“KAU ingin apa
untuk makan malam?”
Rangga
mengangkat wajah dari laptop di hadapannya, mengernyit pada kehadiran Julian
yang menurutnya tiba-tiba itu. Sedetik kemudian ia melirik pada tiga digit
angka 1:37 di sudut kanan bawah layarnya. Ia berkata, “Sebenarnya, sekarang
sudah dini hari. Untuk apa makan malam?”
“Tapi aku
yakin kau belum menyantap apa pun sejak pulang dari studio sore tadi,” tukas
Julian.
Dalam hati
Rangga mengakui kebenaran tuduhan Julian. Tadi begitu tiba di apartemen, ia
memang langsung duduk sibuk pada laptopnya. Beberapa hal yang biasanya bisa
diselesaikannya tepat waktu semakin sering tertunda. Hingga ia harus membawa pulang
pekerjaannya dan mengorbankan jam istirahatnya.
“Ada banyak
pekerjaan yang harus aku selesaikan.” Rangga berujar sambil lalu, berharap
Julian berhenti merecoki kegiatannya.
Tetapi bukan
Julian namanya jika kehendaknya mudah goyah. “Orang-orang bekerja demi bisa
makan. Tapi banyak orang justru melupakan makan karena sibuk bekerja,” sahut
Julian dengan nada menyindir.
Rangga memilih
untuk bungkam pura-pura tidak mendengar. Mendapati tanggapan seperti itu,
Julian melanjutkan kalimatnya. “Kemudian mereka akan jatuh sakit. Dan akhirnya,
uang yang mereka kejar dengan bekerja itu akan berakhir di brankas rumah
sakit.”
Mau tidak mau,
Rangga kembali memusatkan perhatiannya kepada Julian. Sahabatnya itu hanya
balas menatap tajam tanpa berkata-kata lagi. Hingga akhirnya, Rangga menghela
napas tanda menyerah.
Julian
menyembunyikan senyum kemenangannya dengan baik, lalu bertanya, “Bruschetta
atau Lasagna?”
***
Perut yang
lapar akan membuat perasaan menjadi gusar. Sebaliknya, perut yang kenyang akan
membuat perasaan menjadi lebih tenang. Julian memercayai benar kenyataan itu.
Maka, inilah saat yang tepat untuk ia menanyakan hal penting kepada Rangga.
“Jadi, bagaimana?
Apakah kau sudah memutuskan?”
Rangga
mengusap mulutnya menggunakan tisu, membersihkan jejak makan malamnya barusan,
sambil sedikit mengulur waktu. Selama beberapa detik itu ia coba menelaah
maksud Julian tanpa hasil. Hingga pada akhirnya ia menatap lelaki di hadapannya
dengan bingung. “Memutuskan apa?”
“Silvia atau
Jihan?”
Setitik binar
kesedihan berkelebat di mata Rangga, tetapi dengan cepat hilang begitu saja
menyisakan ekspresi kosong. Lelaki itu memilih bungkam sambil berharap Julian
menarik kembali pertanyaannya. Sementara Julian sendiri justru tidak sedikit
pun melepaskan tatapannya dari Rangga sampai ia mendapatkan jawaban yang
diinginkannya.
“Sejauh
pengamatanku, hubunganmu dan Silvia baik-baik saja selama ini. Sebelum
kehadiran Jihan, maksudku.” Julian bersuara memecah keheningan di ruang makan
apartemen mereka. “Lalu Jihan datang dan membuatmu selalu terlihat resah seolah
dunia akan kiamat esok hari. Sebenarnya, ada apa di antara kalian berdua?”
“Bukan
apa-apa,” jawab Rangga lebih seperti gumaman.
Julian
mendengus kesal. “Aku yakin ‘bukan apa-apa’ yang kau maksud berarti kau
tertarik kepada Jihan. Atau bahkan kau menyimpan perasaan yang lebih.”
Rangga
memalingkan wajah, menghindari tatapan menuduh Julian. Tidak seharusnya ia
mengakui perasaannya terhadap Jihan secara terang-terangan. Apalagi setelah
insiden ciuman yang mungkin saja membuat gadis itu kini membencinya.
“Asal kau tahu saja, aku juga tertarik kepada gadis itu.
Kepada Jihan.”
Sekejap, kilatan cemburu langsung menjalari sepasang mata
Rangga. “Jauhi dia, Julian. Kumohon.”
“Kau sudah bersama Silvia. Siapa tahu kau lupa.”
“Sudah kubilang, Silvia bukan pacarku.”
“Lalu apa? Tunanganmu?” Julian tersenyum sinis. “Jangan
bergurau, Rangga. Statusmu saat ini tidak bisa menjanjikan apa-apa kepada
Jihan. Berbeda denganku, aku lelaki bebas. Aku bisa mendekati gadis mana pun,
termasuk Jihan, tanpa halangan apa pun.”
“Aku yang akan menghalangimu.”
Julian
mengangkat satu alisnya. “Kau mempersilakanku untuk mendekati Silvia tapi
melarangku mendekati Jihan. Seharusnya itu sudah jelas. Kau pasti lebih
mencintai Jihan, kenapa bingung?”
Ya— “Tapi....”
Tentu saja Rangga mencintai Jihan. Hanya saja ini tidak sesederhana itu.
“Apa kau
mencintai Silvia?” tanya Julian ketika tidak mendapat tanggapan berarti dari
Rangga.
Sahabatnya itu
tidak bersuara. Tetapi kepalanya menggeleng dengan tegas.
“Itu berarti
kau mencintai Jihan?”
Kali ini
Rangga kembali terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya.
“Perasaanmu
sudah jelas. Apa yang membuatmu ragu?”
Tidak ada hal
lain yang membuat Rangga ragu selain dirinya sendiri. Masihkah ia memiliki
kesempatan untuk bersama dengan Jihan?
“Apa kau takut
menyia-nyiakan kesempatan untuk dekat dengan gadis secantik Silvia?” tuduh Julian tanpa basa-basi. “Gadis itu jatuh
cinta padamu, kau tahu? Tanda-tanda yang dia tunjukkan padamu sudah lebih dari
cukup.”
Rangga
terdiam. Cukup lama. Ucapan Julian membuatnya merenung.
“Oh. Ayolah.
Aku tidak pernah mengenalmu yang sepengecut ini,” kata Julian dengan nada tidak
sabar.
“Justru karena
aku tahu Silvia mencintaiku, aku tidak mungkin meninggalkan dia begitu saja.
Itu akan menyakitinya.” Rangga meremas rambutnya frustrasi. “Jihan dan Silvia
bersahabat baik, ingat?”
“Akan lebih
menyakitkan jika dia terlambat mengetahui bahwa selama ini ia mendekati lelaki
yang sama sekali tidak mencintainya.” Julian bangkit sambil mengangkut piring
kosongnya. “Belum lagi jika lelaki itu menjalin cinta diam-diam dengan sahabat
baiknya,” tandasnya dan berlalu ke arah dapur.
Rangga
tertegun. Ia menatap kepergian Julian dengan perasaan bimbang. Kata-kata Julian
ada benarnya juga. Mulai sekarang, ia harus bersikap tegas pada perasaannya
sendiri. Mungkin ia bisa membicarakan semua ini saat makan malam bersama orang
tuanya akhir pekan ini.
***
Ini
benar-benar pilihan yang sulit.
Silvia
bingung. Kening gadis itu berkerut penuh pertimbangan. Ibu jarinya bergerak
monoton ke kiri dan ke kanan pada layar ponsel, menampilkan tiga foto terus
menerus secara bergantian. Ia mengabaikan pekerjaan yang terpampang pada layar
komputernya. Baginya, ini jauh lebih penting sekarang.
Diam-diam Silvia
mencuri waktu. Ia menyandarkan punggungnya pada kursi senyaman mungkin. Lalu
mulai memerhatikan foto-foto itu dengan saksama.
Tujuh menit
berlalu, tetapi Silvia belum juga bisa menentukan pilihannya. Foto-foto gaun
dari sebuah online shop itu
berputar-putar dalam benaknya. Ia memundurkan kursinya sedikit, mencoba
mengintip bilik kerja di sampingnya. Rekan kerjanya itu ternyata masih sibuk
berkutat dengan pekerjaannya. Silvia tertawa kecil. Dasar ratu melamun yang pekerja keras.
Silvia melirik
jam di tangannya. Sepertinya ia sudah tidak tahan untuk menunggu hingga jam
makan siang tiba. Ia membutuhkan diskusi dengan Jihan. Sekarang.
“Jihan,”
panggil Silvia perlahan. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh bahu sahabatnya
itu.
“Ya?” Jihan
menanggapi sambil menolehkan kepalanya ke arah Silvia. Matanya masih tetap
fokus ke arah layar sebelum akhirnya ia benar-benar memberikan perhatiannya
kepada Silvia. “Ada apa?”
“Bantu aku
memilih.” Silvia menyodorkan ponselnya kepada Jihan. “Mana menurutmu yang
paling bagus?”
Jihan
mengerjap beberapa kali sebelum menerima ponsel Silvia. Ia perlu waktu
mempersiapkan matanya untuk menghadapi layar yang lain. Begitu menatap layar
ponsel Silvia, Jihan terpana. Ia melihat gaun berwarna jingga yang menurutnya
sangat cantik. Bagian atas gaun itu berbahan brokat sementara roknya yang
memanjang hingga atas lutut, tampak mengembang hasil dari tumpukan kain tule.
Sekilas Jihan mengalihkan pandangannya ke arah Silvia yang tersenyum lebar,
mencoba membayangkan gadis itu mengenakan gaun ini. Kemudian ia melanjutkan
pada foto yang lainnya.
Foto
selanjutnya menampilkan gaun halter
berwarna lila yang elegan. Bagian roknya memanjang berpotongan A. Sehelai pita
berwarna hitam menghiasi bagian pinggangnya. Dan foto lainnya menunjukkan gaun
terusan panjang berwarna salem. Gaun berbahan sifon itu memiliki garis leher sabrina yang melebar lurus ke bahu.
Bibir Jihan
mengerucut sementara benaknya menimbang-nimbang sambil matanya sesekali melirik
ke arah Silvia yang menatapnya penuh harap. Sebenarnya, gaun yang mana saja
akan pantas jika dikenakan Silvia. Gadis itu memiliki tubuh ideal yang disukai
semua perancang busana wanita. Tetapi mana mungkin ia memberi jawaban seperti
itu, kan?
“Menurutku,
yang ini saja,” ujar Jihan sambil menunjukkan foto gaun halter itu kepada Silvia.
Silvia
mengangguk-angguk setuju. Akhirnya ia bisa memutuskan gaun mana yang akan
dikenakannya. “Kenapa?”
“Karena
menurutku gaun itu memiliki potongan paling pas untukmu.”
“Memang gaun
yang lain tidak pas untukku?”
“Bukan begitu.”
Jihan menggeleng. “Gaun yang berwarna salem terlalu sederhana untukmu.
Sedangkan yang jingga... entahlah. Menurutku, tidak seperti dirimu saja.”
Silvia
menyetujui kata—kata Jihan. Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia memilih gaun
itu. Padahal gaun dengan model seperti itu sama sekali bukan seleranya.
“Memang akan
ada acara penting apa?” tanya Jihan sambil memutar sedikit kursi kerjanya
menghadap kepada Silvia.
Silvia tidak
langsung menjawab. Gadis itu malah menatap penuh selidik ke arah Jihan. Matanya
disipitkan sementara alisnya berkerut tidak yakin. Bukankah ia sudah
menceritakan hal ini kepada Jihan?
“A-apa?” tanya
Jihan sedikit terbata. Ia yang merasa rikuh ditatap seperti itu, sedikit
menarik diri perlahan dari tatapan Silvia. Lantas cepat-cepat mengalihkan
pandangannya. Entah mengapa, ia merasa takut pada sesuatu yang mungkin
ditemukan Silvia dari sinar matanya.
“Kau lupa atau—“
Ah, benar
juga. Pertanyaan Silvia menggantung di udara ketika menyadari satu hal. Ia
pasti menceritakan hal ini kepada Jihan ketika gadis itu tengah melamun. Tetapi
hati Silvia terlalu bahagia untuk merasa kecewa atau pun kesal. Lagi pula, ini
bukan pertama kalinya Jihan melamun seperti itu. Jadi, tidak ada salahnya kalau
ia menceritakan hal itu sekali lagi.
“Aku dan Rangga
akan pergi makan malam bersama orang tua kami,” ujar Silvia dengan senyuman
lebar. “Semoga saja orang tuaku berhasil membujuk orang tua Rangga untuk segera
meresmikan hubungan kami. Kau tahu, kan? Maksudku pernikahan.”
Sekejap, dada
Jihan terasa sesak. Ia merasa kesulitan bernapas ketika mendengar berita ini. Makan
malam bersama orang tua mereka. Membahas rencana pernikahan mereka. Rangga dan
Silvia.
“Oh. K-kapan?”
tanya Jihan sambil menghela napas perlahan, membunyikan perasaan.
“Akhir pekan
ini,” sahut Silvia masih tampak bahagia. “Sabtu malam.”
Ah, secepat
inikah ia harus kehilangan Rangga? Sabtu malam ini hubungan Rangga dan Silvia—
“Eh? Sabtu
malam, katamu?” tanya Jihan sedikit takjub untuk alasan yang berbeda. “Bukankah
itu berarti... besok?”
Silvia
mengangguk.
“Dan kau baru
akan membeli gaun itu hari ini?”
“Sebenarnya...
aku sudah membeli tiga gaun itu sejak dua minggu yang lalu,” aku Silvia
malu-malu. “Tapi aku tetap tidak bisa memilih. Semuanya terlihat cantik sama
seperti di foto. Dan aku tidak mungkin mengenakan tiga gaun secara bersamaan,
kan?”
Jihan tertawa
geli mendengar cara Silvia berpikir. Padahal seharusnya gadis itu tidak perlu
bingung memilih. Semua pakaian pasti kan pantas dikenakan gadis secantik
Silvia.
“Jadi, terima
kasih banyak sudah membantuku untuk memutuskan,” sambung Silvia. “Semoga Rangga
suka dengan pilihanmu.”
Jihan
tersenyum getir. Ya. Semoga saja lelaki itu menyukainya.
***
Andai saja
senja kala itu tidak mengukir kenangan pahit melalui dirinya.
Rangga menghela
napas panjang. Ia menjauhkan wajahnya dari balik lensa kamera. Sesungguhnya Rangga bukanlah tipikal lelaki
melankolis. Tetapi entah mengapa kejadian akhir-akhir ini membuat perasaannya
gusar. Bahkan mengacaukan pekerjaannya di studio.
Seharian ini Rangga
merasa kesal setengah mati pada apa saja yang dilihatnya. Tumpukan foto, meja
kerjanya, lampu studionya, semua benda yang ada di bangunan itu membuatnya
muak. Ingin rasanya ia membanting semua benda itu hingga hancur lebur. Sebelum
semua itu terjadi, ia memutuskan untuk mengambil gambar di luar studionya dan
melimpahkan segala urusan kepada Reza.
Sayangnya, hal
tersebut tidak juga membuat perasaannya menjadi lebih baik.
Sekali lagi, Rangga
mencoba membidik deretan bangunan tua di hadapannya. Terdengar bunyi klik
secara berturut-turut. Ia kembali menurunkan kameranya, melihat hasil
potretannya. Tetapi tidak satu pun yang sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Detik
berikutnya, lelaki itu malah mengarahkan kameranya ke arah jalan ber-paving yang dipijaknya. Di sana ia
melihat matahari mencetak jelas bayangannya yang memanjang. Setelah mengambil
foto bayangannya, Rangga berbalik dan mendapati pemandangan langit yang selalu
membuatnya merindu.
Senja yang
sebentar lagi akan menelan habis cahaya. Pemandangan inilah yang ingin
dilihatnya di seluruh dunia. Rangga rela menghabiskan seluruh hidupnya demi
mengabadikan keindahan alam yang satu ini.
Bersama seulas
senyuman di bibir, Rangga kembali mengintip melalui balik lensanya. Ia
menangkap semua sisa jejak cahaya yang kemudian hilang menjelma malam.
Ah. Andai saja
dahulu ia tidak merusak senja yang satu itu. Mungkin saja saat ini ia masih
bisa berada di dekat Jihan.