Jumat, 01 September 2017

Green Eyed - Epilog


Elena menyuapkan sepotong rainbow cake dan mengunyahnya sambil berpikir keras, tentang apa yang seharusnya ia katakan saat lelaki itu muncul di hadapannya beberapa menit lagi. Rainbow cake yang terasa lembut itu,  seolah berubah menjadi sangat keras setelah menyadari bahwa lelaki yang sejak tadi ia nantikan telah berdiri tegak menyentuh pundaknya. Cake tersebut enggan turun dari tenggorokannya,  juga tak ingin kembali untuk keluar dari mulut Elena,  membuat gadis itu terbatuk-batuk sambil memukul dadanya keras-keras. 

"Apa kau baik-baik saja, sweetheart?" Tanya lelaki itu sambil menyodorkan segelas air pada Elena.

"Terima kasih, Andre." Ujar Elena setelah berhasil meloloskan cake yang tersangkut di tenggorokannya. 

"Papa..." Seru seorang anak kecil yang tiba-tiba menghampiri mereka berdua. Lelaki kecil itu tampak sangat tampan dengan kemeja yang dilipat hingga ke siku dan celana jeans serta sepatu boot yang berukuran kecil. Sama persis seperti lelaki di sampingnya itu.

"Halo sayang, apa kabar jagoannya mama?" ELena berseru girang saat mendapati lelaki kecil kesayangannya itu meraih jemari Andre sambil menarik-narik tangan sang ayah. 

Lelaki kecil itu cemberut menatap Elena,  sesaat kemudian senyum manis di bibirnya berkembang menjadi tawa renyah yang sangat Elena rindukan.  "Aku baik."

"Di mana Maria?" tanya Elena yang kembali dihadiahi wajah cemberut oleh lelaki kecil itu. 

"Sweetheart,  dia bukan Maria,  dia Mama.  Namanya Mama." Seru lelaki kecil itu memperingatkan. Elena dan Andre saling bertukar pandang,  kemudian saling tertawa terpingkal melihat kelakuan Axel. Lelaki kecil itu sungguh pandai berbicara,  dapat dipastikan siapa yang membuat lelaki kecil itu jadi begini. 

"Hey kau merayu calon istriku, anak kecil?" Suara yang sangat dikenal oleh Elena terdengar nyaring di telinganya. 

"Tidak, bro ampun." Seru Axel yang segera bersembunyi dibalik kursi Elena. Dia selalu menirukan bagaimana cara ayahnya memanggil seseorang,  tak terkecuali dengan panggilan 'bro' untuk Nico. 

"Kenapa kau selalu memanggilku seperti itu,  anak kecil. Akan kumakan kau." seru Nico sambil mengangkat kedua tangannya,  bergaya seperti seekor macan yang siap memangsa anak kelinci. 

"Aaampuuunnnn. Maafkan aku.  Sweetheart,  tolong selamatkan aku." ujar Axel ketakutan tanpa dibuat-buat. Elena terkekeh menyaksikan dua lelaki kesayangannya itu saling merebutkannya. 

Enam bulan yang lalu,  Elena telah mendapatkan kembali kebebasannya. Dan sesuatu yang cukup mengejutkan terjadi, karena pada akhirnya, setelah sekian lama, Evan menambatkan hatinya pada seorang gadis bernama Azzela.  Entah mengapa Elena sangat menyukainya tanpa memedulikan latar belakang gadis itu. Hingga hari saat pertunangan Evan terjadi, muncullah seorang pria yang hampir saja membuat pertunangan itu batal. 

Andre

Siapa sangka lelaki itu akan datang dengan mengenakan setelan mahal yang membuatnya tampak sangat keren dengan duplikat kecilnya yang berada dalam gendongannya. Ia tampak tercengang melihat siapa lelaki yang hendak memasangkan cincin pada jemari adik kesayangannya. Ia sempat menentang terjadinya pertunangan tersebut,  mungkin karena rasa bersalahnya pada calon adik iparnya atas kejadian beberapa tahun yang lalu. 

Namun kini semuanya berbeda,  Andre justru semakin dekat dengan Evan maupun Elena seolah telah melupakan kejadian penjebakan yang dilakukannya pada Elena beberapa tahun yang lalu. Terlebih Axel yang sangat dekat dengan Elena,  yang bahkan menjadi 'lelaki kecil kesayangan' Elena.

"Hey,  sudahlah Nick. Dia menangis." ujar Elena terkekeh sambil memeluk lelaki kecil yang kini berada di pangkuannya. 

"Sudahlah bro,  jika kau membuat Axelku menangis,  aku akan menculik calon istrimu." Canda Andre yang membuat Nico bersungut-sungut seperti seorang anak kecil yang akan kehilangan mainan kesayangannya. "Apa kau setuju,  Axel?" tanya Andre yang membuat lelaki kecil itu mengangguk antusias. 

"Jika kau nakal,  aku akan membawa Sweetheartku pergi. Aku akan menjadikannya istriku." Ancam Axel dengan nada suara yang masih bergetar karena menangis, hingga membuat semua orang terbahak-bahak karena ancamannya. 

"Hey,  Sweetheart terlalu tua untukmu,  nanti kau akan menemukan seorang gadis yang sesuai denganmu." Seorang wanita cantik dengan rambut pirangnya yang tergerai indah menginterupsi.

"Mama" Axel segera turun dari pangkuan Elena dan melompat ke dalam pelukan ibunya. 

"Aku sudah menghubungi Harry dan Trisia.  Mereka bilang akan sedikit terlambat.  Sedikit bersabarlah,  Elena." Ujar Maria yang disambut oleh embusan napas besar Elena. Lagi-lagi ia harus mempersiapkan kembali mentalnya,  setelah kedatangan Andre -yang ia pikir adalah Harry- telah mengacaukan perasaan yang coba ia tenangkan sejak beberapa hari yang lalu. 

Semakin lama,  Elena semakin gusar.  Niatnya untuk meminta maaf dan berdamai dengan Harry dan Trisia seolah terasa sangat berat. Beberapa kali ia mencoba mengajak Harry dan Trisia bertemu namun mereka berdua hanya mengiyakan tanpa berniat menemui Elena. Hingga pada akhirnya Elena harus meminta tolong pada Andre.

"Tenanglah sayang, semua akan baik-baik saja" Nico mencoba menghibur calon istrinya yang kembali tegang yang hanya ditanggapi dengan anggukan kepala oleh Elena. 

Beberapa menit berlalu,  sampai seorang wanita dengan dress berwarna merah gelap yang kontras dengan warna kulitnya yang seputih salju datang bersama seorang pria yang mengenakan kemeja coklat bergaris vertikal. Pria itu memeluk pinggang wanita di sampingnya yang perutnya tampak membuncit dan dengan hati-hari pria itu menuntunnya.

Hal tersebut sontak membuat Elena memelotot dan bertanya-tanya dalam hati. Apakah hanya dirinya yang tidak bisa melupakan kematian Leo?  Sementara wanita itu kini telah menikah dengan pria lain tanpa memikirkan Leo. 

"Apa yang ingin kau bicarakan dengan kami?" Suara maskulin yang cenderung menyeramkan itu menusuk telinga Elena hingga membuat jantungnya berdebar kencang.  

"A... Aku ingin membicarakan sesuatu.  Ini tentang..." Elena menghentikan ucapannya,  seketika merasa ragu akan niatnya untuk berdamai. 

"Katakan saja,  tak perlu ragu." Trisia akhirnya mencoba membujuk Elena,  wanita yang pernah menjadi sahabatnya beberapa tahun yang lalu.  Tentu saja sebelum ia mengetahui kenyataan bahwa Elenalah orang yang telah membuatnya berpisah dari Leo. 

"Sejujurnya,  selama aku di penjara aku banyak berpikir. Aku tahu salahku sangat besar pada kalian berdua," kembali Elena menghentikan ucapannya, menggigit bibir bawahnya sembari mencoba memilah kata yang hendak diucapkannya. 

Pikirannya teralihkan ketika tangan hangat menyentuh jemari Elena dan menggenggamnya dengan erat. Nico.  Pria itu selalu ada di sampingnya untuk menguatkannya. Sama seperti lima tahun yang lalu,  sama seperti hari ini.  Pria itu masih sama,  kecuali cintanya yang semakin besar untuk Elena.  Elena membalas genggaman tangan Nico,  menghela napas besarnya dengan pelan untuk menenangkan debaran jantungnya. 

"Aku tahu aku tak akan bisa mengembalikan Leo di tengah-tengah kehidupan kalian. Aku tahu salahku yang begitu besar mungkin saja bagi kalian tak akan termaafkan. Tapi tetap saja aku ingin meminta maaf pada kalian. Aku ingin berdamai dengan kalian." 

Harry hanya menatap datar wanita yang ada di hadapannya,  sementara Trisia mulai mengembangkan senyumnya untuk Elena. Entah apa maksud dari senyuman itu,  mengingat Trisia adalah wanita yang mudah menyembunyikan perasaannya. 

"Aku tahu kau menyesal. Permintamaafanmu tak akan mengubah apapun, Elena." Ujar Trisia tenang yang justru membuat Elena gusar. 

"Jika memang aku tak memiliki kesempatan untuk mendapatkan maaf kalian,  aku tak keberatan. Setidaknya aku mencoba meski tak ada hasil. Terima kasih kalian sudah bersedia menemuiku." 

"Semuanya memang tak akan berubah." Harry mulai membuka mulutnya.  "kau juga tak akan bisa mengembalikan Leo pada kami. Tetapi little Leo akan segera datang pada kita.  Jadi aku sedang memikirkan untuk dapat menerima permintaan maafmu,  Elena."

"Kupikir Leo pun telah memaafkanmu. Dan aku yakin,  Tuhan lebih menyayangi Leo sehingga membuat Leo meninggalkan kami.  Semua telah diatur oleh Tuhan, dan kami tak ingin membencimu untuk takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Kami menerima permintaan maafmu, Elena." Kembali senyum itu menghiasi wajah Trisia, sorot hijau di matanya mengungkap ketulusan yang sama sekali tak dibuat-buat.

Tanpa terasa air mata pun membasahi wajah Elena, tangis penuh kelegaan, ketenangan,  kepuasan seolah bercampur membuat air mata Elena bagai air bah yang tak lagi terbendung. Kakinya terasa lemas, membuatnya bersimpuh di lantai kafe yang penuh kenangan baginya.  Rainbow cafe,  seperti kenangannya yang penuh warna dalam tempat ini. 

***

"Hai Sweetheart, kau sangat cantik. Iya kan Mama?" Puji lelaki kecil itu sambil memegang ujung dress Maria yang tengah berdiri menyaksikan Elena dengan gaun putihnya yang menjuntai panjang.  Sementara Trisia dengan perut buncitnya mencoba merapikan veil yang ada di kepala Elena. 

"Tentu saja,  apa kau tak ingin punya istri sepertinya? Lihatlah dia sangat cantik." Goda Azzela, mengingat keponakan kesayangannya itu sangat menyukai Elena,  bahkan ia pernah melamar Elena di depan semua orang,  membuat Nico kesal karena menurut Elena, lamaran Axel terasa lebih mengesankan. 

"Mama,  bolehkah aku menikah dengan Sweetheart?" Tanya Axel dengan wajah polosnya. 

"Tidak,  Axel.  Nico akan membunuhmu jika kau mencoba mencuri pengantinnya." Ujar Maria jengkel. Dia menyukai Elena,  tetapi anak lelakinya yang menggilai Elena membuatnya berpikir untuk menjauhkan Axel dari Elena. Ia khawatir kelak saat Axel tumbuh dewasa,  ia akan betul-betul mencintai Elena layaknya drama Korea yang Maria tonton beberapa waktu yang lalu. 

"Kau tak perlu khawatir,  Maria.  Dia hanya anak-anak. Dia tak akan benar-benar menikahi Elena saat dia besar nanti." Ujar Trisia terkikik geli.  Ia tahu apa yang ada di kepala Maria,  karena Andre pernah menceritakannya pada Harry dan Trisia. 

"Sudah,  sudah.  Kupikir sekarang sudah saatnya Elena keluar.  Ayo." Seru Azzela seraya menyentuh jemari Elena untuk menuntunnya menuju pusat acara. Ini adalah hari yang dinantikan oleh Elena untuk dapat bersanding dengan lelaki yang dicintainya,  Nico. 

Langkah Elena yang lembut menuntunnya perlahan menyusuri karpet merah yang terbentang panjang. Di ujung lainnya, Nico berdiri mengenakan jas putihnya, tampak tampan dan gagah. Penampilannya sangat kontras jika mengingat kembali masa sulitnya, tepatnya saat penantiannya untuk Elena.  Bahkan lelaki itu sama sekali tak mau repot mengurus dirinnya hingga membuat gadis-gadis yang menggilainya berubah prihatin atas keadaan Nico. 

Tapi bukan itu yang ia inginkan. Ia hanya menginginkan Elena, entah apapun yang terjadi.  Ia tak peduli meski seluruh dunia membencinya. Baginya, asalkan Elena ada di sampingnya, itu lebih dari cukup. 

Mata Nico sibuk mengawasi wanitanya yang berjalan anggun mencoba menghapuskan jarak di antara mereka. Baginya hal ini seperti mimpi. Dan jika ini hanya mimpi,  ia tak ingin terbangun lagi hanya untuk menyadari bahwa Elena yang kini perlahan mendekatinya adalah semu. 

Nico tersenyum lebar,  mengulurkan tangannya untuk menjemput pengantinnya. Saat itulah ia yakin bahwa ini bukanlah mimpi.  Elena adalah nyata, wanita itu adalah miliknya.

TAMAT


Kamis, 27 April 2017

Purple Maple (Epilog)




INI pasti mimpi.

Kalila mendongak, memandang takjub sekumpulan bunga wisteria yang menggantung di atas kepalanya. Bunga-bunga itu berwarna putih, violet, dan ungu. Semuanya kompak bermekaran dan membentuk terowongan panjang yang indah. Seolah sedang menuntunnya ke alam mimpi.

Diego berada di belakang, mendorong kursi rodanya. Kalila memang sudah diperbolehkan pulang. Beberapa perbannya sudah dilepas. Tetapi kakinya masih tidak kuat berdiri maupun berjalan. Jadi, ia akan membutuhkan kursi roda sampai ia dinyatakan benar-benar sembuh. Berdua, mereka menyusuri keindahan itu tanpa banyak bicara. Hingga akhirnya mereka tiba di ujung terowongan.


Tetapi mimpi indah itu ternyata belum berakhir.

Dua orang berseragam seperti pramusaji restoranlengkap dengan dasi kupu-kupu berwarna ungudatang menyambut dan menunjukkan sebuah meja yang sudah disiapkan untuk mereka. Meja itu berbentuk bundar dengan taplak satin sewarna lavendel berada di antara dua kursi yang berhadapan. Kursi-kursi itu memiliki sandaran tinggi yang dipenuhi ukiran. Seperti kursi yang biasanya berada di istana. Dan semua itu ditata di bawah naungan pergola yang juga berhiaskan bunga wisteria.

Saat masih tersihir dengan pemandangan di hadapannya, tiba-tiba Kalila memekik kaget saat merasakan tubuhnya melayang. Dengan mudah, Diego menggendong dan mendudukkannya di salah satu kursi yang dilapisi beledu bewarna ungu gelap itu.

“Lil Princess seharusnya duduk di kursi untuk Tuan Putri,” bisik lelaki itu di telinganya.

Wajah Kalila menghangat. “Terima kasih.”

“Terima kasih untuk apa?” tanya Diego begitu ia duduk di kursinya.

Dan saat itulah Kalila baru menyadari bahwa kedua pramusaji tadi sudah menghilang. Bersama dengan kursi rodanya. Sengaja memberi ruang privasi untuk mereka berdua.

“Terima kasih untuk semuanya. Tempat ini sangat indah,” jawab Kalila lalu menghirup dalam-dalam udara di sekitarnya. Udara yang terasa segar dan membawa harum bunga wisteria. Ia juga bersyukur masih diberi kesempatan untuk berterima kasih pada Valeria. “Dan terima kasih kau sudah bersedia mengantarkanku menemui Elliot.”

“Justru aku yang heran, setelah apa yang bajbajaj itu lakukan padamu, kau malah berbaik hati menjenguknya di penjara.”

“Apa?” Kalila mengernyit, berusaha menahan tawanya. Tetapi ia takut sudah salah mendengar. “Bajaj?”

“Yah, aku tidak mau berkata kasar di depanmu,” jawab Diego sambil mengangkat bahu.

Baru kemudian Kalila melepaskan tawanya. “Jangan membencinya. Elliot melakukan itu karena kasih sayangnya yang terlampau besar pada Evelyn. Kau lihat sendiri, kan, dia menangis dan meminta maaf. Aku yakin dia sudah menyesali perbuatannya. Lagi pula karena kecelakaan itu, aku jadi sadar bahwa hal terpenting adalah orang-orang yang kucintai.”

Itu benar adanya. Orang tuanya sepakat untuk membagi tugas untuk mengurus bisnis mereka dan menemani Kalila di rumah secara bergantian. Dan itu berlaku seterusnya bahkan setelah Kalila sembuh total. Ia juga sudah tidak mau lagi menyembunyikan perasaannya kepada lelaki di hadapannya.

“Apa aku termasuk di dalam orang-orang itu?” tanya Diego sambil menatap langsung sepasang mata cokelat terang milik gadis di hadapannya.

Gadis itu tersipu, menghindari pandangannya. Tetapi detik berikutnya, ia menjawab dengan anggukan. Dan juga senyuman.

“Omong-omong, aku tidak menyangka kau masih menyimpan itu.”

Kalila menyentuh benda yang dimaksud Diego. Syal ungu pupus pemberian Diego di malam yang nahas itu. Yang selalu menghangatkannya saat tidur. Yang tetap membuat ia mampu mengingat semua kesalahannya di masa lalu.

“Tentu saja. Aku tidak punya alasan untuk membuangnya.”

“Tapi kurasa syal dan bunga kurang sesuai kalau dipadukan bersama.” Sekarang Diego mengerti mengapa Kalila memilih syal dibanding topi.

Kalila memandang bunga-bunga di sekelilingnya. Penuh nuansa musim semi. Sementara ia berpenampilan seperti hendak menghadapi musim dingin. “Biar saja.”

“Aku punya sesuatu yang jauh lebih baik daripada syal buluk itu.” Diego meletakkan sebuah kotak persegi panjang ke atas meja, lalu mendorongnya perlahan ke hadapan Kalila. “Mungkin ini terlambat, tapi lebih baik daripada tidak. Jadi, selamat ulang tahun, Lil Princess.”

Mata Kalila terbelalak heran sekaligus senang. Ia menatap bergantian antara kotak di atas meja dan lelaki di hadapannya. Lelaki yang masih saja penuh dengan kejutan. Kalila membuka hadiahnya dan mendapati sebuah kalung berliontin batu ametis di dalam kotak itu. Liontin itu berbentuk daun maple.

“Oh, cantik sekali.” Entah sudah berapa kali matanya melihat keindahan hari ini.

“Biar kupasangkan,” ucap Diego sambil mendahului Kalila untuk mengambil kalung itu dari kotaknya. Lelaki itu bangkit dan berpindah ke samping kanannya. Lalu melepaskan syal yang melingkari leher gadis itu. “Sebenarnya aku merencanakan makan bersamamu di bawah pohon maple berdaun ungu yang tumbuh lebat di hari ulang tahunmu. Tapi sekarang semua daunnya sudah gugur.  Jadi, aku hanya bisa memberimu ini.”

“Terima kasih, My Hero Diego,” ucap Kalila dengan tersipu.

Terjadi keheningan selama Diego memasangkan kalung itu di leher Kalila. Ia bisa merasakan dingin dari ujung jemari lelaki itu yang menyentuh sekilas tengkuknya. Tetapi entah mengapa justru membuat kedua pipinya terasa hangat. Bahkan dengan posisi tubuh yang memunggungi Diego, ia bisa merasakan daya tarik yang kuat di antara mereka berdua. Diam-diam, dalam hati Kalila bersyukur Diego tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Karena ia yakin, segala perasaannya tergambar jelas di sana.

Setelah selesai memasangkan kalung itu, Diego tidak langsung kembali ke tempat duduknya. Kedua tangannya bertumpu pada tepi meja dan lengan kursi, tubuhnya menunduk ke arah Kalila.

Kalila menggigit bibirnya. Gawat. Ia tidak akan tahan berada dalam suasana canggung seperti ini. Apa sih yang lelaki itu inginkan?

“Oh, ya, waktu itu kau bilang ada sesuatu yang ingin kau katakan langsung padaku? Apa itu?” tanya Kalila berusaha mengalihkan keheningan.

Diego tidak langsung menjawab. Lelaki itu tertegun, mencoba mengingat. Tetapi detik berikutnya, ia menyeringai. Lalu merunduk lebih rendah. Lebih dekat pada Kalila.

“Aku ingin mengatakan bahwa apa pun perasaan yang ada di hatiku, kau selalu ada di sana.”

Tubuh Kalila yang tadinya membeku langsung menghangat ketika Diego berbisik di telinganya. Ia menolehkan kepalanya pada Diego. Hingga ia bisa merasakan napas lelaki itu di pipinya. “Hanya itu yang ingin kau katakan?”

Diego mengangguk. “Dan aku juga selalu berharap jika suatu hari nanti kita bisa bertemu lagi, aku ingin menjadi orang yang pantas bagimu. Yang bisa kau banggakan di depan teman-temanmu. Kalau tidak bisa menjadi pasanganmu, setidaknya aku bisa menjadi temanmu.” Ia menatap kedua mata gadisnya. “Terdengar sinting, kan?”

Kalila menggeleng. “Kau selalu pantas. Aku saja yang bodoh.”

“Lupakan masa lalu, Lil Princess.” Diego menyibak sedikit rambut Kalila yang sudah mulai kembali tumbuh. Setelah sebelumnya dicukur untuk mempermudah proses pengobatan lukanya. Ada sebuah luka memanjang dari bagian atas kepala hingga ke dekat telinga kanannya. “Lagipula sekarang kita punya luka serupa. Yang tidak dimiliki pasangan lain.”

Kening Kalila mengernyit. Untuk menjawab pertanyaan tanpa suara itu, Diego meraih tangan Kalila. Lalu ia membuat gadis itu menyentuh bekas lukanya yang tersembunyi di balik helai-helai rambutnya.

“Malam itu, aku mendapatkan luka ini. Mirip seperti luka milikmu.”

Ekspresi Kalila berubah ngeri. Perasaan bersalah melumuri wajahnya. “Aku sungguh-sungguh minta maaf... atas segala kebodohanku.”

Bukannya marah atau merasa kesal, Diego malah menggerakkan kepalanya sedikit hingga pipinya berada di depan wajah Kalila. “Ungkapkan maafmu di sini,” gurau Diego sambil menyentuh pipinya sendiri dengan telunjuk.

Kenapa harus begini?  Kalila menelan ludah. Ia beringsut mundur tetapi sandaran kursi membatasi geraknya. Sekujur tubuhnya berubah tegang. Karena sejujurnya, ia belum pernah mencium laki-laki selain ayah dan kakeknya. Dan sekarang... Diego?

Tetapi sedetik berikutnya, Kalila sudah memajukan wajahnya sedikit demi sedikit ke pipi Diego. Sementara kedua tangannya mencengkeram erat kedua lengan kursi.

Beberapa senti sebelum bibirnya menyentuh pipi Diego, tanpa disangka, lelaki itu malah menggerakkan kepalanya menghadap Kalila. Sehingga bibir mereka yang bersentuhan. Walaupun hanya sedetik.

Diego langsung menegakkan tubuhnya. Sambil memasang seringai untuk menyembunyikan gemuruh yang mengguncang rongga dadanya. “Hem, apa ini rasa anggur? Oh, bukan. Mungkin wine? Karena ini memabukkan,” gumamnya tanpa berani menatap Kalila.

Sementara Kalila masih terpangah dengan pipi semerah tomat. Karena ia menyadari bahwa Diego baru saja mencuri ciuman pertamanya.

Ciuman pertama mereka.


PURPLE MAPLE – TAMAT

Jumat, 21 April 2017

Green Eyed - Chapter 14


NICO POV
Mataku menatap nyalang map hijau yang kuperoleh dari Dani sebelum aku sampai ke kantor. Pukul lima pagi aku segera berangkat menuju kantor, setelah Dani menelponku. Ia telah menemukan sesuatu tentang Andre. Hal itu membuatku buru-buru menemuinya. Aku ingin segera mencari jawaban atas rasa penasaranku yang tak henti-hentinya menghantuiku.

Apapun yang ada di dalam map tersebut adalah hasil pencarian Dani mengenai lelaki sialan itu, Andre. Dia menginginkan Elena atau dia memiliki niat tersembunyi, apapun motifnya untuk mendekati Elenaku, aku yakin itu pasti buruk.

Pikiranku kembali melayang pada gadisku. Masih pukul empat pagi dan aku sama sekali tak bisa memejamkan mataku. Perlahan aku membuka pintu kamar, kulihat gadis itu meringkuk di balik selimut tebal yang mengangatkan tubuhnya. Kulihat jejak-jejak air mata masih tercetak jelas di sudut matanya. Aku mengembuskan napas panjang dengan tenang sebelum mengecup puncak kepala gadis itu.

Aku menggaruk kepalaku yang tak terasa gatal dengan frustasi. Mengingat wajah murung gadis itu membuatku merasa bersalah. Tanpa membuang waktu lagi aku membuka map hijau yang sejak tadi membuatku tak tenang. Andreas Refiano,  dokter spesialis saraf yang juga mengembangkan berbagai bisnis. Wajah lelaki itu mengingatkanku pada jahanam bernama Jonathan Adam. Biang keladi segala masalah yang dimiliki Elena. Tapi pikiranku bahwa mereka adalah saudara buru-buru ditepis lantaran data Dani menunjukkan bahwa Andre hanya memiliki seorang adik perempuan.

Kembali kuamati lembar demi lembar tulisan rinci yang semakin menarik perhatianku. Lelaki itu ternyata memiliki tunangan yang kini sedang menyelesaikan pendidikan doktor di Australia dan rumornya mereka akan segera melaksanakan pernikahan mereka setelah gadis itu menyelesaikan pendidikannya.

Apakah mungkin lelaki itu akan mengkhianati tunangannya? Apakah ia benar-benar tertarik pada Elena? Segala macam pertanyaan berputar-putar di kepalaku, membuatku memijat ringan kedua pelipisku. Apa yang sebenarnya lelaki itu inginkan, sungguh membuatku sangat penasaran. Sekelebat perasaan aneh membuatku merinding setelah kutemukan sesuatu yang mungkin saja bisa menjadi benang merah antara semua masalah yang ada.

ELENA POV
Aku bergerak gelisah di atas ranjang berukuran queen size milik Nico. Aku menghirup dalam-dalam aroma yang ia tinggalkan di ranjangnya. Lelaki itu tampaknya benar-benar marah padaku. Semalaman aku menunggu di kamarnya hingga aku tertidur. Kupikir pagi ini ia akan menemuiku setelah ia mengatakan bahwa ia butuh waktu sendiri. Tetapi saat aku terbangun ia sudah berangkat ke kantornya, bahkan lebih pagi dari biasanya.

Aku berteriak kesal sambil melempar bantal Nico yang berakhir membuatku beranjak untuk mengambilnya dan meletakkannya kembali di tempat asalnya. Aku sungguh ingin menyusulnya, tetapi Evan melarangku keluar rumah dengan alasan bahwa aku tak bisa berkeliaran seenaknya, terlebih setelah kejadian kemarin.

Suara notifikasi pesan membuatku berguling ke sisi lain ranjang Nico untuk melihat pesan masuk yang kuharap itu berasal dari Nico.

From : Andre
Hai sweety, bagaimana keadaanmu? Bisakah kita bertemu di luar siang ini?

Aku menghela napas panjang yang berisi kekecewaan. Aku sama sekali tak berharap lelaki ini menggangguku lagi setelah semuanya yang terjadi. Dan apa dia bilang? Dia ingin bertemu denganku?

To : Andre
Aku baik. Bagaimana dengan lukamu? Aku mohon maaf atas sikap Nico kemarin.

Aku sengaja tak memedulikan pertanyaan kedua. Aku takut itu akan menjadi bumerang untukku jika aku masih saja berpegang teguh pada rasa penasaran mengapa lelaki itu ingin bertemu denganku. Pesan balasan segera datang tanpa aku perlu menunggu lama.

From : Andre
Jika kau merasa bersalah atas sikap Nico, kuharap kau bisa menemuiku di Rainbow Café jam 1 siang ini. Ada yang ingin kubicarakan tentang Nico. Aku berencana menuntutnya atas tindak kekerasan jika kau tak datang siang ini. Sampai nanti, sweety.

Pemaksa! Bagaimana jika ia menuntut Nico jika aku tak menemuinya? Lalu bagaimana jika aku lagi-lagi keluar tanpa seizin Nico? Hal itu benar-benar membuat kepalaku berdenyut. Aku memukul kepalaku pelan, mencoba mulai berpikir dengan jernih. Aku menyentuh beberapa angka yang kuhafal di luar kepala pada layar ponselku. Foto Nico yang tersenyum padaku terpampang di layar ponsel lima inci milikku, membuatku buru-buru membatalkan panggilan.

Aku beranjak dari kamar Nico, melangkahkan kakiku menuju dapur di mana ku lihat Evan tengah berkutat dengan microwave yang terletak di sisi kanan dapur.

Aku berdehem, menginterupsi kegiatan Evan hingga ia memberikan sedikit perhatiannya untukku. “Kak, aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”

“Apa itu?” Tanya Evan sembari mengalihkan pandangannya kembali menuju microwave.

“Begini, aku perlu keluar…” Evan tampak mencurahkan seluruh perhatiannya padaku, membuat tegang. “Hanya sebentar. Aku perlu izinmu kak.” Lanjutku yang dihadiahi tatapan tidak setuju oleh Evan.

“Ayolah kak, hanya sebentar saja. Aku janji.” Atau Nico akan berurusan dengan polisi nantinya, imbuhku dalam hati.

“Kurasa Nico memang harus benar-benar menghancurkan kepala batumu itu, Elena.” Ujar Evan dengan nada yang terdengar kesal.

“Kakak, aku tahu aku salah. Namun kali ini aku harus menemui Andre. Jika tidak sesuatu yang buruk akan terjadi dan...”

Prang!

Sebuah gelas tergeletak tak berdaya, hancur berkeping-keping, membuat air di dalamnya ikut berleleran membasahi lantai sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Tatapanku beralih menuju lelaki di hadapanku yang kini mengepalkan tangannya dengan erat. Kemudian tangan itu dengan cepat memukul meja makan yang sebenarnya tak memiliki salah sama sekali pada lelaki itu.

“Elena!” Suara yang terdengar penuh amarah membuatku berjingkat. “Kau sadar dengan apa yang kau katakan? Apa tidak cukup kau membuat keributan semalam setelah jelas-jelas Nico melarangmu? Apa kau pikir Nico masih akan tetap menyelamatkanmu jika kau masih saja keras kepala seperti ini? Masalahmu bukanlah masalah sepele, Elena. Jika kau masih seperti ini, lebih baik kita pulang atau serahkan saja dirimu pada polisi!”

Aku yakin Evan sangat marah padaku. Dia bukan tipikal orang yang emosional sepertiku dan tindakannya tadi cukup menunjukkan bahwa ia benar-benar berada di luar kendali. Mungkin Andrelah pemicu emosi para lelaki di rumah ini. Entah mengapa mereka begitu sensitif dengan nama itu.

Aku kembali menuju kamar, menimbang-nimbang apa yang harus kulakukan untuk menanggapi ajakan Andre. Sering kali aku menonton drama, bahwa jika si perempuan menuruti apapun yang dikatakan oleh si laki-laki lain demi melindungi kekasihnya. Kurasa bukan hal yang salah jika akupun akan bertindak begitu. Tak akan ada yang terjadi padaku jika aku menemui Andre sekali lagi. Jika tidak, kemungkinan Nico yang akan menanggung segalanya. Padahal aku tahu dia melakukannya demi aku.

Aku akan membulatkan tekad. Aku harus menemui  Andre demi Nico karena dia telah melakukan banyak hal untukku. Sekarang giliranku untuk melakukan sesuatu untuknya.
***
Aku mengoleskan sedikit lipstik agar bibirku tak tampak pucat, tak lupa aku mengenakan kaca mata hitamku sebelum taksi sampai di sebuah kafe tempat janji kami bertemu. Aku sudah terlambat lima belas menit, tetapi aku yakin Andre masih akan menungguku.

Ponsel di tasku berteriak-teriak meminta perhatian. Kulihat nomor Andre terpampang di layar ponselku. Dengan gugup aku menggeser ikon hijau di layar.

“Sebentar lagi aku sampai, dokter.” Ujarku sebelum Andre sempat mengucapkan sesuatu.

“Tenang saja, sweety. Aku masih setia menunggumu di sini.” Kekehan Andre justru membuatku kesal. Tanpa menanggapi perkataan Andre, aku menutup telpon dengan segera. Penggoda!

Hanya dalam hitungan menit, taksi sampai di depan pintu kafe yang didominasi warna pelangi itu. Baru kemarin keributan terjadi gara-gara aku. Hal itu membuatku sedikit merasa sungkan kepada pegawai di kafe itu.

Aku melangkah masuk ke dalam kafe dan segera menyeret kursi yang ada di hadapan lelaki yang kini tengah mengenakan kemeja biru yang lengannya dilipat asal sampai ke siku. Lelaki itu mendongak sambil melempar senyumnya lebar hingga membuat matanya yang sipit nyaris terpejam.

“Apa yang sebenarnya ingin kau bicarakan, dokter?” Ucapku langsung tanpa perlu membalas senyuman lebarnya yang kuakui memang memesona.

“Kenapa kau terburu-buru, Elena. Aku hanya ingin memandang wajahmu untuk yang terakhir kali.” Ujar lelaki itu sambil menunjukkan raut wajahnya yang tampak sedih dibuat-buat. “Panggil saja aku Andre.” Imbuhnya sambil berkedip genit. Entah ada berapa wajah yang dimiliki lelaki itu. Ia sangat ahli mengubah ekspresinya. Mungkin bermodalkan wajahnya itu, ia akan menang banyak jika mencoba bermain poker melawan Alexa, si ratu poker.

“Baiklah, Andre. Kau bilang ingin mengatakan sesuatu? Tolong katakan sekarang, karena aku sungguh tak punya banyak waktu.”

“Jangan terburu-buru sweety, sebenarnya ada seseorang yang ingin bertemu denganmu.” Aku mengernyitkan dahi saat Andre mencoba membuatku penasaran. “Dia teman baikku. Aku ingin mengenalkannya padamu.”

“Untuk apa?” Untuk apa aku perlu mengenal teman-teman lelaki di hadapanku ini? Dia bukan calon suamiku. Akupun tak pernah berpikir akan jadi teman karib lelaki ini.

Pandanganku beralih pada seorang lelaki yang tiba-tiba menyeret kursi dan duduk di samping Andre. Mataku terbelalak menatap lelaki yang mengenakan setelan jas mahal yang melempar senyum sinisnya padaku.

NICO POV
Berulang kali aku mencoba menghubungkan panggilanku pada Elena.  Tetapi ia tak mengangkatnya. Firasatku semakin memburuk ketika lagi-lagi Evan kehilangan Elena untuk kedua kalinya. Kami memutuskan untuk berpencar dan mencari keberadaan si kepala batu itu.

Aku merasa amat sangat geram saat Evan mengatakan bahwa Elena sempat meminta izin untuk menemui Andre. Saat itu Evan menolaknya. Tetapi lagi-lagi si bodoh itu kehilangan adiknya begitu saja.

Ingatanku kembali melayang pada saat aku berulang kali membaca data yang diberikan Dani. Quartz Design. Nama perusahaan yang membuatku menyadari sesuatu. Menurut Dani, Andre memiliki hubungan dekat dengan CEO perusahaan tersebut. Mungkinkah itu alasan Trisia tampak dekat dengan Andre saat semalam aku menghajarnya?

Semakin aku menghubungkan beberapa kejadian yang ada, aku semakin yakin bahwa Andre telah mengetahui sesuatu tentang kecelakaan itu. Dan kemungkinan lelaki itu telak memiliki rencana bersama sahabatnya, Harry.

Ponselku berdering, membuyarkan lamunanku. Foto konyol Evan tersenyum bodoh pada layar ponselku.

“Aku menemukannya di Rainbow Café.” Ujar Evan terburu-buru.

“Baiklah aku…”

“Tapi...” Evan memotong kata-kataku sehingga kuurungkan niatku untuk meletakkan ponselku.

“Ada apa?”

“Firasatku jadi buruk, lelaki itu ada di sini. Aku akan masuk duluan untuk memastikan keadaan Elena. Kau cepatlah kemari.”

Aku melempar ponselku ke bangku penumpang yang ada di sampingku. Menginjak pedal gasku lebih dalam agar segera sampai di tempat tujuan. Aku tahu pasti maksud Evan tentang lelaki itu, dan itulah ketakutan terbesar kami.

Tubuhku terasa kaku saat kusaksikan Evan tengah bersitegang dengan Andre dan seseorang yang tak asing lagi, Harry. Firasatku benar. Mereka berdua telah bersekongkol dan aku lebih mementingkan perasaan untuk menghukum Elena lebih lama dari pada memperingatkannya, hingga semuanya terlambat. Kakiku bagai seonggok beton saat aku memaksa bergerak untuk mendekati meja itu.

“Aku yakin kau salah orang. Adikku tak pernah melakukan hal itu.”

“Tutup mulutmu!” Bentak Harry setelah ia memukul meja di hadapannya. “Dia sudah membunuh adikku. Wanita itu adalah pembunuh! Seharusnya dia mendekam di penjara!”

“Kurasa kau tak perlu mempermalukannya di depan semua orang seperti ini, Harry.” Aku merangkul Elena yang hanya menunduk diam di tempatnya sambil menangis sesegukan. Sementara semua pasang mata tertuju pada keributan ini.

“Apa dia masih punya malu sementara dia terang-terangan mengunjungi kekasih adikku tanpa tahu malu?”

“Kita bisa membicarakan semua ini di tempat lain.” Aku mencoba menenangkan Harry, sementara beberapa kamera ponsel pengunjung kafe telah menyorot pertengkaran kami.

“Untuk apa? Biarkan semua orang tahu bahwa kekasihmu telah membunuh adikku.”

Entah setan apa yang merasukiku, tiba-tiba saja kepalan tanganku menghantam wajah Harry. Lelaki itu tersungkur dan dengan segera ia balas menghantamku. Baku hantam pun terjadi, sementara Evan, Andre dan beberapa pegawai mencoba memisahkan kami. Sejauh yang aku tahu, Elena memang salah, namun lelaki itu tak searusnya mempermalukan Elena dihadapan umum.

Tak berapa lama, tiga orang petugas kepolisian menghampiri kami dan menyerahkan selembar surat yang disodorkan tepat dihadapan Elena. “Anda ditangkap atas tuduhan kelalaian berkendara hingga menyebabkan kematian orang lain.”

Seketika aku merasa tubuhku digodam. Ini sungguh-sungguh bagaikan mimpi untukku. Aku sudah berusaha semampuku untuk menyembunyikan gadis ini dan segalanya sia-sia. Di depan mataku, gadisku—Elenaku, diseret dengan borgol yang mengunci kedua tangannya.

“Elena!” Teriakku memberontak sementara tangan-tangan kekar masih memegang kedua lenganku dengan erat.

ELENA POV
Aku melihat Nico dan Evan yang berusaha menahanku. Meski sesungguhnya aku tak ingin menerima keadaan ini, tetapi aku menyadari bahwa ini adalah hukumanku. Kupasrahkan diriku memasuki mobil polisi yang terparkir tak jauh dari kafe. Beberapa pasang mata tampak memerhatikanku sambil berbisik dan aku yakin mereka sedang membicarakanku—membicarakan Elena yang tengah diseret oleh polisi karena kasus pembunuhan.

Air mataku tak berhenti mengalir sementara mobil semakin melaju meninggalkan Nico dan Evan yang tampak masih beradu dengan Harry. Mataku nyalang menatap borgol yang melingkar di kedua pergelangan tanganku. Hal ini membuatku menyadari bahwa seberapa jauhpun Nico membawaku pergi, seberapa dalampun Evan menyembunyikanku, pada akhirnya bangkai yang coba kusimpan rapat pun tetap akan tercium juga.

Pikiranku kembali pada saat-saat di mana keadaan belum seburuk ini, mungkin memang benar jika seharusnya Nico memecahkan saja kepala batuku ini. Jika saja aku tidak menjadi sok pahlawan. Jika saja aku selalu menuruti apa yang dikatakan Nico dan Evan. Jika saja aku membuang jauh-jauh pikiranku yang keras kepala ini. Namun tetap saja, jika akan tetap menjadi jika kecuali Leo bisa hidup kembali dan memaafkanku karena telah membunuhnya.
***

Ini adalah hal yang sama sekali tak pernah kubayangkan. Menginjakkan kakiku di pengadilan sebagai tersangka. Menantikan vonis hakim di bangku terdakwa. Seorang pengacara hebat telah disiapkan Nico untukku. Tapi apalah artinya seorang pengacara terbaik jika aku masih harus mendekam di balik jeruji besi? Tak akan ada yang berubah.

Aku menatap wajah Nico yang terlihat lelah, tersenyum padaku meski tampak terpaksa. Di sampingnya, Evan pun tak tampak lebih baik. Dan kedua orang itu menderita karenaku. Kuedarkan pandanganku di sekitar tempat duduk, mencoba berharap seseorang yang kunantikan berbaur di bangku penonton persidangan. Mungkin orang tuaku akan berpikir untuk mengunjungiku setelah mereka mendengar kabar pemakamanku.

Sepasang mataku kemudian bertemu dengan sesosok gadis yang baru saja datang bersama dua orang pria yang semuanya kebetulan kukenal. Ketiganya berdiri di pintu ruangan, tampak seperti karakter tokoh film animasi. Trisia dengan wajah datarnya yang tak bisa kupastikan perasaannya, Harry yang menghujamku dengan tatapan sinisnya dan Andre tetap dengan tatapan genitnya.

Waktu berjalan lambat, persidangan berjalan lebih lama dari yang kuduga. Aku tersenyum kecut mendengarkan putusan hakim. Hari ini aku kalah dalam permainan petak umpet yang kuciptakan sendiri. Menyerahkan kebebasanku pada keadilan. Menanti hari yang terus akan berjalan, menanti bulan berlalu, menanti tahun yang akan berganti. Hingga tak akan ada lagi batas yang membuatku terpisah dari Nico, Evan dan orang-orang di sekelilingku.

Bersambung...

Eat. Read. Repeat
Stoples Cerita.

Senin, 17 April 2017

Purple Maple (Empat belas)


ANNA mengemudi dengan tenang, Ia mendengarkan setiap petunjuk arah dari Erin yang duduk di belakangnya. Suara gadis itu pecah dan gemetar. Mungkin karena Diego duduk di sampingnya. Padahal lelaki itu sama sekali tidak melakukan tindakan yang mengintimidasi. Selama perjalanan ia sibuk menghubungi banyak orang melalui ponselnya.

Sampai akhirnya tiba-tiba kalimat Diego terputus. Ia mengakhiri panggilannya dengan kening mengernyit. Erin meminta Anna menghentikan mobil di jalan yang di kenalnya. “Tunggu... bukankah ini indekos Kalila?”

Erin mengangguk cepat. Punggungnya menegang setiap kali mendengar suara Diego. “Tapi Val tinggal di sana,” jawab Erin sambil menunjuk rumah di seberang indekos Kalila. “D-dia memang terobsesi pada Kal. Bahkan meniru penampilan Kal. Kurasa dia sudah sinting. Jadi mungkin saja, kan, kalau dia berusaha melenyapkan Kal.”

Ingatan tentang seorang gadis bergaya seperti Kalila muncul dalam benaknya. Saat itu Diego tidak terlalu memerhatikan ke mana gadis itu pergi setelah meninggalkan indekos Kalila.

“Cepat temui dia,” perintah Diego. “Sekarang!”

Erin tersentak langsung keluar dari mobil. Tetapi Anna masih terpaku. Ia memandang Diego dengan raut wajah khawatir.

Tetapi lelaki itu mengartikan lain. “Tenang saja. Aku tidak akan kabur.”

Tidak sampai sepuluh menit berlalu sejak Erin dan Anna meninggalkan mobil, kedua gadis itu sudah kembali. Dan sayangnya, Valeria tidak ada bersama mereka.

“Kami hanya bertemu pemilik kos. Katanya, Valeria sudah pindah kos beberapa hari yang lalu.” Anna langsung menjelaskan. Sementara Erin kembali duduk meringkuk di samping Diego.

Diego melayangkan tinjunya ke punggung jok di hadapannya, melampiaskan emosinya. Tidak hanya Erin yang terkejut hingga tubuhnya seolah menyusut, Anna juga tidak menyangka Diego akan bereaksi seperti itu.

“Antar aku ke rumah sakit. Lalu aku akan ikut ke kantormu.”

“Tidak,” tolak Anna cepat. “Sebaiknya kau pulang saja ke apartemenmu.”

Ekspresi Diego mengeras. “Tapi aku harus memastikan keadaan Kalila.”

“Kau terlihat buruk, Diego. Kau butuh tidur,” ucap Anna acuh tidak acuh. “Serahkan penyelidikan padaku dan Liza. Kau harus istirahat.”
***

Senada dengan Anna, orang tua Kalila juga terus mendesaknya untuk pulang dan beristirahat. Ayahnya berjanji akan segera meneleponnya jika ada perkembangan dari keadaan Kalila. Maka dengan enggan, Diego berpamitan kepada kedua orang tua Kalila.

Di depan pintu ruang tempat Kalila terbaring, Diego menarik napas dalam-dalam dan bau rumah sakit yang dibencinya membuat dadanya terasa sesak. Tetapi bagaimanapun perasaan bencinya, ia merasa enggan untuk meninggalkan bangunan serba putih itu. Karena di sanalah Kalila berada.

Sejak kecelakaan yang menimpa Kalila, Diego tidak mampu merasakan apa pun selain dingin yang membelenggunya. Seolah jutaan jarum es menusuk sekujur tubuhnya. Bahkan otaknya pun terasa membeku sehingga sulit digunakan untuk berpikir. Sementara tubuhnya hanya bergerak begitu saja tanpa ia sadari. Persis seperti robot yang bergerak sesuai perintah. Seperti malam ini, ia tidak ingat kapan ia membawa dirinya sendiri pulang ke apartemen.

Begitu sadar, Diego sudah berbaring di atas tempat tidurnya. Matanya menatap nyalang ke langit-langit kamar. Tubuhnya tidak mau beristirahat seperti yang diharapkan. Sesekali, ia memeriksa ponselnya yang sedang mengisi daya, hanya untuk memastikan tidak ada pesan atau panggilan yang terlewat.

Hingga akhirnya, saat jarum jam hampir menyentuh jam tiga pagi, Diego terlelap. Dan tiga jam kemudian, dering ponsel meraungi telinganya. Tersentak, ia langsung duduk sambil menjawab telepon. Matanya terpejam paksa karena menantang cahaya matahari yang masuk melalui jendelanya yang tidak tertutup tirai.

“Halo?”

Diego, bisa kau ke kantorku sekarang?

Itu bukan telepon dari orang tua Kalila seperti yang dinantikannya. Melainkan dari Anna. Gadis yang sudah seperti kakaknya sendiri. Detektif tomboi yang membuat Diego tertarik mengambil kuliah tentang hukum.

Kita sudah menemukan Valeria,” sambung Anna lagi tanpa menunggu jawaban Diego.
***

“Di mana dia?” tanya Diego begitu Anna menyambutnya turun dari mobil.

“Ada di ruanganku.”

“Bagaimana kau menemukan dia?” tanya Diego saat mereka berjalan beriringan memasuki kantor.

Anna tidak langsung menjawab. Ia memilih menghentikan langkahnya untuk menjelaskan. “Tadi aku berniat menemuimu di rumah sakit, tapi aku melihat seseorang yang berdiri di seberang jalan. Selama beberapa menit, dia terus memandang lurus ke arah bangunan. Aku menunggu tapi dia tidak melakukan apa pun. Tingkah lakunya tampak mencolok, jadi aku menghampirinya

“Tunggu, siapa ‘seseorang’ yang kau maksud?”

“Dia. Valeria,” jawab Anna. “Orang itu sangat mirip dengan foto yang ditunjukkan Erin. Jadi, aku mengajaknya kemari. Dan dia menurut begitu saja. Walaupun, yah, dia terus saja bungkam. Tidak mau menjawab pertanyaan apa pun. Sekali pun Erin yang mengajaknya bicara.”

Diego mengernyitkan kening. Tetapi ia kembali melanjutkan langkah. Yang sedetik kemudian kembali dihentikan Anna.

“Aku mengatakan ini padamu agar kau bisa menjaga emosi dan jangan bersikap keras padanya. Atau dia tetap tidak akan mau bicara.”

“Aku mengerti, Anna,” jawab Diego sambil melepaskan genggaman Anna di lengannya. Lalu ia bergegas menuju sebuah pintu dengan gantungan kayu bertuliskan Anna & Liza. Tanpa repot-repot mengetuk, ia membuka pintu itu. Dan langsung disambut tatapan tiga orang gadis.

Liza membetulkan letak kacamatanya, lalu mengangguk mempersilakan Diego masuk. Erin langsung menundukkan kepala. Dan seorang gadis dengan gaun terusan bermotif bunga-bunga, berdiri dari duduknya di sofa untuk mendatangi Diego.

“Diego?” bisik gadis itu lirih. Rambutnya yang dikeriting tampak bergoyang-goyang setiap kali ia melangkah. Lalu tanpa dinyana, tiba-tiba ia memeluk Diego. “Val merindukanmu.”

Diego terpaku. Begitu juga Liza dan Erin.

“Bisa kita bicara berdua saja?” tanya Valeria sambil mendongak dengan wajah memelas.

Dengan isyarat mata, Diego meminta Liza dan Erin untuk meninggalkan ruangan. Dan begitu pintu tertutup, Valeria buru-buru melepaskan pelukannya. Sebelum lelaki itu mendorongnya dengan jijik.

“Maaf aku memelukmu.” Takut-takut, Valeria berbisik.

“Jadi, kau... orang yang membobol kamar Kalila?”

Wajah Valeria pias seketika mendengar kalimat Diego yang tanpa basa-basi itu. “Ya. Selama beberapa waktu, kukira aku bisa menjadi seperti Kal. Tapi ternyata aku salah. Kal membuatku menyadari bahwa tidak semua hal sesempurna kelihatannya. Jadi, yah, aku mulai kembali mencintai diriku sendiri sebelum aku benar-benar kehilangan jati diriku.”

Diego mengangguk setuju. “Lalu apa yang kau lakukan di depan rumah sakit?”

“Kemarin aku tidak sengaja melihatmu keluar dari rumah sakit itu.” Ekspresinya berubah sedih. “Dan aku jadi berpikir bahwa sesuatu yang buruk terjadi pada Kal.”

“Ya.” Diego menelan ludahnya yang terasa pahit. “Dia mengalami kecelakaan yang parah.”

Raut wajah Valeria berubah ngeri. “Padahal hari itu... aku sudah berusaha memperingatkannya. Tapi Kal tidak mau mendengar. Aku melihat

“Apa yang kau lihat?” potong Diego tidak sabar.

Valeria memeriksa jendela lalu menutup tirainya. Setelah memastikan semua aman, ia menarik Diego menjauh dari pintu. Lalu ia menarik keluar gumpalan kertas dari dalam tasnya.

“Sebenarnya hari itu aku mau memberikan ini pada Kal,” ucapnya pada Diego yang langsung sibuk membongkar lembaran foto yang sudah kusut itu. Tetapi gambarnya sudah tidak lagi terlihat jelas.

Diego mengernyit. “Apa kau tidak punya salinan foto ini?”

Valeria mengangguk. “Aku sudah menyalin videonya ke sini,” ucapnya sambil menyodorkan ponsel.

Diego menekan tombol play. Mobil Kalila terparkir di antara mobil lainnya. Lalu tiba-tiba datang seseorang dengan gerak-gerik mencurigakan. Diego memicingkan mata. Gambarnya memang tidak terlalu jelas dan sedikit bergetar. Tetapi ia bisa melihat postur tinggi dan ramping orang itu. Dan dengan mudah, ia mengenali bajingan itu.

“Kau lihat, sepertinya dia mendatangi mobil Kal untuk melakukan hal buruk.”

Diego mengangguk. Ekspresinya mengeras. Dan sekarang, keparat, aku yang akan mendatangimu.
***

Gadis itu duduk bersandar sambil memeluk lutut. Pandangannya kosong. Raganya nyata, tetapi jiwanya entah ada di mana. Tiga hari sudah berlalu sejak kejadian menyakitkan itu terjadi. Dan selama itu pula ia hanya terus mengurung diri di kamar. Ia menolak makan, juga tidak mau bicara. Satu-satunya hal yang mampu dilakukannya dengan benar hanyalah bernapas.

Pintu kamarnya kembali diketuk. Ia tetap bergeming. Mungkin itu ibunya, ayahnya, atau salah seorang dari belasan pelayan rumahnya yang terus saja menyuruhnya makan. Tetapi suara lembut yang mengikuti bunyi ketukan selanjutnya, ternyata mampu menghancurkan dinding es yang melingkupinya. Dengan langkah kikuk, ia bergerak membukakan pintu. Dan begitu pintu terbuka, ia mendapati kakaknya berdiri di sana. Lengkap dengan ransel usangnya.

Ia ingin bersorak saat mendapati kakaknya yang sudah hampir satu setengah tahun bersekolah di luar negeri akhirnya pulang demi dirinya. Tetapi ia tidak bisa. Senyum dan tawa sudah meninggalkannya.

Kakaknya berusaha tetap tersenyum seperti biasa. Walaupun penampilan adiknya benar-benar lebih buruk dari dugaannya. Kedua matanya bengkak. Pipinya tirus. Kulitnya pucat. Tetapi bagaimanapun, itu adalah adik yang disayanginya. Mereka nyaris berbagi segala hal bersama. Hingga tidak ada lagi rahasia di antara mereka.

‘Apa kabarmu, Adik kecil?’ Ia selalu memanggil adiknya seperti itu. Walaupun sebenarnya usia mereka hanya terpaut satu tahun.

Tetapi adik kecilnya tidak menjawab.

Dan ia tidak kuasa mendesak. Maka ia hanya mampu menuntun adiknya kembali ke kamar. Mereka duduk di tepi tempat tidur berseprai merah muda, warna kesukaan adiknya.

‘Aku membawa donat matcha dan jus stroberi kesukaanmu,’ ucapnya sambil membongkar ranselnya. ‘Kau pasti suka.’

Adiknya hanya menjawab dengan anggukan kecil. Tetapi itu sudah lebih dari cukup. Ia membukakan tutup botol minuman dan adiknya menerima dengan tangan gemetar. Dan ia melakukan itu secara berulang selama seminggu penuh. Membawakan makanan kesukaan adiknya, menyelimuti adiknya saat tidur. Hingga akhirnya kondisi adiknya tampak membaik.

Mengetahui perkembangan itu, membuat kekhawatiran kedua orang tua mereka sedikit berkurang. Malam itu, pasangan suami istri itu kembali menemui putri mereka setelah sekian lama.

‘Jadi, kapan kau akan kembali ke sekolah?’ tanya ayahnya. ‘Kakakmu juga tidak bisa terus menerus berada di sini untuk mengurusmu. Dia harus kembali ke sekolah.’

Putri mereka tetap bungkam.

‘Jangan terus diam, Sayang,’ sambung ibunya. ‘Bukankah kau sendiri yang ingin sekolah di sana agar bisa tinggal bersama nenekmu?’

Lima belas menit kemudian, mereka sudah keluar dari kamar dengan tangan hampa. Tidak satu pun kata terucap dari bibir anak mereka.

Dan keesokan paginya, sang kakak sudah siap dengan kue ulang tahun untuk memberi kejutan pada adiknya. Tetapi malah ia yang terkejut saat menemukan adiknya sudah terbujur kaku. Terlalu banyak obat tidur yang ditelan adiknya. Hingga tanpa perlu menunggu hasil pemeriksaan dokter, ia tahu adiknya sudah pergi untuk selamanya.

Setelah pemakaman adiknya, ia nekat mengendarai mobilnya menuju sekolah adiknya. Dua jam perjalanan ia lalui dengan air mata yang tidak berhenti mengalir. Yang hanya mampu disembunyikan kacamata hitam.

Begitu tiba di gerbang sekolah elite itu, ternyata bel pulang sekolah sudah berbunyi. Tidak banyak siswa yang masih tinggal di sekolah. Perhatiannya terpaku pada seorang gadis yang tampak  kesal menunggu jemputannya yang belum juga datang. Melihat dari penampilan seragamnya yang tidak terlalu menaati perturan sekolah, sepertinya gadis itu cukup ‘berkuasa’ atau setidaknya mengerti gosip seputar lingkungan sekolahnya.

Tanpa disangka-sangka, gadis itu langsung bangkit dari duduknya. Seolah menyambut ia yang turun dari mobil sedan dua pintu itu. Senyum lebar penuh minat tergambar di wajah gadis itu.

‘Hei, boleh temani aku mengobrol?’ Ia melontarkan basa-basi. ‘Aku sedang menunggu teman.’

Gadis itu mengangguk. ‘Silakan,’ ucapnya lantas kembali duduk dan menepuk tempat di sebelahnya. ‘Aku juga sedang menunggu dijemput.’

Ia membuka pembicaraan mereka dengan hal-hal yang umum. Hingga perlahan-lahan menuju ke arah yang diingkannya.

‘Apa di sini sering terjadi hal seperti pemalakan atau bullying?’

Kening gadis itu mengernyit miris. ‘Se-sepertinya tidak ada.’

‘Oh, baguslah. Karena aku sangat membenci hal seperti itu,’ ucapnya. ‘Maka dari itu aku melakukan studi tentang hal ini. Kukira di sini ada semacam geng atau orang yang sok berkuasa dan suka menindas orang lain. Jadi kau bisa menjadi narasumberku.’

‘Oh... kalau yang seperti itu ada.’

Got you!  ‘Oh, ya? Siapa namanya?’

‘Namanya... Kalila.’ Gadis itu menjawab dengan polosnya.

Ia langsung mengingat-ingat nama itu dalam benaknya. ‘Apa dia atau gengnya baru-baru ini melakukan sesuatu pada murid lain?’

Hem... ya. Kalau tidak salah, nama cecanak itu Emily, Felin, atau Evelyn begitu.’

Jawaban itu seperti sebuah tinju di dadanya. ‘Apa ada korban lain?’

‘Seingatku, cuma itu.’

‘Baiklah. Kalau begitu, terima kasih, ya, hem, siapa namamu?’

Gadis itu memasang senyum manis. ‘Namaku Sharon.’
***

Sharon tidak menyangka. Gara-gara sopirnya yang bodoh terlambat menjemputnya dengan alasan ban mobil bocor, ia jadi bisa bertemu dengan seseorang yang luar biasa.

Pertanyaan orang itu membuat ingatan Sharon terpanggil ke kejadian beberapa minggu yang lalu. Saat itu seorang cecunguk menabrak dan menumpahkan susu ke seragam mahalnya. Ia tidak bisa menerima permintaan maaf begitu saja. Cecunguk itu harus diberi pelajaran setimpal.

Maka Sharon mengajak teman-teman gengnya untuk menyeret cecunguk itu ke kamar mandi. Ia menjambak rambut dan menampar anak itu biar jera. Dan terakhir, ia menyirami seragam anak itu dengan setengah ember air pel sebagai ganti seragamnya yang kotor. Teman-teman yang lain mendukungnya. Tentu saja, semua menghormatinya. Semuanya kecuali si sombong Kalila.

Tetapi Sharon tidak mau menunjukkan dominasinya di depan orang tadi. Karena sepertinya ia bukan tipikal orang yang menyukai gadis yang tegas. Jadi, tidak masalah, kan, kalau Sharon meminjam nama Kalila? Lagi pula Kalila memang ada di sana. Walaupun gadis itu selalu sibuk dengan kata-katanya. ‘Teman-teman, hentikan!’ atau ‘Sharon, ini sudah cukup!’. Dasar sok suci!

Oh, iya, siapa tadi nama lelaki itu? Scott, Elliot, atau Charlotte? Entahlah. Sharon bisa menanyakannya saat mereka bertemu kembali.
***

Seluruh jendela di ruangan itu tertutup tirai tebal berwarna abu-abu nyaris hitam. Sementara semua saklar lampu dalam posisi off. Satu-satunya sumber cahaya adalah televisi yang tengah menayangkan berita kecelakaan sebuah mobil mahal berwarna ungu. Aroma wiski dan mie instan basi menggumpal di udara. Siapa pun yang berada di ruangan itu pasti merasa mual.

Walaupun itu tidak berlaku untuk seseorang yang terdiam seperti kentang di atas sofa. Meja di hadapannya penuh dengan botol-botol wiski kosong dan gelas karton bekas mi instan. Penampilannya berantakan. Kulitnya kering. Wajahnya pucat. Matanya nanar. Pakaian yang dikenakannya adalah pakaian yang sama dengan lima hari yang lalu. Selama beberapa hari ini, Elliot hidup seperti itu.

Ia sama sekali tidak ingat nama ataupun rupa orang yang sudah memberinya informasi tentang orang yang menindas Evelyn. Tetapi ia sama sekali tidak pernah melupakan nama orang yang sudah menyebabkan kematian adiknya itu. Kalila.

Dengan membawa dendam itu, Elliot kembali ke Amerika untuk menyelesaikan sekolahnya. Itu adalah bentuk tanggung jawabnya untuk pendidikan yang diinginkan ayahnya. Ia juga tidak ada niat untuk mengecewakan kedua orang tuanya yang sedang bersedih karena kepergian adiknya.

Dan setelah lulus, alih-alih melanjutkan kuliah di negara adidaya itu, ia memilih untuk pulang. Ayahnya menentang keputusannya tentu saja. Bagi ayahnya, seorang lelaki harus hidup mandiri dan menuntut ilmu di tempat terbaik.

Untuk pertama kalinya, Elliot tidak menghiraukan ucapan ayahnya. Semuanya demi membayar lunas kematian Evelyn.

Dengan segala kuasa dan koneksi yang dimiliki keluarganya, ia berhasil mendapatkan info terbaru tentang Kalila. Ia juga berhasil ditempatkan di kelas dan universitas yang sama dengan gadis itu. Tanpa membuang waktu, ia langsung melancarkan serangan dengan mendekati Kalila. Sialnya, gadis itu cukup sulit untuk didapatkan. Belum lagi, muncul gadis bernama Erin yang menarik perhatiannya. Karena entah bagaimana, Erin mengingatkannya pada Evelyn.

Elliot berusaha fokus pada tujuannya. Ia mengabaikan segala hal. Termasuk perasaannya. Bahkan ia dengan teganya, meletakkan anting Erin di dalam mobil Kalila. Agar jika polisi mencurigai ada yang tidak wajar dari kecelakaan itu, ia tidak akan menjadi tersangka utama.

Dan setelah rencananya berhasil. Lalu sekarang apa?

Selama berhari-hari, itulah yang selalu Elliot tanyakan pada dirinya sendiri. Karena setelah semua ‘pengorbanannya’, ia sama sekali tidak merasa bahagia. Ia juga tidak merasa puas. Atau bangga karena berhasil membalaskan dendam pada orang yang sudah menyebabkan kematian adiknya.

Yang ada ia justru merasa hampa. Seolah ada lubang besar di dalam dadanya yang kosong. Dan sedikit demi sedikit penyesalan memenuhi ruang kosong itu.

Tetapi untuk apa lagi ia menyesal? Kalila sudah mengalami kecelakaan seperti yang diinginkannya. Itulah yang ia lihat di televisi. Bahkan mungkin sekarang gadis itu sedang sekarat atau mungkin sudah bertemu Evelyn di akhirat.

Saat Elliot hendak menenggak isi botol wiskinya lagi, ia mendengar pintu apartemennya digedor kuat berkali-kali .
***

Kegelapan masih membelenggunya. Hanya menyisakan rasa sakit. Lengannya. Kepalanya. Sekujur tubuhnya terasa seperti ditusuk-tusuk sekaligus membara. Perlahan, ia mencoba menggerakkan kelopak matanya agar terbuka, tetapi ia tidak bisa.

Mungkin ia sudah mati.

“Hai, Lil Princess.”

Telinganya menangkap suara yang dikenalnya. Tetapi kenapa suara itu terdengar seperti kesakitan? Seolah orang itu bisa merasakan apa yang dirasakan Kalila saat ini.

“Tidurlah walau hanya lima menit, Nak. Ini sudah jam 3 dini hari.”

“Tidak apa-apa,” tolak Diego keras kepala. “Aku tidak mau menginggalkan Kalila.”


“Pelakunya sudah tertangkap. Setidaknya kau harus memberi tubuhmu istirahat.”

Suara itu! Suara yang sangat ia rindukan. Samar-samar terdengar juga tangis tersedu-sedu, di belakang percakapan antar dua lelaki berbeda usia itu. Dan Kalila yakin itu suara tangis ibunya. Papa dan Mama ada di sini bersamanya.

Sekuat tenaga ia mencoba meraih kesadaran. Ia mencoba. Terus mencoba. Lagi-lagi kegelapan menenggelamkannya. Ia melawan. Ia ingin bertemu Diego. Ia ingin bertemu orang tuanya. Tubuhnya menentangnya. Dan ia ditarik semakin dalam hingga kembali tidak sadarkan diri.

“Kenapa dia belum bangun juga?”

Suara itu membuat kegelapan di sekitar Kalila sedikit memudar. Tetapi ia belum bisa mengenali waktu. Ia hanya mampu mendengarkan suara-suara di dekatnya.

“Kalila mengalami luka yang cukup parah di kepalanya. Tapi itu tidak menganggu kinerja otaknya. Dia akan segera bangun. Kita hanya harus memberinya waktu sampai dia siap.”

“Bagaimana dengan lukanya yang lain, Dokter?” Itu suara Papa.

“Semuanya berangsur membaik. Rusuknya yang memar dan tulang kakinya yang retak sedang dalam proses pemulihan. Kita berharap Kalila bisa sembuh secepatnya.”

Suara dokter itu terdengar tenang. Sangat tenang. Seperti alunan musik yang membuat Kalila kembali dalam kegelapan.

Kepalanya seperti ditekan kuat-kuat. Nyeri. Kemudian, saat rasa sakit itu menembus kegelapan dan menariknya. Ia dibawa pada rasa sakit yang lain. Ia menjerit, tetapi suaranya tidak keluar.

Kegelapan lenyap dan digantikan cahaya putih terang. Sebuah ruang putih yang asing. Terdengar bunyi bip yang bising. Kepala dan dadanya terasa nyeri. Selebihnya, ia mencoba menggerakkan anggota tubuhnya. Ia memekik senang saat tangannya yang diinfus memberi respon. Tetapi suaranya terhambat. Kemudian ia mencoba memutar kepalanya. Dan sekali lagi ia bersyukur karena kepalanya bergerak sesuai keinginannya.

Kalila terbaring di tempat tidur dengan besi pengaman di salah satu sisi. Di sisi yang lain, Diego tengah tertidur. Lelaki itu duduk di samping tempat tidurnya. Kepalanya berbantalkan lengannya yang terlipat. Perlahan, Kalila kembali menggerakkan tangannya. Ia mengusap lembut kepala lelaki itu.

Diego terjaga dengan terkejut. Ia berdiri dengan cepat, hingga tangan Kalila terjatuh kembali ke atas tempat tidur. Tubuhnya membeku. Mulutnya ternganga. Matanya yang dikelilingi garis menghitam terbelalak. Dan beragam perasaan lega dan tidak percaya berkelebat cepat di sana.

Susah payah, Kalila mencoba tersenyum dengan slang terpasang di mulutnya. Ia hanya ingin memberi tanda pada Diegodan dirinya sendiribahwa ini bukan mimpi.

“Lil Princess?” Suaranya tersedak sekaligus merasa lega. Lelaki itu meraih dan menggenggam tangan Kalila yang tadi mengusap rambutnya. Dan saat itulah Kalila merasa dirinya melayang-layang, hingga semua sakit berangsur menghilang.