Elena menyuapkan sepotong rainbow cake dan mengunyahnya sambil berpikir keras, tentang apa yang seharusnya ia katakan saat lelaki itu muncul di hadapannya beberapa menit lagi. Rainbow cake yang terasa lembut itu, seolah berubah menjadi sangat keras setelah menyadari bahwa lelaki yang sejak tadi ia nantikan telah berdiri tegak menyentuh pundaknya. Cake tersebut enggan turun dari tenggorokannya, juga tak ingin kembali untuk keluar dari mulut Elena, membuat gadis itu terbatuk-batuk sambil memukul dadanya keras-keras.
"Apa kau baik-baik saja, sweetheart?" Tanya lelaki itu sambil menyodorkan segelas air pada Elena.
"Terima kasih, Andre." Ujar Elena setelah berhasil meloloskan cake yang tersangkut di tenggorokannya.
"Papa..." Seru seorang anak kecil yang tiba-tiba menghampiri mereka berdua. Lelaki kecil itu tampak sangat tampan dengan kemeja yang dilipat hingga ke siku dan celana jeans serta sepatu boot yang berukuran kecil. Sama persis seperti lelaki di sampingnya itu.
"Halo sayang, apa kabar jagoannya mama?" ELena berseru girang saat mendapati lelaki kecil kesayangannya itu meraih jemari Andre sambil menarik-narik tangan sang ayah.
Lelaki kecil itu cemberut menatap Elena, sesaat kemudian senyum manis di bibirnya berkembang menjadi tawa renyah yang sangat Elena rindukan. "Aku baik."
"Di mana Maria?" tanya Elena yang kembali dihadiahi wajah cemberut oleh lelaki kecil itu.
"Sweetheart, dia bukan Maria, dia Mama. Namanya Mama." Seru lelaki kecil itu memperingatkan. Elena dan Andre saling bertukar pandang, kemudian saling tertawa terpingkal melihat kelakuan Axel. Lelaki kecil itu sungguh pandai berbicara, dapat dipastikan siapa yang membuat lelaki kecil itu jadi begini.
"Hey kau merayu calon istriku, anak kecil?" Suara yang sangat dikenal oleh Elena terdengar nyaring di telinganya.
"Tidak, bro ampun." Seru Axel yang segera bersembunyi dibalik kursi Elena. Dia selalu menirukan bagaimana cara ayahnya memanggil seseorang, tak terkecuali dengan panggilan 'bro' untuk Nico.
"Kenapa kau selalu memanggilku seperti itu, anak kecil. Akan kumakan kau." seru Nico sambil mengangkat kedua tangannya, bergaya seperti seekor macan yang siap memangsa anak kelinci.
"Aaampuuunnnn. Maafkan aku. Sweetheart, tolong selamatkan aku." ujar Axel ketakutan tanpa dibuat-buat. Elena terkekeh menyaksikan dua lelaki kesayangannya itu saling merebutkannya.
Enam bulan yang lalu, Elena telah mendapatkan kembali kebebasannya. Dan sesuatu yang cukup mengejutkan terjadi, karena pada akhirnya, setelah sekian lama, Evan menambatkan hatinya pada seorang gadis bernama Azzela. Entah mengapa Elena sangat menyukainya tanpa memedulikan latar belakang gadis itu. Hingga hari saat pertunangan Evan terjadi, muncullah seorang pria yang hampir saja membuat pertunangan itu batal.
Andre.
Siapa sangka lelaki itu akan datang dengan mengenakan setelan mahal yang membuatnya tampak sangat keren dengan duplikat kecilnya yang berada dalam gendongannya. Ia tampak tercengang melihat siapa lelaki yang hendak memasangkan cincin pada jemari adik kesayangannya. Ia sempat menentang terjadinya pertunangan tersebut, mungkin karena rasa bersalahnya pada calon adik iparnya atas kejadian beberapa tahun yang lalu.
Namun kini semuanya berbeda, Andre justru semakin dekat dengan Evan maupun Elena seolah telah melupakan kejadian penjebakan yang dilakukannya pada Elena beberapa tahun yang lalu. Terlebih Axel yang sangat dekat dengan Elena, yang bahkan menjadi 'lelaki kecil kesayangan' Elena.
"Hey, sudahlah Nick. Dia menangis." ujar Elena terkekeh sambil memeluk lelaki kecil yang kini berada di pangkuannya.
"Sudahlah bro, jika kau membuat Axelku menangis, aku akan menculik calon istrimu." Canda Andre yang membuat Nico bersungut-sungut seperti seorang anak kecil yang akan kehilangan mainan kesayangannya. "Apa kau setuju, Axel?" tanya Andre yang membuat lelaki kecil itu mengangguk antusias.
"Jika kau nakal, aku akan membawa Sweetheartku pergi. Aku akan menjadikannya istriku." Ancam Axel dengan nada suara yang masih bergetar karena menangis, hingga membuat semua orang terbahak-bahak karena ancamannya.
"Hey, Sweetheart terlalu tua untukmu, nanti kau akan menemukan seorang gadis yang sesuai denganmu." Seorang wanita cantik dengan rambut pirangnya yang tergerai indah menginterupsi.
"Mama" Axel segera turun dari pangkuan Elena dan melompat ke dalam pelukan ibunya.
"Aku sudah menghubungi Harry dan Trisia. Mereka bilang akan sedikit terlambat. Sedikit bersabarlah, Elena." Ujar Maria yang disambut oleh embusan napas besar Elena. Lagi-lagi ia harus mempersiapkan kembali mentalnya, setelah kedatangan Andre -yang ia pikir adalah Harry- telah mengacaukan perasaan yang coba ia tenangkan sejak beberapa hari yang lalu.
Semakin lama, Elena semakin gusar. Niatnya untuk meminta maaf dan berdamai dengan Harry dan Trisia seolah terasa sangat berat. Beberapa kali ia mencoba mengajak Harry dan Trisia bertemu namun mereka berdua hanya mengiyakan tanpa berniat menemui Elena. Hingga pada akhirnya Elena harus meminta tolong pada Andre.
"Tenanglah sayang, semua akan baik-baik saja" Nico mencoba menghibur calon istrinya yang kembali tegang yang hanya ditanggapi dengan anggukan kepala oleh Elena.
Beberapa menit berlalu, sampai seorang wanita dengan dress berwarna merah gelap yang kontras dengan warna kulitnya yang seputih salju datang bersama seorang pria yang mengenakan kemeja coklat bergaris vertikal. Pria itu memeluk pinggang wanita di sampingnya yang perutnya tampak membuncit dan dengan hati-hari pria itu menuntunnya.
Hal tersebut sontak membuat Elena memelotot dan bertanya-tanya dalam hati. Apakah hanya dirinya yang tidak bisa melupakan kematian Leo? Sementara wanita itu kini telah menikah dengan pria lain tanpa memikirkan Leo.
"Apa yang ingin kau bicarakan dengan kami?" Suara maskulin yang cenderung menyeramkan itu menusuk telinga Elena hingga membuat jantungnya berdebar kencang.
"A... Aku ingin membicarakan sesuatu. Ini tentang..." Elena menghentikan ucapannya, seketika merasa ragu akan niatnya untuk berdamai.
"Katakan saja, tak perlu ragu." Trisia akhirnya mencoba membujuk Elena, wanita yang pernah menjadi sahabatnya beberapa tahun yang lalu. Tentu saja sebelum ia mengetahui kenyataan bahwa Elenalah orang yang telah membuatnya berpisah dari Leo.
"Sejujurnya, selama aku di penjara aku banyak berpikir. Aku tahu salahku sangat besar pada kalian berdua," kembali Elena menghentikan ucapannya, menggigit bibir bawahnya sembari mencoba memilah kata yang hendak diucapkannya.
Pikirannya teralihkan ketika tangan hangat menyentuh jemari Elena dan menggenggamnya dengan erat. Nico. Pria itu selalu ada di sampingnya untuk menguatkannya. Sama seperti lima tahun yang lalu, sama seperti hari ini. Pria itu masih sama, kecuali cintanya yang semakin besar untuk Elena. Elena membalas genggaman tangan Nico, menghela napas besarnya dengan pelan untuk menenangkan debaran jantungnya.
"Aku tahu aku tak akan bisa mengembalikan Leo di tengah-tengah kehidupan kalian. Aku tahu salahku yang begitu besar mungkin saja bagi kalian tak akan termaafkan. Tapi tetap saja aku ingin meminta maaf pada kalian. Aku ingin berdamai dengan kalian."
Harry hanya menatap datar wanita yang ada di hadapannya, sementara Trisia mulai mengembangkan senyumnya untuk Elena. Entah apa maksud dari senyuman itu, mengingat Trisia adalah wanita yang mudah menyembunyikan perasaannya.
"Aku tahu kau menyesal. Permintamaafanmu tak akan mengubah apapun, Elena." Ujar Trisia tenang yang justru membuat Elena gusar.
"Jika memang aku tak memiliki kesempatan untuk mendapatkan maaf kalian, aku tak keberatan. Setidaknya aku mencoba meski tak ada hasil. Terima kasih kalian sudah bersedia menemuiku."
"Semuanya memang tak akan berubah." Harry mulai membuka mulutnya. "kau juga tak akan bisa mengembalikan Leo pada kami. Tetapi little Leo akan segera datang pada kita. Jadi aku sedang memikirkan untuk dapat menerima permintaan maafmu, Elena."
"Kupikir Leo pun telah memaafkanmu. Dan aku yakin, Tuhan lebih menyayangi Leo sehingga membuat Leo meninggalkan kami. Semua telah diatur oleh Tuhan, dan kami tak ingin membencimu untuk takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Kami menerima permintaan maafmu, Elena." Kembali senyum itu menghiasi wajah Trisia, sorot hijau di matanya mengungkap ketulusan yang sama sekali tak dibuat-buat.
Tanpa terasa air mata pun membasahi wajah Elena, tangis penuh kelegaan, ketenangan, kepuasan seolah bercampur membuat air mata Elena bagai air bah yang tak lagi terbendung. Kakinya terasa lemas, membuatnya bersimpuh di lantai kafe yang penuh kenangan baginya. Rainbow cafe, seperti kenangannya yang penuh warna dalam tempat ini.
***
"Hai Sweetheart, kau sangat cantik. Iya kan Mama?" Puji lelaki kecil itu sambil memegang ujung dress Maria yang tengah berdiri menyaksikan Elena dengan gaun putihnya yang menjuntai panjang. Sementara Trisia dengan perut buncitnya mencoba merapikan veil yang ada di kepala Elena.
"Tentu saja, apa kau tak ingin punya istri sepertinya? Lihatlah dia sangat cantik." Goda Azzela, mengingat keponakan kesayangannya itu sangat menyukai Elena, bahkan ia pernah melamar Elena di depan semua orang, membuat Nico kesal karena menurut Elena, lamaran Axel terasa lebih mengesankan.
"Mama, bolehkah aku menikah dengan Sweetheart?" Tanya Axel dengan wajah polosnya.
"Tidak, Axel. Nico akan membunuhmu jika kau mencoba mencuri pengantinnya." Ujar Maria jengkel. Dia menyukai Elena, tetapi anak lelakinya yang menggilai Elena membuatnya berpikir untuk menjauhkan Axel dari Elena. Ia khawatir kelak saat Axel tumbuh dewasa, ia akan betul-betul mencintai Elena layaknya drama Korea yang Maria tonton beberapa waktu yang lalu.
"Kau tak perlu khawatir, Maria. Dia hanya anak-anak. Dia tak akan benar-benar menikahi Elena saat dia besar nanti." Ujar Trisia terkikik geli. Ia tahu apa yang ada di kepala Maria, karena Andre pernah menceritakannya pada Harry dan Trisia.
"Sudah, sudah. Kupikir sekarang sudah saatnya Elena keluar. Ayo." Seru Azzela seraya menyentuh jemari Elena untuk menuntunnya menuju pusat acara. Ini adalah hari yang dinantikan oleh Elena untuk dapat bersanding dengan lelaki yang dicintainya, Nico.
Langkah Elena yang lembut menuntunnya perlahan menyusuri karpet merah yang terbentang panjang. Di ujung lainnya, Nico berdiri mengenakan jas putihnya, tampak tampan dan gagah. Penampilannya sangat kontras jika mengingat kembali masa sulitnya, tepatnya saat penantiannya untuk Elena. Bahkan lelaki itu sama sekali tak mau repot mengurus dirinnya hingga membuat gadis-gadis yang menggilainya berubah prihatin atas keadaan Nico.
Tapi bukan itu yang ia inginkan. Ia hanya menginginkan Elena, entah apapun yang terjadi. Ia tak peduli meski seluruh dunia membencinya. Baginya, asalkan Elena ada di sampingnya, itu lebih dari cukup.
Mata Nico sibuk mengawasi wanitanya yang berjalan anggun mencoba menghapuskan jarak di antara mereka. Baginya hal ini seperti mimpi. Dan jika ini hanya mimpi, ia tak ingin terbangun lagi hanya untuk menyadari bahwa Elena yang kini perlahan mendekatinya adalah semu.
Nico tersenyum lebar, mengulurkan tangannya untuk menjemput pengantinnya. Saat itulah ia yakin bahwa ini bukanlah mimpi. Elena adalah nyata, wanita itu adalah miliknya.
TAMAT