LANGIT di hari Jumat ini berwarna biru terang. Hanya
sedikit gumpalan awan yang mengapung di atas sana seperti gulali tipis. Tidak
cukup banyak untuk menghalangi sinar matahari yang juga tidak terlalu terik.
Tidak seperti biasanya, hari ini Kalila datang
mengendarai mobilnya. Ia akan pergi ke pusat perbelanjaan seusai kuliahnya hari
ini. Sepertinya ia membutuhkan beberapa potong pakaian untuk menunjang
penampilannya. Karena besok ia akan bertemu dengan Diego. Tepat di hari ulang
tahunnya. Sesuai janjinya tempo hari.
Setelah menutup pintu mobilnya, Kalila menekan tombol
pada kunci mobil yang digenggamnya. Membuat kendaraan berwarna kecubung itu
berbunyi tanda pintunya sudah terkunci.
Sekitar dua atau tiga langkah meninggalkan mobilnya, ia berpapasan
dengan Erin yang terlihat berbeda hari ini. Kedua matanya tampak sembab. Dan
juga penampilannya yang didominasi warna abu-abu. Kecuali antingnya yang
berbentuk bintang. Warnanya serupa langit siang ini.
Mengabaikan itu semua, Kalila lantas memasang senyum dan tangannya
melambai ringan.
“Hai, Erin.”
“Hai, Kal,” balas Erin sambil memaksakan semangat dalam
suaranya. Kemarin ia bertengkar hebat dengan Elliot. Dan setelah menangis
sepanjang malam, ia menyadari kesalahannya. Elliot benar. Ia tidak berhak—belum
berhak—ikut campur apa pun yang menjadi urusan lelaki itu. Jadi, ia berniat
menemui Elliot untuk meminta maaf.
Elliot dan Kalila memang memiliki jadwal kuliah yang
sama. Erin tahu itu. Ia tahu segala hal tentang Elliot. Tetapi kenapa ia harus
bertemu Kalila dalam penampilan seburuk ini? Apalagi gadis itu tampak menawan
dengan coat panjang berwarna abu-abu.
Senada dengan warna penampilannya
sendiri. Tetapi entah mengapa, Kalila terlihat sempurna.
Ah, benar juga. Pantas saja Elliot lebih tertarik pada—
“Tumben kau lewat jalan ini,” sambung Erin cepat.
Sekaligus untuk menghentikan pikiran buruknya. Sebelum ia benar-benar
kehilangan kadar kepercayaan dirinya yang sudah menipis.
“Hari ini aku bawa mobil,” ucap Kalila sambil menunjuk
melewati bahunya.
Erin mengikuti arah yang ditunjuk Kalila. Sebuah mobil
mungil yang tampak sederhana. Tetapi ia tahu benar bahwa harga mobil itu tidak
sesederhana penampilannya. Dan sepertinya itu edisi terbatas yang hanya
diproduksi sebanyak 77 unit di dunia.
“Oh, kukira kau tidak bisa menyetir.”
Kalila tertawa kecil. “Biasanya aku malas bawa mobil.
Sulit mencari tempat parkir.”
Terpaksa, Erin ikut tertawa. “Ya, ya. Kau benar.”
“Kalau begitu, aku ke kelas dulu, ya,” pamit Kalila
sambil mulai kembali mengambil langkah.
“Oke, oke. Selamat kuliah, Kal.”
“Terima kasih,” balas Kalila sambil tersenyum.
Setelah Kalila pergi, Erin masih tertegun. Cantik,
pintar, dan kaya raya. Jika melihat
Kalila, rasanya segala hal membanggakan yang dimiliki Erin menjadi tidak
berarti apa-apa. Siapa yang bisa menandingi gadis itu? Ia dan juga Lory tidak
akan sebanding dengan Kalila. Kecuali kalau gadis musim gugur itu lenyap.
Erin masih tenggelam dalam pikirannya. Hingga ia melihat
seseorang turun dari mobil berwarna silver
stone.
***
Wow.
Ia berdecak kagum saat melihat salah satu mobil yang terparkir di sana. Mobil itu
memiliki bentuk yang tidak pasaran. Sehingga langsung bisa menarik perhatian di
antara jajaran mobil lainnya. Tanpa harus bersusah payah untuk tampil mencolok.
Tempat parkir fakultas dipadati berbagai jenis
mobil. Tetapi
sepi dari sebagian besar
mahasiswa
yang saat ini sedang
menempuh kuliah di jam siang ini. Ia sudah memperhitungkan itu. Dari balik
salah satu mobil berwarna hitam, ia bersembunyi untuk mengamati. Bahkan
lengannya yang membawa kamera teracung, membidik pada mobil yang dikaguminya. Mobil itu milik Kalila, tentu saja.
Ia mengambil beberapa kali jepretan. Kalau sudah seperti ini, ia benar-benar merasa
seperti stalker.
Ia mungkin saja mampu membeli ponsel seperti milik
Kalila. Sedangkan mobil...
rasanya sedikit mustahil. Kalila benar-benar seperti tokoh dalam negeri dongeng
yang selalu diimpikan oleh gadis di dunia nyata. Tetapi setidaknya ia bisa
memiliki foto mobil itu. Sambil berandai-andai suatu hari nanti bisa
memilikinya.
Tepat saat itulah seseorang memasuki area bingkai bidikannya.
Ia merundukkan
tubuhnya, menyembunyikan lebih banyak sosoknya. Tetapi ia masih mengintip
melalui lensa kamera sakunya di antara celah mobil yang bersisian. Apalagi tadi
ia memang sudah mengambil posisi paling pas. Cukup jauh
untuk bersembunyi.
Sekaligus cukup dekat untuk
memerhatikan.
Keningnya mengernyit. Sepertinya ia pernah melihat orang
itu sebelumnya.
Oh, bukankah itu orang yang pernah dilihatnya
bersama Kalila?
Orang itu tampak gelisah sekaligus waspada. Beberapa kali ia
menoleh ke sekeliling. Seolah takut ada yang mengikuti atau mengawasinya.
Kedua tangan orang itu yang dibalut sarung tangan menyentuh kap mobil Kalila. Perlahan, sambil tetap memerhatikan sekitarnya. Hingga akhirnya ia tiba di samping pintu pengemudi. Sesaat, orang itu menunduk, mengintip ke dalam mobil.
Setelah memastikan tidak ada seorang pun
di dalam,
ia melakukan sesuatu pada pegangan pintu mobil. Dan tidak sampai lima menit kemudian, pintu itu terbuka.
Si stalker terperangah. Hampir
saja kameranya terjatuh dari genggaman. Saat melihat itu semua. Ia lantas
menekankan telapak
tangannya ke mulut. Mencegah dirinya sendiri
untuk memekik. Sementara
tangannya yang lain berusaha tetap menekan tombol rekam dan menangkap gambar.
Ia tidak tahu apa tujuan orang itu membobol mobil Kalila. Tetapi entah
mengapa, ia merasakan firasat buruk. Yang membuat sekujur tubuhnya gemetar. Ia harus segera memperingatkan Kalila. Karena
ia tidak mau gadis itu dalam bahaya!
***
Setidaknya ada tiga potong skinny jeans, tujuh potong blus, dan lima jenis blazer yang
berpindah dari maneken pajangan toko ke dalam kantung kertas yang Kalila bawa
pulang ke indekosnya. Bukan bermaksud boros. Tetapi tadi ia benar-benar tidak
bisa memutuskan dengan benar. Semua pakaian itu tampak cantik di matanya.
Sudah lama ia tidak berbelanja sebanyak ini. Dan sekarang
ia melakukan itu hanya demi penampilan terbaiknya di hadapan seorang Diego.
Sungguh. Lelaki itu memberi dampak buruk bagi dompetnya.
Baru saja dipikirkan, panggilan lelaki itu membunyikan
ponsel Kalila. Tepat saat ia baru saja turun dari mobil dengan sekumpulan tali
kantung belanja menggantung di kedua genggamannya.
Kalila membebankan seluruh bawaannya ke tangan kanan.
Sementara tangan kirinya menyusup ke dalam tasnya. Meraih ponselnya yang masih
terus membunyikan ringtone khusus
yang dipilih Kalila untuk menandai panggilan dari Diego.
“Halo?” sapa Kalila begitu ponselnya menempel di telinga.
“Bagaimana? Kau
merindukanku sekarang?”
“Tidak,” jawab Kalila. Ia terkikik mendengar keceriaan
Diego yang mulai meredup.
“Kalau begitu, bisa
kita bertemu sekarang?” tanya Diego seolah tidak peduli dengan apa pun
jawaban Kalila.
“Tidak bisa,” tolak Kalila dengan tegas.
“Ada sesuatu yang
ingin kukatakan padamu—“
“Sekali tidak, tetap tidak.”
“Kau tidak
penasaran dengan apa yang ingin kukatakan?”
“Katakan saja sekarang,” ucap Kalila sambil berhenti
sejenak di ujung tangga lantai dua. Ia membenahi letak kantung-kantung
belanjanya yang sedikit merosot. Kemudian ia menapaki anak-anak tangga yang
akan membawanya ke lantai tiga.
“Tidak bisa. Aku
harus mengatakannya langsung di hadapanmu.”
“Kalau begitu, katakan saja—apa pun
itu—saat bertemu denganku besok.”
Untuk beberapa detik tidak adajawaban. Tetapi kemudian
terdengar embusan napas berat tanda menyerah. “Sudah kuduga. Kau tetap tidak bisa dirayu. Dasar keras kepala.”
Saat menyetujui ajakan Diego tempo hari, Kalila
mengajukan syarat. Bahwa mereka tidak akan bertemu sampai hari ulang tahunnya
di tempat yang disebutkan Diego. Ia juga melarang Diego menemuinya di kampus. Bahkan
ia juga tidak mau lelaki itu menjemputnya. Ia akan datang dengan mengendarai
mobilnya sendiri.
Bagaimanapun, ia belum memercayai Diego sepenuhnya. Ia
tidak tahu bentuk perhatian lelaki itu didasari perasaan apa. Memang benar
waktu-waktu yang mereka jalani bersama selalu menyenangkan. Tetapi justru
Kalila merasa takut. Takut untuk berharap tetapi berujung kecewa. Jadi, ia
harus menjaga jarak yang cukup untuk itu.
“Bukan keras kepala. Tetapi aku memegang teguh pendirianku,”
koreksi Kalila pada kalimat Diego.
“Teserah kau saja,
Lil Princess,” sahut Diego pasrah. “Jadi,
sekarang apa yang sedang kau lakukan?”
“Tidak ada yang istimewa,” jawab Kalila sedatar mungkin.
Ia mempercepat langkah agar segera tiba di kamarnya.
Diego mengembuskan napas. Terdengar kecewa. “Kukira kau sedang melakukan perawatan di
salon. Atau membeli beberapa pakaian baru.”
Kalila mengerjap mendengar itu. Tuduhan Diego tepat
sasaran. Ia baru saja berbelanja. Dan nanti sore ia sudah mengatur jadwal untuk
melakukan perawatan di salah satu salon kecantikan. Apa semudah itu pikirannya
terbaca? “U-untuk apa aku melakukan itu semua?”
“Karena besok kau
akan menghabiskan waktu bersamaku. Di tempat yang sangat indah. Sampai-sampai
kau merasa sedang berada di alam mimpi.”
Kalila tertawa kecil. “Tidak mungkin ada tempat se—“
Pintu kamarnya sedikit terbuka. Kamar 307. Kalila
terpaku.
Kalila menggelengkan kepala. Ia mencoba menekan jauh
ketakutan yang dirasakannya. Ada seseorang di kamarnya. Dan bagaimana jika
orang itu mencoba melakukan hal buruk padanya?
Menyadari perubahan itu, Diego mencoba menggugahnya
melalui suara. “Ada apa, Lil Princess?”
Kalila mundur beberapa langkah. Ia menangkupkan telapak
tangan untuk menutupi bibirnya. Lalu ia berbisik pada ponselnya. “Sepertinya
ada seseorang di kamarku.”
Hawa dingin menjalari tengkuk Diego. Ia hafal sifat
Kalila. Gadis itu pasti tidak akan mau menunggu seseorang untuk melindunginya.
Ia tahu kata-katanya tidak akan didengar. Tetapi tidak ada salahnya untuk
dicoba. “Tunggu! Aku akan ke sana
sekarang! Jangan masuk sendirian! Setidaknya carilah bantuan! Pemilik kos atau
temanmu—siapa pun!” seru Diego dengan panik.
Seperti dugaan Diego, Kalila mengabaikan peringatannya.
Gadis itu melangkah cepat dan membuka lebar pintu kamarnya dalam satu dorongan.
***
Awalnya, ia ingin mendatangi Kalila dengan cara yang
lebih baik. Tetapi gadis itu tidak menjawab satu pun panggilannya. Maka ia
memutuskan untuk langsung datang ke rumah indekos Kalila. Tetapi berapa kali
pun ia mengetuk pintu, gadis itu tidak juga membuka pintunya.
Ini aneh. Karena seharusnya hari ini Kalila tidak ada
kegiatan lain selain mengikuti satu mata kuliah. Maka ia mengeluarkan duplikat kunci miliknya
dan masuk ke dalam kamar yang sudah sangat dikenalnya itu.
Ia harus melakukan ini secepat mungkin. Karena ia tidak
tahu kapan Kalila akan pulang. Yang perlu dilakukannya hanya menyelesaikan
urusannya lalu pergi. Tadinya ia berencana akan menyimpan video yang direkamnya
ke dalam flashdisk. Tetapi ia ragu
Kalila akan penasaran dan membuka data dalam benda itu. Maka ia mencetak tiga
lembar foto untuk diletakkan ke atas meja belajar Kalila. Foto yang menampilkan
seseorang yang membobol mobil Kalila. Memang tidak terlalu jelas karena diambil
dari jauh. Tetapi ia yakin Kalila pasti mengenali seseorang di foto itu.
Tetapi tiba-tiba ia tersentak saat terdengar bunyi gagang
pintu yang membentur dinding dengan keras. Punggungnya menegang. Dan secara
spontan ia meremas lembaran foto yang belum sempat menyentuh meja di
hadapannya. Lalu menyurukkannya ke dalam saku coat panjangnya. Coat
yang mirip seperti yang dimiliki Kalila.
Ia berbalik dan mendapati Kalila berdiri di ambang pintu.
Menghujamnya dengan tatapan tidak percaya.
“Valeria?” Kalila menyebut namanya. Kedua mata gadis itu
membelalak. Dan raut wajahnya tampak terluka seakan merasa terkhianati. Nada
suaranya menajam. “Apa yang kau lakukan di kamarku?”
“Um, K-kal...”
Kalila tidak memberi Valeria kesempatan untuk bicara.
Tatapan gadis itu memelesat pada kunci yang masih terpasang di pintu. Ia
mencabut kunci itu lalu mengulurkannya kepada Valeria.
“Kunciku... dari mana kau mendapatkan kunci ini?”
Valeria tergeragap. Udara di sekelilingnya mendadak sulit
dihirup. Ia meremas-remas ujung pakaiannya.
“Jawab, Val,” desak Kalila. Gadis itu masih tidak habis
pikir. Untuk apa Valeria menyusup ke dalam kamarnya. Tidak ada barang berharga
yang bisa dicuri. Tetapi karena perbuatannya, Kalila sampai harus kehilangan waktu
istirahatnya yang berharga karena terus merasa gelisah. Dan untuk itu, ia
membutuhkan penjelasan.
“Wa-waktu itu... kau menabrak seseorang di kantin,” mulai
Valeria dengan suara gemetar. Kepalanya menunduk. Matanya masih melirik
takut-takut pada Kalila. “Kau menjatuhkan kuncimu. A-aku memungutnya—“
“Kenapa kau tidak langsung mengembalikannya padaku?”
potong Kalila tidak sabar.
“Aku sudah mencoba mengiku—mengejarmu.
Tapi kau melangkah terlalu cepat.”
Kalila menggeleng. “Itu bukan alasan yang bagus,
Valeria.”
“Ja-jadi aku menduplikat kuncimu. Lalu menyuruh seseorang
untuk berpura-pura menabrakmu dan menjatuhkan kunci asli milikmu. Sebelum kau
menyadari kalau kuncimu hilang.”
Kalila ingat hari itu. Hari di mana ia menabrak Diego di
kantin. Lalu seorang gadis memakinya habis-habisan. Dan Elliot yang terus
berusaha mendekatinya. Oh, dan juga ada seseorang lain yang menabraknya. Orang
itu menunduk dalam berkali-kali hingga mau tidak mau Kalila melihat ke lantai
dan menemukan kunci indekosnya tergeletak di sana. Ia pikir kuncinya terjatuh
saat ia bertabrakan dengan lelaki berkacamata itu. Tetapi ternyata ia salah
menduga.
“Lalu apa sudah kau temukan apa yang kau cari?” tanya
Kalila dengan ekspresi terluka.
Valeria menggeleng kuat menyadari tuduhan Kalila. Tetapi
ia bukan pencuri. “Aku tidak mencari apa pun. A-aku hanya ingin tahu seperti
apa kamarmu.”
“Sekarang kau sudah tahu seperti apa kamarku. Jadi, bisa
kau pergi? Kau pasti sudah tahu di mana pintu keluarnya,” pungkas Kalila dengan
dingin.
“T-tunggu, Kal,” ucap Valeria sambil mengangkat kedua
tangannya ke depan dada. Lalu ia bergerak seolah sedang mendorong udara di
hadapannya. Dengan harapan emosi Kalila bisa mereda. “Aku ke sini untuk
memberitahumu—“
“Lain kali saja, Val,” tolak Kalila. Kerutan dalam muncul
di keningnya. “Pergilah. Sebelum aku berubah pikiran dan melaporkan perbuatanmu
sebagai tindakan kriminal.”
“Tapi, k-kau mungkin saja dalam bahaya—“
“Satu-satunya yang membahayakan bagiku saat ini adalah seseorang
yang diam-diam masuk ke kamarku tanpa izin. Entah apa yang dilakukannya.”
Seketika itu juga, Valeria bungkam. Ia mengerti bahwa
dirinyalah yang dimaksud Kalila. Tetapi ia bersyukur karena akhirnya ia bisa
melihat sisi lain dari seorang Kalila. Ternyata gadis itu tidak sesempurna
dalam bayangannya. Di saat seperti ini Kalila malah bersikap egois dan tidak
mau mendengarkan orang lain.
Valeria meninggalkan kamar itu dengan langkah gontai. Tidak
sepatah kata pun ia ucapkan. Tidak sedikit pun ia mengangkat wajah untuk
melihat Kalila—sosok yang selalu dipujanya. Setidaknya, sampai beberapa
detik yang lalu.
***
Diego mendengarkan rangkaian percakapan itu dengan
saksama melalui sambungan telepon yang belum terputus. Dengan geram ia
mencengkeram roda kemudi mobilnya. Benaknya dipenuhi kekhawatiran. Ia takut
sesuatu yang buruk terjadi pada Kalila.
Lelaki itu membelokkan setirnya memasuki jalan tempat
indekos Kalila berada. Ia menghentikan mobilnya di depan rumah tiga lantai
bercat krem itu. Lalu saat ia hendak meraih ponselnya dari jok di sampingnya,
ia tertegun.
Seseorang keluar dari pagar rumah itu dengan wajah
tertunduk muram. Untuk sedetik, Diego mengira itu adalah Kalila. Jika melihat
dari gaya penampilannya. Tetapi kemudian ia menyadari bahwa ia salah.
Diego mengambil ponselnya, mematikan mode loudspeaker, dan menempelkannya di
telinga.
“Halo? Lil Princess?” panggilnya dengan suara sedikit
lebih keras. Berharap gadis itu bisa mendengar suaranya.
“Ya?” Suara
gadis itu terdengar parau. “Kukira kau
sudah menutup teleponnya.”
“Kau mau aku menjemputmu sekarang?”
“Tidak usah,” tolak Kalila. Walaupun jantungnya
masih terasa melompat-lompat dalam dadanya. Seolah memompa banyak darah untuk
memenuhi kepalanya. “Kita tetap bertemu
besok. Sesuai rencana.”
“Kau yakin?” suara Diego terdengar ragu-ragu. Ia
memandang pintu rumah itu lekat-lekat.
“Ya,” jawab
Kalila mantap. “Kau sebutkan saja di mana
lokasinya.”
***
Setelah melakukan serangkaian prosesi memanjakan diri,
Kalila akhirnya bisa merdeka dari otot-ototnya yang menegang. Malam itu, ia
bisa tidur dengan nyenyak. Tentu saja setelah memastikan pintu kamarnya
terkunci dengan benar. Ia berencana akan pindah ke tempat lain setelah hari
ulang tahunnya besok.
Tepat saat pergantian hari, samar-samar ia mendengar ponselnya
berdering. Tetapi bunyi itu hanya mampir ke dalam mimpinya sebagai lagu
pengiring. Sama sekali tidak mengusik kualitas tidur terbaik yang sudah lama
tidak didapatkan Kalila.
Tetapi berangsur-angsur kesadarannya berkumpul. Dan ia
membuka matanya begitu menyadari ringtone
itu menandakan panggilan siapa. Kalila menggapai-gapai ponselnya di atas nakas.
Ia langsung menjawab panggilan begitu benda itu berada dalam genggamannya.
“Ha—lo?” gumam Kalila
dengan kening berkerut dan mata tetap terpejam.
“Kok gelap? Kau
sedang ada di mana, Lily?”
Kalila bangkit dan berjalan terseok-seok menuju saklar
lampu. Dan begitu kamarnya dihujani cahaya, ia baru menyadari bahwa ponselnya
sedang tersambung dengan sebuah video
call. Layar ponselnya menampilkan wajah kedua orang tuanya.
“Bonjour—lho? Tumben sekali kau sudah tidur? Jam berapa di sana sekarang?” tanya ibunya dengan bingung.
Kalila melirik jam dinding. “Jam dua belas malam. Lebih
tiga menit,” jawabnya dengan suara parau.
“Apa kau baik-baik
saja, Sayang?” Kali ini, ayahnya yang bertanya.
“Ya. Tidak pernah lebih baik dari ini. Aku bisa tidur
dengan nyenyak.”
“Oh? Apa kami
menganggu?”
“Tentu saja tidak, Ma. Aku senang Mama dan Papa
menelepon,” sahut Kalila lantas tersenyum untuk mendukung kata-katanya.
“Bagaimana
kuliahmu? Lancar?”
Kalila menjawab dengan anggukan kepala.
Kedua orang tuanya tersenyum. “Bon anniversaire. Selamat ulang tahun, Lily,” ucap
mereka serentak di sela embusan angin yang terdengar samar. Kemudian ibunya
melanjutkan dengan nada menyesal. “Maaf,
ya kami tidak bisa menemanimu di hari ulang tahunmu. Kau tahu, kan urusan
bisnis di sini tidak bisa ditinggalkan.”
Kalila mengangguk mengerti. “Asal memang benar untuk
urusan pekerjaan, Ma. Bukannya bulan madu Mama dan Papa yang kesekian kalinya,”
ucap Kalila dengan nada menyindir.
Kedua orang tuanya saling melirik malu satu sama lain.
Wajah ibunya tampak merona. Di belakang mereka, menara Eiffel tampak bersinar
terang berlatarkan langit malam.
“Itu... Papamu yang
merencanakan dinner romantis hari ini,”
ucap ibunya dengan nada tersipu.
“Bukan seperti itu,”
sanggah ayahnya. “Mamamu yang meminta
lebih dahulu. Katanya, ia jenuh dengan rapat dan—“
“Jangan membual di
depan Lily—“
“Ma, Pa. Kalau mau berdebat, tolong jangan libatkan aku.”
Kalila menyela sambil menahan tawa. “Lanjutkan saja bulan madu kalian. Aku mau
tidur.”
“Baiklah, Sayang,”
ujar ayahnya setuju.
“Bonne nuit, Lily,”
timpal ibunya lantas mengerucutkan bibir untuk memberi ciuman virtual untuk
anak perempuannya.
Dan video call
itu terputus. Untuk sesaat, Kalila merasa hampa. Andai saja kedua orang tuanya
bisa selalu berada di dekatnya.
***
Mereka sepakat untuk bertemu pukul tiga sore. Kalila dan
Diego. Tetapi ketika jarum jam sudah melewati angka satu, Kalila masih belum
selesai bersiap-siap. Ia menghabiskan banyak waktu untuk memandangi isi lemari
pakaiannya dan hasil buruannya kemarin. Matanya bergerak dari satu baju ke baju
yang lain.
Ia mengambil rok span hitam dari lemarinya dan
mengenakannya bersama dengan blus putih dan blazer hitam yang kemarin baru
dibelinya. Tetapi cermin menampilkan dirinya yang seperti tengah bersiap
menjalani wawancara kerja. Kelewat formal. Maka ia melepasnya, dan menggantinya
dengan sepotong mini dress hijau
pupus dengan rangkaian mutiara di kerahnya.
Tetapi begitu kembali menghadap cermin, ia menggelengkan
kepala. Penampilannya kali ini seperti hendak menghadiri sebuah pesta. Lagipula
terakhir kali ia mengenakan rok, Diego mengolok-oloknya. Ia tidak mau itu
terjadi lagi.
Kalila berpindah ke pilihan selanjutnya. Ia mengenakan skinny jeans dan blus peplum berkerah
menyilang seperti kimono yang dihubungkan dengan pita di bagian pinggang kiri. Ketika
bercermin, ia mengangguk puas. Perfecto.
Tidak terlalu biasa saja sekaligus tidak berlebihan. Ia siap untuk acara apa
pun yang disiapkan lelaki itu. Entah itu sebuah makan malam atau sekadar jalan-jalan.
Setelah ia memulas pipi dan bibir, ia melirik ke jam
dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah tiga. Tergesa-gesa, ia menyambar
kunci kamar dan mobil. Lalu mengenakan chukka
boots kesayangannya alih-alih sepatu hak tinggi yang kemarin rencana akan
dikenakannya.
“Gawat, gawat,” gerutunya sambil mengunci pintu kamar
lalu bergegas meninggalkan rumah indekosnya.
Mobilnya memelesat ke arah selatan. Lalu lintas tidak
telalu padat. Jalanan cukup sepi hingga membuat mobilnya melaju dengan lancar.
Kalila tidak bisa menahan senyum saat melewati salah satu
bahu jalan yang tidak diaspal. Sebelum ini, ia pernah makan malam ‘romantis’
bersama Diego di sana. Dengan menu nasi goreng rendang dan nasi goreng
cumi-cumi. Lengkap dengan dua gelas orange
squash. Beralaskan atap mobil dan beratapkan langit penuh bintang.
Berbeda dengan langit kali ini yang tampak kelabu.
Awan-awan tampak menggantung berat di atas sana. Dan detik berikutnya,
butir-butir hujan sudah jatuh menyapa bumi. Membasahi jendela mobil dan membatasi
jarak pandang Kalila.
“Oh, hujan sial,” gerutu Kalila sambil mengaktifkan
penyeka kaca. Disusul ponselnya yang menyala dan menampilkan foto Diego dengan
ekspresi menyebalkan.
Kalila memasang earphone
ke telinganya, lalu menjawab panggilan itu. “Sebentar, aku masih dalam
perjalanan,” ucapnya begitu mereka tersambung. Karena ia menduga lelaki itu menelepon
untuk menanyakan lokasinya.
“Oh, kukira kau
belum berangkat,” ucap Diego sedikit kecewa. “Di sini hujan sangat deras. Tadi maksudku kau berangkat setelah hujan
berhenti saja. Kau tahu, kan, jalannya agak sulit dan berkelok-kelok. Apalagi kalau
hujan jalanan jadi licin.”
Kalila tidak bisa tidak tertawa mendengar kekhawatiran
Diego yang tergambar jelas dalam suaranya. “Tenang saja, ini bukan hari pertama
aku menyetir.”
“Seharusnya kau
berangkat denganku saja.”
Tetapi apa yang dikatakan Kalila, tidak sesuai dengan
kenyataan. Saat ia berbelok ke kanan, tiba-tiba mobilnya lepas kendali. Ia
menginjak-injak pedal rem tetapi mobilnya tidak juga melambat. Ia mencoba
membanting setirnya ke kiri. Dan nahas, mobilnya malah menabrak pembatas jalan
dan meluncur bebas ke arah lembah.
Kalila hanya bisa menjerit. Diikuti bunyi logam yang
berderak, kaca yang hancur, dan ia merasakan tubuhnya berguncang. Mobilnya
terus bergetar seolah hendak terkoyak. Hingga akhirnya ia merasakan mobilnya
berhenti bergerak.
Kalila memejamkan matanya. Dan ia teringat pada semua orang
yang sudah disakitinya. Pada Evelyn. Pada Diego. Jadi inikah balasan untuknya?
Detik berikutnya, samar-samar ia bisa mendengar suara
Diego dari kejauhan. Lelaki itu memanggilnya dengan panggilan yang disukainya. Ia
mencoba membalas. Walaupun mungkin itu hanya khayalannya. Tetapi tidak sedikit
pun suaranya keluar.
Maka, ia memasrahkan dirinya pada kegelapan. Hingga yang
tersisa hanya rasa sakit.