akan membuat hubunganku dan Elena semakin
renggang. Terlebih lagi sifat obsesifnya yang keterlaluan. Dia bisa berada di
mana saja seperti seorang penguntit gila.
“Tutup
mulutmu. Jangan pernah kau sebut lagi nama lelaki itu di hadapanku.”
“Apa
kau sudah menyelidiki latar belakang lelaki itu? Aku sedikit khawatir. Aku
ingat saat dia tiba-tiba masuk ke kamar dan memotret Elena beberapa kali.
Lelaki itu menakutkan.”
“Kenapa
kau tak mengatakannya padaku? Seharusnya kau meneriakinya. Jika perlu kau hajar
saja dia.” Karena jika aku menjadi Evan, sudah barang tentu aku akan memberi peringatan
keras pada lelaki gila itu.
“Jangankan
berteriak, berbicara saja aku tidak bisa. Saat itu hanya ada aku dan Elena, dan
saat itu Elena tengah tertidur.”
Aku
mencoba menebak-nebak, apakah Andre adalah semacam psikopat gila yang akan
mengumpulkan foto gadis-gadis dengan ciri tertentu seperti yang kulihat dalam
film-film. Ataukah Andre hanya lelaki biasa yang mengejar seorang gadis
lantaran kecantikannya.
“Aku
masih menyelidikinya. Kuharap kau bisa membujuk adikmu agar dia tidak memaksa
untuk diizinkan pergi.”
“Kalau
begitu bagaimana jika kau yang mengantar aku.” Ujar seseorang keras kepala yang
membuat kepalaku semakin berdenyut.
***
ELENA
POV
Aku bersikeras
ingin menemui Trisia. Terakhir kali ia menelponku dengan menangis sesegukan,
memintaku untuk bertemu sebentar.
“Aku
tak memiliki siapapun untuk berbagi cerita. Aku sudah memendam ini terlalu
lama.” Ujar Trisia saat berbicara di telpon.
“Bagaimana
dengan Harry?”
“Tidak
semua dapat kukatakan padanya, Elena. Aku tak pernah memiliki siapapun untuk berbagi
setelah kepergian Leo. “
Tentu
saja hal itu membuatku semakin merasa bersalah. Meski Trisia tak mengetahuinya,
tetap saja akulah yang membuatnya kehilangan Leo. Rasa bersalah ini selamanya tak
akan bisa kutebus. Aku sudah menghilangkan hidup seseorang dan membuat hidup
orang lain berantakan. Kupikir setidaknya aku dapat sedikit meringankan beban
orang-orang yang hidupnya berantakan akibat ulahku.
“Kalau
begitu bagaimana jika kau yang mengantar aku?” Aku memang tidak pernah berpikir
untuk menjadi seorang pembangkang. Tetapi aku memang dilahirkan sebagai seorang
yang keras kepala. Dan aku memilih untuk menjadi seseorang yang keras kepala
saat ini. Setidaknya menemui Trisia saat ia membutuhkanku membuat hatiku
sedikit tenang meski tak bisa mengurangi rasa bersalahku.
Kilat
amarah di mata Nico membuat lututku terasa lemas. Tapi aku harus membujuknya. “Aku
merasa sangat bersalah padanya, jadi aku harus menemuinya. Jika kau ragu,
ikutlah denganku, sehingga kau bisa mengawasiku dengan kedua matamu, Nick.”
“Kenapa
akhir-akhir ini kau selalu membuatku marah, Elena?” Nada suara Nico terdengar
tenang dari luar. Namun aku tahu pasti jika situasi ini akan menimbulkan konflik,
terlihat dari sorot tajam matanya yang tampak ingin menusukku.
“Elena,
sudahlah.” Evan mencoba menengahi. “Ini bukanlah situasi yang tepat jika kau
terus menjadi keras kepala. Kami hanya ingin melindungimu.”
“Tapi…”
“Hentikan,
Elena. Jika kau terus saja bertingkah dengan kepala batumu itu, apakah aku
harus memecahkan kepalamu saat ini juga?”
Aku
terkejut mendapati lelaki yang kucintai itu melontarkan kalimat yang begitu
kasar padaku. Ini pertama kalinya ia bersikap seperti itu. Lidahnya bagaikan
sebilah belati yang menghujam jantungku. Aku bergeming di tempatku berdiri, mataku
mulai terasa berair. Bukan mauku jika pada akhirnya akan begini. Secuil
ketakutan mulai menyinggahi hati.
Kutatap
lelaki itu yang berjalan melewatiku begitu saja menuju pintu utama. Dia sama
sekali enggan melihatku. Ingin rasanya aku menghentikan langkahnya, tetapi tubuhku
berkhianat. Sementara air mataku lolos membasahi wajahku, debaman pintu seolah
menjadi tamparan bagiku. Lelaki itu meninggalkanku.
Bersambung…
Stoples Cerita
Eat. Read. Repeat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan sungkan untuk menuliskan komentar ya.
Karena itu merupakan penyemangat untuk kami terus menulis.
Selamat membaca :D